@ Naruto by Masashi Kishimoto.
Anime X-overs Concept Arts.
.
.
.
Satu bulan telah berlalu, kini Naruto tengah berjalan keluar dari rumah sakit jiwa menuju sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang.
Dalam rentang waktu itu, Naruto sudah menunjukan tanda-tanda kepulihan total semenjak pertemuannya dengan Jiraiya.
Iruka dengan bangga dapat menyelamatkan jiwa yang rusak kembali ke kondisi yang sehat, terima kasih berkat kesabaran dan kegigihannya dalam mengurusi semua kebutuhan Naruto.
Jap!
Naruto kini sudah berada di dalam mobil. Jiraiya yang tertidur seketika terbangun saat suara pintu mobil ditutup terdengar.
Jiraiya memperhatikan gerak-gerik Naruto ketika memakaikan sabuk pengaman sambil berseru kepadanya, "Mengertilah, Naruto, setelah dari sini sudah tidak ada lagi jalan kembali. Jalan yang diberikan Akatsuki sangat berat untuk dilalui oleh orang yang memiliki kehidupan sederhana. Kita harus tetap objektif saat orang-orang terkasih mulai pergi meninggalkan satu persatu."
Naruto yang sekarang sudah berpenampilan rapi dengan rambut pirang undercut, wajah bersih dari janggut. Mengenakan pakaian kaos biru dongker yang dibalut jaket kulit hitam dan celana jeans panjang berwarna gelap dilengkapi sepatu kets cokelat menambah kesan perubahan bagus dalam dirinya. Tidak lupa tas selempang kulit berwarna abu-abu gelap menghiasi tampilannya.
Naruto yang ditanya diam sejenak sebelum akhirnya menolehkan kepalanya ke arah Jiraiya dan berkata, "Aku memiliki sebuah janji dengan seseorang. Dan tidak mungkin bagiku lari dari ini setelah apa yang kulalui."
Jiraiya hanya diam sebelum akhirnya ia menyalakan mesin mobil.
"Kau sudah begitu memahami cara berpikir seorang kriminal. Kau menjelajahi dunia hitam itu hanya untuk mencari jawaban atas kematian kedua orang tua dan keluarga besarmu yang dibunuh oleh para pelaku kriminal serta untuk menaklukan rasa takutmu yang berbasis pada hal mistis seperti roh rubah yang menjadi trauma masa kecilmu. Namun apapun yang kau temukan, kau justru semakin terdampar ke jurang keputusaan karena kau menyadari bahwa butuh tekad yang kuat untuk melakukan hal besar semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai seorang kriminal," timpal Jiraiya.
Setelah mesin mobil sudah agak panas, Jiraiya membawa mereka pergi dari rumah sakit jiwa itu.
"Saat kau hidup di kalangan para kriminal, apa kau mulai mengasihi mereka?"
"Aku mendapatkan nilai moral ketika hidup di jalanan bersama mereka. Aku menemukan sudut pandang baru bahwa bertahan hidup merupakan hal penting dalam proses menguburkan mimpi-mimpi manis. Saat pertama kali melakukannya, aku mencuri makanan agar diriku tidak kelaparan, itu benar. Dorongan melakukan tindakan kriminal begitu kuat saat itu sukses dan pada momentum itu aku menemukan kilasan arti tentang apa makna dari kehidupan yang sesungguhnya."
"Lalu bagaimana ketika kau gagal, Naruto?"
"Aku memahami bahwa setiap perbuatan akan datang harga dari pilihan yang kita ambil, aku semakin mengerti dan menerima kenyataan jika salah satu dari tindakanku itu akan membawaku pada hukuman eksekusi. Dan aku mempelajari rasa takut sebelum melakukan kejahatan. Begitu banyak asumsi sederhanaku yang hilang tentang sifat alami benar dan salah."
"Dan kau masih menyalahkan dirimu sendiri atas kematian mereka?"
