Declaimer:
High School DxD by Ichiei Ishibumi.
Genre:
Action, Adventure, Drama, Fantasy, Mystery, Romance, Supernatural.
Pair:
Hyoudou Isamu (OC) x Akeno Himejima.
Hyoudou Issei x Rias Gremory.
Main Characters:
Hyoudou Isamu (Older) — Dominant.
Hyoudou Issei (Younger).
Rate:
Teenage to—(Mature)
Concept Arts:
Alternative Timeline.
Tata Bahasa:
Baku dan Non-baku.
.
.
.
Pagi di sebuah kompleks perumahan sederhana yang nyaman, sinar mentarinya menyapa para penghuni rumah untuk bangun dari tempat tidur mereka dan menyambut hari dengan penuh semangat.
Di salah satu rumah, terdengar suara derap langkah wanita tengah menaiki tangga sambil memanggil nama-nama yang masih melalang buana di alam mimpi mereka.
"Isamu! Issei! Bangun, kalian akan terlambat!" seru Hyoudou Miki setelah tiba di lantai atas.
Tap!
Miki sampai di kamar yang bertuliskan nama 'Isamu Issei' di pintunya. Sang ibunda dengan sabar menunggu jawaban sampai tidak ada balasan sama sekali dari dalam.
Menghela napas, Miki membuka pintu dan mendapati kedua putranya masih terlelap di ranjang bertingkat. Ia mengedarkan pandangannya melihat posisi tidur si sulung yang terkesan sembrono dengan sebelah kaki menjuntai ke bawah.
Miki berjalan mendekati tempat putra tertuanya terlelap seraya mengusap rambut cokelatnya yang sedikit berantakan. Miki tersenyum saat melihat paras si sulung yang terpahat sempurna dengan bentuk rahangnya yang kokoh, hidung mancung, dagu lancip, alis yang tak terlalu tebal dan bibir merahnya yang tipis menambah kesan rupawan.
Berkali-kali Miki mengucapkan syukur karena sudah diberkahi dengan anak-anak yang berbakti dengan perilaku yang baik bukan hanya parasnya, namun juga adabnya.
"Isamu, sayang, bangun, Nak," rayu Miki sambil mencium pipi sang putra tertua.
Isamu mengusap wajahnya terlebih dahulu dengan tangannya sebelum membuka matanya perlahan dan mendapati wajah sang ibu menyambut pagi dengan senyum cerahnya.
"Pagi, Bu," sapa Isamu tersenyum lemah.
"Pagi, sayang," sambut Miki menimpali senyum si sulung.
Miki lalu menuju ranjang atas tempat si bungsu tertidur, sedikit menaiki tangga ranjang karena tinggi tubuhnya yang tidak sampai dan melakukan hal sama pada putra bungsunya.
"Issei, sayang, bangun, Nak," seru Miki sambil memberi jeda, namun agaknya Issei sedikit lebih susah untuk dibangunkan.
"Issei, bangun, Nak!" lanjutnya sambil menggoyangkan tubuh si bungsu.
"Ibu, aku akan membangunkan Issei," bujuk Isamu yang sudah berdiri di samping sang ibunda.
"Terima kasih, Nak. Baiklah, ibu akan turun dan menunggu kalian. Ayah sepertinya sedang terburu-buru," imbuh Miki tersenyum seraya turun dan keluar dari kamar mereka berdua.
Setelah sang ibu berbelok, Isamu menuju tempat Issei. Nampak tinggi Isamu yang menjulang langsung melakukan hal kecil yang dapat membangunkan orang seperti adiknya, yaitu dengan menyumbat lubang hidungnya.
"Aku tenggelam!" teriak Issei terbangun dengan wajah memerah.
"Good morning, Sun Shine."
Mendengar sapaan khas itu, Issei menolehkan kepalanya ke samping dan mendapati sang kakak tengah mengambil beberapa pakaian dan handuk dari laci yang berada di sebelah sebelah ranjang.
