Stockholm Syndrome Sequel

Title: Lima Syndrome

Genre: Romance

Rate: T

Words: 3k+

.


Tangan mereka terangkat di atas kepala dan napas pun masih terengah-engah karena mencoba kabur. Namun, kini tidak ada satu pun dari mereka yang berani bergerak. Mereka saling pandang dan berakhir menatap pemuda berkaca mata yang sedari tadi tidak bicara apa-apa.

"Harry, what should we do?" bisik seorang pemuda yang kesulitan berdiri karena kakinya yang terluka. Namun Harry, pemuda itu tetap tidak membalas.

"Kalian semua, cepat masuk!" perintah seorang pria dengan sebuah pistol di tangannya pada sekelompok remaja yang telah ia dan rekan-rekannya kepung.

"Harry?" satu-satunya gadis di sana memandang pemimpin mereka. Gadis itu berharap jika Harry akan berbalik dan memerintahkan mereka kabur seperti biasanya.

Namun apa yang dilakukan Harry sungguh mengejutkan semua teman-temannya. Ia melangkah maju dengan tenang dan masuk ke dalam mobil. "Ayo masuk. It wouldn't kill us, believe me," ucap Harry tenang tanpa menoleh pada rekan-rekannya.

"Ron, katakan kalau dia baru saja kehilangan akalnya," Ginny, gadis itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Ron menggeleng. "Tidak, dia sudah gila dari dulu," balasnya dan berjalan di belakang Harry. Ron masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Harry. Ia menatap teman-temannya yang satu persatu mulai mengikuti mereka.

Mobil itu membawa mereka cukup lama dan tidak ada satu pun dari mereka yang bicara sekarang. Sesekali mereka memandang Harry dengan bingung, dan Harry tidak mau mengangkat pandangannya. Mereka hanya bisa menghela napas karena Harry benar-benar tidak mau bicara apa-apa.

Dua jam, tiga jam, dan akhirnya mobil berhenti. Seseorang langsung membuka pintu dari luar.

Cedric—yang duduk di samping pintu—keluar lebih dahulu, dan Dean mengikutinya dari belakang. Semua bergantian turun hingga Ron turun paling terakhir.

Ginny mengernyit saat menyadari jika kini mereka berdiri di depan sebuah rumah dua lantai yang tidak begitu besar namun cukup untuk sebuah keluarga yang lengkap.

"Baiklah, kalian boleh masuk," kata salah seorang yang membawa mereka tadi. Ia membuka pintu depan dan masuk untuk menyalakan lampu.

"Masuk? Apa maksudnya? Rumah siapa ini? Apakah kantor polisi memang selalu seperti ini?" tanya Ron beruntun lebih pada dirinya sendiri.

Harry yang mendengar pertanyaan Ron hanya mengangkat bahu tidak peduli. "Entahlah, tapi mungkin aku tau rumah siapa ini," kata Harry menarik perhatian seluruh rekannya.

"Whose?" tanya si kembar Weasley berbarengan.

"Ours," jawab Harry enteng dan segera masuk ke dalam rumah mereka.

.

Ron turun dari tangga dengan bersemangat. Penampilannya terlihat lebih rapi dari biasanya, dia bahkan menata rambut merahnya. Dan sedikit aneh untuk melihat Ron terbungkus rapi dalam kemeja putihnya.

"Morning, Harry!" sapa Ron dengan senyum lebarnya pada Harry yang sedang duduk di sofa sambil membaca koran pagi. Tanpa menunggu balasan dari Harry, Ron duduk di sebelahnya, masih dengan senyum lebar di wajahnya.

Harry mengernyit saat mencium aroma manis ketika Ron datang. "Kau pakai parfum?"

Ron mengangguk ringan. "Bagaimana penampilanku? Aku terlihat tampan, 'kan?"

"Kau mau kemana rapi-rapi begini?" tanya Harry sambil menutup korannya, "seperti mau pergi kencan saja," sambungnya dengan nada sedikit meledek.

Bukannya kesal, Ron malah tersenyum makin lebar. "Well, aku memang akan pergi berkencan," dengan sombong Ron membalas. Dia jelas puas dengan raut terkejut Harry. "Hermione, aku akan berkencan dengannya."

"Hermione Granger, si sepupu itu?" Harry memastikan.