Naruto bungkam, ia mengalihkan pandangannya keluar. Agaknya apa yang diucapkan oleh Jiraiya sangat tepat sasaran dengan sesuatu yang selama ini mendorongnya.
"Rasa marah pada diriku sendiri semakin dalam memakan rasa bersalahku," beo Naruto.
Nampaknya Jiraiya memahami suasana hati yang melanda Naruto dan untuk itu ia memilih diam seraya kembali mengarahkan fokusnya ke jalanan yang membawa mereka pada tujuan.
.
.
.
Berjanjilah kalau kita akan terus bersama.
-
Sore
Di sebuah hutan yang jauh dari perkotaan Jiraiya menghentikan laju mobilnya. Nampak seluruh area ditanami pohon yang menjulang tinggi. Tepat di hadapan mereka terdapat sebuah pondok sederhana yang terbuat dari kayu.
Begitu nyaman dipandang, sangat menenangkan hati dan pikiran saat pertama kali melihatnya.
"Kau sudah pergi terlalu jauh. Saat kau berpikir telah menemukan obatnya, kau justru mendapati konflik yang terjadi di dalam dirimu sendiri. Segala cara sudah kau lakukan hanya untuk meredam gejolak yang mengguncang jiwamu, tetapi apa yang kau dapatkan? Kau semakin menyakiti dirimu sendiri dan perasaan orang lain yang masih menaruh harapan padamu," seru Jiraiya mematikan mesin mobilnya.
Naruto hanya diam termenung mendengar semua orang diucapkan Jiraiya. Layaknya sebuah rumah dengan pondasi tiang yang lemah, Naruto tak kuasa menahan rintikan air mata mengingat bahwa ia sudah melakukan pencarian ke mana saja terhadap rasa sakit dan trauma yang menghantui dirinya.
"Jiwamu sudah sangat rusak dan itu meracuni pikiranmu, namun di dalam hatimu kau menyadari bahwa itu salah. Pada akhirnya, kau menghancurkan apa yang sudah orang tuamu berikan dengan semua kebohongan bahwa kau bisa baik-baik saja," sambung Jiraiya melihat Naruto mengelap tetesan air matanya.
Lama Jiraiya membiarkan Naruto larut dalam emosinya, dengan sabar ia menantikan.
Setelah agak membaik, Naruto mengangguk memberikan isyarat kalau ia sudah memantapkan hatinya kepada Jiraiya.
"Ikutlah denganku."
Naruto dan Jiraiya keluar dari mobil. Hal pertama yang menyapa inderanya adalah udara segar yang langsung memenuhi paru-parunya.
"Udara di sini sangat segar."
Naruto kembali menganggukkan kepalanya mengiyakan apa yang diucapkan Jiraiya. Namun saat dirinya berbalik, pria itu sudah tidak ada bersamanya.
Naruto mengernyitkan dahinya, ia mulai melangkah mencari keberadaan orang tua itu.
Begitu ia menoleh ke samping, dengan refleks yang cepat ia melompat ke belakang menjatuhkan dirinya saat sebuah kilatan hitam mencoba menyerangnya lalu menghilang.
Napasnya menderu, Naruto bangkit dari jatuhnya. Ia mulai mengedarkan pandangannya ke area hutan.
"Aw!"
Tap!
Naruto meringis kesakitan saat kaki kanannya terkena sayatan yang entah dari mana datangnya. Ia menoleh ke belakang melihat sebuah kunai tertancap ke tanah.
Bug!
Naruto buru-buru mengambil pisau kecil itu yang akan ia pakai untuk melindungi dirinya, namun belum sempat ia mencapai benda itu sebuah kaki melayang memberikan sebuah tendangan keras tepat di ulu hati yang membuatnya kembali tersungkur.
"Uh!"