"Selamat pagi, Aniki," sapa Issei tersenyum lalu menuruni ranjang.
"Seragammu sudah aku siapkan, Issei, jadi kau bisa langsung mandi. Aku ada kelas jam sepuluh nanti," beo Isamu berjalan keluar kamar, namun sebelumnya ia sempat berhenti di depan Issei seraya mengusap kepala adiknya yang lebih pendek darinya.
Issei kembali tersenyum, sangat bersyukur memiliki kakak yang perhatian. "Terima kasih, kak."
Isamu hanya membalas dengan mengangkat tangan kanannya tanpa menoleh.
Seakan baru teringat akan sesuatu, Issei memanggil kakaknya. "Oh, iya, kak?!"
"Ada apa?" tanya Isamu kembali ke kamar mereka.
"Kau sore ini bisa kumpul di tempat biasa? Motohama dan Matsuda kembali membuat ulah."
"Dan kau terlibat?"
"..."
"..."
Issei bergeming saat Isamu mampu menebak kalau dirinya ikut serta dalam kenakalan teman-temannya.
"Baiklah, aku akan datang, Issei."
Issei tersenyum senang, ia membungkukkan badannya sebagai tanda terima kasih, Isamu membalasnya dengan senyum simpul kemudian berlalu dari kamar mereka.
Setelah Isamu pergi, Issei mulai menyiapkan segala keperluan sekolahnya.
"Potongan rambut Undercut itu sangat cocok untuk kakak."
.
.
.
Meja sudah diisi oleh para penghuni rumah, kecuali satu yang memang sedang bersiap-siap sebelum ikut bergabung dengan mereka.
Gorou duduk sambil membaca koran pagi, Isamu yang berada di seberangnya membaca sebuah buku ensiklopedia tentang Mitologi Mesir. Sementara Miki, tengah menyiapkan sarapan pagi di dapur.
Gorou mengambil cangkir kopinya saat pandangannya menangkap sang putra sulung tengah membaca artikel yang menarik perhatiannya.
"Kamu tertarik dengan dunia Mesir, Nak?" tanya Gorou meletakkan kembali cangkir kopinya.
"Ah! Iya, Ayah. Aku sudah membaca semua ensiklopedia tentang mitologi Yunani, Nordik dan Shinto, tapi entah kenapa Mesir kuno sangat menarik untukku," imbuh Isamu menutup buku.
"Oh, ya? Coba ceritakan," timpal Gorou antusias seraya melipat korannya dan meletakkannya di samping meja makan.
"Di buku ini tertulis bahwa Seth, Dewa Gurun, tidak terima dengan gelar yang diberikan oleh sang ayah, Amun Ra, Dewa Matahari, Dewanya para Dewa, karena tempat Seth berkuasa begitu gersang dan jauh dari kata indah."
"Lanjutkan."
Isamu tersenyum ia mulai sedikit mengingat kembali apa yang dijabar oleh buku. "Dikatakan, Seth datang di hari Horus, putra Osiris, akan diangkat sebagai raja Mesir selanjutnya. Seth datang untuk mengklaim takhta itu dari tangan saudaranya sebelum ia memberikannya kepada putra satu-satunya."
"Osiris, saudara kandung Seth," timbrung Gorou sambil menganggukkan kepalanya.
"Osiris?" beo Miki yang masih menyiapkan beberapa makanan.
"Penyebutannya O-sai-ris, Bu."
Gorou hanya terkekeh kecil seraya berkata, "Lanjutkan, Nak."
"Baiklah, didorong oleh rasa iri, Seth menyusun rencana untuk menggulingkan takhta Osiris dan mengklaim dirinya sebagai Raja Mesir yang Terpilih. Hal itu mendasari karena Seth memiliki keinginan yang kuat untuk berkuasa, sedangkan Osiris diberikan semua kemewahan duniawi dari Ra karena memiliki hati yang kuat, karena itu orang-orang di Mesir menyebutnya The Heart of Osiris."