"Ya, kami cukup banyak mengobrol akhir-akhir ini, dan kemarin aku mengajaknya berkencan," jelas Ron dengan rasa bangga yang meluap-luap.

"Dan dia mau?"

Ron mengangguk sebagai balasan. "Bukankah hal ini luar biasa? Aku harus berterima kasih pada bocah itu nanti, jika bukan karena dia maka aku tidak akan pernah bertemu dengan Hermione."

Harry hanya mengangkat alis, setuju.

"Kalau begitu aku pergi dulu," pamit Ron sambil bangkit.

Harry menghela napas dan melempar koran di tangannya ke sembarang tempat. Lama terdiam menatap langit-langit, sebuah senyum kemudian muncul di wajahnya.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu?"

Harry terkejut saat sebuah suara menginterupsi. Senyumnya sedikit memudar saat seorang pemuda berambut pirang tiba-tiba masuk dan langsung duduk di sebelahnya.

"Tersenyum tidak dilarang," jawab Harry datar, kembali mengambil korannya dan menghiraukan pemuda di sampingnya.

Namun, pemuda itu menginginkan perhatian Harry, dia tidak akan diam saja. Diambilnya koran Harry dengan paksa dan menahan tangan Harry yang ingin mengambilnya kembali.

"Draco Malfoy, berhentilah bersikap menyebalkan," desah Harry terdengar malas.

"Bagaimana jika kau yang berhenti bersikap dingin padaku?" tanya Draco mendekatkan diri pada Harry. Jangan lupakan juga seringai lebarnya.

Harry hanya mencibir jengkel ke arahnya. "Hah, aku bosan sekali di sini. Hey, setidaknya bolehkan aku untuk ke supermarket," keluh Harry tanpa menoleh.

"Tidak bisa," jawab Draco segera, "kau sanderaku."

"Tidak adil."

"Kau yang memintaku untuk tidak mengambil kebebasan teman-temanmu, 'kan?"

"Iya," jawab Harry terdengar malas, "tapi bukan berarti aku juga tidak mau diberikan kebebasan." Bagitulah, sesuai janji Draco, ia tidak akan membatasi kebebasan rekan-rekan Harry. Namun, sebagai gantinya Harry menjadi sanderanya dan tidak boleh keluar dari rumah ini selangkah pun kecuali dengan sizin Draco.

Draco mendengus. "Kau aneh. Bilang ingin pergi, tidak betah berdiam diri di sini, tapi kau tidak pernah benar-benar keluar walaupun ada kesempatan. Pintunya selalu terbuka, tidak ada penjaga di luar, tapi kau tetap tidak mau kabur. Kenapa kau patuh sekali padaku?" tanya Draco dengan mata berbinar.

Harry melempar bantal sofa untuk menjauhkan wajah Draco. "Aku tidak kabur karena CCTV sialan itu. Meski pintunya tidak pernah terkunci dan tidak ada seorang pun penjaga, kau selalu memantau dari semua CCTV itu kan?"

Draco tertawa puas. Tentu saja, mana mungkin ia membiarkan Harry tanpa pengawasan. Bisa-bisa sandera kesayangannya ini lepas.

Setelah pembicaraan singkat mereka, Harry mendapatkan kembali korannya yang diambil oleh Draco. Ia tenggelam dalam bacaannya, sedangkan Draco tenggelam dalam lamunannya sambil menatap wajah Harry. Dan siapa juga yang tidak risih saat ditatap terus seperti itu, makanya Harry menutup lagi korannya dan berhadapan dengan Draco.

"Can you stop it?" tanya Harry.

"Berhenti untuk apa?"

"Berhenti menatapkau, aku risih," jawab Harry.

Bukannya menuruti permintaan Harry, Draco malah tertawa. "I can't. Rasanya sia-sia jika aku harus memalingkan muka dari wajah menggemaskanmu."

Harry sama sekali tidak menahan pukulannya yang meluncur tepat ke ulu hati Draco mendengar kata-kata itu. "Sudah berapa kali aku bilang, berhenti mengatakan hal konyol itu!"

"Tapi itu fakta," balas Draco membela diri. "Tanya pada teman-temamu, mereka pasti setuju kalau kau itu imut."

Harry menghela napasnya. "Apa kau mengatakan hal seperti itu agar aku jinak padamu?" tanya Harry menatap lurus ke dalam manik kelabu Draco.

