Balas Review! :D

I'mYaoiChan: Semoga dia selamat... -w-a

Salem: "Kurasa tidak perlu, kakakku sering mempertajam telinganya setelah jadi buta... Karena itu dia bisa mengenali orang lain hanya dari suara..." -w-/

Edgar: "Doa macam apa itu?" =_=

Oke, makasih Review-nya! :D

RosyMiranto18: Maaf, bukan itu 'easter egg'-nya, aku udah ngasih tau di FB... ^^/

Edgar: "Hah? Perasaan gue belum kenal Naya pas dia hampir tabrakan dengan truk deh!" =_= (Coba baca lagi 'The Long Lost Big Sister'!)

Alpha: "Awalnya aku mau nyusul mereka ke supermarket, tapi Salem malah maksa ikut gara-gara takut kakaknya bermasalah..." 'w'a

Vience: "Sepertinya isinya sudah dimakan Jeronium sebelum dicampur dengan 'holy water', soalnya gucinya berada di halaman depan saat diterima..." -w-a

Yah, aku agak mual kalau semutnya kecil dan jumlahnya banyak... =w=a

Mathias: "Tenang saja, aku menyimpannya kok, nanti akan kugantung di kamarnya!" *seringai licik.*

Eugene: "Sebenarnya aku sudah terbiasa mendapati anak itu mencurinya, karena dari dulu aku ingin dia jadi Grim Reaper juga..."

Elena: "Dan tolong peti matinya ambil kembali, kami tidak berminat menyimpannya..."

Well, Thanks for Review! :D

Happy Reading! :D


Chapter 31: Tsuchi-tan become Human, again?


Seorang anak kecil berambut coklat kehitaman dengan telinga dan ekor kucing terbangun di lantai kamar Lammermoor bersaudara.

"Nyaw?" Anak itu bingung sendiri ketika melihat keadaan sekitar.

"Hoaaam..." Edward yang baru bangun langsung terkejut melihat anak itu. "Si-siapa kau?"

"Nyaw? Nyaw nyaw?" Anak itu berdiri dan mendekati Edward.

"A-aku tidak mengerti bahasamu!"

Edgar yang baru selesai mandi langsung terbelalak melihatnya. "A-apa yang-"


Setelah itu...

"Jadi..." Ikyo melipat tangan sambil memperhatikan anak tadi dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Bisa jelaskan apa yang terjadi?"

"Nyaw nyaw nyaw, nyaw nyaw, nyaw nyaw nyaw, nyaw?"

Edgar dan Edward saling berpandangan karena tidak mengerti artinya, sementara si rubah hanya manggut-manggut.

"Kak Ikyo, dia bilang apa?" tanya Edward.

"Tsuchi tidak tau bagaimana dia bisa jadi manusia saat tidur di kamarmu..."

Webek, webek...

"Be-benarkah?" tanya Edgar cengo dan Tsuchi hanya mengangguk.

"Jadi, dia Tsuchi?" tanya Edward kebingungan.

"Yap!" Ikyo mengangguk. "Aku tidak kaget melihat wujud manusianya karena sudah pernah melihat hal itu sebelumnya, tapi aku tidak tau bagaimana bisa dia berubah dalam semalam..."

Tsuchi memiringkan kepala. "Nyaaa..."

Ikyo menghela nafas panjang. "Sepertinya kau perlu belajar tentang manusia sekali lagi..."


~Awal~ (Tsuchi POV)

Nyaw, aku jadi manusia lagi, tapi kali ini aku tidak tau bagaimana bisa!

Aku hanya ingat sedang tidur di kamar Om Edgar dalam wujud kucing, tapi paginya malah berubah jadi manusia.

Tapi, seperti yang dikatakan Paman Ikyo, aku harus belajar jadi manusia sekali lagi!

Aku akan berjuang nyaw~


~Sarapan~

"Selamat pagi, I- Siapa anak ini?" tanya Bibi Rilen yang sepertinya kebingungan melihatku.

Aku rasa Bibi Rilen sudah lupa dengan wujud manusiaku karena umurnya yang hampir 40 tahun. (Me: "Apa hubungannya ya?" :V a)

"Dia Tsuchi, Bibi..." jawab Paman Ikyo.

"Tsuchi?" Bibi Rilen memperhatikanku dengan detail. "Tapi, bagaimana bisa?"

Paman Ikyo hanya angkat bahu. "Entahlah..."

Papa terlihat muncul dari pintu dapur sambil menguap lebar. "Hoaaaam, hmm... Selamat pa- Tsuchi?!"

'Papa!' Aku berlari untuk memeluk Papa.

Papa mendekapku. "Ya ampun! Bagaimana bisa kamu berubah seperti ini? Emy memberimu ramuan itu lagi?"

'Bukan!' Aku menggeleng. 'Kali ini aku tidak tau bagaimana bisa!'

"Ooh, begitu..." Papa mengelus kepalaku. "Sebaiknya kita sarapan dulu!"


Aku mengikuti Papa pergi ke ruang makan dan duduk di kursi yang ada selagi Papa membantu Bibi Rilen menyiapkan makanan di dapur, kemudian aku melihat beberapa orang memasuki ruang makan dan menghampiriku.

"Hey, siapa anak ini?" tanya seorang gadis berambut coklat panjang.

"Coba lihat telinganya, terlihat asli!" Seorang gadis berambut merah menyentuh telinga kucingku.

"Ekornya juga bergerak dengan sendirinya!" Seorang gadis berambut ungu mencolek ekorku.

Seorang pemuda berambut jabrik keperakan memperhatikanku dengan detail sambil memasang tampang berpikir. "Entah kenapa, aura-nya mengingatkanku pada sesuatu..."

"Hmm, benar juga!" Seorang pria berambut pirang jabrik yang mirip pemuda tadi ikut memperhatikanku.

Aku melihat Paman Tumma masuk ke ruang makan dan berjalan menghampiri kami.

"Hey, kamu Tsuchi kan?" tanya Paman Tumma sambil menggaruk telingaku.

'Iya Paman!' balasku senang.

"EEEEEH?!" Orang-orang lainnya langsung kaget.

"Lho, kalian baru tau ya?" tanya Paman Tumma bingung.

"Kami bahkan baru pertama kali liat!" balas si gadis ungu.