Gorou tersenyum lebar melihat putra sulungnya memiliki minat di bidang yang sama. "Dalam legenda dikatakan bahwa Seth menantang Horus yang pada saat itu masih belia. Dan dari duel itu dimenangkan oleh Seth dengan cara yang licik. Beberapa situs peninggalan sejarah menyatakan bahwa setelah Seth mengalahkan Horus, ia harus mencungkil kedua bola matanya karena mata Horus dapat melihat tembus ke seluruh penjuru dunia tanpa penghalang apapun. Namun dari pertarungan itu, Isamu anakku, Horus hampir saja menang jika saja Seth tidak berbuat curang dengan memantulkan cahaya yang menyilaukan mata Horus."
"Tapi masih ada penjelasan yang membuatku kurang puas, Ayah."
"Apa itu?"
"Jika Osiris diberi gelar sebagai Dewa Kematian, kenapa harus ada Anubis?"
Gorou mengecap terlebih dahulu kopinya yang sedikit mendingin sebelum menjawab pertanyaan anaknya. "Anubis juga diberi nama sebagai Dewa Kematian, namun ia bertugas dan bertanggungjawab atas jiwa-jiwa manusia yang sudah mati ke alam baka. Beberapa legenda mengatakan kalau Anubis juga yang mengadili perkara manusia di Bumi, dan beberapa situs lain mengatakan bahwa Anubis mengantar jiwa manusia untuk diadili."
Isamu mengangguk tanda mengerti dengan semua penjelasan sang ayah.
"Apa kuliah kalian sudah selesai?"
Semua pasang mata memandang ke arah asal suara itu dan mendapati Issei berwajah bingung tengah berdiri dengan seragam sekolahnya yang lengkap.
"Selamat pagi, Issei," sapa Gorou tersenyum kikuk karena tidak sadar akan kehadiran anak keduanya.
"Pagi, sayang, kamu sudah siap-siap?" timpal Miki seraya menolehkan kepalanya ke arah sang putra bungsu berdiri.
"Iya, aku melihat kakak dan ayah seru sekali. Selamat pagi, Ayah, Ibu," tutur Issei mendudukkan dirinya di samping Isamu.
"Jangan menangis," ledek Isamu sambil menggerakkan jari telunjuk kanannya menghapus air mata adiknya.
"Hentikan, kak, aku sudah dewasa," cetus Issei menangkap tangan Isamu.
"Oh, ya, kau sudah dewasa? Berarti kau sudah bisa melanjutkan Master League Arsenal-mu tanpa bantuanku."
"Kakak yang baik, jangan begitu, kakak adalah saudara paling hebat sedunia," bujuk Issei memelas saat mendengar nada ancaman keluar dari mulut Isamu seraya memijat pergelangan tangan sang kakak.
Isamu hanya tertawa kecil melihat respon langsung adiknya terhadap permainan favorit mereka.
Miki datang membawa baki penuh dengan makanan, Isamu dengan sigap berdiri membantu sang ibu yang terlihat sedikit kerepotan.
Setelah makanan sudah tertata rapi di meja makan, Gorou sebagai kepala keluarga memimpin doa sebelum makan.
"Amin."
Sarapan pagi pun berjalan dengan khidmat dan hangat.
"Kak, boleh minta sepotong ebi goreng lagi?"
"Ini, Issei."
"..."
"..."
"Issei, tolong kau tuangkan sayur yang ada di dekatmu itu."
"Baik, kak."
"..."
"..."
Uhuk!
"Kak, air!"
"Ini, minumlah."
"Terima kasih, kak."
"Pelan-pelan saja."
"..."
"..."
"Kak, kau mau makan brokoliku?"
"Kau tidak suka?"
"Iya."
"Baiklah, bawa kemari."
"..."
"..."
"Kau mau telur gulungku, Issei?"
"Aku mau, kak!"
"Ambillah."
"Terima kasih lagi, kak!"