Draco tersenyum menyeringai. Ia memajukan tubuhnya hingga wajahnya dan Harry menjadi begitu dekat. "No, that's not what I want. Aku tidak perlu membuatmu jinak padaku, aku hanya butuh agar kau jatuh cinta padaku," bisiknya dengan senyum yang masih mengembang.

setelah Harry tidak dapat membalas karena apa yang ia katakan, Draco menariknya dirinya menjauh dari Harry. Ia kemudian berdiri dari sofa, masih menatap Harry. "Aku sudah berjanji, aku tidak akan pernah mengingkarinya," ucapnya dan berjalan menuju pintu. "I'll catch you, my dear thief."

Pintu tertutup begitu Draco keluar. Kini hanya tinggal Harry sendiri di rumah itu. Ia menghela napas dan membaringkan tubuhnya di sofa.

Harry menatap kosong ke langit-langit. Ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya sekarang. Disandera oleh anak yang pernah ia sandera sebelumnya. Seumur hidup, Harry tidak pernah menyangka bahwa ia akan begitu terikat dengan seseorang—kecuali rekan-rekannya. Harry pun juga tidak mengerti kenapa Draco begitu ingin mendapatkannya. Tidakkah dia lupa bahwa Harry pernah mengurungnya selama berhari-hari?

"Tapi setidaknya dia membebaskan mereka," monolog Harry dan kemudian tertawa geli, "walau aku harus jadi jaminannya."

Harry teringat pada hari di mana Draco menyambut kedatangannya dan teman-temannya. Harry ingat betul senyum bangga yang terlukis di wajah Draco. Putra tunggal keluarga Malfoy itu pun dengan bersemangat menjelaskan bahwa rumah ini milik mereka sekarang. Draco pun langsung membuat semua orang tersenyum saat mengatakan bahwa ia menjamin kebebasan mereka, dengan syarat Harry harus tetap tinggal. Harry pun masih ingat jelas, saat teman-temannya sudah terlelap, Draco menambah aturan yang hanya ia beritahukan pada Harry. Dimana, Harry tidak akan lagi menjadi sandera jika jatuh cinta padanya.

Harry menutup wajahnya menahan tawanya. Ia tau jika Draco serius, hanya saja Harry merasa lucu mendengar kata-kata itu dari bocah yang hampir sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bosan, Harry bangkit dari sofa. Ia langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya untuk beristirahat. Well, setidaknya Harry bersyukur karena Draco memberikan fasilitas lengkap walaupun ia terperangkap.

.

"Hai, Mum," sapa Draco sambil mencium pipi ibunya.

Narcissa tersenyum saat anak semata wayangnya itu datang. "Kau dari mana saja?" ia bertanya setelah Draco duduk di sebelahnya.

"Menemui calon menantumu," jawab Draco dengan senyum di wajahnya.

Narcissa terkekeh gemas. Ia sudah tau bahwa Draco serius dengan Harry, dan ia tidak keberatan dengan itu. Selama putranya bahagia, ia tidak keberatan. Narcissa pun mendukung Draco untuk memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Harry dan teman-temannya, makanya Narcissa mau-mau saja membelikan sebuah rumah untuk mantan kelompok pencuri yang pernah membobol rumahnya itu.

"Apa kau sudah mengatakan pada Harry kalau kau sudah menemukan mereka?" tanya Narcissa membuat Draco menghela napas. Dari reaksinya, jelas Draco belum mengatakan apa pun kepada Harry.

"Aku tidak tau bagaimana cara memberitahunya," balas Draco. "Mum, apa yang sebaiknya aku katakan pada Harry?"

Narcissa tersenyum dan menggenggam tangan anaknya. "Kata-kata kadang tidak diperlukan, kau hanya perlu membawanya menemui mereka."

"Benarkah?"

Narcissa mengangguk.

"Tapi, bagaimana jika itu membuatnya sedih?"

"Draco, kau bilang bahwa Harry lah yang mengajarimu betapa berharganya sebuah keluarga, kan?" tanya Narcissa yang membuat Draco mengangguk. "Kesedihan juga sebuah reaksi atas cinta. Harry mencintai keluarganya, dan itulah yang ia tunjukkan padamu. Percayalah, kebahagiaan paling manis adalah ketika kau sampai meneteskan air mata saking bahagianya."

