Balas Review! :D
StrideRyuuki: Ahaha... :V
Salem: "Ngeri banget, bahkan udah kejadian di fic Reha Squad lho! Cari aja sendiri!" =w=/
Ini udah update! ^^/
RosyMiranto18: Sebenarnya, 'sultan' yang kumaksud itu orang yang sering beli cash untuk membeli item di game online... .w./
Salem: "Kayaknya itu nggak bakalan ngaruh deh..." =w="
Rendy: "BUKAN!" *kemudian langsung kabur dikejar-kejar Si Manis.*
Yah, aku juga baca fic-fic itu sih, tapi entah apa aku harus kembali membuat fic di fandom yang menjadi asal dari 'NNG Series'-ku... .w.a
Tsuchi: *menggeleng.* "Nyaw!" (Tidak mau!)
Teiron: "Kenapa?"
Tsuchi: "Nyaw nyaw nyaw, nyaw nyaw!" (Kucing tanpa meongan itu tidak asik, membuatku seperti bukan kucing!)
Teiron: *menghela nafas.* "Terserah padamu, tapi kau harus tetap belajar menulis..." *melipat tangan.*
Tsuchi: *mengangguk.*
Aku kurang tertarik soal game itu sih... .w.a Thanks for Review! :D
I'mYaoiChan: Yah, tidak masalah... .w./ Makasih Review-nya! :D
Happy Reading! :D
Chapter 64: Ex'Flore'ing Diary
Flore juga diajarkan menulis seperti Tsuchi dulu, dan percaya atau tidak, ternyata dia cepat belajar.
Jika Tsuchi belajar menulis agar orang-orang yang tidak mengerti bahasa kucing bisa memahaminya, justru Flore sedikit berbeda.
"Hmm, apa ini?" Ikyo menemukan sebuah buku di dalam kardus tempat Flore biasa tidur.
Dia membuka buku itu dan melihat tulisan yang sedikit kurang rapi seolah penulisnya baru belajar menulis. Tapi yang membuatnya penasaran...
"Diary? Milik Flore?" Ikyo sedikit mengerutkan kening.
Pasalnya, dia ingat betul kalau Flore baru jadi manusia sejak dua minggu sebelumnya dan dia baru belajar menulis dua hari yang lalu.
Karena penasaran seperti apa diary kucing mungil itu, dia menelaah setiap tulisan sambil duduk di dekat kardus.
~Bagian 1: Perkenalan~
Namaku Flore Blanca Noir.
Oh, ada yang bertanya dari mana aku dapat nama itu?
Ceritanya cukup panjang, tapi nanti akan kuceritakan kok!
Aku ini perempuan lho!
Aku menulis diary ini untuk mengenang beberapa kejadian lama yang sayang kalau dilupakan dan aku akan terus menulis sampai dewasa, ehehe...
'Awal yang lumayan, walaupun agak gimana gitu...'
~Bagian 2: Awal Mula di Squad~
Banyak yang bertanya bagaimana aku bisa berada di squad ini, jadi akan kuceritakan di sini.
Awalnya aku hanya kucing kecil yang kehilangan induk karena terlindas kendaraan, kemudian saudara-saudaraku diambil orang dan meninggalkanku sendirian.
Aku yang kesepian berjalan tanpa arah mencari seseorang yang mau merawatku, sampai aku melihat seekor kucing berbulu lebat berlari ke arah seorang anak berambut coklat tua yang duduk di kubangan lumpur.
Kucing tadi melompat ke pundaknya. 'Hey, ayo pulang!'
Dia mengangguk dan berdiri, kemudian mereka berdua pergi. Aku mengikuti mereka diam-diam dan berharap menemukan rumah untuk tinggal.
Setelah beberapa saat, kami tiba di sebuah rumah besar bertingkat dua.
'Aku pulang~'
Aku melihat seorang pemuda berambut abu-abu berkacamata di dekat sebuah sofa. "Oh, Tsu- Ya ampun! Kotor sekali kamu! Nanti kamu bisa diomelin Teiron kalau ketauan kotor begitu!"
"Tsuchi, kamu bawa siapa di kaki kamu?" tanya seorang wanita berambut hitam dengan mata diperban yang duduk di sofa itu.