"..."
"..."
Gorou dan Miki sama sekali belum melakukan suapan pertama, mereka terenyuh melihat interaksi antar saudara di depan mata dengan perasaan haru. Isamu yang memiliki sifat sabar, tenang dan penuh perhatian mampu mengimbangi sifat Issei yang ceroboh, aktif dan sedikit teledor. Hal sederhana seperti ini mampu mengundang senyum tulus melihat anak-anak mereka begitu akur.
Gorou menoleh ke arah sang istri seraya berkata pelan, "Aku sangat bersyukur."
Miki mengangguk sambil tersenyum manis sebagai balasan seraya mengelap tetes air mata harunya.
.
.
.
Setelah acara sarapan pagi selesai, Miki membawa hidangan penutup berupa segelas cokelat hangat.
Saat mereka sedang menikmati rasa manis dari minuman itu Miki secara tiba-tiba berucap, "Oh, iya, Isamu tiga bulan lagi akan wisuda."
Brush!
Spontan, Issei dan Gorou langsung menyemburkan cokelat yang sempat melewati tenggorokan mereka.
"Kenapa ibu baru memberitahuku sekarang?!"
"Sayang, kau sudah tahu ini?" tanya Gorou kepada sang istri.
"Sebenarnya sudah tiga bulan yang lalu Isamu memberitahuku, tapi aku lupa," terang Miki sambil tersenyum manis entah itu tulus atau untuk menutupi rasa bersalahnya karena baru teringat.
Sedangkan Isamu mendapati tatapan meminta penjelasan dari adik dan ayahnya hanya tersenyum kikuk. "Kejutan, yeay!" soraknya dengan suara kecil karena ayah dan adiknya sama sekali tidak beranjak.
Gorou menghela napas, ia mengusap wajahnya lelah. "Itu berarti dari bulan Juni. Akhir tahun ini aku akan meminta izin pada ketua yayasan agar dikosong jadwalku di bulan Desember."
"Kenapa kakak tidak memberitahuku langsung enam bulan yang lalu?!"
"Maaf, adikku, waktu aku mau memberitahumu, kau baru naik kelas, Issei, dan ayah kembali ke Mesir untuk melanjutkan penggalian situs di sana. Jadi, hanya ada ibu di rumah."
"Tapi kakak bilang kakak ada kelas?"
"Oh, itu hanya acara seminar. Tahun ini aku menjadi peserta, bukan panitia."
"..."
"..."
Issei menghela napas panjang. "Setidaknya masih ada waktu tiga bulan kurang."
"Hei, lihat sisi positifnya, selama tiga bulan ke depan aku akan selalu ada di rumah, kau dan aku akan menghabiskan waktu bersama-sama," tutur Isamu menenangkan adiknya.
"Benarkah?! Aku akan membalas dendam semalam karena kakak merebut titel juara UEFA menggunakan Real Madrid!"
"Madridista sejati," ledek Isamu.
"Curang! Setelah update patch, Barcelona hanya punya Lewandowski. Aku terkejut Pique sudah pensiun! Pokoknya aku minta tanding ulang!"
"Hei, kita bicara fakta, empat belas lebih besar daripada lima," ejek Isamu menyeringai.
"Akan kubuktikan Barca masih bisa juara!"
"Xavi harus berguru terlebih dahulu ke Zidane, baru tiga musim kemudian bisa jadi runner-up."
"Menang karena wasit!"
"Bayar utang pemain saja tidak mampu."
"Kakak!" pekik Issei menubruk Isamu hingga terjatuh yang justru membuat sang kakak tertawa lepas.
"Hala Madrid, Issei!" ledek Isamu puas karena Issei ternyata pendukung Barcelona.
"Sudah! Issei, kamu nanti bisa terlambat!" titah sang ibu menghentikan perkelahian mereka.
.
.
.