Draco tersenyum, ia menjatuhkan dirinya dalam pelukan ibunya. "Thanks, Mum."

.

"Morning, guys," Cedric yang baru saja bangun menyapa Harry dan Ginny yang sedang sarapan. Ia segera menghampiri mereka dan mengambil roti panggang Ginny seenaknya tanpa menghiraukan protes dari gadis tersebut.

"Cedric! Kembalikan rotiku!" Ginny sampai berdiri untuk mengambil rotinya, tapi Cedric segera memakannya dengan wajah bahagia karena merasa menang.

Harry hanya tertawa melihat keributan kecil pagi ini. Ia kembali memakan sarapannya saat Ginny pun mau tidak mau harus pergi memanggang roti lagi untuk dirinya.

Puas dengan reaksi Ginny, Cedric kini berusaha untuk mengambil kopi Harry. Namun sayang, Harry lebih gesit dan menjauhkan kopinya dari jangkauan Cedric. "Kau masih terlalu lamban," ejeknya setelah menyesap kopi paginya.

Cedric hanya memutar mata malas. Ia juga tau kalau kecepatan tangannya masih kalah dengan Harry dalam urusan mengambil barang. "Ah, ngomong-ngomong yang lain ke mana? Kenapa rumah sepi sekali?"

Sebuah senyum tipis muncul di wajah Harry saat Cedric menyebutkan rumah. Siapa sangka jika mereka akan bisa mengatakan hal seperti itu. "Semuanya sudah keluar untuk urusan masing-masing."

"Dan kau tidak pergi, Gin?" tanya Cedric setelah Ginny duduk dengan roti panggangnya yang baru.

"Untuk sekarang aku tidak ada urusan apa-apa," jawab gadis Weasley itu. "Why? You don't like the fact that I just stay here?"

"Well, aku tidak pernah bilang itu, tapi memang benar jika kau sedikit mengganggu."

Ginny hampir saja menyiram kopi panasnya kalau saja Harry tidak menahannya. Sedangkan Cedric kembali tertawa setelah menggoda yang lebih muda.

Ketiganya terus mengobrol tanpa henti. Tidak satu pun dari mereka berniat beranjak dari tempat duduk mereka. Bahkan Cedric yang belum mencuci mukanya pun begitu menempel dengan kursinya. Mereka terus mengobrol hingga seseorang masuk ke rumah, ketiganya menoleh serempak menuju pintu.

Dengan senyum lebar di wajah tampannya, Draco berjalan ke arah meja makan. Ia menghampiri mereka, tapi ia tidak tertarik untuk duduk dan ikut mengobrol, sehingga ia hanya berdiri saja.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Harry. "Bukankah seharusnya kau sekolah sekarang?"

"Bolos sehari bukan masalah besar," balas Draco yang memang tidak peduli dengan sekolahnya. Ia melihat ke arah jam dan kembali menghadap Harry. "Ayo kita pergi," ajak Draco tiba-tiba.

"Pergi ke mana?" Ginny lah yang balik bertanya. Ia bingung, tentu saja. Baru kali ini Draco mengajak Harry keluar. Yang mana artinya, ini akan menjadi pertama kalinya Harry keluar dari rumah ini setelah lima bulan.

"Kau tidak perlu tau," balas Draco membuat Ginny kesal. Ia kembali beralih pada Harry. "Ayo, jangan hanya diam saja."

Harry menatap Draco lama sebelum akhirnya berdiri dari kursinya. "Aku ambil jaket dulu," katanya dan kemudian pergi ke kamarnya untuk mengambil jaket.

Sambil menunggu Harry, Draco akhirnya duduk di kursi Harry tadi. Ia pun mendapati bahwa Ginny dan Cedric masih memasang wajah bingung. "Berhenti berpikir berlebihan. Aku hanya ingin membawanya jalan-jalan sebentar."

"Kami tidak terlalu memikirkannya kok," ucap Cedric, "itu hakmu untuk mengajaknya pergi. Lagipula, jika kau melakukan hal-hal aneh padanya, aku yakin Harry akan lebih dahulu berhasil kabur darimu." Cedric mengakhiri perkataannya dengan sebuah seringai.

Ginny mengangguk menyetujui perkataan Cedric. "Selama kau tidak membawanya kawin lari, kau bisa membawanya kemana saja."