Naruto mengerang, sekuat mungkin ia mencoba berdiri ketika hantaman keras mengenai wajahnya. Tidak hanya sekali, Naruto menerima empat kali pukulan dari arah yang berbeda dan membuat wajahnya babak belur sebelum akhirnya sebuah sikutan membuat dirinya kembali terkapar tak sadarkan diri.
Setelah Naruto pingsan, muncul tujuh orang dengan setelan Assassin berwarna hitam gelap mengelilingi dirinya.
"Ia cukup lincah untuk ukuran orang yang baru saja sembuh dari penyakit kejiwaan," tukas salah satu dari mereka yang membuka tudung penutup kepala dan diikuti oleh yang lainnya.
"Aku setuju denganmu, Sasuke," sosor wanita cantik berkacamata dengan rambut merah tergerai.
"Seharusnya kau merasa malu dengannya, Karin, ia bisa dengan sigapnya menghindari serangan pertama Sasuke mengingat dirinya mantan pasien dari rumah sakit jiwa," timpal seorang yang lain memiliki rambut biru muda dengan taring kecil yang menyembul keluar dari mulutnya.
"Aku akan mengingat ucapanmu, Suigetsu," sergah Sasuke menunjuk orang yang dimaksud dan membuatnya diam membisu.
"Aku merasakan dorongan kemarahan yang begitu kuat di dalam dirinya. Kau yakin dengan ini, Guru Jiraiya?"
"Aku mempercayainya, Yahiko," pungkas Jiraiya berlutut di samping Naruto untuk membersihkan wajahnya dari noda darahnya sendiri.
"Ia kumaksudkan untuk menjadikannya yang terbaik di antara kita," lanjut Jiraiya seraya membopong tubuh Naruto dengan gaya bridal.
Seorang Assassin wanita berambut biru datang mendekat, ia melihat ke wajah Naruto sambil membelai pipinya dengan lembut dan berkata, "Begitu banyak kemalangan yang menimpa dirinya."
"Empatimu begitu besar, Konan, kau bahkan bisa merasakan penderitaannya hanya dengan melihat dan menyentuhnya," imbuh Jiraiya tersenyum tipis.
Sisa seorang Assassin berambut merah darah melangkah seraya memungut tas selempang kulit Naruto yang terjatuh saat serangan pertama.
"Di mana ia akan memimpin Akatsuki, Guru?"
Jiraiya menolehkan kepala ke arahnya dan berucap, "Di kota kelahirannya, Nagato, Kota Konoha."
Mereka berenam menunduk mendengar penjelasan dari sang guru, mereka sangat tahu tujuan utama Akatsuki melatih Naruto dengan maksud untuk menjadikannya pemimpin dari pasukan yang berisi para pembunuh ke sana.
Mereka hanya tidak menyangka waktu kedatangannya sangat cepat.
Jiraiya kembali membawa atensinya ke arah Naruto yang tangah berbaring dalam dekapannya seraya berkata, "Kau sama sekali tidak takut, Naruto, tapi bukan padaku. Lalu apa yang kau takutkan?"
"Kenapa Anda tidak langsung memberitahukannya kalau ia dan Anda adalah—"
"Sebaiknya kita langsung bergegas, Yahiko."
Yahiko mengerti dengan maksud sang guru memotong ucapannya, maka dari itu ia memilih diam saat melihatnya berjalan menuju pondok.
"Masih terlalu cepat kau mau membeberkan fakta itu ke guru, Yahiko. Aku yakin guru pun sama terkejutnya saat mengetahui bahwa Putra Terakhir Uzumaki dari garis keturunan Mito masih selamat dari maut di malam itu," tukas Nagato menghampiri.
Ia memberi isyarat kepada sisa orang di sana untuk membereskan semuanya.
.
.
.
-
Begitu hampa yang kurasakan saat lembaran hidup mulai menuliskan nama-nama yang dinyatakan sebagai yang terpilih untuk menjalani kehidupan lebih sulit semata-mata hanya untuk menguji kemampuan seseorang dalam menyikapi kondisi yang menimpa masing-masing dari kita.