Dan di sinilah mereka, Hyoudou Bersaudara tengah berjalan kaki menuju Kuoh Academy. Setelah sarapan pagi, Issei meminta agar kakaknya mengantarnya sampai ke gerbang sekolah, sekalian supaya kakaknya bisa langsung ke kampusnya yang bersebelahan dengan balai kota.
"Jadi seperti itu, waktu dia menyerangku, aku tidak sempat mengelak karena dia bergerak cepat sekali dan aku tumbang saat dia memberikan tinjuan langsung ke arah wajaku," keluh Issei mengutarakan salah satu kejadian kemarin yang sedikit memalukan.
"Saat kau berada di tengah pertarungan, kecepatan bergerak bukan penentu kemenangan, tapi daya pikir. Kau harus berpikir lebih cepat dari gerakan lawanmu. Karena kau tidak akan bisa menang, bahkan mendekati pun tidak jika kau hanya mengandalkan kesempatan, sebab lawanmu tidak akan memberikanmu waktu untuk berharap."
"Bagaimana aku bisa memicu diriku untuk melakukan gerakan refleks seperti itu, kak?"
"Dengan latihan rutin. Kau tahu, saat aku masih di Suzuran, aku harus bergerak tiga kali lebih cepat dari lawanku, tapi otakku harus sepuluh kali lipat lebih cepat dalam mengambil keputusan. Namun sebelum kau masuk ke tingkat itu, kau harus pahami terlebih dahulu bahwa kuda-kuda itu penting dalam keseimbangan antara menyerang dan bertahan. Kau harus mengerti dan memahami bahwa ada saat-saat tertentu kau harus menyerang dalam bertahan atau bertahan dalam menyerang. Sore nanti selepas pulang sekolah, aku akan mengajarimu di halaman belakang rumah."
Issei mengangguk antusias, ia menyerap dengan mudah semua informasi yang dibeberkan oleh sang kakak. Entah kenapa semua penjelasan Isamu langsung masuk ke dalam otaknya tanpa kendala apapun.
Tap!
Isamu berhenti dan itu membuat Issei juga menghentikan langkahnya.
"Dengar, ayah tidak akan suka saat tahu aku mengajarimu ilmu seni beladiri, dia tidak akan senang, sama sekali tidak. Ada masa saat ayah benar-benar tidak mau melihatku ketika aku bersekolah di Suzuran. Itu adalah masa-masa kelam. Dan aku ingin kau menggunakannya dengan baik. Dan ingatlah ini selalu, Issei, bersama dengan kekuatan datang juga tanggung jawab. Kau harus bijak dalam menggunakan tinjumu untuk tujuan baik," jelas Isamu seraya menunjuk langsung ke dada adiknya.
"Aku mengerti, kak," ujar Issei mengangguk.
.
.
.
Di depan gerbang Akademi Kuoh dua orang siswa tengah dalam perbincangan serius.
"Sudah kubilang, Matsuda, itu bukan salah belnya, kita hanya telat bergerak saat itu," seru siswa berkacamata berambut hitam.
"Dan apa akibatnya pada kita, Motohama?! Kau lihat sendiri bagaimana ketua osis melihat kita," sergah siswa berkepala plontos dengan nada pelan yang ditekankan di akhir kalimatnya.
"Kau tidak ingin orang tuamu tahu soal ini, 'kan?" lanjut Matsuda.
Motohama mengusap wajahnya gusar, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling sekolah dan bergumam, "Apa menurutmu Aniki bisa membantu?"
"Tidak, tidak, tidak! Kau tidak mungkin berpikir untuk membawa orang lain ke permasalahan ini, Motohama!" terang Matsuda sambil menarik kerah seragam temannya.
"Tapi aku sudah meminta Issei!" sentak Motohama menepis cengkraman Matsuda.
Matsuda terkejut, ia sedikit tidak percaya kalau temannya sudah bertindak sejauh itu.
"Dan dia akan memberikan jawabannya hari ini, lagipula dia juga terlibat dalam masalah kita," lanjut Motohama sambil merapikan seragamnya.
