Disclaimer: Semua karakter dalam game MLBB milik Moonton. Story ini milik saya, The Fondest Hopes 3029

Warning: Typo dimana-mana. Timeline serta tempat acak.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Kenapa kau jatuh cinta padaku? Ada banyak pria di luar sana yang jauh lebih menarik dariku, lebih baik dariku."

Alice termenung. Pikirannya terlempar jauh ke masa silam, memutar kembali setiap memori lama antara dirinya dan Julian tanpa terkecuali.

.

.

.

.

Blood Demon Queen biang onar dan seorang pemuda bersurai merah gelap, masih 17 tahun dan nampak naif...

... Siapa pun tidak akan pernah menyangka jika pemuda itu adalah hal pertama yang terlintas di kepalanya setiap kali Ia memikirkan pertanyaan, 'apa itu cinta?'. Termasuk dirinya sendiri.

.

.

.

.

*3 Tahun lalu*

Bagi Alice, ini bukan kali pertama baginya berurusan dengan makhluk berjenis lelaki, ia adalah Blood Demon Queen, iblis darah yang menyerap energi kehidupan para pria demi kelangsungan hidupnya. Dan para pria itu, begitu mendamba akan keelokan dirinya, terbuai oleh jebakan indah yang memerangkap mereka. Menjijikan berapa kali pun ia membayangkan tatapan mereka jatuh pada setiap lekuk tubuhnya, menelanjangi dirinya dengan tanpa hormat. Namun, pada suatu hari di sebuah misi Alice bertemu seorang lelaki belia yang sangat berbeda...

... Julian sangatlah berbeda. Pria muda itu, alih-alih menatapnya dengan buas, ia sama sekali tak terpengaruh pada perangkap nafsu yang secara alami dimiliki Alice, Sang Succubus rupawan.

Mereka bertemu dalam sebuah pertempuran, sebagai pihak yang saling bertentangan walau memiliki tujuan sama, memburu sosok berjuluk 'Arbiter of Light' hidup atau mati. Alice tidak pernah mengira, siklus hidup membosankan selama ribuan tahun akan membawanya pada sesosok pemuda anggota pasukan Raven.

Lelaki remaja itu sekilas memiliki binar mata yang lugu meski terlihat suram. Sepasang kelereng sewarna darah itu nampak semakin menarik dari waktu ke waktu. Bahkan hingga detik ini, dua bola mata scarlet milik Julian adalah salah satu hal paling menarik bagi Alice.

.

.

.

.

.

"Entahlah kau terlihat berbeda, kau anggota pasukan pemburu yang terkenal tanpa belas kasih, namun aku melihat begitu banyak hal lain darimu. Kau berbeda," Alice --dalam wujud penyamarannya sebagai manusia-- memandang langit biru, kemudian menumbukkan pandangannya tepat pada sepasang mata Julian, bagai sebuah magnet, mata itu memikatnya lebih dalam. Alice tak kuasa menyembunyikan senyum tipisnya, ia melanjutkan, "di saat semua pria yang kutemui memandangku tidak lebih dari makhluk sampah, monster pemangsa jiwa, bukan memandangku sebagai seseorang --atau paling tidak sosok berharga, kau tidak demikian."

"Oh..." Julian mengangguk pelan, "Lalu, sejak kapan kau menyukai... Mencintaiku lebih tepatnya?"

Alice mulai mencengkeram erat rok selutut miliknya, pipinya sedikit panas dan pandangannya menjadi tak terarah, "apakah aku harus menjawab pertanyaan yang sama berulangkali? Kau sudah sangat sering menanyakan topik yang sama. Apakah kau tidak percaya padaku? Meragukan pernyataan yang kuucapkan dari hatiku?"

Menyadari suara Alice tiba-tiba meninggi, meski Julian tidak mengerti mengapa wanita yang lebih tua tiga tahun darinya itu mendadak kesal, ia mencoba menenangkan Alice sambil berkata, "aku bukan pria istimewa. Caraku memperlakukanmu selama ini juga wajar. Aku hanya ingin tahu apa yang kau sukai dariku."