.
.
.
Pandangan Naruto kosong saat sesosok roh rubah yang ia lihat dari dalam celah itu sangat mengguncang jiwanya.
Naruto merasa kerikil kecil mulai berjatuhan, ia menolehkan kepalanya melihat ke atas dan mendapati ayahnya datang perlahan dengan bantuan tali yang mengikatnya.
"Tidak apa-apa, Naruto," bisik Minato mengulurkan tangannya sambil tersenyum simpul.
-
Minato berjalan memasuki rumah dengan membawa Naruto dalam gendongannya.
"Sungguh aku benar-benar tidak tahu kalau Naruto akan terjatuh, Minato, aku sudah melarang Aerith untuk tidak bermain di area taman milik Kushina," lirih Nyonya Gainsborough setelah melihat kondisi Naruto kecil yang memprihatinkan.
Minato berhenti, ia menoleh dan berkata, "Tidak apa-apa, rasa ingin tahu anak-anak sangat besar. Aku sangat memakluminya. Dan aku melarangmu pulang jika kau merasa bersalah atas apa yang menimpa anakku, ini murni hanya keingintahuan anak-anak."
Nyonya Gainsborough hanya tersenyum lemah dan mengangguk. Aerith kecil yang sedari tadi diam di samping ibunya mulai memerhatikan Naruto dalam gendongan ayahnya. Sesaat kemudian ia tersenyum manis tatkala Naruto menolehkan kepala ke arahnya dan mengedipkan sebelah mata kepadanya.
"Baiklah, bagaimana kalau kalian ikut kami makan malam di sini?" imbuh Minato melanjutkan perjalanan.
Nyonya Gainsborough dan putrinya mengikutinya dari belakang.
-
Setelah sampai di dalam aula utama rumah besar, Kakashi sang butler menyambutnya dengan penuh kekhawatiran dan berkata, "Tuan Namikaze, seharusnya saya yang turun ke bawah untuk menyelamatkan Tuan Naruto."
"Tidak apa-apa, Kakashi, biarkan aku memberikan sosok ayah yang pantas pada putraku," tukas Minato tersenyum.
Mereka masih melanjutkan perjalanan, kali ini Kakashi ikut serta. Sang butler hanya bisa menimpali dengan senyuman mendengar apa yang dikatakan oleh majikannya sambil bersua, "Jatuhmu lumayan tinggi, Tuan Naruto?"
Minato kembali mengulas senyum sambil berkata, "Kenapa kita terjatuh, Naruto? Agar kita belajar untuk bangkit kembali."
Kakashi menghentikan langkahnya saat Minato ditunggu sang istri yang baru saja turun dari lantai atas.
"Astaga, Putra Kecil Manisku, apa yang terjadi?!" pekik Kushina terkejut melihat keadaan anaknya.
"Maafkan aku, Kushina, ia terluka saat bermain bersama Aerith," beo Nyonya Gainsborough memohon maaf.
"Tidak apa-apa, ia hanya terjatuh, tidak perlu khawatir," sanggah Minato menyerahkan putranya pada Kushina yang langsung mendekapnya erat.
"Jika kau khawatir akan kesehatannya, aku sendiri yang sudah mengeceknya dan putra kita baik-baik saja," lanjut Minato saat menyadari pandangan cemas dari mata sang istri.
"Oh, kau sangat membuatku khawatir," papar Kushina semakin mendekap sang putra.
"Aku harap cedera yang diderita putramu tidak parah, Kushina," imbuh Nyonya Gainsborough menyesal.
"Tidak apa-apa, sungguh, tidak apa-apa. Suamiku bekerja di rumah sakit, jadi, kau tidak perlu cemas," timpal Kushina tersenyum tulus pada wanita yang rupanya hampir sama seperti putrinya hanya saja rambutnya tergerai indah.
Kakashi yang melihatnya merasa terenyuh saat sebuah gambaran keluarga bahagia terpampang jelas di depan matanya.
