Kepada Lirikan-Lirikan Rahasia
Naruto by Masashi Kishimoto
Tidak mengambil keuntungan apapun atas fic ini
standar warning applied

Memilih bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa, Hinata menjumpai bulan oktober dengan perasaan berbeda seperti tahun lalu. Festival tahunan sekolah yang akan diadakan seminggu dan diikuti seluruh kelas membuatnya harus berdikusi dengan murid-murid yang menjadi tanggungjawabnya.

Mengumpulkan mereka semua di akhir pelajaran pada hari senin, dua minggu sebelum festival sekolah diadakan.

Sepanjang diskusi yang penuh dengan selaan dan candaan yang dikeluarkan, Hinata tetap menyadari pandangan penuh Naruto yang dari awal tak mengeluarkan satu suara pun.

"Sensei, untuk stand barang bekas yang nanti akan kita adakan, bagaimana kalau kita juga menjual lukisan milik Naruto? Lukisannya bagus sekali loh." Sakura, si gadis cerewet yang menjadi ketua kelas menyampaikan usulnya.

Diangguki hampir semua penghuni kelas, Hinata dengan kecanggungan yang coba dia sembunyikan, bertanya pada Naruto, "Kau keberatan dengan itu, Uzumaki-san?"

Yang ditanya menggeleng, "Tapi bisakah Sensei memberikan beberapa saran untuk lukisanku nanti? Aku sedang tak memiliki ide apapun."

"A-ah, itu." Hinata berhenti sejenak, memandang kepada seluruh siswanya yang balik memandang berbinar-binar padanya, si surai indigo itu akhirnya mengangguk. "Baiklah."

.

Seperti yang dijanjikan, Hinata datang untuk memberikan saran kepada Naruto, yang diyakini seratus persen bahwa saran itu hanya alasan Naruto saja.

Meminta Naruto menunggu di kelas dan membawa beberapa peralatan dari ruang seni rupa sendiri, sementara Hinata harus tertahan sebentar di kantor untuk mengoreksi hasil ulangan kemarin.

Hampir setengah jam berlalu, tak mau membuat muridnya menunggu lebih lama, Hinata bergegas kembali ke kelasnya.

Berjalan santai seperti biasa, tak pernah diduga Hinata melihat Naruto yang kembali terkapar sendiri dengan luka dan kanvas yang rusak.

Apa lagi yang terjadi?

Hinata meangis putus asa, kenapa hal ini terjadi lagi pada Narutou? Bukankah dia sudah berubah dan berhenti berkelahi dengan murid lain?

"Maaf Sensei. Sepertinya aku harus membeli kanvas baru lagi." Bukannya meringis akibat luka berdarah yang tercetak, Naruto justru terkekeh dan meminta maaf.

Hinata tak berkata apapun, menggeret sang Uzumaki tunggal dan membawanya keluar sekolah. Berdiam diri dan sesekali mengusap likuid bening yang mengalir dari mata, membeli kanvas dan peralatan lukis lain di toko lukis kemudian berakhir di apartemen Hinata yang terletak tak jauh dari sekolah.

"Melukis saja disini. Tak ada yang bisa mengganggumu," ucap Hinata akhirnya.

Sang manik biru tersenyum, senyum jarang yang hanya dia perlihatkan pada Hinata seorang. Menyerang Hinata hingga jantungnya berdebar tak biasa.

"A-akan kubuatkan teh dan beberapa cemilan untuk menemanimu melukis." Gugup yang masih selalu ada walaupun gadis itu sudah menjadi guru membuat kekeh kecil lolos dari mulut Naruto.

Hinata tak menanggapi, berlalu ke dapur apartement untuk membuatkan teh sekaligus menenangkan dirinya sendiri. Mulai memiliki perasaan berbeda yang tak seharusnya hadir diantara seorang guru dan murid.

"Kami-sama. Tolong hentikan aku."

.

.

.

Menunggu pelukis yang sedang melukis itu butuh waktu lama, kelelahan akibat aktifas yang menguras tenaga, Hinata tertidur di sofa dekat Naruto terduduk dan sibuk dengan lukisannya.

