Ace of Diamond (c) Terajima Yuuji

Dangerous (c) Aiko Blue

.

"and if you're the devil himself, i would have followed you to hell with smile on my face"

.


Itsuki sudah sadar kalau dia diikuti sejak meninggalkan kamar sewanya tiga puluh menit yang lalu. Itsuki juga sudah tau siapa yang mengikutinya sampai sejauh ini. Karena sungguh, meski orang itu berniat jadi mata-mata dengan totalitas sampai memakai pakaian serba hitam, kacamata, bahkan menutupi wajahnya dengan masker, agaknya dia terlampau mencintai rambut pirang mencoloknya hingga tak sudi menutupinya dengan apa pun. Maka berdasarkan warna rambut, tinggi badan dan postur, tentu tidak sulit menebak, bisa dibilang kamuflasenya tidak cukup sukses. Tapi yang paling mencolok hingga membuat membuat Itsuki nyaris tertawa adalah aroma parfumnya yang begitu semerbak.

Namun Itsuki tidak mau melukai harga diri Si Penguntit, jadi dia memutuskan untuk berpura-pura polos dan tidak sadar. Termasuk saat dia tetap diikuti ketika memasuki pintu belakang bar tempatnya kerja paruh waktu. Itsuki yakin Si Penguntit akan menemukan cara untuk masuk walau di pintu itu jelas tertulis "staff only" orang seperti dia selalu menemukan cara untuk membuka pintu mana pun, mendapatkan apa pun.

Jadi saat mendengar seseorang berdeham tepat ketika ia hendak berganti pakaian, Itsuki sudah tidak kaget lagi. Tapi sebagai bentuk kesopanan primitif, dia menoleh ke sumber suara dan melihat bahwa penguntitnya yang beraroma mewah Bvlgari Man in Black itu berdiri di tepi pintu, dengan masker dan kacamata yang sudah dilepas.

"Hai," Itsuki menyapa ramah, mengulum senyum seakan mereka teman lama.

"Hai?" Mei mendengus, rambut pirangnya berjatuhan ke dahinya dengan begitu mempesona seakan dia sedang melakukan pemotretan. "Kamu nggak punya rasa takut, ya?"

"Banyak hal yang aku takutin." Bantah Itsuki, mulai menurunkan resleting jaketnya. "Aku takut IPK-ku dibawah tiga koma tujuh, aku takut binatang buas, aku takut data-data penting di laptopku hilang, dan masih banyak lagi."

Mei memutar mata seolah muak. Orang ini punya daftar panjang tentang hal-hal yang membuatnya muak, dan Itsuki yakin namanya muncul dalam daftar itu sekurang-kurangnya lima kali.

"Tadano Itsuki, mahasiswa fakultas teknik, mendapat beasiswa penuh, dikenal kalem, berprestasi, baik dan sopan, ternyata diam-diam kerja di club malam?" Mei menyeringai seperti Joker. "Coba pikir, apa yang kira-kira bakal terjadi kalau aku laporin pekerjaan gelapmu ini?"

Itsuki menghela nafas, kadang dia heran mengapa orang seperti Mei yang punya cukup uang untuk membeli rasi bintang, masih saja berminat untuk mengusik kehidupan seseorang sepertinya? Tapi Itsuki sudah terlatih untuk tidak gentar. Jadi alih-alih gemetar ketakutan dan memohon di kaki Mei, dia berbalik menatap pemuda itu dan berkata. "Aku mau ganti baju. Mei-san mau di dalam atau di luar? Kalau di dalam, bisa tolong tutup pintunya?"

Itsuki merasakan mata biru Mei menatap tajam dirinya sebelum pemuda itu berpaling untuk menutup pintu.

Baiklah, jadi Mei ingin melihatnya ganti baju. Itsuki mencoba untuk tidak gugup, dia mulai membuka kaosnya, dan mengambil sehelai kemeja putih dari lokernya. Dia berhasil tidak gemetar saat mengaitkan satu demi satu kancing kemejanya, menyisakan tiga kancing paling atas tetap terbuka, kemudian mulai menurunkan celana jinsya dan menggantinya dengan celana katun hitam; ketat memeluk kedua pahanya.

Saat Itsuki memberanikan diri untuk menatap ke cermin, dia melihat Mei sedang memperhatikannya, sedetik kemudian mata mereka bertemu melalui pantulan cermin dan Mei segera memalingkan muka, telinga Mei memerah seperti kepanasan. Itsuki lanjut bersiap, mengambil kotak softlens dan memasangnya dengan hati-hati di kedua matanya, tiga menit kemudian sepasang mata seterang batu citrine balik menatap dirinya. Tersenyum puas, Itsuki lalu mengambil gel rambut dan mulai menata rambutnya, melempar poninya ke belakang hingga dahinya terbuka, dan mengacak rambut belakangnya sedikit untuk menampilkan kesan sedikit liar. Setelah merasa cukup, Itsuki berbalik, mendapati Mei masih berdiri di sana dengan telinga yang bahkan lebih merah lagi.

"Panas?" Tanya Itsuki ringan sambil menggulung lengan kemejanya sampai ke siku.

Mei mengerjap. "Apa?"

"Mei-san kelihatannya kepanasan."

Mei berdecak. "Jelas panas! Di ruangan ini sama sekali nggak ada AC, sirkulasi udaranya juga buruk, dan atapnya terlalu pendek."