Awalnya aku tidak tau bagaimana dia bisa melihatku dengan mata yang diperban. Tapi belakangan kuketahui, ternyata matanya diambil sekumpulan penjahat dan dia memakai sepasang gelang pemberian seseorang yang bisa membuatnya melihat tanpa mata.
'Eh?' Dia menengok ke bawah dan melihatku berdiri di dekat kakinya.
'Hay!' Aku mengusel kepalaku di kakinya.
'Wah...' Dia berjongkok dan mengangkatku. 'Hey, kau mengikuti ya?'
'Iya!'
"Hey, apa tidak apa-apa kita rawat dia?" tanya wanita itu.
Pemuda di sebelahnya terlihat memutar mata. "Entahlah... Aku tidak yakin apa Kaichou mengizinkannya, soalnya udah kebanyakan hewan peliharaan di sini..."
"Ada apa ya? Kok aku dibicarakan?" Aku melihat seorang gadis berambut hitam berkulit kecoklatan muncul di belakang mereka. "Waduh, Tsuchi, kamu abis main ke tempat sampah sampai bawa kucing kecil itu?"
'Tidak! Dia mengikutiku!'
"Mengikuti ya..." Gadis itu manggut-manggut. "Lalu, dia kucing jantan atau betina?"
Dia mengendus badanku, kemudian memperlihatkan bagian bawah tubuhku pada gadis itu.
"Betina?" Gadis itu mendekat dan mengangkatku, kemudian mengecek sendiri kelaminku. "Ah ya, benar juga!"
'Hay!' Kucing berbulu lebat tadi muncul di belakang.
Pemuda berkacamata itu terlihat memegangi keningnya. "Astaga, nambah satu lagi kucing kotor!"
"Yah, sebaiknya kita mandikan mereka!"
Kami langsung kabur begitu mendengar kata 'mandi' tadi, kemudian bersembunyi di dalam kardus.
"Kardus apaan ini?" Kardus tempat kami sembunyi terangkat dan terlihat sesosok pria berambut putih. "Astaga! Tsuchi!"
Pria itu segera menangkap anak itu dan dia berusaha melepaskan diri. 'Lepaskan Paman, aku tidak mau mandi!'
"Oy, siapapun tolongin gue! Ada kucing kotor nih!"
Kucing berbulu lebat itu segera pergi dan aku mengikutinya.
"Oy, tangkap mereka juga!"
Kami segera berlari sekencang mungkin, tapi setelahnya berhasil ditangkap dan dimandikan.
Walaupun sempat membuat kericuhan, tapi lama-lama aku mulai betah karena bertemu banyak orang baik di sini.
'Di bagian awalnya kasihan sih, tapi syukurlah kalau dia betah di sini...'
~Bagian 3: Asal Nama~
Setelah dimandikan, aku tertidur berselimutkan kain di pangkuan seseorang.
"Kaichou, kau sudah punya nama untuk kucing itu?"
Aku terbangun dan melihat seorang pemuda berambut biru di depan kami.
"Yah, tentu saja, Thundy! Nah!" Gadis yang dipanggil 'Kaichou' itu menunjukkan benda berbentuk persegi panjang yang dipegangnya.
Pemuda bernama Thundy itu mengerutkan kening. "Flore Blanca Noir, seriously?"
Gadis itu malah nyengir. "Kenapa tidak?"
Dia memasang wajah skeptis. "Dasar aneh..."
"Biarin!" Gadis itu menjulurkan lidah.
'Aku suka nama itu kok!'
"Eh, kau setuju?"
Aku mengangguk untuk meyakinkannya.
"Terserah deh..." Dia langsung pergi meninggalkan kami.
Begitu Kaichou memberitahu namaku ke semua orang di rumah itu, mereka mengeluarkan ekspresi bermacam-macam.
"Kau serius?" tanya seorang pria berambut pirang jabrik bermata biru dengan tatapan risih.
"Ya iyalah, dia aja juga suka namanya lho! Benarkan, Flore?"
'Yap!'
Pria itu menghela nafas. "Oke fine..."
"Bisa jelaskan arti namanya?" tanya seorang gadis berambut coklat dengan penutup mata di mata kirinya sambil melipat tangan.