"Kok dia nggak takut ngeliat muka lu yang buruk rupa itu?" tanya si pria pirang jabrik yang tanpa sadar membuat Paman Tumma sedikit tertohok.

Nyaw, Paman Tumma itu memang buruk rupa. Warna rambut dan kulitnya hijau, sementara matanya berwarna ungu seperti permata amethyst.

Tapi yang kudengar, dia bisa seperti itu karena suatu kejadian yang dialaminya di masa lalu.

"Hmm yah, soal itu..." Paman Tumma memasang cengiran lebar. "Dia sudah pernah melihatku dalam wujud kucing, bahkan sebelum kalian!"

"CURANG!"

"Berisik!" Papa muncul dari belakang sambil membawa setumpuk piring. "Lebih baik kalian duduk dulu sana!"

Mereka semua langsung duduk di kursi yang masih kosong selagi Papa menaruh piring di atas meja.

Beberapa orang lainnya terlihat memasuki ruang makan dan kali ini aku sangat mengenal mereka.

"Tsuchi? Ini kamu kan?" tanya Paman Maurice dan aku hanya mengangguk.

"Emy, apa ini ulahmu?" tanya Paman Thundy sambil melirik Emy dengan wajah sinis.

"Bukan, Thun-kun!" Emy mengibaskan tangan.

Aku kembali melirik pintu dan melihat Paman Salem menggandeng seorang wanita berambut hitam dengan mata diperban yang baru pertama kali kulihat.

'Paman Salem, dia siapa?' tanyaku.

"Oh, Tsuchi ya? Ini kakakku, Naya!"

"Tsuchi?" Wanita bernama Naya itu terlihat bingung.

"Dia kucing peliharaan Teiron, Kak, tapi entah kenapa bisa jadi manusia!"

"Oooh..."

Kemudian kulihat si ketua squad masuk ke ruang makan. Kali ini aku akan memanggilnya dengan nama asli, Rara.

"Hoyah? Tsuchi?"

'Iya, Kaichou?' tanyaku.

Rara tersenyum tipis. "Senang melihatmu dengan tubuh anak kecil..."

Kalau dipikir-pikir, benar juga sih...

Aku ini kucing berumur sekitar 1 tahun lebih, jadi jika dihitung dengan umur manusia, seharusnya umurku sekitar 15 tahun.

Tapi tubuh manusiaku sedikit... Nyaw, pendek... Bahkan jika dibandingkan dengan Paman Maurice yang terbilang paling pendek di kalangan laki-laki, aku masih kalah tinggi darinya.

Bibi Rilen datang dari dapur sambil membawa makanan dibantu Paman Ikyo dan Papa.

Menu sarapan hari ini adalah telur dadar (Om Vience menyebutnya omelet, tapi itu tidak ada bedanya bagiku). Tapi khusus untukku, Papa memberikan semangkuk sarden.

Aku tidak keberatan, nyaw! Aku sangat suka makan ikan, terutama sarden.

Aku memakan sardenku dengan lahap, tapi aku masih makan menggunakan tangan karena tidak tau cara menggunakan sendok.

"Makannya lahap sekali ya!"

"Tapi cara makannya itu lho..."

Baiklah Papa, lain kali aku akan belajar menggunakan sendok nyaw!


~Tidur di Sofa~

Nyaw, tidur di sofa memang enak walaupun aku bukan kucing lagi!

Tapi tiba-tiba, ada seseorang yang menduduki badanku.

"Nyaaaaaaaaaaaaaaaaaa!" Aku menjerit keras sekali.

"Kak Naya, cepat berdiri! Di sofa ada Tsuchi!"

Orang itu bangun dari badanku. "Maaf, aku tidak tau kau di situ."

'Tidak apa-apa!'

Aku bisa memaklumi karena kakaknya Paman Salem itu buta.

Nyaw, maksudku benar-benar buta. Tidak seperti seseorang di suatu tempat yang pengelihatannya buram (tapi belakangan kuketahui, ternyata dia menggunakan alat bantu melihat buatan kakaknya).

"Maaf nak, tapi aku tidak mengerti bahasamu."

Aku melihat Paman Salem tepuk jidat di depan pintu ruang tengah.

Ah iya, yang bisa mengerti bahasaku hanya Papa, Paman Ikyo, Paman Thundy, Paman Tumma, dan juga Kak Hato. (Teiron: "Hato dipanggil 'kakak'? Yang benar saja? =w=a)


~Berkunjung~

'Papa, aku mau main!' Aku mengguncang badan Papa yang berbaring di atas kasur.

"Aku sedang malas, Tsuchi..." Papa membalikkan badannya dan itu membuatku sedikit sebal.

"Hey, ada apa?" tanya Rara di depan pintu.

"Kaichou, ajak Tsuchi jalan... Aku sedang tidak mau keluar..." gumam Papa sambil menyelimuti diri.

"Ooh, oke! Kebetulan aku mau main ke markas Reha Squad sih!"

Tiba-tiba Papa terbangun dengan tampang sebal. "KEMANA SAJA ASAL JANGAN KE SITU!"

Rara melipat tangan dengan wajah datar. "Masih benci sama Hato?"

Perkataannya tadi sukses membuat Papa terdiam.

"Terserah..." Papa kembali berbaring dan menyelimuti diri.

"Ayo Tsuchi!" Rara menarik tanganku keluar dari kamar Papa.


Sejujurnya aku belum pernah ke markas Reha Squad, aku penasaran seperti apa orang-orang di sana.

"Wah, tumben ketua Garuchan mampir!" ujar seorang pria yang menyambut kami di depan sebuah rumah besar.

Aku bersembunyi di belakang Rara karena takut dengan wajahnya yang menyeramkan: Bola mata hitam dengan iris merah.

"Yah, sesekali..." balas Rara dengan cengiran kecil.

"Oh, dan siapa anak yang di belakangmu itu?" Pria itu menunjukku.

"Ini hanya Tsuchi kok!" Rara menepuk punggungku. "Masih ingat kucingnya Teiron? Ini wujud manusianya!"

Pria itu manggut-manggut. "Oooh, Tsuchi ya! Kalau mau nyari Hato pergi saja ke belakang!"

'Kak Hato tinggal di sini?' tanyaku.