Entah berapa lama dia tertidur, terbangun ketika mendapati ada rasa lembut nan nyaman yang menempel di bibirnya, kelereng sewarna bulan Hinata membelalak ketika retinanya bertabrakan dengan iris biru bak langit yang dekatnya hanya beberapa inci. Tersadar bahwa pemuda yang dia tunggui melukis yang ternyata memberikan rasa lembut dibibirnya dengan milik pemuda itu. Hinata terdiam kaku saking kagetnya.

"Mereka mengetahui aku menyukaimu, Sensei," bisik Naruto, yang masih tak mau menjauhkan tubuhnya dari Hinata, "Orang yang sama yang berkelahi denganku waktu itu. Jadi aku memukul mereka, dan berakhir babak belur sendiri karena kalah jumlah. Sensei, aku menyukaimu."

Pikiran Hinata kosong sepenuhnya, tak menjawab apapun, dia membiarkan Naruto mengecup lagi bibirnya yang belum pernah tersentuh laki-laki lain. Memejamkan mata demi merasapi sentuhan lembut anak didiknya sendiri.

Dari semuanya, ini adalah kesalahan Hinata yang paling besar.

.

.

.

Bersikap bak remaja kasmaran di usia yang terlambat, Hinata terkikik geli tiap kali merasakan debaran-debaran menyenangkan yang hadir tiap melirik ke arah Naruto.

Menikmati tangannya yang basah karena keringat dingin yang datang ketika berdiri memandangi siswa-siswa bermain bola di lapangan sekolah. Memperhatikan satu objek paling dirindukan.

Mencuri-curi pandang pada siswanya yang duduk di pojok kelas ketika mata pelajarannya datang. Tersenyum bahagia pada tiap e-mail yang dikirim pemuda bersurai kuning itu tiap menjelang tidur dan berakhir memimpikan pemuda yang sama.

Baru saja membalas pesan dari Naruto, Kurenai-sensei yang hari ini sepertinya hanya memiliki beberapa jam mengajar, mendekati Hinata.

Duduk disamping guru paling muda itu, basa-basi disampaikan terlebih dahulu. Membicarakan kelulusan siswa-siswi yang sebentar lagi akan mereka hadapi. Keluhan para guru pada beberapa murid yang seolah tak serius menghadapi ujian akhir, atau siswa-siswa yang ketakutan dan justru merasa tertekan atas ujian yang akan mereka lakukan.

Bermenit-menit berputar dengan hal-hal normal menyangkut ujian kelulusan, hingga hal yang sebenarnya ingin dibicarakan mulai dikeluarkan.

"Naruto berubah sekali. Bocah itu menjadi seperti orang lain saja. Perubahan bagus yang perlu disyukuri. Ku lihat akhir-akhir ini dia sering sekali menjumpaimu atau paling tidak menyapamu. Saking seringnya ku pikir kalian seperti teman saja. Yah, ku harap tidak lebih dari itu." Kurenai-Sensei yang menambahkan kekehan geli di sela perkataannya tak cukup membuat Hinata yang bagai tersengat listrik dari awal dia mendengar nama Naruto disebut menjadi tenang kembali. Remasan-remasan tangan gugupnya membuat napasnya yang teratur menjadi berantakan.

"Tapi itu jelas tidak mungkin, kan? Kau jelas tahu batasan-batasan apa yang harusnya guru berikan pada muridnya. Walau sepertinya yang kulihat dia yang begitu terpaut padamu, kau harus berhati-hati, Hinata-sensei. Semangatnya bisa memudar jika kau mulai bersikap kembali selayaknya guru kepada muridnya. Biarkan dulu seperti ini. Dan bila kelulusan nanti, kau bisa mengatakan yang sebenarnya kalau kau hanya ingin membantunya menghadapi ujian kelulusan."

"B-baik, Kurenai-sensei." Hinata menjawab dengan gugup.

Apa dia yang kasmaran terlalu terlihat dimata rekan kerjanya yang lain? Apakah Hinata terlalu ceroboh sampai Kurenai turun tangan dan berbicara langsung padanya?