Ia kemudian berlalu untuk menyiapkan makan malam yang sudah dititahkan Minato kepadanya.
.
.
.
-
Opera
Setelah acara makan malam selesai, Minato mengajak anak dan istrinya menyaksikan sebuah pagelaran yang tengah diadakan di pinggiran kota.
Tentu Minato mengajak Nyonya Gainsborough dan putrinya, namun ibu dan anak itu menolaknya karena merasa mereka sudah terlalu merepotkan.
Sementara Kakashi sang butler dengan setia menunggu di luar bersama dengan penjaga lainnya.
Tentu ia juga diajak, namun dengan alasan keamanan, ia menolaknya.
.
.
.
Kini Naruto tengah menyaksikan opera dari kursi VIP yang memisahkannya dengan tempat duduk yang lain.
Namun, entah kenapa Naruto kecil merasa kurang nyaman dengan tema yang dibawakan oleh para pemain opera. Saat pertama kali memasuki gedung teater, Naruto sudah terusik dengan judul yang tertera di papan reklame bertuliskan, "Tale of the Nine Tailed."
Kilasan balik saat ia bertemu dengan roh rubah menyeramkan kembali menyeruak.
"Bisakah kita pergi?" lirih Naruto pada sang ayah yang berada di sampingnya saat melihat pelakon yang memerankan tokoh siluman rubah ekor sembilan dengan warna sama persis seperti sosok yang ia lihat di dalam gua.
"Sekarang," sambung Naruto, ia merasa semakin tidak nyaman dan takut.
Minato hanya mengangguk dan berkata, "Tentu. Ayo, kita pergi."
Kushina yang tengah menikmati acara dengan cekatan langsung memahami keadaan sang putra. Sang ibu langsung menggendongnya perlahan mengingat sebelah kaki Naruto masih cedera walaupun pakaian mewah yang dikenakan wanita berambut merah panjang itu menjadi kusut tak beraturan.
Sebagai sang kepala keluarga, Minato dengan sigap menemani dari belakang sambil membawa mantel bulu yang tidak sempat Kushina pakai.
-
Saat berada di luar, Minato langsung meminta Kakashi untuk menyiapkan mobil Rolls-Royce Phantom hitam yang terparkir rapi di halaman belakang gedung teater.
Ketika mobil sampai, Kakashi dengan sigap keluar dan membukakan pintu mobil. Namun sebelum Kushina memasukinya, Naruto berseru, "Tunggu, jaketku tertinggal."
"Kita bisa membelinya lagi, sayang," terang Kushina.
Naruto menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, aku mau jaketku. Itu pemberian Nenek Mito."
Kushina kembali mengulas senyum, ia memaklumi sikap Naruto yang dekat dengan neneknya, ibu dari Kushina.
Sang istri menatap sang suami memberi tanda untuk mengambil barang kesukaan putra mereka, namun Kakashi memotong pembicaraan dengan mengucapkan, "Biar aku saja yang mengambilnya, Tuan, Anda dan istri pastinya sudah sangat lelah. Saya tidak akan menerima permintaan penolakan dari Anda, maaf."
Minato hanya terkekeh geli mendengar pelayan setianya dan berkata, "Baiklah, tolong ambilkan, Kakashi."
"Aku juga ikut, Paman Kakashi," pinta Naruto kecil.
"Sayang, biarkan Paman Kakashi yang mengambilnya untukmu," bujuk Kushina gemas dengan tingkah laku putranya.
"Aku sama sekali tidak keberatan, Nyonya," balas Kakashi dengan lembut.
"Tidak apa-apa, Ibu, aku sudah berjanji pada nenek akan terus menjaganya," kekeh Naruto dengan polosnya.
Kushina yang tidak tahan dengan mata bulat itu dengan penuh kasih menciumi pipi sang putra yang membuat Naruto kegelian sebelum ia menyerahkan buah hatinya ke gendongan Kakashi.