"Flore artinya bunga, karena bunga identik dengan perempuan mengingat dia kucing betina. Blanca dan Noir artinya putih dan hitam karena warna bulunya!"
Karena itulah aku sangat menyukai namaku!
~Bagian 4: Papa Teiron~
Rambut semerah apel, mata sehijau zamrud.
Kira-kira begitulah yang bisa kugambarkan tentang Papa.
Namanya Teiron. Rambutnya berwarna merah, matanya berwarna kehijauan, dan pakai kacamata.
Dia punya bibi, namanya Rilen. Tapi aku lebih suka memanggilnya Nenek karena (katanya) umurnya sudah 40 tahun.
Kurasa hanya itu yang bisa kujelaskan.
'Itu bukan 'katanya' lagi, tapi emang beneran!'
~Bagian 5: Mama Lisa~
Aku melihat Papa sedang berada di dapur dengan seorang gadis berambut pirang dan tiba-tiba teringat sesuatu.
"Flore, kalau Teiron jadi papa-mu, yang jadi mama-mu siapa?" tanya seorang gadis berambut hijau padaku.
"Mama?" Aku berpikir sejenak. "Aku belum tau..."
"Setidaknya pilih salah satu perempuan di sini untuk jadi mama-mu, kalau perlu yang paling dekat dengan papa-mu." nasihat Bibi Adelia.
"Memangnya siapa yang paling dekat dengan Papa?" tanyaku penasaran.
"Kalau kamu melihat gadis berambut pirang yang bersama papa-mu, temui saja dia! Namanya Lisa!"
Aku pun berjalan menghampiri mereka. "Permisi..."
"Ya?" Gadis itu menengok. "Ada apa, Flore?"
"Apa Lisa... boleh kupanggil Mama?" tanyaku.
Dia terlihat kaget, entah karena pertanyaanku tadi atau sempat mendengar suara logam yang jatuh barusan.
"Ma-mama?"
"Iya! Kalau bukan Mama Lisa yang paling dekat dengan Papa, lalu siapa lagi?" tanyaku polos. "Jadi... Boleh atau tidak?"
Dia tersenyum lembut dan mengelus kepalaku. "Boleh saja sayang, kenapa tidak?"
"Yeay!" Aku memeluknya dengan erat. "Aku sayang Mama!"
Dia ikut memelukku. "Kami juga sayang padamu, Flore... Iya kan, Tei-kun?"
"I-iya..."
"Itu terdengar meragukan!"
"AKU JUGA SAYANG PADAMU, FLORE! SEKARANG KAU PUAS?!"
Aku kebingungan dengan teriakan Papa tadi dan melihat wajahnya yang memerah. "Papa kenapa panik begitu?"
"Abisnya mama-mu maksa sih!"
Ikyo mesem-mesem sendiri.
~Bagian 6: Kak Tsuchi~
Kak Tsuchi sama sepertiku, sama-sama kucing.
Awalnya aku memanggilnya 'ayah', tapi dia memintaku mengubahnya menjadi 'kakak' karena perbandingan usia kami yang tidak begitu jauh. Umurku baru sekitar lima bulan, sementara dia berumur satu tahun lebih. (Note: Ini dalam tahun kucing ya!)
Tapi terkadang dia bisa iri dengan beberapa hal, misalnya...
'Ada apa?' tanyaku yang mendatanginya saat sedang manyun.
Dia menatap intens ke arahku, kemudian menarik ekorku sampai tubuhku terangkat.
'Kyaaaaaah!'
'Aku iri dengan ekormu!'
Sebuah cakar yang mengeluarkan asap hitam muncul di tangan kirinya dan dia mengarahkannya padaku, tapi dia berhenti dan menengok ke belakang karena ada yang memegangi tangannya.
'Paman Maurice?'
"Tolong lepaskan dia, Tsuchi..."
Dia menurunkanku dengan hati-hati dan cakar di tangan kirinya mulai menghilang.
"Jangan begitu, Tsuchi! Lagipula nanti ekormu juga akan memanjang dengan sendirinya!" nasihat Paman Maurice sambil menepuk kepalanya.
Dia hanya menunduk. Aku sendiri sedang berada di dekapan Paman Salem karena ketakutan dengan kejadian tadi.