"Benar sekali, Tsuchi! Makanya itu papamu tidak mau ke sini!" Rara tertawa garing dan kembali menepuk punggungku, kemudian dia pergi bersama pria tadi ke dalam rumah besar itu.

Aku tidak yakin apa gadis itu memang mengerti bahasaku setelah mendengar jawaban tadi, terkadang Rara sangat sulit ditebak.


Aku pergi ke belakang rumah itu dan melihat sebuah lubang.

Nyaw, biasanya kalau ada lubang, dia pasti di sana!

Aku segera berlari ke arah lubang itu dan mengintip sedikit, tapi tiba-tiba sebuah kepala menyembul dari dalam lubang dan sukses membuatku kaget sampai jatuh terduduk.

'Kak Hato! Jangan mengagetkanku seperti itu!' seruku sebal.

"Maaf, woof! Aku tidak tau!" Kak Hato keluar dari lubang dan menghampiriku. "Kau ini siapa ya? Sepertinya pernah kenal!"

'Aku Tsuchi, Kak Hato!'

"Wah, Tsuchi!" Kak Hato memelukku dengan erat. "Aku tak menyangka kau jadi manusia juga woof!"

Aku hanya memutar mata. Apa anjing Siberian Husky selalu seperti ini nyaw?

'Sudahlah, Kak Hato! Bagaimana kalau kita main saja?' ajakku sambil mendorongnya agar melepaskan pelukan.

"Main? Baiklah!" balas Kak Hato bersemangat. "Mau main apa?"

'Kejar-kejaran?' usulku.

"Woof, ide bagus!"

Tapi seorang pria mendatangi kami dan aku sembunyi di punggung Kak Hato karena takut melihat wajahnya yang tidak jauh beda dengan pria yang tadi menyambut di depan.

"Hay Hato, siapa anak itu?"

"Ini Tsuchi, Ayah!"

Nyaw, dia ayahnya?

"Jangan takut nak, aku tidak akan menyakitimu!"

Perlahan aku keluar dari punggung Kak Hato. 'Salam kenal...'

"Kalian lanjutkan mainnya ya!" Pria itu tersenyum lembut dan pergi meninggalkan kami.


~My Animal Friends~

Nyaw, aku punya banyak teman hewan sewaktu masih jadi kucing.

Pertama ada Jeronium, naga peliharaan Om Vience. Waktu masih jadi kucing, aku paling senang naik di atas kepalanya. Aku masih suka naik di atasnya setelah jadi manusia, walaupun hanya di atas punggung.


Kemudian ada Mocha, musang peliharaan Paman Tumma. Papa pernah cerita kalau dia ditemukan di atas pohon dekat markas saat para anggota laki-laki sedang tidur bersama di Malam Jumat.

Aku teringat bagaimana Paman Tumma memberi nama musangnya.

Saat itu dia sedang menonton TV dan aku asik guling-guling di karpet. Nyaw, itu salah satu hobi nistaku sebagai kucing.

"Hmm, Luwak White Coffee ya..."

Aku berhenti guling-guling dan memperhatikan Paman Tumma yang masih fokus pada TV.

"Luwak dan musang itu, satu famili kan?"

Dari kopi ke famili hewan, sedikit tidak nyambung emang.

'Kalau itu aku juga tidak tau, Paman!' balasku sambil naik ke sofa.

"Eeeh, Tsuchi?" Paman Tumma mengelus kepalaku. "Sedang apa kau di sini?"

'Guling-guling!'

"Hee, dasar kucing!"

'Kuanggap itu sebagai pujian!'

Paman Tumma hanya tertawa kecil sambil menepuk punggungku.

'Jadi...'

"Awalnya aku bingung bagaimana memberi nama pada musang itu, tapi sekarang aku punya ide!"

'Apa itu?' tanyaku penasaran.

"Setelah kupikir-pikir, warna kopi itu mengingatkanku pada warna bulu musang yang agak kecoklatan, jadi... Aku ingin menamainya 'Mocha'. Bagaimana pendapatmu, Tsuchi?"

'Kurasa itu nama yang unik!'

"Baguslah!"

Nyaw, setidaknya selera Paman Tumma dalam menamai sesuatu tidak buruk sih...


Lalu ada Kopenhagen, biasa dipanggil Kopen. Dia juga kucing sepertiku, hanya saja bulunya lebih lebat dan warnanya coklat-putih. Oh, dia juga punya pita berwarna merah-putih di lehernya.

Ngomong-ngomong, dia iri begitu tau aku jadi manusia.

'Aku iri padamu!' kata Kopen. 'Kita baru bertemu beberapa hari, tapi kau sudah jadi manusia!'

Aku mengelus punggung Kopen. 'Tenang saja, lagipula aku kan masih kucing!'

Tapi bagaimanapun, dia akan tetap iri padaku.


Nah, yang terakhir Kak Hato. Aku pertama kali bertemu dengannya saat sedang jalan-jalan sendirian.

Kalau boleh jujur, rasanya agak aneh berteman dengan musuh bebuyutan, karena dia itu aslinya... Seekor anjing.

Aku ingat betul saat melihat papaku menendangnya ketika mengobrol denganku. Sepertinya Papa sangat tidak suka dengannya, nyaw...

Itu sih wajar bagiku, karena semua orang di Garuchan Squad sudah tau kalau papa punya Cynophobia.

Kak Hato pernah bilang kalau aku satu-satunya kucing yang tidak benci padanya, yah karena saat itu aku tidak tau kalau dia anjing.


Bicara soal anjing, ada satu lagi anjing yang tidak ingin kuingat sih! Mereka disebut Cerberus.

Aku masih takut dengan keberadaan mereka, walaupun Adelia sudah memindahkan mereka ke tempat yang agak jauh dari markas. Tiga kepala anjing itu sangat menakutkan, sampai terkadang membuatku terbawa mimpi.

Tapi yang membuatku penasaran, Adelia punya berapa banyak Cerberus nyaw? Perkiraanku sih sekitar lima ekor, tapi entahlah... Hanya dia dan Tuhan yang tau!


~Another Friends~

Nyaw, mungkin aku perlu berkenalan dengan beberapa orang baru.