Hinata gugup luar biasa, tangannya sedikit bergetar, dia paham kalau hubungannya dengan Naruto sekarang adalah hubungan terlarang. Pemuda itu masih minor untuk gadis seusianya.

Tapi Hinata sudah terseret ke dalam pusaran cinta, dia tak melihat apa itu logika, bahkan moral pun tak melintas dikepala.

.

.

.

Malam itu hari sabtu di bulan januari yang masih dingin. Naruto berdiri mematung dengan syal lebar dan jaket tebal setelah sebelumnya memencet bel apartement Hinata.

Tak berapa lama menunggu, si empunya datang membukakan pintu.

Ini kencan mereka yang kesekian kali, mencari aman dengan lebih memilih berdiam diri di apartement daripada diluar yang kemungkinan besar akan dipergoki oleh anggota sekolah.

Sepanci Nabe yang mengepulkan uap panas menyebarkan harum lezat yang tertangkap indera penciuman Narutou. Pemuda itu segera mendekat ke meja kecil di tengah ruangan Hinata, tempat dimana sepanci nabe di letakan, dengan sebelumnya melepaskan jaket tebal dan meletakannya di sisinya.

Hinata tersenyum, ditangannya terdapat dua gelas berisi jus jeruk.

Dengan hati-hati gelas itu ia letakan di samping panci, meminta Naruto segera memakan masakannya sembari bercerita tentang kemajuannya dalam belajar.

Beberapa bulan lagi pemuda itu akan menghadapi ujian akhir, Hinata harus memantau dengan sungguh-sungguh untuk pemuda sekaligus kekasihnya ini.

"Ku pikir bila terus seperti ini, aku percaya diri bisa masuk ke universitas incaranku." Naruto terlihat bersemu merah, "Ini berkat Hinata-chan, terimakasih sudah banyak membantuku."

Hinata yang pipinya tertular semburat merah, tersenyum kikuk, dia tidak seberpengaruh itu, kontribusinya terhadap Naruto tidak semaksimal guru-guru lain, Hinata rasa.

Naruto tiba-tiba mencari sesuatu di saku celananya, tidak lama, setelah menemukan kotak kecil berbeludru hitam, yang setelah dibuka membuat Hinata terkesiap.

Sepasang cincin polos sederhana berwarna perak berada di dalamnya.

Muka Naruto sudah seperti kepiting merahnya, dengan terbata-bata, yang tak pernah dia lakukan sebelum ini, dia memulai kalimatnya.

"Hinata-chan, aku ingin kau mengenakan cincin ini. Kumohon tunggu aku sampai ujianku selesai, aku ingin mengumumkan kau milikku setelah aku lulus nanti."

Gadis bersuai indigo itu terdiam, dia terharu tapi juga merasa bimbang, dilema apakah hubungan ini menjanjikan? Hinata sudah berusia 23 tahun, sementara Naruto masih berusia 18 tahun, menunggu pemuda itu lulus kuliah dan mencari pekerjaan butuh minimal lima tahun kemudian, waktu selama itu pantaskah untuk dipertaruhkan?

Hinata hanya seorang gadis biasa yang memiliki cita-cita berkeluarga bila sudah waktunya tiba, bagaimana jika saat menunggu pemuda bersurai kuning itu ternyata Naruto terpaut pada hati gadis lain? Bagaimana bila kisah mereka hanya euforia masa SMA yang bisa langsung padam percikannya ketika Naruto masuk ke perguruan tinggi?

Apakah Hinata bisa yakin kepada kesungguhan Naruto yang bagi orang lain hanya dipandang sebagai bocah ingusan saja?

"Hinata-chan?" Naruto membuyarkan lamunan Hinata, sedikit khawatir takut hadiah pemberiannya ditolak.

Gadis itu tersenyum pendek, meraih cincin dan meminta Naruto untuk memasangkan di jari manisnya.

"Terimakasih," ucap Hinata kemudian.

"Tunggu aku ya?" Naruto mencoba meyakinkan kembali, yang dibalas anggukan pelan Hinata.

Salju yang perlahan turun menjadi saksi bahwa ada hati yang mulai meragu.

.

.

.