'Maaf...'
Paman Salem melirikku. "Flore, kamu mau maafin dia kan?"
Aku hanya mengangguk, kemudian dia melepaskanku dan aku mendekatinya. Aku mengusel manja kepalaku di perutnya dan dia mengusap pelan punggungku.
Kemudian saat aku jadi manusia, dia kembali iri karena dia masih mengeong di saat aku bisa bicara dan dia hampir membunuhku kalau saja Paman Musket tidak menembakkan obat bius padanya (seingat yang kudengar dari Paman Maurice sih).
Saat aku sedang dikerubuti orang-orang, aku melihat Kak Tsuchi dimarahi seseorang di sudut lain ruang tengah.
Aku merasa bersalah dan sangat mengerti perasaannya, karena itu aku ingin minta maaf padanya.
"Kak Tsuchi masih marah?" tanyaku agak khawatir begitu melihatnya meringkuk di pojok perpustakaan.
"Flore, sebaiknya kamu biarkan dia sendiri dulu untuk sementara..." usul Bibi Ashley sambil menuntunku keluar dari perpustakaan.
Setelah itu aku pergi ke ruang makan dan bertemu si kucing berbulu lebat, dia naik ke atas meja makan dan mengajakku adu tatapan.
'Hay...'
Kami berdua menengok dan mendapati Kak Tsuchi di depan pintu.
'Hay!'
"Hay Kak!"
Kak Tsuchi mendekatiku dan langsung memelukku dengan erat.
"Kak?"
'Maafkan aku, aku terlalu emosi...'
"Aku juga minta maaf Kak, aku juga merasa bersalah karena kejadian tadi..."
'Begitu...'
Tapi bagaimanapun, dia tetap kakak kesayanganku!
'Kau terlalu baik, Flore...'
~Bagian 7: Kopen~
Aku baru ingat kalau kucing berbulu lebat itu punya nama.
Saat itu aku sedang duduk di pangkuan seorang pria berambut hitam yang tertutup poni di mata kanannya dan di sebelahnya ada seorang pemuda berambut putih jabrik dengan kacamata yang memangku kucing berbulu lebat itu.
"Namanya Kopen, singkatan dari 'Kopenhagen', ibukota Denmark..." jelas si pemuda berambut putih sambil mengelus kucing itu.
"Kenapa diberi nama begitu, Luthias?" tanya pria di sebelahnya.
"Begini, Arie... Dulu waktu aku masih tinggal dengan kakakku di Denmark, aku menemukannya di kota itu..."
"Oooh..."
Walaupun namanya singkat begitu, tapi aku sering salah menyebut namanya.
"Paman, si Koten kemana ya?" tanyaku pada Paman Luthias yang sedang mencari buku di perpustakaan.
Dia menengok ke arahku dengan tatapan aneh. "Maksudmu Kopen, Flore?"
"Iya, Kogen!"
Dia menghela nafas. "Dia dibawa Edward ke ruang anak-anak..."
"Makasih, Paman!" Aku langsung pergi mencari mereka.
Ikyo mengerutkan kening. 'Dari Kopen ke Koten terus ke Kogen, kedengarannya aneh juga sih...'
~Bagian 8: Mocha~
Mocha adalah musang paling baik yang pernah kutemui dan kami sering berbagi beberapa hal, dia memberikan sisa tulangnya dan aku membiarkannya tidur di dalam kardusku.
Tapi begitu tau dia mati, aku merasa kasihan dengan Paman Tumma. Dia yang paling terpukul karena sudah lama merawat Mocha.
Aku melihat Paman Tumma sedang berada di kebun dan menaruh beberapa bunga kecil di atas sebuah gundukan, kemudian aku memanggilnya. "Paman?"
Dia menengok. "Oh, Flore... Ada apa?"
"Paman mengunjungi makam Mocha lagi?" tanyaku memastikan.
Dia menunduk dengan wajah sedih. "Yah, begitulah..."
Aku menghampiri Paman Tumma dan berjongkok di sebelahnya. "Paman jangan sedih! Walaupun Mocha sudah pergi, di sini kan masih ada aku, Kak Tsuchi, Kojen ('Kopen kali maksudmu!' ralat Ikyo dalam hati.), dan yang lainnya!"