"Issei memang terlibat, tapi tidak dengan Aniki!"
"Terlambat, mereka sudah di sini," sanggah Motohama yang membuat Matsuda menolehkan kepalanya ke arah jalanan di mana Issei tengah berjalan bersama dengan kakaknya menuju ke sekolah.
"Tamat sudah riwayatku."
.
.
.
"Motohama! Matsuda!" panggil Issei saat jarak mereka sudah berdekatan.
"Selamat pagi, Issei, Isamu-niisan," sapa Motohama dan Matsuda.
"Ada apa dengan kalian, Motohama? Matsuda?" tanya Isamu melihat raut wajah teman-teman adiknya tertekuk.
Sebelum menjawab, Motohama membawa atensinya menatap Issei, seakan mengerti, keduanya mengangguk lalu mereka berdua menolehkan pandangan ke arah Matsuda yang menggelengkan kepalanya.
Kemudian, Issei dan kawan-kawan menjelaskan kejadian kemarin yang membuat mereka ke dalam masalah.
Selama penjelasan panjang, ternyata hampir semua siswi berhenti melangkah. Mereka bergeming saat melihat pesona seseorang yang berdiri di antara tiga siswa yang dicap 'murid dengan perilaku kurang baik'.
Paras yang menawan didukung dengan tinggi badan semampai yang dibalut penampilan modis dimulai dari jaket bomber hitam yang dibiarkan terbuka menampilkan kaos distro cokelat polos, celana chino abu-abu dan sepatu Air Jordan 4 putih, tidak lupa tindik hitam di telinga kiri menambah kesan nakal pada dirinya.
Bahkan dua primadona sekolah pun ikut bergeming saat ada orang asing yang menarik memperhatian di antara mereka.
.
.
.
"Jadi seperti itu, kak, kejadiannya," seru Issei mengakhiri penjelasan tentang perkara yang terjadi kemarin.
Isamu hanya menghela napas pendek, ia memijit pelipisnya tidak habis pikir dengan kelakuan anak zaman sekarang.
Dulu di zamanku sekolah seperti pelatihan militer, batin Isamu lelah.
Isamu tidak berucap apa-apa, ia hanya memandang wajah adiknya dengan intens. Issei sepertinya mengerti kenapa sang kakak melihatnya seperti itu, ia hanya memberikan senyum polos sebagai balasan karena ia sendiri pun sadar kenapa dirinya kalah dalam pertarungan kemarin.
"Sore ini kalian bertiga temui aku di taman," titah Isamu dengan nada sedikit tegas.
"Baik, Aniki," balas Issei dan kawan-kawan secara bersamaan.
Bingung dengan keadaan sekolah yang tiba-tiba hening, mereka berempat mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati semua siswi tengah merona melihat ke arah Isamu.
Isamu yang sadar hanya memberikan senyuman manisnya sebelum mengarahkan atensinya kembali ke Issei dan kawan-kawan.
"Untuk kebaikan kalian, aku anjurkan kalian sebaiknya tidak terlambat sore ini," pinta Isamu sambil melangkah kakinya menjauh.
"Baik, Aniki!"
Namun, saat Isamu kembali mengedarkan pandangannya ke arah sekolah, tatapannya bertemu dengan gadis berambut hitam yang diikat ponytail tengah berdiri di sebelah gadis berambut merah.
Dalam momen sepersekian detik itu Isamu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu, seakan-akan matanya tak bosan memandanginya.
Setelah pandangan mereka terpaksa berakhir karena dirinya harus berbelok, Isamu berhenti sejenak untuk meredakan detakan jantungnya yang berdegup kencang.
Isamu berkali-kali menarik napasnya untuk menenangkan dirinya dari gejolak batin yang baru pertama kali ia rasakan. Isamu melihat sekolah tempat adiknya menimba ilmu.
Dirasa sudah cukup tenang, ia melanjutkan langkah kakinya menuju kampus.