Hari berlalu menjadi minggu yang kemudian berganti bulan, kelulusan Naruto adalah hal besar yang membuat pemuda itu hampir meloncat kegirangan ketika memberitahukannya kepada Hinata.

Riuh suaranya serta kekehan senang yang mengiringi tiap kata yang terlontar mau tidak mau membuat Hinata tersenyum, melihat betapa antusiasnya pemuda yang sedang duduk di apartemennya itu menghantarkan rasa yang sama ke dirinya.

"Setelah upacara kelulusan beberapa minggu ke depan, bolehkah aku mengatakan pada temanku tentang hubungan kita?"

Senyum Hinata hilang, kegundahannya yang semakin memuncak seiring hari kelulusan Naruto sudah mencapai akhirnya.

"Sepertinya cukup sampai disini saja, Naruto-kun."

Panggilan marga sudah Hinata singkirkan sejak mereka mulai menjalin hubungan.

Naruto bertanya lewat kernyitan di dahi, selintas rasa takut menyerang hatinya, firasat buruk mengejek dengan terang-terangan.

Hinata menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bersuara, "Kau sudah berhasil mendapatkan universitas impianmu, selangkah lagi menuju cita-citamu, ku pikir dukunganku sudah pada akhirnya, aku yakin kau bisa menggapai sisanya sendiri dengan kemampuanmu yang luar biasa."

Gigi pemuda itu bergemelutuk, mukanya tegang luar biasa, Naruto tahu arah omongan Hinata tapi dia tak mau menerimanya sama sekali, "Apa-apaan omongan itu? Kau pikir aku hanya bermain-main selama ini?"

"Banyak hal yang akan kau temui di kampusmu."

"Hinata! Aku sedang tak mau bercanda." Suaranya meninggi, terlihat sekali berusaha menahan emosi.

"Aku tak bisa menunggu," ucap Hinata akhirnya, pelan sekali sampai seolah berbisik.

"Lalu apa maumu? besok pun aku bisa mendaftarkan pernikahan kita bila itu yang kau inginkan."

Hinata menatap sendu pada pemuda yang terlihat sedang dilanda panik, jawaban tanpa pikir panjang memang ciri khas para remaja yang darahnya gampang mendidih.

"Pernikahan bukan hanya tentang aku cinta padamu ataupun sebaliknya, lebih dari itu, komitmen untuk bertahan pada orang yang kau pilih sejak awal." Hinata mulai menjelaskan, "masa depanmu masih panjang, ditengah perjalanan mungkin aku sudah tidak menjadi prioritasmu."

"Kau adalah Prioritasku sejak dulu dan tidak akan berubah berapapun tahun berlalu, kita tidak sedang ada masalah sebelum ini, kenapa tiba-tiba sekali? Apa memang dari awal hanya aku yang serius soal hubungan ini? Apa aku sedang dibodohi? Apa ini hanya permainan saja?"

Hinata menggeleng hampir menangis, "aku hanya ragu dan juga waktuku tidak bisa kupertaruhkan untuk menunggu."

"Hinata-san, aku mencintaimu," ucap Naruto yang matanya sudah tergenangi air mata, pemuda itu meraih kedua tangan Hinata, menggenggamnya erat, seolah tak percaya pada semua omongan yang dikeluarkan Hinata.

"Aku tahu ... aku tahu ...," gumaman Hinata hilang perlahan dengan suaranya yang serak.

"Apa yang harus aku lakukan biar kau percaya bahwa aku serius dengan hubungan ini? Ayolah, jangan seperti ini, Kita baik-baik saja sampai kemarin."

Hinata membalas omongan Naruto dengan melepas cincin yang terpasang dijarinya,"Tidak ada yang perlu dilakukan, kita selesai."

Gadis itu menyerahkan cincinnya ke tangan Naruto, yang tak mau diterima oleh pemuda itu.

"Hinata ..." Naruto memelas, dia bingung menghadapi kekasihnya, dia tak mau hubungan mereka berakhir seperti ini.

Mereka tak pernah bertengkar hebat, Hinata selalu menjadi tempatnya kembali, menjadi tempat ternyamannya selama ini, cukup dengan Hinata dan dunianya sudah lengkap sekali,maka permintaan seaneh apapun akan Naruto lakukan asalkan Hinata tetap disisi hingga kelak dipersunting menjadi istri.