Paman Tumma mengusap kepalaku dan aku melihatnya tersenyum tipis. "Kau benar, Flore! Aku memang belum bisa melupakannya, tapi keberadaan kalian adalah pengganti terbaik!"
Dia berdiri dan pergi meninggalkanku, kemudian aku memperhatikan makam Mocha.
"Mocha jangan khawatir! Paman Tumma hanya merindukanmu, aku yakin dia akan menerima keadaan suatu saat nanti!"
Aku melihat sosok musang yang terlihat transparan di dekat makam, arwah Mocha. 'Jaga Tumma untukku ya!'
"Aku janji!"
Arwahnya mulai menghilang, kemudian aku berdiri dan pergi ke dalam markas.
'Sekali lagi kau terlalu baik...'
~Bagian 9: Petak Umpet~
Dulu kami berempat pernah bermain petak umpet di dalam markas. Aku bersembunyi di dalam tas Bibi Alisa dan tertidur semalaman, kemudian aku terbangun di dalam kardusku keesokan paginya.
Kami masih bermain, tapi hanya bertiga, karena Mocha sudah mati.
Aku yang sedang berjaga mencari ke seluruh penjuru lantai tiga, bahkan sempat mengangkat sofa bersama Kakek Grayson yang sedang membaca koran di atasnya.
Ikyo menahan tawa begitu mengingat ekspresi kaget Paman Grayson yang menyadari sofa-nya terangkat sendiri.
Aku turun ke lantai satu dan mencari ke gudang, sampai aku melihat seekor tikus kecil berbulu putih yang berada di dalam kurungan.
Aku menghampirinya dan mengeluarkan tikus itu dari kurungan, setelah itu mengusap kepalanya dengan jari. "Kamu imut ya, aku jadi pengen pelihara kamu deh!"
Aku membawa tikus itu sambil terus mencari mereka.
"Kamu sedang apa, Flore?" tanya Paman Alpha ketika aku baru keluar dari gudang.
"Aku sedang main petak umpet, Paman!" jawabku. "Oh iya, aku punya peliharaan baru lho!"
Aku memperlihatkan tikus itu kepadanya. Tapi entah kenapa, wajah Paman Alpha langsung pucat dan dia malah kabur.
Aku bingung dengan kelakuan Paman Alpha tadi dan memilih untuk kembali mencari mereka.
"Ahahahahaha!" Ikyo langsung tertawa.
"Ngetawain apa lu?"
"Eh?" Dia baru nyadar kalau lagi diliatin Jeff. "Errr, nggak ada kok!"
Jeff hanya angkat bahu dan pergi.
~Bagian 10: Nigou~
Aku tidak begitu akrab dengan Nigou karena dia seekor anjing.
Semuanya berawal saat aku sedang bersantai di bawah pohon dan ada yang mengendusiku dari belakang.
Ketika aku menengok, ternyata ada seekor anjing Shiba Inu.
'Kyaaaaaaah!'
Aku langsung memanjat pohon di dekatku dan dia menggonggong ke arahku dari bawah.
Kak Tsuchi datang dan memanjat sampai tiba ke tempatku, kemudian mengulurkan tangan. 'Flore, ayo turun!'
Aku perlahan mendekati tangan Kak Tsuchi dan langsung memanjat ke pundaknya saat dia mengangkatku, kemudian Kak Tsuchi perlahan turun dari pohon dan menghampiri dua orang.
"Jadi namanya Flore ya?" tanya seorang pria berambut perak dengan telinga anjing di kepalanya yang memperhatikanku.
Aku masih gemetar di pundak Kak Tsuchi karena ketakutan dengan kejadian sebelumnya, apalagi ketika anjing tadi berdiri di dekat kaki pria itu.
Belakangan kuketahui, ternyata pria itu kakaknya Nigou, namanya Hato.
'Iya!'
'Masuk yuk...' ajakku yang masih ketakutan.
'Baiklah, kami masuk dulu ya, daah!' Kami pun masuk ke markas.
Begitulah...
'Pantesan aja Yuki cerita kalau Flore ngumpet di belakangnya pas ngeliat Nigou di perpus waktu itu...'