Itsuki menutup pintu lokernya dan memberi Mei senyum social service. "Maaf, tempat yang kami tawarkan pada pengunjung adanya di depan. Kalau Mei-san bersedia, ayo aku antar ke depan, di sana lebih baik."

Jadi begitulah akhirnya Itsuki membawa Mei ke club malam tepatnya bekerja. Membiarkan Mei duduk di bar dan memperlakukannya seperti tamu terhormat, membuatkan minuman apa pun yang Mei inginkan.

"Yang mukanya sesombong pangeran monarki itu temanmu?" Itsuki menoleh kecil saat Eijun berbisik di bahunya. Pemuda berkulit tan itu mengamati Mei dengan dahi berkerut dan mata memicing tajam.

"Kenalanku." Jawab Itsuki, kembali lanjut menata gelas-gelas. "Seniorku di kampus, beda fakultas tapi pernah sekelas di beberapa matkul. Jangan dilihat terus, nanti dia ngiranya kamu nantangin."

Namun Eijun justru berdecak dan menyeringai, lagi-lagi Itsuki lupa kalau pemuda bermarga Sawamura ini tidak takut apa pun. "Dia natap kamu seolah menunggu kapan kamu bakal mecahin gelas, numpahin minum, atau dibentak pelanggan. Seolah-olah dia nunggu kamu berbuat kesalahan dan bermaksud ikut menghakimi kamu."

Itsuki tak bisa menahan senyumnya, karena sesungguhnya dia juga merasa begitu. "Rileks," Itsuki menepuk bahu Eijun ringan. "Saya nggak akan berbuat kesalahan yang mengecewakan Anda, Boss."

Eijun memutar mata. "Jangan panggil aku begitu!" Protesnya tak senang, Itsuki terkekeh ringan, Eijun adalah tipe boss muda yang aneh karena sama sekali tidak mau diperlakukan sebagai atasan.

"Pokonya," kata Eijun lagi, kali ini mendekat hingga bahunya bersentuhan dengan bahu Itsuki. "Kalau dia berani macem-macem sama kamu, langsung lapor aku, oke? Sudah tugasku melindungi siapa pun yang kerja di sini."

"Siap, Boss!"

Eijun memukul bahunya dengan cukup keras tapi Itsuki hanya membalas dengan cengiran lugu, mereka kembali ke pekerjaan masing-masing. Sementara Mei, tampaknya masih betah mengawasi Itsuki dengan tatapan tajam.

"Kapan shiftmu selesai?" Mei sedikit berteriak padanya karena musik semakin terdengar keras.

"Jam tiga." Itsuki menjawab, memajukan badannya sedikit agar suaranya tak teredam komposisi DJ. "Mei-san mau pulang?"

"Aku tunggu kamu sampai selesai. Kita punya urusan."

Itsuki tergoda untuk bertanya apa urusan mereka, tapi dia punya firasat bakal disiram dengan tequila, jadi dia mengangguk saja. "Oke, panggil aku kalau Mei-san butuh sesuatu."

Siapa sangka kalau Narumiya Mei benar-benar menunggu sampai shift Itsuki selesai? Itsuki harus akui bahwa ia lagi-lagi kagum pada pemuda itu. Walau kelihatan bosan dan mengantuk, Mei berhasil menunggu tanpa mengamuk atau membuat keributan.

Begitu Itsuki selesai berganti baju, Mei menyuruh Itsuki untuk mengikutinya. Mereka naik taksi dan berhenti di depan salah satu hotel bintang lima terdekat. Mei masih belum mengatakan apa-apa, dan jantung Itsuki semakin berdebar tak karuan. Saat Mei bicara pada resepsionis, Itsuki merasa sangat pusing. Dia bahkan tidak tahu apa yang membuatnya pusing, apakah aroma manis aneh yang menyebar di lobby, lukisan abstrak 4x3 meter yang dipajang di belakang meja resepsionis, ataukah kenyataan bahwa Narumiya Mei memesan sebuah suite room untuk mereka berdua.

Itsuki membasahi bibir dan memberanikan diri untuk bertanya begitu mereka masuk lift. "Kita mau ke mana?"

"Kamu nggak lihat? Jelas-jelas ini hotel."

"Aku tau," Itsuki menelan ludah, mencoba tetap tenang. "Tapi kenapa?"

Mei tidak langsung menjawab, dia diam selama beberapa saat kemudian berbalik menatap Itsuki dengan mata tak tergoyahkan. "Aku nggak bercanda soal laporin kamu ke pihak kampus perihal kerja sampinganmu. Kamu sadar beasiswamu bisa dicabut, kan? Kamu bukan kerja di bar biasa, Itsuki. Itu salah satu tempat bisnis paling gelap di Tokyo. Kamu pikir aku nggak sadar ada berapa banyak orang yang transaksi gelap di sana? Ada berapa banyak orang yang punya senjata api di kantongnya, dan berapa banyak orang yang tawar-menawar tubuh manusia?"

"Aku nggak akan menyangkal semua itu. Aku kerja di sana hampir setiap malam, aku tau apa yang aku hadapi."

"Entah gimana orang kayak kamu bisa terseret ke dalam dunia itu."

Bosku sekaligus temanku, adalah Sawamura Eijun, seorang peranakan yakuza. Itsuki ingin menjawab, tapi dia menelan kembali kata-katanya. "Jadi, apa yang Mei-san mau dariku? Apa yang bisa aku lakukan supaya Mei-san nggak laporin soal ini?"