Pertama ada Paman Luthias. Rambutnya putih keperakan, matanya ungu, badannya lumayan tinggi tapi kurang kekar, dan memakai kacamata. Ngomong-ngomong, dia ini pemiliknya Kopen.


Kemudian ada Paman Mathias, kakaknya Paman Luthias. Rambutnya pirang, matanya biru, berbadan tinggi kekar, dan sering memakai baju merah. Sifatnya iseng bin jahil tingkat dewa. Aku pernah melihatnya menggantung sebuah boneka di langit-langit kamar Om Vience dan keesokan paginya, dia malah terkekeh ria di saat yang empunya kamar jerit-jerit nggak karuan.


Selain itu ada Paman Edward, adiknya Om Edgar. Mereka 180 derajat berbanding terbalik: Kalau Om Edgar sangat membenciku, Paman Edward justru malah menyukaiku. Dia berambut coklat, bermata hitam, berpostur agak pendek (kira-kira setinggi Papa), dan memakai baju sekolah biru.


Selanjutnya ada Ashley. Rambutnya ungu muda, matanya coklat, bergaun ungu, dan sering melayang di sekitar markas. Aku jarang melihatnya karena dia hantu, tapi sekalinya muncul, pasti ada saja yang ketakutan (biasanya Paman Rendy dan Paman Salem).


Lalu ada Monika, sepupunya Alisa. Rambutnya coklat, matanya hijau, memakai eyepatch, dan juga baju hitam. Aku kurang begitu akrab dengannya, jadi hanya itu yang bisa kujelaskan.


Sebenarnya masih ada yang lainnya: Vivi (pacarnya Om Vience), Naya (kakaknya Paman Salem), Lucy, dan Elwa.

Tapi, kurasa hanya segitu dulu nyaw...


~Cat Snack~

"Yo Tsuchi!" sapa Paman Alpha yang baru pulang belanja. "Aku beli sesuatu untukmu, sebentar ya!"

Dia memeriksa kantung belanjanya dan mengeluarkan sebuah snack berbentuk pipa, kemudian dia merobek ujung bungkusnya dan memberikannya padaku. "Nah, pencet saja jika kau ingin memakannya!"

Aku menekan sedikit bungkusnya dan menjilat apa yang keluar di ujungnya.

"Nyaaa~"

Paman Alpha mengelus kepalaku. "Kau menyukainya kan?"

Aku hanya mengangguk dan menikmati snack pemberiannya.

Snack kucing memang yang terenak nyaw~


~Hiding from Bathing~

Aku harus sembunyi, aku harus sembunyi!

Tapi celah-celah yang biasa kugunakan untuk sembunyi dari Papa saat masih menjadi kucing tidak bisa kupakai lagi karena tubuh manusiaku yang lebih besar.


Aku membuka pintu lemari dan masuk ke dalamnya, kemudian menyelinap di antara pakaian yang ada.

"Tsuchi, jangan ngumpet dong! Kamu harus mandi!"

Nyaw, sekarang kalian sudah tau kan kenapa aku sembunyi?

"Ron, lu ngapain di kamar gue?"

"Tsuchi kabur, Sal, padahal dia harus mandi!"

"Oh gitu, gue bantu cari deh!"

Nyaw, sepertinya aku sembunyi di dalam lemari pakaian Paman Salem.

Aku terus meringkuk di dalam lemari, sampai seseorang membuka lemari dan meraba kepalaku.

"Eh? Hey Salem, sepertinya ada seseorang di dalam lemari."

Aku mendongak sedikit dan mendapati Naya berada di depanku, Papa dan Paman Salem juga muncul di belakangnya.

"Tsuchi, anak nakal! Sini kamu!" Papa langsung menarikku keluar dari lemari.

'Nggak mau! Aku nggak mau mandi!'

Paman Salem juga ikut menarikku dan akhirnya mereka berhasil menyeretku ke kamar mandi.


"Tsuchi, kamu kan sudah jadi manusia, jadi kamu harus mandi dua kali sehari!" nasihat Paman Salem selagi menyikat punggungku, sementara Papa mengoleskan shampo di kepalaku.

Aku sendiri hanya bisa pasrah dimandikan seperti ini.


Di lain kesempatan, aku mencoba bersembunyi di luar markas, tapi selalu saja ada yang berhasil menemukanku.

"Ayolah Tsuchi, kamu harus mandi!" Paman Mathias yang menemukanku di semak-semak langsung membawaku dengan menjepitkan badanku di antara pinggang dan tangannya.

Aku berusaha melepaskan diri darinya. 'Nggak mau, Paman! Aku nggak mau mandi!'

"Mandi atau dihukum papamu heh?"

Mendengar ancaman itu membuatku hanya bisa merenggut sebal selagi Paman Mathias membawaku ke kamar mandi untuk dimandikan Papa.

Walaupun tubuhku manusia, tapi jiwaku tetaplah seekor kucing yang tidak suka mandi.


~New Clothes~

"Tei, kucingmu butuh baju baru deh!"

"Hmm yah, sepertinya begitu..."

"Jadi, aku boleh kan ngajak dia ke mall?"

"Asal jangan pakaikan dia baju maid, cukup aku saja yang trauma dengan itu!"

"Tenang saja, itu bisa diatur!"

"Dan belikan saja snack kucing kalau dia lapar, Tsuchi tidak boleh makan sembarangan!"

"Oke, akan kuingat!"


Setelah pembicaraan singkat dengan Papa, Emy membawaku ke mall bersama para perempuan lainnya.

Mall yang kami kunjungi sangat luas, aku bisa tersesat jika berjalan sendirian.


"Emy, kau serius di sini?" tanya Elwa dengan wajah skeptis.

Pasalnya, dia mengajak kami ke tempat pakaian untuk anak-anak.

Nyaw, sebenarnya aku tidak keberatan diperlakukan seperti anak kecil, karena tubuhku sendiri memang terlihat seperti anak kecil...

Emy menarikku ke barisan pakaian untuk anak laki-laki. "Nah Tsuchi, silakan pilih yang kau suka!"

Kalau disuruh memilih, aku sedikit bingung karena pakaian di sini jumlahnya cukup banyak dan bermacam-macam.

"Tidak bisakah kita pakaikan dia gaun saja?"

"Tsuchi bukan perempuan, Vivi! Kalau kita pakaikan dia gaun, nanti Teiron bisa ngamuk!"