Draco terkekeh mendengar perkataan Ginny. "Thanks. Dan aku pastikan bahwa aku tidak akan membawanya kawin lari. Aku akan melamarnya di depan kalian dan mengikat janji di pesta pernikahan yang megah."

"Kenapa kalian membahas pernikahan saat ini?" Harry yang sudah turun bertanya. Ia menatap Ginny yang ia yakini sebagai si pembuka topik pembicaraan seperti ini. Sedangkan yang ditatap hanya balas tertawa.

"Sudah, ayo kita pergi sebelum cuacanya semakin dingin," ajak Draco sambil berdiri. Ia segera menggandeng tangan Harry dan membawanya keluar. Harry hanya bisa menghela napas pasrah dan menuruti keinginan yang lebih muda.

.

Jalanan yang asing membuat Harry tidak bisa mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil. Ia terus mencari tahu kemana Draco akan membawanya. "Kau tidak berencana untuk membawaku ke kantor polisi, kan?" tanya Harry curiga setiap kali mereka melewati pos polisi.

Draco tertawa pelan. "Konyol."

"Kau yang lebih konyol," balas Harry yang akhirnya berhenti melihat keluar jendela, "mana ada penculik yang membawa sanderanya jalan-jalan begini."

Draco tersenyum. "Kau seharusnya senang. Kau sendiri pasti sudah muak berada di rumah itu terus, kan?"

"Kau pikir karena siapa, huh?"

Draco tertawa lagi. Ia memutar tubuhnya hingga ia duduk menghadap Harry sekarang. Draco pun menyenderkan tubuhnya sambil terus menatap Harry. Kalau saja supirnya tidak ada, mungkin Draco sudah menggeser tubuhnya mendekati Harry dan menggodanya seperti biasa.

Ditatap terus oleh Draco tentu membuat Harry tidak nyaman. Ia menghela napasnya. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Karena menyenangkan," jawab Draco langsung. "Kau yang biasanya berkeliaran bersama kelompokmu mencuri uang kini tidak bisa melakukan apa-apa. Kau hanya bisa duduk manis di rumah sambil menunggu kepulangan teman-temanmu. Tidakkah tubuhmu rasanya gatal sekali ingin kembali mencuri?"

"Dan kau sendiri, bagaimana rasa manis dari mencuri?" Harry balik bertanya membuat Draco bingung.

Draco mengernyitkan dahinya. "Apa maksudmu?"

Harry tersenyum. "Kau juga sudah pernah mencuri. Uang yang telah kami kumpulkan itu, kau mengambil semuanya, kan? Walau kau mendapatkannya karena kami kini sudah punya tempat tinggal dan pekerjaan, tetap saja kau mencuri hak milik orang lain."

Draco tertawa mendengar kata-kata yang keluar dari mulut seorang pencuri seperti Harry. "Kau benar, aku mencuri dan rasanya manis sekali. Yang membuatnya manis adalah, karena aku mencuri dari kelompok pencuri yang paling diburu di Ingris."

"Dan kau mengerti apa yang akan terjadi, kan?" tanya Harry, "Kami, para pencuri yang telah berpengalaman bertahun tahun bisa dengan mudah mendapatkan kembali uang-uang itu darimu."

"Benarkah?" terdengar nada meremehkan dari Draco. "Padahal kau tidak pernah keluar dari rumah, teman-temanmu sibuk dengan kehidupan mereka yang sekarang, dan kau bahkan tidak tau dimana aku menyimpannya," Draco mendengus. "Aku akan mengabulkan semua keinginanmu jika kalian memang berhasil melakukannya."

Harry tersenyum, seolah-olah menerima tantangan Draco. Ia kemudian kembali mengalihkan perhatiannya ke luar untuk menghindari tatapan Draco padanya. Jujur saja, rasanya begitu aneh saat pemuda Malfoy itu menatapnya. Dan Harry tidak mau mencari tahu perasaan aneh itu.

"Tuan muda, kita sudah sampai." Draco dan Harry serempak menoleh ke arah sang sopir yang telah menghentikan mobil.

Draco segera membuka pintu dan mengajak Harry keluar. Meskipun Harry terus bertanya kemana dia akan membawanya, Draco tetap tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendahului Harry yang begitu malas mengikutinya.

"Can you walk faster?" kata Draco akhirnya karena Harry masih saja berjalan di belakangnya.