"Kau sedang ada masalah di sekolah? Butuh waktu? Aku akan menunggu hingga kau tenang kembali, Setelah itu kita kembali seperti semula, okey?"

"Naruto, kubilang kita selesai." Hinata tetap pada pendiriannya, ah gadis itu kenapa mulai kekanak-kanakan seperti ini.

"Tidak, aku tak menganggap kita sampai disini, kumohon tenangkan dirimu terlebih dahulu, besok aku akan kembali kesini."

Naruto beranjak pergi, meninggalkan Hinata yang terdiam dan cincin kecil yang diletakan di meja.

Tidak ada sedu sedan, air mata meluncur tanpa ada isakan, hati Hinata mencelos.

Posisi orang dewasa disini terpasang pada dirinya, dia harus berpikir menggunakan otak dan tidak hanya menuruti keingin hati saja.

Akan banyak pandangan mencela yang ditunjukan pada Hinata dari rekan kerja mereka, memiliki hubungan dengan pemuda yang baru saja lulus sekolah menengah atas hanya akan dihadiahi tatapan aneh dari keluarganya di rumah.

Seputus asa apapun Hinata nantinya, mengakhiri hubungan dengan Naruto adalah satu-satunya cara.

.

.

.

Hampir setiap hari, Naruto memencet bel apartement Hinata dan memohon-mohon pada gadis itu untuk membukanya sejenak dan bertanya tentang ujung hubungan mereka, pemuda itu akan kembali keesokan harinya bila penolakan masih kukuh Hinata ucapkan.

Seminggu berlalu dan hal itu sudah terjadi berulang kali, Hinata memutuskan untuk mengungsi sebentar ke kediaman teman masa kuliahnya, Tenten.

Berdoa agar dengan cara itu Naruto menyerah dan kemudian menerima bahwa hubungan mereka telah berakhir, tidak apa bila dipanggil pengecut dengan melarikan diri dan menghindar dari masalah seperti sekarang ini.

Tenten, si wanita bersurai coklat yang Hinata kenal sebagai pribadi yang peduli tapi tidak mau ikut campur menerima Hinata dengan senang hati tanpa pertanyaan yang menuntut penjelasan, hal ini yang membuat Hinata leluasa meminta perlindungan dari Tenten.

Dia sedang tidak ingin dihakimi atas kisah cintanya sendiri.

Tiga hari Hinata menumpang dan Naruto, yang menurut laporan tetangga apartemen Hinata, sudah tidak pernah kembali lagi kesana, jadi Hinata merasa aman untuk kembali mendiami apartemennya.

Hinata dan Naruto masih bisa bertemu di Sekolah, ada waktu satu minggu bagi para siswa yang sudah lulus sebelum upacara kelulusan sebagai tanda penghabisan masa sekolah mereka, jadi sebagian dari mereka berlalu lalang di area sekolah, sekadar memenuhi memori sebelum benar-benar pergi, atau memang sedang melengkapi berkas yang mereka butuhkan untuk melanjutkan sekolah.

Tak sekalipun Hinata membuat dirinya sendirian, jalan di lorong antara pergantian jam selalu ditemani oleh beberapa siswa yang dengan basa-basi Hinata mintai tolong untuk membawakan buku-bukunya.

Hinata sadar ada mata biru yang memandangnya tajam dan mencari waktu untuk bertemu berdua, tapi dia tak peduli dan terus mencari aman ditengah keramaian.

Bertemu Naruto hanya sebagian kecil dari pengalaman yang seterusnya akan ia hadapi sebagai guru, Hinata benar-benar menghitung hari sebelum lusa dimana upacara kelulusan akhirnya diadakan.

Jam enam pagi di hari senin yang masih sepi, aula hanya diisi beberapa guru muda yang merapikan meja untuk tempat duduk bagi para siswa yang akan berkumpul jam sembilan nanti, diantara para guru itu, ada Hinata yang baru saja selesai meletakan kursi di tempat yang sudah ditandai.