"Hati-hati, Kakashi, cedera pada kakinya masih belum pulih total," tutur Minato menasihati yang dibalas anggukan dari pelayan setianya.
Kakashi dengan penuh perhatian menggendong Naruto layaknya anaknya sendiri itu terpancar dari sorot matanya yang tertangkap jelas oleh Minato dan Kushina yang membuat mereka mengulas senyum tipis.
Mereka berdua begitu mempercayai sang butler.
"Aku harap Naruto siap untuk kejutan ulang tahunnya saat sampai di rumah nanti," lirih Kushina melihat sang putra sambil mengelus perutnya yang sedikit membesar.
"Sebaiknya kita persiapkan," usul Minato mengajak sang istri memasuki mobil.
-
Setelah selesai mengambilkan barang yang dimaksud, Kakashi yang masih menggendong Naruto dalam dekapannya berjalan mendekat ke arah mobil.
Jaket cokelat berbulu sudah dikenakan pada tubuh anak majikannya.
Minato dan Kushina yang melihat dari dalam mobil melambaikan tangan mereka pada sang putra yang kini telah tertidur pulas, meski tahu tidak akan ada belasan dari sang putra.
.
.
.
Boom!
.
.
.
Lima langkah lagi sebelum mencapai mobil, kendaraan super mahal itu meledak, menghempaskan Kakashi dan Naruto kecil yang terlempar kembali ke aula gedung teater.
Kejadiannya begitu cepat.
Belum sempat ia meredakan kekacauan yang melanda kepalanya, kini suasana opera berubah menjadi horor saat orang-orang dalam gedung juga berlarian keluar dengan kondisi yang berdarah-darah.
Dalam momentum itu, Kakashi menyaksikan langsung kengerian akan teror dari malam yang dingin berbuntut pada tragedi yang mengingatkan kembali manusia akan kematian.
Layaknya gambaran jelas tentang hari akhir, orang-orang mulai berlarian menyelamatkan nyawa mereka sendiri tanpa memedulikan siapapun di sekitar mereka.
Kakashi bangkit dengan susah payah, ia tidak mempedulikan wajahnya yang setengah terbakar saat mengalihkan pandangannya ke arah di mana Naruto terkapar bersimbah darah.
"Tuan Naruto!" teriak Kakashi mendekat, ia melihat dengan horor sebuah pasak tertancap pada perut mungil anak majikannya.
Darah mengucur deras dari mulut, hidung dan luka sayatan di dahi yang membasahi wajahnya, Kakashi dengan sekuat tenaga mengangkat tubuh kecil itu dan membawanya menjauh dari lokasi kejadian.
Api mulai menjalar ke seluruh bangunan dan melahap apa saja yang membuatnya semakin besar.
Suara ledakan juga terdengar dari beberapa sudut kota yang menambah kesan horor di penghujung malam itu.
Nampak seseorang dari bilik telepon umum berbicara dengan intonasi yang tinggi dan cepat seperti memberitahu kondisi lokasi tempat perkara tengah berlangsung.
Beberapa saat kemudian, ambulans dan tim damkar tiba, dengan sigap mereka melakukan tindakan pertama pada lokasi tempat kejadian perkara.
Melihat Kakashi keluar sambil menggendong seorang anak yang sudah kritis, tim ambulans dengan segera menyiapkan keperluan untuk melakukan pertolongan kepada korban.
Kakashi dengan telaten menaruh Naruto ke ranjang lipat yang dibawa ambulans dan para petugas langsung melakukan CPR dan mengalirkan oksigen melalui lubang mulutnya yang terus mengeluarkan darah.
Kakashi seperti mati rasa, ia tidak peduli saat seorang perawat memadamkan api yang membakar sebelah wajahnya, ia senantiasa menemani Naruto yang kini sudah ditangani oleh tenaga ahli dan membawa mereka ke rumah sakit pusat kota.