Aku mengambil satu set pakaian berupa baju lengan panjang berwarna kuning dengan celana pendek dan sepatu berwarna senada, kemudian aku memperlihatkannya pada mereka. 'Ini bagaimana?'

"Coba kamu ganti di sana!" Monika menunjuk sebuah kotak raksasa di ujung ruangan.

"Errr, Monika, dia belum bisa ganti baju sendiri!" timpal Alisa.

"Sebaiknya kita temani dia!"

Lisa menuntunku menuju kotak itu dan kami berdua masuk ke dalamnya, kemudian dia membantuku ganti baju.


Setelah aku selesai ganti baju, para perempuan terdiam melihatku. Tapi aku merasa tidak nyaman di bagian belakang.

"Ada yang salah, Tsuchi?"

"Rina, celana manusia tidak menyediakan lubang untuk ekor kucing, jadi kurasa ekornya kejepit..." Adelia mendekatiku dan berdiri di belakang sambil memegangi celanaku. "Jangan bergerak ya!"

"Ekornya kejepit? Kayak para cowok kalau lagi kejepit resleting di bagian pe- Hmmph!" Mulut Lucy langsung dibekap Monika dan Emy.

"Jangan dengarkan dia, Tsuchi! Dia cuma ngelantur doang kok!" Kemudian Emy membisikkan sesuatu kepada Lucy yang aku tidak tau apa itu.

"Nah, selesai!"

Entah apa yang dilakukan Adelia pada celanaku, yang penting ekorku tidak kejepit lagi.

'Terima kasih!'

"Butuh baju yang lain?"

Aku menggeleng.

"Baiklah, kita langsung bayar saja!"


Kami pun pergi ke tempat dimana seseorang menunggu kita untuk membayar apa yang akan kita beli, mereka menyebutnya kasir.

"Mbak, kami beli yang ini saja!" Elwa menunjuk baju yang kupakai.

"Harganya 98 ribu Peso!"

Tunggu! Tadi aku lihat di labelnya tertulis '100 ribu Peso', kenapa bisa dikurangi begitu?

"Ada diskon khusus sebesar 2 ribu Peso untuk mereka yang membayar baju yang dipakai langsung!"

'Diskon yang aneh...' gumamku sedikit skeptis.

"Maaf nak, tadi kamu bilang apa?"

Emy menepuk kepalaku. "Abaikan saja, dia punya kelainan verbal..."


Setelah itu kami mampir sebentar ke sebuah tempat makan karena kelaparan.

Lisa memberiku sebungkus snack kucing. "Nah, untukmu!"

"Kenapa diberi snack kucing?" tanya Monika.

"Tei-kun memberitahuku dan Emy untuk membelikan snack kucing kalau Tsuchi lapar, katanya dia tidak boleh makan sembarangan!"

Monika hanya angkat bahu. "Yah, terserah deh!"


Kami pun kembali ke markas setelah makan sampai kenyang.


Setibanya di markas, para laki-laki menyambut kami.

"Woah, baju yang bagus!"

"Walah Tsuchi, kamu jadi makin imut deh!"

Nyaw, semua orang sangat menyukai baju baruku.


~Book and Writing~

Aku asik menggaruk telingaku ketika melihat Rara membawa sebuah benda berbentuk persegi panjang.

'Kaichou!' Aku menghampirinya.

"Oh, Tsuchi!" Gadis itu menengok ke arahku. "Ada apa?"

Aku menunjuk benda yang dibawanya.

"Ini?" Rara memperlihatkan benda di tangannya dan aku hanya mengangguk. "Ini hanya buku kok!"

Aku memiringkan kepala. 'Papa juga sering baca buku...'

Rara hanya tertawa kecil. "Memang, tapi ini buku kosong!"

Gadis itu membuka buku yang dibawanya dan ternyata memang kosong.

'Lalu untuk apa ada buku kosong?'

"Buku kosong ini bisa digunakan untuk menggambar atau menulis! Oh, bagaimana kalau kuajari menulis?"

Aku hanya mengangguk. Rara memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan mengeluarkan sebuah benda berbentuk batang yang runcing di salah satu ujungnya, kemudian menyodorkannya padaku. "Nah, ini!"

Aku mengambil benda itu. 'Ini apa?'

"Itu pensil, gunanya untuk media menulis!"

Gadis itu mengajariku cara memegang pensil yang benar, kemudian aku diajarkan cara menulis huruf dan angka serta membuat berbagai bentuk seperti garis lurus dan melengkung.

Setelah itu dia memberiku buku dan pensil untuk mencoba sendiri apa yang telah kupelajari.


"Kamu sedang apa, Tsuchi?"

Aku menengok dan melihat Papa menghampiriku.

'Belajar menulis!'

"Siapa yang mengajarimu?"

'Kaichou!'

"Boleh kulihat?"

Aku menunjukkan halaman tengah buku yang penuh dengan berbagai macam tulisan yang kubuat.

Papa tersenyum puas. "Lumayan... Coba kamu tulis namamu sendiri!"

Aku membalikkan halaman buku dan mencoba menulis namaku.

Papa masih tersenyum melihat hasil tulisanku dan mengambil pensil di tanganku, kemudian dia menambahkan huruf 'T' di depan huruf 'S', mengubah huruf 'I' menjadi huruf 'H', dan menambahkan huruf 'I' di belakang huruf 'H'.

"Setidaknya kamu berusaha..." Papa mengelus kepalaku dan berjalan pergi.

Aku kembali meneruskan kegiatanku belajar menulis.


~Innocent~

Banyak yang bilang kalau aku itu sangat polos dalam wujud manusia dan kalian pasti juga berpikir demikian jika sudah tau seperti apa tubuh manusiaku.

Aku mudah penasaran dengan hal-hal yang tidak kuketahui sebagai kucing. Nyaw, setidaknya menurutku...

Tapi masih ada yang lebih polos dariku, misalnya Rina. Aku sudah pernah melihat kepolosannya tiga kali.


Pertama, sewaktu dapat peran 'Guardian Angel' dalam Werewolf Game. Dia malah menunjukku ketika ditanya 'siapa orang yang ingin dilindungi'.


Kedua, saat main badminton dengan Paman Tumma. Entah kenapa dia malah mengganti raketnya dengan raket tenis dan kok-nya dengan bola mainan.