Pintu lift berdenting terbuka, Mei berbalik dan melangkah ke luar lift sambil berkata. "Sleep with me, Tadano Itsuki."


Pertama kali Itsuki bertemu dengan Mei barangkali nyaris satu tahun yang lalu. Mereka ada di kelas yang sama pada mata kuliah Pengantar Bahasa Jerman. Mereka duduk bersebelahan, dan tidak saling bicara karena menyadari perbedaan kasta. Mei kelihatannya bahkan cukup mahir bahasa Jerman tanpa harus mengikuti mata kuliahnya, sementara Itsuki masih kesulitan melepaskan lidah Jepangnya setiap kali mengucapkan selamat pagi.

Sampai suatu ketika, Mei datang dengan wajah bersungut-sungut, dia mengumpat-umpat jengkel, dan kelihatannya siap meledak. Singkat cerita, rupanya Mei kesal karena jam tangannya rusak dan dikabari bahwa itu tidak bisa diperbaiki.

"Aku bisa beli yang lebih bagus, atau lebih mahal. Tapi yang ini spesial karena hadiah dari seseorang!" Adalah bagaimana Mei menjelaskan landasan utama mengapa ia begitu marah.

Kemudian entah keberanian jenis apa yang merasuki Itsuki sampai ia berani tersenyum pada Mei dan berkata. "Boleh aku coba benerin?"

Itsuki ingat bagaimana Mei menatap tajam padanya, mungkin dia curiga Itsuki hanya bermaksud menipu dan membawa kabur jam tangannya yang mahal. Jadi Itsuki memperkenalkan diri, menyebutkan nama lengkapnya, angkatannya, fakultas dan jurusannya, bahkan menunjukan kartu mahasiswanya demi membuat Mei yakin. Seminggu kemudian—dengan penuh keajaiban—Itsuki berhasil membuat jam tangan itu berfungsi kembali. Saat itulah dia melihat senyum cerah Narumiya Mei untuk pertama kalinya, membuatnya termangu dan nyaris menyebut Mei cantik. Itsuki bahkan tidak tahu bahwa dia lebih tertarik pada laki-laki sampai dia bertemu Mei.

Dan sekarang di sinilah Itsuki, duduk di tepi ranjang hotel yang mewah, menantikan Mei keluar dari kamar mandi untuk bercinta dengannya. Dunia pasti sudah gila.

Itsuki menggosokkan telapak tangannya ke lutut untuk kesekian kali demi mengenyahkan kenyataan bahwa ia berkeringat walau temperatur dalam kamar ini cukup dingin. Jantungnya terus berdentum ribut selagi telinganya mendengar gemercik air dari kamar mandi tempat Mei berada. Itsuki sudah menyerah untuk berpikir tentang landasan teori jenis apa yang membuat Mei ingin tidur dengannya. Yang jelas, Itsuki yakin bahwa ia tidak boleh membuat Mei kecewa malam ini, dalam hal apa pun.

Pintu kamar mandi terbuka. Mei keluar dengan jubah hotel membungkus tubuhnya. Itsuki menelan ludah saat tatapan mereka bertemu, tetes-tetes air menempel di tubuh Mei, mengalir dengan lambat dari leher sampai ke bagian atas dadanya yang tidak tertutup sempurna. Jika ini bagian dari salah satu cara Mei untuk membangkitkan birahi Itsuki, dia sudah sukses total.

"Kamu pernah tidur sama cowok?"

Itsuki terlalu terpana hingga hanya sanggup menggeleng dengan jujur. Mei tampak kecewa. "Tapi bisa!" Kata Itsuki dengan terlalu cepat dan terlalu keras. "Kalau sama Mei-san,"—tarik nafas—"Aku bisa." hembuskan

Mei mendengus, tapi setidaknya dia tersenyum dan tampak lebih rileks. "Bahkan kambing pun nggak akan luluh dengan rayuan macam itu, Itsuki. Kamu payah."

Sebagian dari diri Itsuki ingin sepakat pada Mei, tapi dia tidak mau tampak lebih payah lagi. Maka Itsuki mengulas senyum simpul, berkata dengan tenang. "Mungkin aku memang payah soal merayu, tapi aku jago saat praktik. Mei-san akan tau sebentar lagi."

Senyum di bibir Mei berubah jadi seringai tipis yang seksi. Dia hanya berdiri di sana, menatap Itsuki dengan kuat juga anggun, seakan rusa yang menunggu Itsuki melepaskan anak panahnya. Itsuki menerima tantangan itu. Ia mengulurkan tangan pada Mei, dan menggenggam jari-jarinya dengan lembut, membawanya lebih dekat.

Mei masih diam sepanjang waktu, seolah-olah tidak yakin dengan apa yang diharapkan dari Itsuki. Untuk memastikan Mei tidak mengambil langkah mundur dan berubah pikiran, Itsuki menyelipkan jarinya ke pergelangan tangan Mei; merasakan kulit halus di atas debar nadi yang membuatnya agak terintimidasi. "Hard and fast, or slow and gentle?"

Jari telunjuk Mei bergerak membelai pipi Itsuki, turun, lalu mengangkat dagunya. "I won't give you any spoiler."

Itsuki balas tersenyum, mengusap denyut nadi Mei dengan ibu jarinya sekali lagi, membawa mendekat ke bibir, mengecup, lalu melepaskannya. Tangannya berpindah ke pinggang Mei, merayap sampai ke bagian belakang kemudian meremasnya. Mei tidak bereaksi, tapi Itsuki bisa mendengar nafasnya memberat. Tangan Itsuki yang lain berada di ikatan jubah Mei, memainkan ujung pitanya. "May I?"