-
Rumah Sakit Umum Konoha
Setelah sampai, Kakashi masih terus menemani dengan membantu mendorong ranjang lipat beroda itu menuju ruangan ICU.
Darah menetes membasahi lantai sepanjang jalan menuju ruangan yang dimaksud.
Begitu tiba, dokter meminta Kakashi untuk menunggunya di luar dan melihat kondisinya ia juga dimintai untuk segera melakukan perawatan terhadap luka bakar di wajahnya.
Namun tidak diindahkan oleh orang yang bersangkutan.
Sang dokter dengan sigap memanggil salah satu perawatnya untuk melakukan perlakuan khusus kepada Kakashi sebelum menutup pintu ruangan ICU.
Sang perawat pun tiba, namun baru beberapa saat setelah kedatangannya, Kakashi sudah tumbang karena kehilangan banyak darah dan kini kondisinya pun sama kritisnya dengan Naruto kecil.
.
.
.
-
"Kau sudah belajar untuk mengubur rasa bersalahmu dengan kemarahan. Aku akan mengajarimu bagaimana mengendalikannya dan cara menghadapi kenyataan," seru Jiraiya pada Naruto yang kini sudah berdiri di hadapannya.
Kini mereka berada halaman belakang pondok yang berhubungan langsung dengan danau.
Naruto dibuat takjub saat membuka matanya dan hal pertama yang ia lihat adalah betapa luasnya bangunan yang semula ia lihat sangat kecil dari luar.
Naruto diberitahu kalau pondok yang menjadi markas para Assassin memiliki struktur ruangan yang menjulang ke bawah.
Layaknya seperti di film-film yang sering ia tonton, pondok itu memiliki basemen yang sangat luas sebagai arena pelatihan mengingat tempatnya yang berada di bawah tanah.
Naruto dibawa ke atas bersama Jiraiya untuk menjalankan sesi pertama dalam pelatihannya untuk mengendalikan sisi liarnya yang tidak bisa terkontrol.
Saat berada di sana, Naruto merasakan pengalaman baru saat sampai di pekarangan belakang pondok yang indah dipandang dengan danau yang mempercantik kesegaran hayati dalam panorama alam yang menyejukan hati dan pikiran.
Sekarang dirinya berpenampilan dengan memakai setelan ninja serba hitam. Di hadapannya ia melihat sosok Jiraiya layaknya seorang penyelamat, Naruto tiba-tiba saja langsung menghormatinya.
"Kau mampu menghadapi tujuh orang. Aku akan mengajarimu bagaimana menghadapi tujuh ratus," tutur Jiraiya memasang kuda-kuda.
Jiraiya dengan telaten memperlihatkan beladiri dari berbagai macam aliran seperti Jiujitsu, Taekwondo, Karate, Pencak Silat, Brazilian Capoeira, Escrima, Muaythai, Kung Fu China seperti Wing Chun bahkan sampai tinju barat pun ia perlihatkan semua untuk orang yang saat ini memperhatikannya dengan seksama.
Entah kenapa Jiraiya merasa bahwa apa yang ia lakukan mampu ditiru dengan baik oleh Naruto. Terlihat betapa fokusnya samudera biru itu membaca setiap gerakannya.
Jiraiya menutupnya dengan sikap sempurna.
Ia meminta Naruto untuk melakukan semua gerakannya sama persis seperti yang ia lakukan.
Dan hasilnya benar-benar di luar dugaan, Naruto mampu menghafal setiap gerakan dan tempo yang dilakukan, walaupun demikian kuda-kudanya masih terlihat sangat lemah, namun di dalam hatinya ia merasa bangga dengan apa yang bisa ia berikan pada Naruto.
Di sisi lain, nampak seorang wanita memakai setelan Assassin yang masih menutupi seluruh kepalanya sedang memerhatikan mereka dari kejauhan. Beruntung karena banyaknya pohon besar mempermudahnya melihat apa yang tengah dilakukan oleh Jiraiya dan anakn didiknya di halaman belakang pondok.