Julian tidak siap dengan apa yang terjadi selanjutnya, Alice menangis, mengeluh seperti anak kecil sebelum akhirnya menjawab.

"Kau punya hati murni dan tulus. Terkadang kau seperti bocah rapuh yang membuatku ingin melindungimu. Tapi, di sisi lain kau sangat dewasa... Kau ingat perjumpaan kedua kau pernah melindungiku ketika aku kehabisan energi dalam pertempuran? Kau bisa saja membunuhku disana mengingat kita pernah bersitegang sebelumnya. Kau bahkan sempat menjagaku yang terluka! Bertanggungjawab penuh atas diriku..." Wanita itu tetiba saja menghentikan ucapannya. Sepersekian detik kemudian memelankan suaranya, "aku merasa sangat aman dan nyaman berada di dekatmu... Kau tahu ini terlalu memalukan untuk kukatakan dan seharusnya aku tidak bicara sebanyak ini! Julian kau benar-benar menyebalkan!"

Sambil menyeka sudut matanya yang berair, ia memunggungi Julian, Alice buru-buru berteleportasi menjauh dari Julian. Meninggalkan pemuda yang kini berusia 20 tahun itu dalam kebingungan.

"Astaga... Wanita ini... Aku belum selesai bertanya, dan kenapa pula dia tiba-tiba marah dan menangis seperti itu," ujarnya sembari mengacak-acak rambutnya, sebal sekaligus heran.

Julian berjalan seorang diri untuk mencari ketenangan dan sekalian ia berusaha pergi meninggalkan wanita yang baru saja meluapkan segala hatinya itu jauh-jauh. Ia sudah berjalan cukup jauh hingga akhirnya ia mendengar suara langkah kaki dari belakang yang mengikuti. Tanpa berbalik pun ia dapat mengetahui siapa sosok yang berada di belakangnya.

"Aku tahu kau mengikutiku, Alice," ucapnya dengan langkah yang terhenti sambil menunggu wanita itu mendekat.

"Kau mau pergi lagi 'kan!" Alice terdengar marah.

Julian menghela napas dan berbalik, meski sebenarnya ia tidak siap untuk melihat wajah Alice yang tampak marah dan mungkin terluka akan keputusannya.

"Kau jahat! Kau selalu saja seperti ini, pergi meninggalkanku! Padahal kau sudah tahu bagaimana perasaanku kepadamu!"

Alice mendekati pemuda itu dengan tatapan kesal juga kecewa. Kedua matanya tampak basah.

"Aku tidak peduli kalau kau tidak memiliki perasaan yang sama denganku, tapi biarkan aku tetap di sisimu, Julian! Apa kau masih tidak mengerti itu, hah!?"

"Aku takut..."

Alice terdiam setelah mendengar pengakuan dari pemuda itu. Takut? Oh, apa karena dia dari bangsa abyss? Tunggu, rasanya dia ingat sesuatu. Pemuda itu pernah menceritakan pengalaman buruknya dengan beberapa orang perempuan yang pernah ia temui. Apakah ia berpikir kalau dirinya akan sama dengan gadis-gadis itu?

"Kau mengira aku akan sama seperti mereka, hah? Kau keterlaluan! Aku sudah bercerita panjang lebar dan kau masih tidak percaya malah ingin pergi dariku?! Jahat!"

Julian terkejut saat melihat Alice menangis bahkan wanita itu juga tak kalah terkejutnya. Entah mengapa ia jadi lebih emosional dan mudah sekali menangis.

"Kenapa kau sama sekali tak mengerti? Jangan pergi, Julian..."

"Alice..., Aku tidak tahu apa kau memang serius padaku atau kau hanya memiliki obsesi terhadapku, sama seperti mereka..., Maaf aku tak bermaksud menyamakanmu, hanya saja aku ingin sendiri dulu, biarkan aku berpikir..."

Alice masih menangis ketika pemuda itu benar-benar melangkah pergi. Pemuda itu bodoh dan tidak peka. Tapi, apakah yang dikatakan pemuda itu benar? Ia hanya terobsesi dan bukan cinta?

.

.

.

.

.

.

.

End of Chapter I