Dengan ogah, Harry mempercepat langkah kakinya dan berjalan beriringan dengan Draco. Ia tidak lagi bertanya pada Draco kemana mereka akan pergi. Apalagi saat mereka sudah sampai di sebuah pemakanan umum. Benci untuk mengakuinya, tapi Harry tidak suka berada di sini.

"Apa yang kita lakukan disini?" tanya Harry curiga.

Tidak menjawab, Draco segera menarik Harry menuju dua makam yang berada di tengah pemakaman. Sebelum Harry sempat protes, Draco segera menunjuk makam tersebut, menyuruh Harry untuk melihatnya.

Dengan terpaksa, Harry menjatuhkan pandangannya pada makam di depannya. Seketika, Harry merasakan bahwa tubuhnya melemah. Ia terdiam seketika. Matanya tiba-tiba berair, tapi Harry segera menahannya.

Melihat reaksi Harry, Draco segera membawa Harry untuk duduk di samping makam keluarga Potter. Karena Harry yang masih terkejut, Draco menggenggan tangan Harry menenangkannya.

"Kau pernah bilang kan, kalau kau kehilangan kedua orang tuamu, tapi hingga sekarang kau tidak pernah tau apa yang terjadi pada mereka," Draco berbicara dengan suara lembut yang tidak pernah ia perdengarkan pada Harry sebelumnya. Ia makin erat menggenggam tangan Harry saat kembali berbicara. "Pernah terjadi kecelakaan besar di sekitar sini. Kedua orang tuamu yang sedang dalam perjalanan pulang tidak bisa menghindari mobil yang tiba-tiba saja kehilangan kendali. Polisi menemukan kartu identitas mereka dan mengetahui bahwa keduanya sama-sama berasal dari panti asuhan. Orang-orang yang bisa dihubungi hanya sedikit, sehingga polisi pun tidak tahu bahwa keduanya memiliki seorang anak laki-laki yang menunggu kepulangan orang tuanya di rumah."

Harry terdiam lama mendengar penjelasan Draco. Ia menatap kedua nama di makam itu tanpa sekali pun mengalihkan perhatiannya. "Kami berencana untuk pindah ke kota," Harry akhirnya berbicara, "kami awalnya tinggal di sebuah desa kecil yang jauh dari sini. Aku tidak mau ikut saat mereka bilang ingin pergi melihat-lihat rumah yang akan kami tinggali. Kau tau kenapa aku lebih memilih untuk menunggu di rumah sendirian? Karena aku senang sekali memikirkan bahwa aku akan bebas melakukan apa pun selama mereka tidak di rumah."

Draco menangkap kesedihan di manik zamrud tersebut. Ia bisa melihat betapa sulitnya Harry menahan air matanya. "Kau telah mengingatkanku betapa pentingnya sebuah keluarga, dan aku sangat berterima kasih atas itu." Draco mengusap pipi Harry dan memintanya untuk menatapnya, seolah berkata bahwa Harry boleh mengeluarkan air mata yang ia tahan-tahan.

Setetes air mata akhirnya lolos dari pelupuk matanya. Harry tidak ingin menangis terlalu banyak, sehingga ia segera menghapus kembali air mata tersebut. Ia juga tidak mau menangis di depan Draco, cukup pemuda itu melihatnya lemah seperti ini.

Draco tidak mengatakan apa-apa lagi saat Harry kembali memandang makam kedua orang tuanya. Ia membiarkan Harry mengungkapkan rasa rindu dengan matanya. Draco pun hanya bisa memberikan dukungan dengan terus menggenggam tangan Harry. Ia sesekali mengusap punggung Harry saat melihat pundak Harry bergetar menahan tangis.

Keduanya hanya diam untuk beberap saat. Setelah cukup lama memandang makam kedua orang tuanya, Harry pun segera berdiri, disusul oleh Draco yang masih menggandengnya. "Ayo kita kembali," ajaknya dan segera berbalik. Ia sudah lebih dahulu melepaskan tangan Draco sehingga ia berjalan mendahului pemuda Malfoy tersebut.

Draco mengangguk dan mengikuti Harry dari belakang.

"Draco."

Draco menoleh saat Harry memanggilnya. Ia berhenti berjalan karena pemuda berkaca mata itu juga berhenti. Ia tidak mengatakan apa pun membiarkan Harry melanjutkan perkataannya.