Dan ketiga, dia tidak bisa membedakan antara badminton dengan tenis meja ketika seseorang berwajah menyeramkan berkunjung ke markas.

Nyaw, setidaknya itu yang kutau...


~Tsundere~

"Thun-kun, aku ikut kamu ya?"

"Ish, ogah! Entar lu ngerecokin lagi!"

"Oh ayolah~"

"Nggak, jangan ikutin gue!"

"Pokoknya ikut!"

"Nggak!"

"Ikut!"

"Nggak!"

"Ikut!"

"Nggak!"

"Ikut!"

"Nggak!"

"Ikut!"


'Gitu aja terus sampai ekor Paman Ikyo dipotong lagi...' gumamku sambil menopang dagu.

Kemudian ada yang bersin di atas pohon tempatku memperhatikan mereka.

Seperti biasanya, Paman Thundy ribut lagi dengan Emy.

Terkadang aku bingung, mereka itu beneran pacaran nggak sih?

"Bisa nggak kalian nggak usah berantem kayak pasangan baru lagi KDRT? Diliatin Tsuchi tuh!"

Mereka langsung melirik ke arahku dan aku melirik Paman Ikyo yang berada di atas pohon.

Oh, pantesan ada suara bersin dari atas pohon, ternyata dia udah ada di sana dari tadi.

"Siapa yang KDRT coba?!"

Paman Ikyo melipat tangan di belakang kepala dan bersender di batang pohon. "Yah, menurutmu saja!"

'Memangnya KDRT itu apa, Paman?' tanyaku.

"Kamu nggak usah tau, Tsuchi!"

Aku hanya menguap lebar mendengar alasan itu. 'Paman Thundy sebenarnya suka, tapi ungkapinnya pakai tindakan kasar ya?'

Sepertinya perkataanku tadi sukses membuatnya memerah.

"Nggak! Teori macam apa itu?! Ngarang ih! Denger dari mana kamu?!"

'Paman nggak bisa jujur ya? Jadi itu yang dimaksud Paman Alpha dengan 'Tsundere'?'

Apa hanya perasaanku, atau tadi aku sempat mendengar suara anak panah yang menusuk dadanya?

"Ups, sungguh menohok sekali..." gumam Paman Ikyo sambil menahan tawa.

Paman Thundy langsung kabur ke dalam markas, setelah itu terdengar sebuah teriakan yang menggelegar.

"ALPHAAAAAA! LU BILANG APA SAMA TSUCHI, HAH?! SINI LU, KAMPRET!"

Nyaw, kurasa Paman Thundy memang Tsundere yang tidak mau mengaku...


~My Claw~

Aku iri dengan Paman Ikyo.

Dia masih punya cakar, walaupun sering disembunyikan karena merupakan bagian dari aksen rubahnya.

Tapi aku tidak punya cakar lagi setelah jadi manusia. Cakar adalah bagian paling penting bagi kucing (dan juga hewan karnivora lainnya).

Aku benar-benar iri.


'Aku ingin punya cakar!' keluhku di depan Paman Ikyo yang sedang mengasah cakarnya.

TRANG!

"Tsuchi..." Paman Ikyo berdehem sedikit. "Memangnya untuk apa kau ingin punya cakar?"

Aku mencembungkan pipi dengan sebal. 'Aku kan kucing, Paman! Masa aku tidak boleh punya cakar walaupun dalam wujud manusia?'

Paman Ikyo mengambil pengasah cakarnya yang terjatuh dan menghela nafas kecil. "Kau ini sama saja dengan Teiron..."

'Apanya?'

"Ngambeknya!"

Aku kembali mencembungkan pipi.

Paman Ikyo menggelengkan kepala sambil menaruh pengasah cakarnya di atas meja. "Tsuchi... Dengar, aku tidak melarangmu, tapi segala sesuatu itu ada resiko-nya..."

Dia meraih tanganku dan mengelusnya. "Cakarku hanya digunakan untuk berburu dan bertarung, kalau untukmu lebih sederhana..."

Dia melepaskan tanganku dan mengelus kepalaku, kemudian berjalan pergi.


Aku pergi ke halaman belakang dan duduk di bawah pohon, kemudian menatap tanganku sendiri.

'Menyebalkan!' Aku menampar batang pohon di belakangku.

KRAK!

Batang pohon itu mendapat bekas cakaran besar dari tamparanku.

Aku kembali memperhatikan tanganku dan mendapati cakar besar yang diselimuti aura gelap.

Apa ini cakar baruku?

"Tsuchi..."

Aku menengok dan melihat Paman Maurice berdiri di depanku dengan aura hitam di tubuhnya.

"Jelaskan padaku, bagaimana bisa kamu mendapatkan cakar seperti itu?"


Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di ruang tengah dan duduk di sofa. Di depanku sudah ada tiga orang yang mempertanyakan cakar baruku.

'Aku tidak tau apa-apa...' gumamku sambil menunduk takut.

"Aku mengerti, Tsuchi..." Papa hanya menghela nafas. "Tapi keberadaan cakarmu itu bisa saja membahayakan!"

"Thun, ada penjelasan masuk akal untuk ini?" tanya Rara sambil melirik Paman Thundy yang memasang tampang berpikir.

"Sejauh ini cakarnya hanya keluar kalau dia sedang kesal, jadi kurasa dia perlu dilatih sedikit..."

Di belakang mereka ada Paman Maurice yang sedang membaca sebuah buku.

"Struktur cakarnya tidak terlihat seperti cakar binatang, entah aku harus bilang apa untuk ini..." Dia memperlihatkan halaman tengah dari buku itu dan menunjuk gambar cakar yang sama persis dengan cakar milikku barusan.

Paman Thundy terbelalak melihat gambar cakar yang ditunjuk. "Cakar itu..."

"Apa efeknya cukup berbahaya untuk kita semua?" tanya Rara terlihat was-was.

Paman Maurice menutup bukunya. "Hanya kalau dia tertekan atau emosinya sedang tidak stabil..."

Papa kembali menghela nafas dan mengelus kepalaku dengan wajah prihatin. "Semoga saja cakarmu tidak membuat masalah di kemudian hari..."

Nyaw, kuharap juga begitu...