Peluh membasahi dahinya, sudah sedari jam lima tadi dia kesana kemari, rasa haus yang tidak bisa ditahan, memaksa Hinata ijin pergi ke dekat kantin sekolah, dimana vending machine berada di sana.

Suara gema telapak kaki terdengar nyaring, dari dalam kantin terdengar aktivitas para pekerja yang sedang menyiapkan makan siang para siswa.

Hinata meneliti berbagai minuman yang tersanding di depannya yang hanya disekat oleh kaca, satu pindaian mata akhirnya pilihan jatuh pada jus jeruk yang terlihat sangat menyegarkan, koin dimasukan ke tempat pembayaran dan mesin berjalan memilih minuman kaleng yang Hinata tekan sebelumnya.

Bunyi jatuh pada besi terdengar, Hinata mengambil minumannya lalu menyesapnya dalam-dalam, meresapi bulir jeruk yang tersisa di sela-sela segarnya cairan yang melewati kerongkongannya.

"Pagi, Hinata-sensei."

Hinata menoleh cepat sampai dia takut lehernya terkilir, suara yang menyusup ke telinga sudah ia hafal di luar kepala, kehadirannya tak terdeteksi sama sekali, Hinata bagai melihat hantu.

"Naruto-kun ..."

Yang dibalas menampilkan seringai menyeramkan, belum pernah sebelum ini Hinata ditatap sebegitunya oleh pemuda di depannya itu.

"Ini hari terakhir kita bertemu."Naruto memulai,"Semoga untuk selamanya kita tidak pernah bertemu kembali, terimakasih sudah meninggalkan kenangan baik di masa sekolahku."

Naruto yang terkekeh jelas sekali sedang menyindir Hinata, gadis itu diam, tak mencoba untuk menanggapi apapun, rupanya Naruto sudah menyerah, tidak lagi mencoba untuk membujuk si gadis bersurai indigo kembali padanya.

"Setidaknya aku tahu kalau ada manusia sepertimu, yang mudah sekali mempermainkan perasaan seseorang, hanya demi mendapat pujian dari rekan kerja yang lain karena sudah berhasil meluluskan seorang siswa bengal, selamat, Hinata-sensei."

Pemuda itu mendekat, yang reflek membuat Hinata mundur satu langkah dan menabrak pelan vending mechine di belakangnya. Kilat benci tercetak jelas di netra biru.

"Kenapa kau begitu takut padaku, Sensei? Aku tak akan berbuat apa-apa padamu, aku tak memiliki niat buruk apapun. Bukankah tidak semua orang seburuk dirimu?"

Lagi-lagi tawa mencemooh lolos dari bibir tipis keturunan Uzumaki, tangan besar Naruto terangkat, Hinata yang mengira dia akan dipukul terpejam sejenak sembari membuang muka ke samping, siap untuk seluruh konsekuensi yang akan diterima.

Namun pukulan tak kunjung datang, alih-alih sentuhan di pipi dari tangan Naruto yang dingin terkena angin pagi, tangannya bergetar, terlihat sekali kemarahan menyelimuti seluruh tubuh Naruto sampai tangannya seperti itu.

"Manusia jahat sepertimu, yang dengan bodohnya kucintai, semoga sakit hatiku menjadi penyesalan seumur hidupmu."

dengan kalimat itu, Naruto berbalik pergi, meninggalkan Hinata yang menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata yang mulai jatuh.

Jadi upacara kelulusan tahun itu, semua memaklumi air mata yang berlinang dari mata seorang Hinata-sensei, para siswa dimana Hinata menjadi wali kelasnya melambai pada guru muda itu dan beberapa juga ikut menangis, dihadiahi berbagai tatapan sedih dari para murid dan hilangnya mata biru yang selalu bisa menemukannya dimanapun dia berada, Hinata menangis tersedu.

TBC

ini kelanjutannya mohon maaf kalau alurnya tidak sesuai harapan, oh ya, saya juga publish cerita ini di wattpad, dan menyisipkan gambar dan lagu yang bisa jadi referensi untuk menambah imajinasi ketika membaca cerita saya,

terimakasih, sampai jumpa di chapter selanjutnya ...