"Kyaa!"
"Siapa itu?! Astaga, tampan sekali!"
"Inikah takdirku?!"
"Aku mau jadi kedua kalau kamu sudah punya pacar!"
"Aku mau jadi yang ketiga!"
"Aku mau jadi yang keempat jika itu kamu!"
"Aduh, darahku tidak bisa berhenti mengalir!"
Masih banyak seruan dan puja-puji aneh yang dilontarkan siswi-siswi Kuoh untuk orang asing itu.
"Pesona abang lu bukan maen, Issei!" kata Motohama yang dianggukan oleh dua temannya.
"Padahal lu adiknya, tapi kenapa aura lu gak sekuat abang lu," seru Matsuda.
"Maksud lu?! Gua ama abang gua itu sebelas dua belas, kawan!"
"Ucap orang yang hatinya diliputi rasa iri dan dengki," cerca Matsuda.
"Ya, terus?" tanya Motohama pada Issei.
"Ya, emang lebih pesona abang gua sih, padahal gua adiknya, kenapa gua gak kebagian ya."
"Lu ama abang lu selisih berapa tahun?"
"Enam tahun sih."
"Oalah, pantas. Waktu ayah dan ibu lu bikin mereka benar-benar niat pengen punya keturunan, makanya semua usaha dan pikiran dituang semua ke anak pertama," timpal Matsuda.
"Terus maksud lu gua gak disisain apa-apa gitu, Botak?"
"Lu pernah denger gak sih, Motohama, kalo anak kedua itu kebanyakan permintaan dari si anak pertama karena pengen ada temen mainnya?"
"Iya tuh gua pernah denger."
"Terus maksud lu berdua, gua ada bukan karena permintaan kedua orang tua gua gitu?"
Motohama dan Matsuda hanya bergeming melihat Issei yang terlihat sedikit kesal.
"..."
"..."
"Kau beruntung memiliki kakak seperti Isamu-niisan."
"Iya, kau harus banyak-banyak bersyukur, Issei."
Issei masih diam di tempat saat kedua temannya berlalu meninggalkannya menuju kelas.
"Mereka ada benarnya," kata Issei menyusul mereka.
.
.
.
Gadis cantik berambut hitam diikat ponytail masih nyaman saat orang asing itu memandanginya begitu lama, entah benar atau tidak apakah pandangan mereka bertemu, tapi rasa hangat dan tentram di hatinya saat mata mereka bertemu tidak mau hilang. Baru setelah orang itu berbelok senyum tulus manisnya pudar. Ada sedikit kekecewaan saat momentum itu berakhir dengan cepat.
"Akeno?"
"Ah! Iya, Bucho," sentaknya terkejut saat gadis di sebelahnya memanggil namanya.
"Kau memikirkan apa yang aku pikirkan?"
"Apa yang kau pikirkan, Rias?"
"Aku berpikir ini semakin menarik. Kau lihat, siswa yang kita incar memegang Sacred Gear yang sangat langka."
"Lalu?"
"Lalu voila! Kita mendapatkan roti isi yang sedap!"
Akeno sepertinya tahu ke mana arah pembicaraan yang diusung oleh ketuanya. "Kau tidak berpikir menggunakan koneksi Hyoudou-kun untuk mencari informasi tentang orang itu, 'kan?"
"Aha! Tepat sekali, itu yang baru saja kupikirkan, Akeno!" tukas Rias sambil menjentikkan jarinya ke arah Akeno.
Entah kenapa Akeno merasa tidak senang dengan cara Rias mendapatkan informasi tentang orang itu. Ada rasa tidak rela jika pemuda berparas menawan itu jatuh ke tangan ketuanya.
"Baiklah, lalu bagaimana rencanamu, Bucho?"
"Kita akan bahas itu nanti malam, kumpulkan semua anggota, ada sedikit perubahan rencana."
.
.
.
TBC
.
.
.
A/N:
Bagus? Lanjut gak?