~Behavior~

Ada beberapa kebiasaan yang tidak bisa kutinggalkan sekalipun jadi manusia.

Aku masih suka mengejar sesuatu, seperti mainan berbau catnip atau titik merah kecil yang bergerak di tembok dan bisa menghilang (Paman Alpha menyebutnya sinar laser).

Aku masih senang dielus di bagian kepala. Nyaw, itu bagian tubuh yang paling sering dielus bagi sejuta umat hewan peliharaan...

Aku masih suka tidur di mana saja, walaupun sekarang hanya bisa di dua tempat: Kamar Papa dan sofa ruang tengah. Terkadang juga di kamar para laki-laki, kecuali kamar Om Edgar (itupun kalau Paman Edward memohon dengan puppy eyes).

Terkadang aku masih suka menjilati bagian tubuhku, walaupun hanya tangan saja. Aku pernah kepergok mencoba menjilati kaki sama Om Edgar yang segera menutupi mata Paman Edward entah apa alasannya, dan setelah itu aku langsung dimarahi abis-abisan sama Papa.

Dan terakhir merupakan bagian yang paling menyebalkan: Aku tidak suka mandi, bahkan Papa sampai harus meminta bantuan salah satu temannya untuk menyeretku ke kamar mandi.


~Female Cat~ (Nanti akan ada pergantian POV)

Setiap kali aku jalan-jalan, biasanya Papa selalu mengawasiku atau meminta salah satu temannya menemaniku.

Nyaw, dia sedikit overprotektif padaku, hanya saja itu terjadi karena aku pernah pergi darinya dua kali.

Pertama, saat dibuang Om Edgar.

Dan yang kedua... Nyaw, sejujurnya aku tidak mau menceritakannya, tapi aku pernah tidak pulang selama dua minggu hanya karena berhubungan dengan seekor kucing betina.


Ceritanya berawal saat aku masih jadi kucing dan sedang jalan-jalan sendirian, kemudian aku melihat seekor kucing cantik sedang berada di dekat tempat sampah.

Nyaw, memang aneh sih! Kucing seperti itu seharusnya tidak pantas berkeliaran di jalanan, dia lebih cocok jadi kucing rumahan.

Aku menghampiri kucing itu dan menyapanya. 'Hay!'

'Oh, hay juga!' balasnya.

'Kenapa kamu di sini?' tanyaku.

'Aku dibuang pemilikku, dia tidak bisa merawatku saat istrinya hamil...' jawabnya sedih.

Nyaw, kejam sekali!

'Begitu ya...'

'Namamu siapa?'

'Tsuchi, aku kucing jantan!'

'Aku betina, namaku Marinka!'

Nyaw, ini pertama kalinya aku berteman dengan kucing betina!

Tapi entah kenapa, aku teringat sesuatu yang lucu saat mendengar namanya tadi. Terdengar seperti salah satu kata pada lirik lagu yang pernah dinyanyikan Papa dan Paman Maurice ketika mereka duet karaoke di markas. Bunyinya kalau tidak salah 'karinka, marinka' gitu deh!

'Mau jalan-jalan?'

'Boleh...'

Kami pun jalan-jalan bersama dan bercerita banyak hal sampai malam.


(Teiron POV)

Ini sudah malam, tapi kenapa Tsuchi belum pulang juga?

"Ron, jangan berdiri di luar malam-malam!" seru Rendy dari depan pintu.

"Aku sedang menunggu Tsuchi..."

"Nanti juga balik sendiri, ayo masuk!"

Aku terpaksa masuk ke dalam dan berharap Tsuchi segera pulang.


Tapi keesokan harinya, dia masih belum pulang juga.

Hujan turun sejak tadi pagi dan aku hanya bisa menunggu dari jendela.

Aku teringat waktu pertama kali bertemu Tsuchi. Saat itu dia kehujanan dan aku membawanya berteduh di teras markas.

Aku sudah tidak tahan lagi! Aku harus menemukan Tsuchi!

Aku segera berlari keluar tanpa memperdulikan panggilan dari Thundy.


Aku mencari ke seluruh tempat yang kuketahui, mulai dari taman kota sampai tempat pembangunan terbengkalai. Tapi aku tidak melihat keberadaan Tsuchi dimanapun.

Tubuhku mulai melemah karena terlalu lama terpapar hujan, tapi aku memaksakan diri untuk tetap mencari.

"Tsuchi... Kau... Dimana?"

Aku hanya bisa menangis sampai akhirnya pingsan di tengah jalan.


(Girl-chan POV)

Saat Thundy memberitahuku kalau dia mencari kucingnya, kami bergegas mencarinya.

Teiron ditemukan pingsan di tengah jalan dan kami membawanya pulang.


Tapi belakangan, keadaannya terus memburuk sejak lima hari terakhir ini. Dia tidak mau makan apa-apa sama sekali, bahkan terus menangis semalaman.

Setiap kali dia memaksakan diri untuk keluar mencari kucingnya lagi, aku terpaksa menyuruh Thundy memberikan setruman berskala kecil untuk membuatnya tertidur.

Aku tidak tega membiarkannya menderita tanpa Tsuchi, jadi aku memerintahkan para laki-laki untuk mencari kucing itu ke seluruh tempat. Selagi mereka mencari, para perempuan menjaga Teiron secara bergantian untuk memastikan dia tidak memaksakan diri lagi.


Sudah seminggu sejak Tsuchi menghilang dan kondisi Teiron semakin parah.

"Sekarang bagaimana?"

Aku hanya menghela nafas mendengar pertanyaan Lisa. "Entahlah, aku juga tidak tau harus bagaimana lagi..."

Kami memperhatikan Teiron yang hanya menatap cangkir tehnya di sofa. Tatapan matanya terlihat hampa, sepertinya dia cukup kehilangan sekarang ini.

Tsuchi, seandainya kau menyadari betapa menderitanya dia karenamu...


(Tsuchi POV)

Sudah hampir dua minggu ini aku dan Marinka bersama dan sekarang kami sedang menjalani hubungan khusus di tengah hutan.

Tapi kami mendengar suara lolongan yang menggema, kemudian muncullah segerombolan serigala di sekitar kami.

Bagaimana ini? Kami bisa diterkam kalau tidak segera kabur.

'Pergi!'