Tapi mengingat kami sama-sama berwujud manusia sekarang ini, terkadang aku ingin menggodanya sedikit.
Misalnya ketika memanggilnya saat sedang tidur.
"Gou!"
Dia mengerang sedikit. "Hm?"
"Gou!"
Dia berbalik sedikit ke arahku. "Kenapa sih?"
"Gou!"
Matanya mulai terbuka sedikit. "Iya, siapa?"
"Gou!"
Dia mulai terbangun. "Flore ya? Masih ngantuk nih..."
"Gouchu-Gouchu di perut, curi semua nutrisiii~ Tapi tak perlu takuuut, ada konterpeeiin!"
"Kontermeks, Flore, Kontermeks!"
Aku meliriknya dengan wajah curiga. "Hmm, jadi selama ini kamu itu cacing ya?"
Dia menatapku dengan wajah aneh. "Terus aku dikira nyeri otot gitu?"
'Korban iklan...' batin Ikyo sweatdrop.
Nyadar diri, Kyo! Lu sendiri juga pernah jadi korban kartun lho! *dilempar ranting kayu.*
(Note: Ini sedikit terinspirasi dari komik di Fanpage 'Tako dan Kawan-Kawan', aku udah pernah share lho! ^^/)
~Bagian 11: Orang Buta~
Aku sedang asik bermain dengan bola benangku di dalam kardus ketika melihat ada seseorang yang berjalan ke arah sofa.
Tapi dia tidak tau kalau ada Paman Ikyo yang tidur tengkurap di sana.
"Paman! Awas! Jangan duduk di si-"
"AAAAAAAAAAAAAAAARGH!"
"-tu..."
Aku segera keluar dari kardus dan menghampiri mereka, kemudian Bibi Adelia mendatangi kami. "Yamemi-san, tolong berdiri dulu! Kamu menduduki Ikyo!"
"Oh, maaf!" Orang itu segera berdiri.
Paman Ikyo langsung bangun dan duduk sambil mengelus punggungnya.
"Paman tidak apa-apa?" tanyaku.
Dia hanya mengangguk dan berdiri dari sofa, kemudian berjalan pergi.
Aku sempat melihat Paman Salem bermain gitar di ujung ruangan sambil bernyanyi, "Dan terjadi lagi~ Kisah si rubah yang diduduki orang buta terulang kembali~"
Ikyo hanya bisa memasang wajah ngenes karena teringat kejadian itu.
~Bagian 12: Lagu~
Nenek Rilen membelikan sebuah CD berisi beberapa lagu anak-anak dalam Bahasa Inggris untukku.
Beberapa lagu dari CD itu cukup unik, tapi yang menjadi favoritku itu 'The Three Little Kittens'. Ceritanya tentang tiga anak kucing yang kehilangan sarung tangan mereka dan bagian akhirnya mereka makan pie bersama ibu mereka.
Mama pernah cerita kalau lagu itu sebenarnya berasal dari sebuah puisi dengan bagian akhir yang sedikit berbeda, tapi aku tidak perduli seperti apapun bagian akhirnya karena isinya sudah cukup membuatku senang.
(Note: Sebenarnya aku cantumin ini gara-gara keponakan yang berkunjung ke rumah... -w-/)
~Bagian 13: Foto~
"Bibi sedang melihat apa?" tanyaku pada Bibi Lucy yang membuka sebuah buku.
"Hanya album foto, mau lihat?"
Aku mengangguk dan menghampiri Bibi Lucy, kemudian aku duduk di pangkuannya dan dia menunjukkan isi dari album itu padaku.
Ada foto Bibi Emy yang berdebat dengan seorang pria berambut perak, Papa yang gelayutan di lampu gantung beserta Hato di bawahnya, Paman Thundy yang sedang mengobrol dengan seorang pria berambut coklat, dan masih banyak lagi.
Tapi aku sedikit heran dengan foto seekor kucing berbulu hitam kecoklatan dengan belang putih di moncong, kaki, dan perutnya sedang tertidur di atas meja.
"Bibi, ini kucing siapa?" tanyaku sambil menunjuk foto itu.