Mei mengangguk tipis, lalu Itsuki menarik simpul itu dengan begitu hati-hati hingga kaitannya terbuka. Tubuh Mei terekspos tepat di depan mata Itsuki; dada, perut, pinggang, pinggul, paha, serta sesuatu yang menggantung di antara keduanya. Itsuki menarik Mei lebih dekat, kemudian memiringkan kepala dan maju untuk mencium pusar Mei. Kulit Mei terasa dingin dan harum di bibir Itsuki.

Itsuki mengongak untuk menatap Mei lagi, membimbing pemuda itu untuk duduk di pangkuannya. Jubah Mei meluncur jatuh dari kedua bahunya yang ramping, membuat Itsuki nyaris mengeram seperti anjing liar. Itsuki mengambil waktu, membiarkan matanya merekam momen ini, setiap detail dan inchi tubuh indah Mei, warna kulitnya, setiap lekuk dan garis, ia ingin mengabadikan pemandangan ini dalam sel otaknya.

"Love what you see?" Tantang Mei. Senyumnya tipis dan penuh keangkuhan. Bahkan saat menatap penuh penghinaan seperti itu pun, Mei masih saja cantik.

Itsuki berhasil balas tersenyum. "Absolutely. But I'd rather touch than just look."

Mei tidak lantas menjawab, dia diam menatap Itsuki seperti patung yang terpahat sempurna. Kemudian, tipis sekali, dia menggerakkan dagunya; go on.

Maka Itsuki tidak lagi membuang waktu. Telapak tangannya dan kulit Mei kini bersentuhan tanpa terpisah apa pun. Itsuki meraba pinggang ramping itu, sementara wajahnya mendekat ke leher Mei. Di saat yang bersamaan ketika tangannya sampai di dada Mei, bibirnya mendarat untuk mencium leher Mei. Tangan Itsuki tak lagi gemetar, keraguan di hatinya bertransformasi dengan cepat menjadi rasa lapar. Itsuki meremas dada kiri Mei, menancapkan jari-jarinya di sekitar puting. Mei menarik nafas tajam, dan saat itulah kepercayaan diri Itsuki meningkat.

Desahan pertama lolos dari bibir Mei saat Itsuki mendorong putingnya ke atas. Suara yang begitu manis dan seksi itu membuat Itsuki ingin mendengarnya sampai pagi. Itsuki menekan titik itu lagi, kemudian menarik dan memilinnya dengan kedua jari. Ia menyapukan hidung dan bibirnya di leher Mei. Lalu detik itu terjadi, jarinya mencubit keras sementara mulutnya menghisap lembut. Tubuh Mei menegang di pangkuannya, nafasnya semakin tajam, dan api keserakahan meledak di dada Itsuki.

Itsuki menarik diri saat merasakan kuku-kuku jari Mei menancap kuat di bahunya. Mereka kembali bertatapan. Itsuki terpesona pada cara kedua mata biru Mei tampak meleleh dan terbakar secara bersamaan. Selama sesaat, tak ada suara apa pun selain dua suara nafas yang saling berbalas, kemudian dengan begitu cepat mulut mereka saling menabrak untuk menguasai satu sama lain.

Bibir Mei lembut dan terbentang di bibirnya. Nafas mereka menjadi satu dan Itsuki mengisap lebih dalam pada bibir bawah Mei, menarik dan menggigit dengan lapar. Mei melenguh, membuka peluang bagi Itsuki untuk menyelipkan lidahnya ke dalam mulut Mei. Menjajah rongga mulutnya, menjilati setiap tempat untuk merasakan tequila yang tertinggal di sana. Rasa manis, pahit, panas, dan basah bercampur jadi satu. Itsuki bisa merasakan ketegangan meningkat di balik celananya, rasa panas dan lapar yang mendesaknya untuk keluar—lalu masuk ke dalam sesuatu yang sempit di tubuh Mei.

Satu tangan Itsuki di punggung Mei, merengkuhnya lebih erat, tangan yang lain turun hingga mencapai pantat lalu meremasnya. Tidak keras, tidak juga lembut, cukup untuk meloloskan erangan lain dari bibir Mei. Itsuki memperdalam ciumannya lagi, menjepit bibir atas Mei di antara dua bibirnya, kemudian menariknya dengan lambat hingga ciuman benar-benar terlepas.

Dia disambut dengan pemandangan indah. Wajah Mei tepat di hadapannya, pipi yang memerah, bibirnya basah, matanya berkabut, serta nafas hangat putus-putus bertiup dari mulutnya. Itsuki menciumnya lagi.

Ciuman kali ini mekar seperti kelopak bunga, lambat dan lembut. Itsuki memejamkan mata saat Mei menyambut ciuman itu, memiringkan kepalanya untuk mendekat. Ini hampir terasa seperti romantis pada awalnya, lembut dan manis, bernafas bersama. Tapi kemudian Mei merengek kecil ke mulut Itsuki. Dia mengangkat tangannya untuk memegang rahang Itsuki, ujung jari menyelinap ke rambutnya. Itsuki menggigit bibir bawah Mei sekali. Mei tersentak dan tidak butuh waktu sama sekali untuk merapat ke pangkuan Itsuki, mengangkangi pinggulnya. Itsuki memegang pinggang Mei dan merasakan setiap pertahanan yang dia miliki runtuh ke tanah.