'Tapi bagaimana denganmu?'

'Kamu masih punya orang yang menyayangimu, mereka pasti mengkhawatirkanmu!'

'Aku tidak mau pergi tanpamu!'

'Tsuchi... Hanya salah satu dari kita yang bisa selamat dari serigala, jadi kamu yang harus pergi!'

'Marinka...'

'Cepat pergi!'

Aku segera berlari sejauh mungkin di saat para serigala memfokuskan pandangan pada Marinka, setelah itu aku tidak tau lagi apa yang terjadi padanya.


Setelah berada agak jauh dari serigala, aku menemukan sebuah goa dan masuk ke dalam. Kemudian aku melingkarkan tubuh dan tertidur.


Aku bermimpi melihat seseorang yang menangis di bawah pohon dan berniat menghampirinya, tapi tubuhku tidak bisa bergerak.

"K-kumohon... Hiks... Kembalilah..."

Suara ini, kenapa terdengar familiar?

"Aku, hiks, kehilanganmu, hiks... Tsuchi..."

Papa?


Aku terbangun seketika melihat mimpi itu.

Aku masih punya Garuchan Squad, masih punya Papa, kenapa aku meninggalkan mereka demi Marinka?

Apa terjadi sesuatu yang buruk pada Papa? Apa mereka masih mau menerimaku?

Tanpa pikir panjang aku segera berlari keluar goa dan menerobos hutan.

Aku harus pulang! Demi Papa!


Aku tiba di depan markas dan melihat gerbangnya tertutup. Tapi itu tidak masalah, aku berhasil menerobos celah di pintu gerbang.

Setelah tiba di depan pintu markas, aku meraung sekeras mungkin dan berharap ada yang mendengarnya.

Pintu markas terbuka dan aku melihat Paman Thundy segera menghampiriku. "Tsuchi, dari mana saja kamu?"

Aku segera melompat ke pelukannya. 'Paman, maafkan aku karena tidak pulang!'

Paman Thundy mengelus kepalaku. "Aku mengerti, Tsuchi... Ayo masuk, semua orang menunggumu..."


Kami masuk ke dalam markas dan semua orang yang melihat kami menyambutku dengan perasaan lega karena aku telah kembali.

Tapi, dimana Papa?

Aku menanyakan keberadaan Papa, tapi semua orang terlihat bingung karena tidak mengerti bahasaku. Aku sempat melihat Paman Ikyo memalingkan wajah seperti menyembunyikan sesuatu.

"Tsuchi..." Rara mendekatkan wajahnya padaku dan aku bisa melihat keprihatinan di matanya. "Dia sakit-sakitan karenamu..."

Aku segera turun dari pangkuan Paman Thundy dan berlari ke kamar Papa.


Pintu kamarnya terbuka dan aku segera masuk ke sana. Aku melihat tubuh Papa terbaring lemah di atas kasur dan dia terdengar memanggilku dengan suara pelan.

"Tsu-chi..."

Aku melompat ke atas kasur dan menaiki tubuhnya, kemudian melingkarkan tubuhku di atas dada Papa dan tertidur sambil mendengkur pelan untuk menenangkannya.


(Teiron POV)

Pagi ini aku terbangun dan merasakan sesuatu yang berat pada tubuhku, kemudian kulihat seekor kucing sedang tidur di atas dadaku.

"Nyaaaaa..." Kucing itu menguap lebar dan terbangun, kemudian dia duduk di perutku. "Nyaw?"

"Tsu-chi?" Aku berusaha bangun dan menyender di kepala kasur, kemudian tanganku mengelus kepalanya. "Kau... Kembali... Untukku, kan?"

Dia mengangguk dan mengusel kepalanya di dadaku, dengkurannya membuatku merasa lebih nyaman dan hangat. Perlahan air mataku mulai menetes.

"Hiks... Jangan, pergi lagi, Tsuchi... Hiks... Huwaaaaaaaa!" Aku langsung menangis sambil memeluk erat Tsuchi.


(Tsuchi POV)

Nyaw, begitulah...

Setelah kejadian itu, aku tidak akan pernah meninggalkan Papa lagi.

Nyaaaaa~ Sepertinya aku harus tidur, jadi cukup sampai sini dulu! Sampai jumpa, nyaw~


To Be Continue, bukan Terkam Bayi Cilik (?)...


Fun Fact:

1. Aku kurang pintar menjabarkan seperti apa 'Cat Snack', tapi setidaknya begitulah... -w-/

2. Baju baru Tsuchi itu sebenarnya costume 'School Uniform' khusus anak-anak yang ada bebeknya (sebelumnya dia pakai 'Cat Costume' khusus anak-anak juga, dan kebetulan warnanya sama-sama kuning).


Bio tiga orang baru (sengaja nambahin Edward buat lengkapin yang udah ada di FB):

Edward Rockyville Lammermoor (Jumper): Adeknya Edgar, pengidap incest akut dan sering banget nempel sama abangnya. Walaupun begitu, dia sangat polos dan juga pencinta binatang (berbeda dengan kakaknya yang membenci hampir semua binatang).

Sanaya Morihayashi Al-Qamariah/Naya (Kage Ninja): Kakak perempuan Salem. Saat berumur 17 tahun, dia memberikan matanya demi menyelamatkan sang adik yang disandera para bandit. Seorang vegetarian dan penyuka hewan. Diam-diam jatuh cinta pada Edgar karena pernah menyelamatkannya saat hampir tertabrak truk.

Chairone Tsuchi (Hwamna): Sebelumnya merupakan kucing peliharaan Teiron. Anaknya rada polos dan lugu, tapi sayangnya tidak bisa bicara bahasa manusia. Dia menganggap Teiron sebagai 'papa' dan para anggota cowok lainnya sebagai 'paman', tapi anehnya malah menganggap Hato sebagai 'kakak' (padahal Hato itu aslinya seekor anjing :V).


Oh well, i don't know how to say... -w-/

Sebenarnya aku mau bikin Tsuchi jadi Tiger, tapi sayangnya aku udah pakai itu duluan, jadi pikiranku malah tertuju ke Hwamna... Emang sama-sama cakar sih... -w-a

Chapter selanjutnya akan sangat singkat, jadi dipastikan akan muncul secepatnya... ^^/

Review! :D