"Oh, itu tampang kakak kamu waktu masih jadi kucing!" Bibi Lucy membalikkan beberapa halaman, kemudian menunjuk salah satu foto dimana terdapat seekor kucing kecil berbulu hitam dengan belang putih di moncong dan kakinya. "Nah, kalau yang ini tampang kamu dulu!"
Aku memperhatikan foto diriku yang dulu. "Ternyata aku sekecil itu saat masih berwujud kucing!"
"Memangnya dulu kamu tidak pernah melihat diri di cermin ya?" tanya Bibi Lucy.
"Aku bahkan tidak tau apa itu cermin!" balasku polos.
"Nanti akan kutunjukkan padamu, tapi kita lihat dulu sisa foto di sini!"
"Baiklah!"
~Bagian 14: Bercinta (?!)~
Aku sering melihat Paman Thundy dan Bibi Emy bercinta di kamar mereka, walaupun aku bingung kenapa kehidupan normal mereka selalu diisi pertengkaran.
Aku dan Kak Tsuchi juga pernah melakukannya, tapi sayangnya kami kepergok Papa dan dihukum tidak boleh makan snack kucing selama sebulan.
Ikyo langsung shock membaca bagian ini.
'Kau terlalu polos untuk hidup sebagai manusia, Flore...' batin si rubah sambil mijit kening.
~Bagian 15: Paman Mathias dan Paman Luthias~
"Paman mau kemana?" tanyaku saat melihat Paman Mathias yang terburu-buru.
"Aku harus jemput adikku, dia dalam masalah sekarang!"
"Boleh aku ikut?"
Dia melirikku dengan tatapan aneh. "Kamu nggak punya baju ya? Kenapa pakai handuk?"
Aku mencembungkan pipi. "Bajuku dicuci, Papa belum beli baju baru!"
"Tunggu sini!" Paman Mathias segera pergi ke lantai atas.
Beberapa menit kemudian, dia kembali dan memakaikan sebuah baju berwarna hitam yang terlalu besar di badanku.
"Jaketnya agak kegedean sih, tapi setidaknya pakai baju!" kata Paman Mathias sambil menaikkan tudung jaket ke kepalaku.
'Halo!'
Aku menengok ke bawah dan melihat Kopen, kemudian mengangkatnya. "Aku boleh bawa Kosen nggak?"
Dia terlihat menghela nafas. "Terserah kamu deh!"
Kemudian kami naik motor untuk menjemput Paman Luthias. Paman Mathias menyetir, aku berdiri di atas jok motor sambil memegangi pundaknya di belakang, sementara Kopen bertengger di kepalaku.
Aku sempat mendengarnya menggerutu seperti ini: "Kenapa kalian berdua harus ikut sih?!"
Setelah beberapa menit perjalanan, kami tiba di sebuah gedung besar.
"Paman, jangan seperti anjing mengejar ekornya deh!" nasihatku saat melihat Paman Mathias mondar-mandir di depan sebuah gudang.
"Tapi aku nggak bisa tenang, Flore! KAMU NGGAK TAU APA YANG AKAN TERJADI JIKA LUTHIAS OERSTED TERJEBAK BERSAMA ENARA KAKSISATAA DI SATU RUANGAN, HAAAH?!"
"Mereka bercinta?" tanyaku polos.
Paman Mathias terdiam sesaat.
"BUKAN! DAN KENAPA KAMU BISA BERPIKIR SEJAUH ITU?!"
"Bukannya itu wajar jika laki-laki dan perempuan berada di ruangan sempit dan mereka punya naluri untuk berhubungan intim?" tanyaku menjelaskan.
Ikyo langsung facepalm. 'Astaga, anak ini sudah ternodai terlalu jauh!'
"Kiamat! KIAMAT! KAMU DENGER NGGAK SIH?!" Kemudian Paman Mathias berbicara dengan kecepatan tinggi sampai aku tidak bisa mengulanginya di sini.
'Sudahlah kalian!' Kopen menyela pembicaraan kami.
"Argh, gue udah nggak tahan lagi!" Paman Mathias mengambil linggis yang sejak tadi berada di atas motor. "GUE BOBOL NIH PINTU SEKARANG JUGA!"
Paman Mathias mencongkel engsel pintu dengan linggis, kemudian menendang pintu itu.
BRAK!