Ciuman Mei putus asa sekarang, lebih dalam. Dia menggerakkan lidahnya di sepanjang gigi Itsuki dan Itsuki mengerang lemah. "Mei," desahnya, nama itu membuatnya mendesah kagum saat Mei menyeka dan memiringkan kepala Itsuki untuk mencium lehernya. Mei terus menelusuri jalan panas di sepanjang leher Itsuki, kembali ke telinganya. "Mei,"

Mei memberikan ciuman kecil di sepanjang lekuk telinga Itsuki, dan berbisik dengan seduktif, "Don't stop."

Itsuki telah mendengar bermacam-macam suara yang indah, tetapi tidak ada yang mendekati ini. Nafasnya tercekat ketika Mei menjepit daun telinganya di antara giginya. Tanpa berpikir, dia mendorong tangannya ke dada Mei. Jari-jarinya membentang di atas torso Mei, membuatnya menarik nafas tajam pada sensasi itu, saat jari Itsuki kembali mencapai putingnya, Mei merintih dan Itsuki tahu Mei menyukai itu.

Itsuki kembali menangkap bibir Mei dengan bibirnya, menjilat dan menggigit dengan penuh kehausan. Dia membentangkan kedua tangannya di balik punggung Mei, lalu perlahan membalikkan tubuhnya dan mendorong Mei berbaring di ranjang. Punggung Mei melesak di atas tumpukan selimut putih yang lembut, kulitnya memerah di beberapa sisi, berkilat dengan lembut dan keemasan di sini yang lain. Dia sangat cantik. Itsuki ingin memajangnya dalam peti kaca dan menguncinya dalam kamar untuk dinikmati sendiri, tapi dia sadar itu cuma khayalan bodoh.

Itsuki menunduk lebih dalam untuk menyeret ciuman di leher Mei, menggesek bibirnya di sepanjang kulit lembut itu, merasakan denyut nadi berdebar kuat dan nafas hangat menyapu telinganya. Ia meninggalkan kecupan basah yang lebih lama di jakun Mei, lalu mengambil jarak untuk menatap mata birunya. "Mei-san, apa kita—"

"Diam," potong Mei, meraih bagian depan kaus Itsuki dan menyatukan mulut mereka lagi. Itsuki tidak berdebat untuk saat ini, pikirannya terguncang saat mereka berciuman dengan panas. Dia bisa merasakan Mei mencondongkan tubuh ke dalam mulutnya, merasakan ujung jari Mei memetakan jalan di dada dan perutnya. Jari-jari Mei meringkuk di kaus Itsuki, menarik-narik penuh paksaan dan tanda tanya. Itsuki menjawabnya dengan duduk mengangkangi pinggang Mei, meraih ujung kausnya, melepasnya dan melemparnya, tanpa peduli di mana benda itu jatuh.

Mei mengamati dan menilai tubuh Itsuki. Kemudian bibirnya terbuka saat dia menggerakkan tangannya dari bahu Itsuki sampai ke perutnya yang kencang. "Sial," dia menghela nafas. "Cepat buka semuanya."

Jantung Itsuki berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Dia tersenyum sebentar sebelum membungkuk untuk menyentuhkan bibirnya ke dahi Mei. Dengan lembut, dia menelusuri ciuman kecil di hidung Mei, berhenti ketika dia mencapai mulutnya lagi. Mei menghela nafas dalam kepuasan dan Itsuki mengambil kesempatan itu untuk mengangkat dan mengunci tangan Mei dengan tangannya.

Mei merengek, sepertinya tidak suka ketika Itsuki menjadi terlalu dominan. Tapi Itsuki telah menjulurkan bibirnya ke sisi leher Mei. Mendorong Mei melesak ke kasur, Itsuki menggerakkan mulutnya ke bawah dan menyikat giginya dengan ringan di atas tulang selangka Mei. Itsuki mencium dan bernafas pada setiap titik di leher Mei, mengirimkan rasa panas dari kepala dan selangkangannya ke syaraf-syaraf Mei. Dia merasa pusing setiap kali nafas Mei bertiup di kulitnya, tapi dia tidak ingin berhenti.

"Itsuki," Jari-jari Mei meremas tangan Itsuki.

Itsuki tetap melanjutkan, menciumi dada Mei. Mei hampir merintih keras saat bibir Itsuki menekan lembut di puting kirinya lalu meluncur turun ke perutnya.

"Itsuki..."

Itsuki kembali naik ke tubuh Mei, mencapai mulutnya dan menempatkan ciuman di sana juga. Kemudian dia ragu-ragu. "Mei-san," bisiknya, mengaitkan jarinya di pinggang Mei. "Are you sure?"

Mata Mei terbuka, biru dan dalam, dan penuh hasrat. Dia melepaskan tangannya dari cengkraman Itsuki dan melingkarkannya di leher Itsuki. "Shut the fuck up, Itsuki!" Suaranya tajam dan keras, hampir seperti marah. "Aku nggak memintamu menikahiku. Aku cuma mau tidur denganmu."

Itsuki bisa merasakan sesuatu yang pedas menusuk matanya saat Mei mengingatkan soal itu. Mei tidak memiliki perasaan yang dalam dan lembut untuknya. Rasa hangat dan manis itu hanya angan-angan Itsuki. Kenyataan itu menggantung di atas kepalanya dalam setiap detik yang membuatnya gila. Itsuki tidak percaya diri untuk menjanjikan apa-apa, jadi dia mencium Mei lagi, kali ini lebih dalam, lebih kasar. Dia bisa merasakan tangan Mei di ikat pinggangnya, lalu celana jinsnya. Perlahan, tangan itu mencari lebih banyak kulit, melepaskan lebih banyak pakaian di tubuh Itsuki. Itu memabukkan, membuat ketagihan dan putus asa.