Nampak kepalan tangannya menguat, di dalam matanya ia melihat sosok ayah dari anak yang kini sudah beranjak dewasa tengah latihan dalam membentuk dan menguatkan mental dalam dirinya.
Setetes air mata jatuh dan wanita itu sudah menghilang dari tempatnya berdiri.
.
.
.
-
Malam pun tiba.
Kini semua orang sudah terlelap dalam mimpi yang tak kunjung sempurna.
Tepat di salah satu kamar, Jiraiya baru saja tiba dan akan mengistirahatkan tubuhnya dari aktivitas fisik latihan bersama Naruto saat matanya mendapati sosok wanita yang sedang melepas semua atribut Assassin.
"Tsunade," sapa Jiraiya setelah menutup pintu.
"Jiraiya," sambut Tsunade menyisakan satu set pakaian dalam berupa baju jaring yang menutupi seluruh tubuhnya.
Jiraiya menatap nanar Tsunade yang terkesan buru-buru dan nampak kebahagiaan terpancar dari raut wajahnya.
Ia mengerti.
"Sepertinya aku akan memberikan sambutan hangat padanya," simpul Tsunade kepada Jiraiya yang saat ini menahan tangannya agar tidak keluar dari kamar.
"Jiraiya, lepaskan."
Orang yang dimaksud membalasnya dengan menggelengkan kepalanya.
Tsunade mulai kesal.
"Aku tidak akan mengulang kembali perkataanku, Jiraiya!" sentak Tsunade mencoba melepaskan dirinya dari genggaman Jiraiya.
"Dan aku tidak akan mengulang perbuatan yang sama," timpal Jiraiya yang kini menghadap Tsunade.
"Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk bertemu dengannya!"
"Tentu aku bisa menghalangimu, Tsunade."
"Lepaskan aku, Jiraiya!"
"Tidak akan."
"Lepaskan!"
Jiraiya yang melihat Tsunade semakin larut dalam emosinya menarik wanita itu ke dalam pelukannya.
Ajaib, Tsunade tidak lagi memberontak, ia justru menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jiraiya.
Terdengar isak tangis dari wanita renta itu.
Jiraiya yang mendengar suara tangisannya hanya bisa melakukan belaian lembut pada rambut pirang wanita itu.
"Aku hanya merindukannya! Darahmu dan darahku mengalir di dalam nadinya! Aku hanya memintamu untuk mengizinkanku bertemu dengannya!" ringis Tsunade meraung keras dalam tangisnya yang pilu.
"Aku tahu, Tsunade."
Jiraiya membawanya ke tempat tidur, ia melepaskan pelukannya pada Tsunade seraya mengelap air mata yang mengalir dari permata indah itu.
Tsunade berusaha keras menahan air matanya dan berkata, "Minato adalah putramu! Anak yang kukandung selama sembilan bulan 10 hari dalam ikatan pernikahan! Dan kini yang tersisa dari dirinya adalah putranya yang sudah rusak! Cucuku sendiri sudah rusak, Jiraiya! Cucumu bahkan sudah tidak mengenali asal-usulnya! Oh, Ya Tuhan!"
Jiraiya kembali membawa Tsunade ke dalam dekapannya. Tanpa bisa ia pungkiri ada perasaan senang dan sedih saat mengetahui bahwa satu-satunya darah dari keturunannya masih selamat dari malam tragedi 10 Oktober itu, namun ia menemukannya sudah dalam kondisi kejiwaan. Itu membuat hatinya tercabik-cabik tatkala mengetahui keadaan Naruto sudah jauh dari kata normal di rumah sakit jiwa yang merawatnya.
"Aku berjanji akan membawa keadilan pada mereka yang pantas untuk diadili."
-
TBC
.
.
.
A/N:
Pendapat? Jangan lupa review kalau kalian suka cerita dengan tema gelap seperti ini.
Tertanda, minurighazali