"Thanks."

Satu kata yang diucapkan Harry benar-benar membuat Draco tidak bisa berkata-kata. Selain kata terima kasih yang jarang terdengar itu, ia juga terkejut dengan senyum yang diberikan Harry padanya sebelum kembali berbalik dan berjalan. Draco tidak bisa untuk tidak ikut tersenyum. Ia pun segera mempercepat langkahnya dan merangkul Harry saat sudah berada di sampingnya. Tidak peduli jika Harry menolak, ia tetap meletakkan tangannya di pundak pemuda itu. Hal ini membuat Harry tidak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan yang lebih muda untuk merangkulnya.

Harry langsung menjatuhkan dirinya keatas sofa setelah sampai di rumah. Ia cukup lelah karena Draco membawanya berkeliling sebentar sebelum pulang. Mereka akhirnya sampai di rumah tepat setelah matahari tenggelam.

"Kau ingin makan malam bersama?"

Draco yang baru saja mendudukkan pantatanya terkejut mendengar penawaran Harry. Ini adalah pertama kalinya Harry mengajaknya makan malam. Draco menyeringai. "Jangan bilang kalau kau mulai menyukaiku sekarang," katanya sambil mendekatkan tubuhnya pada Harry.

Tidak mundur dan tidak menjauhkan Draco seperti biasanya, Harry ikut tersenyum. Tangannya terangkat mengelus wajah Draco. Tangan hangatnya memberi kejutan pada kulit pucat Draco. Harry makin mendekat sehingga ia dapat berbisik. "Entahlah, tapi akan aku pertimbangkan jika kau mentraktir kami semua makan malam hari ini."

Draco yang awalnya speechless dengan sikap berani Harry mengernyit. Ia menarik tubuhnya menatap Harry bingung. "Apa maksudmu? Kau berharap aku mentraktir kalian semua makan malam?"

"Aku tidak berharap," kata Harry, "aku meminta padamu."

Draco mendengus. "Memangnya kenapa aku harus menuruti permintaanmu?"

Harry menampilkan senyum lebarnya, bersiap untuk menyampaikan kemenangannya.

"We're back, Harry!"

Harry dan Draco kompak menoleh ke arah pintu. Ekspresi wajah keduanya begitu berbeda. Harry menyambut hangat teman-temannya yang sudah pulang, sedangkan Draco tidak bisa menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Apalagi saat melihat semua rekan-rekan Harry masuk dengan berkarung-karung uang di tangan mereka.

"Aku tidak menyangka kalau kita punya uang sebanyak ini. Kita bahkan bisa beli rumah yang lebih besar tiga kali lipat dari ini." kata Fred sambil meletakkan dua karung uang yang dibawanya.

"Kalian sudah mengambil semuanya?" tanya Harry yang sudah berdiri dan menghampiri teman-temannya.

Ron mengangguk. "Tidak ada yang tersisa. Sama sekali."

Harry tersenyum mendengarnya. Ia kemudian berbalik menghadap Draco. "Can't believe it, huh?" sebuah senyum kemenangan melengkapi ledekannya.

Draco mendengus dan kemudian tertawa. Ia menertawai dirinya sendiri karena dirampok di depan matanya.

Harry kembali mendekati Draco dan berbisik di telinganya. "Kau tidak akan pernah menang jika mencuri dari para pencuri," kata Harry terdengar meledek. "But, it's not really that bad for you, you know. Seperti kataku, aku mungkin akan mulai menyukaimu setelah ini."

Memberikan satu senyuman lagi, Harry menarik tubuhnya menjauh dari Draco. Ia kembali bergabung bersama teman-temannya. "Get ready guys, seseorang akan membawa kita untuk makan malam."

Sorakan ricuh langsung menggelegar memenuhi rumah. Harry dan yang lainnya segera menyimpan uang-uang mereka dan bersiap untuk makan malam mewah hari ini.

Masih terdiam di tempatnya, Draco pun tertawa geli. Ia merasa bodoh karena tidak bisa marah sekarang. Salahkan Harry Potter yang lagi-lagi memberinya heart attack yang membuatnya makin menginginkan pemuda itu. Dan well, sepertinya Draco harus meminta uang tambahan dari ayahnya untuk makam malam besar nanti.


.

.

Lima Syndrome - Completed