Ketika semua pakaian Itsuki terlepas dan hanya ada nafas yang memisahkan mereka, Itsuki akhirnya turun lebih jauh dari perut Mei. Tangannya membuka kedua paha Mei dengan lebar, menggesek jari-jarinya di sana, memijatnya dengan kuat.

Itsuki mencium paha dalam Mei. Membiarkan lidahnya berjalan di garis selangkangan Mei, sebelum mencium ujung kejantanan Mei yang setengah tegang.

Mulutnya mulai menghisap, dan Mei tersentak, punggungnya melengkung selagi jari-jarinya mencoba mencari sesuatu untuk dipegang. Itsuki bisa melihat kenikmatan dan siksaan menguasai tubuh Mei, tapi dia tidak berhenti. Kepalanya maju mundur sementara lidahnya menyelubungi milik Mei yang menegang sempurna dalam mulutnya. Perlahan, dengan hati-hati, membiarkan jarinya berlumuran pelumas sebelum tenggelam ke dalam Mei. Reaksi Mei cepat dan sangat indah. Punggungnya melengkung ke atas dari kasur, kepalanya tertunduk, dan deru kenikmatan yang menyedihkan keluar dari tenggorokannya. Itsuki menunggu sebentar, mencoba sabar saat membiarkan Mei terbiasa dengan perasaan ini.

Setelah beberapa saat, Mei tergagap, "I—Itsuki… cepat."

Mencoba mengendalikan dirinya, Itsuki mendorong satu jari lagi. Dia menjaga gerakannya lambat, melebarkan dengan hati-hati.

Mei mendesah tajam dan dalam.

Barangkali Itsuki harus berterima kasih kepada Sawamura Eijun setelah ini. Karena setiap kali pemuda itu mabuk, ia akan menjabarkan pengalaman seksnya dengan sang kekasih yang juga laki-laki. Lengkap dengan tutorial foreplay dan cara mempersiapkan sang pasangan. Jika bukan karena kuliah gratis dari Eijun, Itsuki tidak yakin bisa setenang ini menyentuh Mei.

Itsuki memasukkan satu jari lagi.

Mei kembali mengumpat, meraih bahu Itsuki dan menariknya mendekat untuk ciuman dan untuk meredam desahannya. Tapi pergerakan jari-jari Itsuki masih cukup untuk membuat Mei kehilangan akal sehatnya. Dia berpegangan pada bahu Itsuki dan merintih. Suara itu membuat kehati-hatian Itsuki pecah. Menundukkan kepalanya ke bahu Mei, dia menciumi garis bahu sampai ke tulang selangka, lalu menarik jari-jarinya dari dalam diri Mei.

"Ah," Mei terdengar kecewa dan bingung, tapi Itsuki tak memberinya banyak waktu, dengan cepat menempatkan diri tepat di depan lubang Mei yang berkedut, lalu mendorong penisnya masuk.

Mei mengerang, kuku-kuku mencakar punggung Itsuki. Itsuki mengayunkan pinggulnya lebih keras, masuk lebih dalam, dan ikut mengerang saat merasakan betapa ketat dan panasnya Mei di dalam sana. Gesekan itu sangat nikmat dan membuat tulang punggung Itsuki merinding. Dia mendengar napas terengah-engah dari mulut Mei dan kuku menancap di punggungnya.

Mei terengah-engah.

Sambil mengerang pelan, Itsuki mendapati dirinya menggempur Mei tanpa berpikir. Setiap dorongan dari pinggulnya membuat pikirannya berputar. Tubuhnya mendorong Mei ke kasur, membuat mereka berdua terengah-engah. Mei mengaitkan kakinya di pinggang Itsuki, tangannya berusaha memegang bahu Itsuki. Dorongan Itsuki berikutnya cukup dalam untuk membuat Mei melemparkan kepalanya ke belakang saat dia memejamkan mata dengan gemetar. Itsuki bahkan tidak tahu apa yang dia lakukan lagi, dia terlalu pusing dengan hormon dan adrenalin. Dia bisa merasakan ujung jari Mei menembus kulitnya, mendengar Mei memohon di bawahnya. Ini lebih indah dan lebih panas dari fantasi kotor mana pun yang pernah Itsuki bayangkan. Otot-otot Mei menjepit penisnya dan berkedut tiap kali Itsuki bergerak, tekanan lembut, panas dan basah, bergesekan terus menerus, membuatnya kian menjadi liar.

Mulut Itsuki mengunci mulut Mei lagi, basah dan berantakan. Mei tampak kepayahan berusaha membalas ciumannya. Dan itu membuat suatu kepuasan yang asing hinggap di dada Itsuki. Mei tidak akan mengizinkan Itsuki memilikinya dalam hubungan yang hangat, jadi inilah kesempatan Itsuki untuk menuangkan perasaannya.

Itsuki melepaskan ciuman dan mendorong bibirnya ke puting Mei, dia menghisap dan menggigit. Mei terengah-engah, tangannya terlepas dari bahu Itsuki. Kelopak matanya meluncur lebih rendah, menunjukkan percikan biru di bawahnya. Cara dia menatap kemudian mencuri nafas Itsuki. Mei nyaris hancur, rambut emasnya acak-acakan dan kabut birahi menutupi matanya. Dadanya naik turun dengan setiap nafas. Dia menyisir rambut di dahi Mei ke belakang. "You're beautiful," bisiknya pelan.

Mei menghembuskan nafas dengan putus asa, Itsuki melihat tangannya bergerak menuju penisnya sendiri yang tegang dan kesakitan. Itsuki dengan cepat menahan tangan Mei, menguncinya di atas kepalanya. Mei merengek, Itsuki menjawabnya dengan senyum dan gelengan tipis. Tidak boleh.

Mata Mei terbakar rasa marah, tapi itu tidak bertahan lama karena tanpa aba-aba, Itsuki kembali mendorong begitu dalam ke titik kenikmatan Mei dan membuat pemuda itu meraung. Itsuki meningkatkan tempo, cepat dan kasar. Menikmati pemandangan ketika tulang punggung Mei melengkung ke atas, kepalanya tertunduk seolah bintang-bintang berputar-putar melintasi pandangannya. Itsuki menyeringai saat mendengar erangan panjang Mei yang terputus-putus keluar dari tenggorokannya saat tangannya mencakar sprei tanpa daya.

Ini terlalu adiktif.

I won't give you any spoiler, Itsuki mengingat kembali kata-kata Mei. Tapi sekarang itu tidak masalah. Itsuki akan mencoba semuanya. Dia akan memainkan semua kemungkinan dan menghujani Mei dengan metode berganti-ganti. Dia akan menemukan sendiri mana yang paling bagus, dan dia akan membuat Mei lupa mana yang lebih dia sukai.

Itsuki terus menekan pinggulnya ke arah Mei. Kenikmatan yang menyelimuti tubuh Mei melahirkan suara tercekat di tenggorokannya. Itsuki menakan jari-jarinya di pinggul Mei, bernafas tajam saat Mei suara Mei pecah dalam desahan. Gesekan antar kulit mereka basah dan terkoyak cairan licin, menciptakan suara cabul yang tak pernah Itsuki berani bayangkan. Rasa panas menjalar di lehernya, Itsuki tidak membayangkan bahwa dia bisa menjadi seperti ini: api memakan isi perutnya, dan keinginan kuat untuk membuat Mei lebih kacau, berenang dan jatuh dan tenggelam, menangis dan memohon padanya.

"Keep going," Mei memohon, bisikan itu tergantung di antara batas kewarasan Itsuki.

Itsuki membuat suara yang kasar dan pecah saat itu. Dia mengayunkan tubuhnya begitu keras ke tubuh Mei sehingga membuat Mei menjerit senang. Mei tidak akan punya waktu untuk merasa malu karena Itsuki menggempur dan memutarnya lagi, dan lagi, setiap kali lebih melumpuhkan akal sehat daripada yang terakhir. Mereka adalah jalinan kulit tanpa logika yang tergelincir di atas rasa panas, dua nafas terengah-engah di ruangan yang sepi. Itsuki membungkuk untuk menangkap bibir Mei, menciumnya dengan kebutuhan yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya. Dia terus menelusuri bibirnya ke tenggorokan Mei, gerakan pinggulnya bertambah cepat. Dia merasakan garis tulang selangka Mei, giginya terus-menerus bekerja untuk meninggalkan bekas merah muda. Mei mungkin akan memarahinya besok, tapi Itsuki tidak peduli.

"Ngh. Aah—Itsuki..."

Air mata meluncur dari ujung kelopak mata Mei yang tertutup rapat, Itsuki mengecupnya, memberi dorongan lebih kuat saat Mei meronta di bawah tubuhnya, kejang, kemudian keluar di perutnya.

Tubuh Mei melemas. Cairan hangat membanjiri perut Mei dan menempel di perut Itsuki. Mei tampak mabuk, puas, dan linglung, Itsuki mengecup dahinya lalu menggesek kembali, mengabaikan pekik serak Mei yang kepayahan setelah orgasme. Itsuki bisa merasakan penisnya semakin sesak, berkedut dalam tubuh Mei, panas membakar jaringan ototnya. Lalu dalam satu sentakan dalam, dia keluar dalam tubuh Mei.

Saat itulah malaikat dan iblis dalam diri Itsuki menyeringai bersama-sama.

Mei menggigil dalam pelukan Itsuki, Itsuki bisa merasakan senyuman lebar membuat bibirnya sakit. Ini gawat, batin Itsuki pada dirinya sendiri. Dia terlalu menyukai ini; dia suka seks dengan Narumiya Mei, suka dengan bagaimana suara desahan Mei menyapa telinganya. Ini gawat, karena Mei seharusnya tetap berada jauh di luar jangkauan Itsuki.

Menyisir rambut Mei perlahan-lahan, Itsuki meninggalkan ciuman lembut dan lama di kening Mei. Dan saat Mei membuka mata hingga tatapan mereka bertemu, Itsuki tersenyum padanya tanpa perlawanan.

"Berhenti nyengir." titah Mei, tapi bahkan suaranya terlalu lemah dan serak, dihantui oleh sisa desahan. "Kamu merusak atmosfernya."

Namun demikian Itsuki justru terkekeh ringan, ia lantas mencium pucuk hidung Mei dan menatap lekat ke mata pemuda itu. "Tenang. Aku akan perbaiki lagi atmosfernya."

Mei terbelalak, tapi saat membuka mulut hanya desahan yang keluar karena Itsuki sudah bergerak lagi dalam dirinya. Kedua tangannya memegangi pinggul Mei, menjaganya tetap di tempat selagi Itsuki memulai ronde kedua tanpa meminta persetujuan.

"Damn, Itsuki." Mei memelototinya galak, tapi mengerang nikmat saat Itsuki menghantam sweet spotnya. "Not so fast—nngh."

Mei lebih berisik di ronde kedua. Lebih banyak desahan dan erangan di sela-sela umpatan dan makian. Lalu di ronde ketiga, Mei tampaknya sudah menyerah. Dia banyak memohon dan meminta lebih, meminta Itsuki mencium dan menyentuhnya di setiap sisi. Di ronde keempat, ingatan Itsuki mulai samar, Mei lebih pasrah sampai akhirnya mencapai dry orgasme dan lunglai dalam pelukan Itsuki.


Itsuki baru selesai mandi saat melihat Mei duduk di kasur sambil menggosok matanya. Ia berjalan mendekat dengan jubah mandi menggantung di bahunya. "Selamat pagi, Mei-san."

Mei tersentak kecil, menatap balik padanya dengan tajam, kemudian mengengus kasar. "Jadi kamu masih di sini."

Itsuki angkat bahu, membungkuk untuk memunguti pakaiannya yang tersebar di lantai. "Aku juga kelelahan semalam, jadi tidur di sini. Lagi pula, nggak sopan rasanya kalau aku pergi gitu aja setelah bikin Mei-san pingsan karena seks."

Mei melemparnya dengan bantal, terlihat siap menerkamnya, tapi Itsuki malah membalasnya dengan senyuman.

"Aku salah menilai kamu." Kata Mei. "Aku kira kamu salah satu cowok cupu yang harus dibimbing bahkan untuk ciuman. Tapi ternyata," Mei mendengus. "Kamu cuma satu dari jutaan cowok brengsek dan mesum."

Itsuki berhasil memakai boxernya lalu duduk di tepi ranjang. "Jujur aja, aku bukan orang yang rutin berhubungan badan. Jadi saat aku dapat kesempatan, kurasa cukup adil kalau aku lebih aktif, kan?"

Mei tidak menjawab, dan Itsuki lanjut memakai jinsnya. Dia merasakan tatapan Mei terus mengawasi gerak-geriknya dan dia membiarkan itu terjadi. Kemudian sesaat sebelum Itsuki memasukkan kaus melalui kepalanya, Mei berkata "Bantu aku ke kamar mandi."

Itsuki meletakkan kausnya kembali, mengulurkan tangan dan menggendong Mei seperti tuan putri. Dia meletakkan Mei di bathtub, membuka keran air dan menuangkan sabun, memastikan suhu airnya pas untuk Mei. Ketika Mei mendesah senang dan bersandar sambil memejamkan mata, Itsuki tahu dia telah bekerja dengan baik.

"Aku ada kelas pagi." Itsuki memberi tahu. "Aku harus pulang dan siap-siap ke kampus."

Mei mengibaskan sebelah tangannya ke udara seperti mengusir nyamuk. "Yah, sana. Pergi belajar seperti mahasiswa teladan."

"Mei-san,"

Akhirnya Mei menatapnya. "Aku nggak akan bilang siapapun soal pekerjaanmu. Kamu nggak perlu khawatir reputasi baik dan beasiswamu dicabut."

Kelegaan menyusup di dada Itsuki, dia nyaris melompat bahagia. "Thanks."

"Whatever." Mei memutar mata. "Sana pulang!"

Itsuki berdiri dengan cepat dan patuh, ia bahkan tergoda untuk memberi hormat militer juga tapi berhasil menahannya. Tepat sesaat sebelum mencapai pintu, Itsuki berbalik dan kembali berlutut di dekat bathtub untuk menghadap Mei. "Satu lagi,"

"Apa lag—mmh."

Itsuki mencium Mei. Tegas dan dalam. Mengikat bibirnya dengan bibir Mei, menangkup pipinya dan menahan belakang kepalanya agar Mei tidak lepas dari jangkauan mulutnya. Itsuki membiarkan lidahnya meleleh dan mencair dalam mulut Mei, menghirup nafas hangat pemuda itu, dan menghisap bibir atas dan bawahnya secara bergantian.

Suara kecipak air memecah telinganya, Mei meronta sebelum balas memeluk leher Itsuki, membiarkan Itsuki menjelajahi mulutnya lagi. Saat Mei menariknya makin dekat, Itsuki dengan cepat melepaskan diri dan mundur, dia berdiri tegak dan tersenyum polos. "Terima kasih untuk semalam, aku juga bersenang-senang."

Itsuki bahkan tidak menunggu respon Mei, ia berbalik dan meninggalkan kamar mandi begitu saja. Saat hendak membuka pintu kamar, ia mendengar Mei menyemburkan sumpah serapah dan kutukan padaya. Itsuki hanya tertawa.

Kalau Mei tidak mengizinkan Itsuki untuk memilikinya dengan cara yang bersih, Itsuki akan mulai belajar bagaimana caranya main kotor.

.


the end


.

a/n: halo! wkwk, itsumei lagi. sebenarnya ini udah lama ditulis, tapi lupa dan ketimbun doang di doc. daripada mubazir mending saya upload di sini aja. ini haram tapi imut, kalo ada yg baca mampir review juga ya! thanks