Setelah pintu berhasil didobrak, Paman Mathias segera melihat ke dalam. "Greeny, kamu nggak a- ASTAGANAGASEMPAKJADITUJUH!"
Aku mengintip dari balik pintu dan tersenyum ketika melihat posisi Paman Luthias yang ditimpa seorang gadis pirang. "Wah, ternyata benar! Mereka sedang bercin-"
"DIAM! APAPUN YANG KAMU KATAKAN HANYA AKAN MEMBUAT SUASANANYA TAMBAH BURUK!"
'Nih anak abis dijejelin apaan sampe segitunya?' batin Ikyo yang merasa prihatin dengan kondisi Mathias di bagian ini.
Gadis itu segera bangun dan menjauh dari Paman Luthias.
Kemudian Paman Luthias segera berdiri sambil membersihkan badan dan berjalan menghampiri kami.
"Hey, kalian yang di sana!" Terlihat sesosok laki-laki dari ujung koridor.
"KABOOOOOOR!" teriak Paman Mathias sambil ngacir.
Paman Luthias menarikku dan kami segera pergi dari tempat itu.
(Note: Sebenarnya ini dari fic terbaruku, judulnya agak panjang jadi nggak bisa dikasih tau di sini... ^^/)
"Paman baca diary-ku ya?"
Ikyo langsung kaget begitu mendapati Flore sudah berada di depannya dengan wajah bingung.
"Oh, Flore... Hmm, ya... Ehehe..."
Flore duduk di sebelah Ikyo. "Bagaimana menurut Paman?"
"Diary-mu cukup bagus kok!" Ikyo mengacak-acak rambut Flore.
'Tapi sayangnya kau terlalu cepat ternodai, nak...' batinnya melanjutkan dengan senyum miris, kemudian menyerahkan buku yang dipegangnya kepada sang pemilik dan pergi.
Meanwhile...
Sebuah mobil terlihat berhenti di depan markas dan keluarlah seorang gadis berambut pink dari dalam mobil itu.
"Hmm, untuk apa mobil itu?" tanya Girl-chan bingung.
"Hadiah dari Rosy-san!" jawab gadis itu watados.
Si ketua Garuchan berpikir sejenak. "Maaf, bukannya aku menolak sih, tapi aku tidak suka naik mobil, jadi... Well... Terserah jika memang mau ditaruh di sini..."
"Dia siapa?" tanya Daren yang baru keluar.
"Kimura Natsuko, adik dari Kimura Aki yang dulu telah merombak ulang markas ini!" jelas Girl-chan. "Tapi ngomong-ngomong, untuk apa kau ke sini?"
"Aku mau mengunjungi Flore-chan, sekalian memberinya beberapa hadiah!"
"Dia di dalam, masuk saja!"
Setelah itu...
Natsuko melihat Flore sedang asik bermain dengan bola benangnya di dekat kardus dan menghampiri anak itu. "Flore-chan~"
Anak itu menengok. "Ah, Kak Natsuko! Ada apa?"
"Hehe, aku hanya ingin memberimu hadiah kok!" Natsuko mengeluarkan sebuah buku. "Nah, kamu kasih notebook ini untuk Tsuchi-kun, terus nanti ada kasur air yang akan kutaruh di ruang anak-anak!"
"Wah, makasih!" Flore menerima buku itu dengan senang hati.
"Oh iya, aku boleh nanya nggak?"
"Soal apa?"
"Kamu suka mengoleksi apa?"
"Belum ada! Tapi aku ingin mengoleksi hal-hal yang berhubungan dengan namaku!"
"Bunga?" tanya Natsuko menebak.
Flore mengangguk. "Foto-foto bunga, kerajinan bunga, dan berbagai macam benda bermotif bunga!"
Natsuko ber-'oh' ria. "Eh iya, Flore-chan, mau jalan-jalan?"
"Mau, mau!" Kemudian Flore menghampiri Teiron yang sedang baca buku di sofa. "Papa, aku jalan-jalan sama Kak Natsuko ya!"
Teiron hanya mendongak dari buku bacaannya sesaat. "Ah iya, hati-hati!"
Flore hanya mengangguk, kemudian dia segera pergi bersama Natsuko.
Special Bonus: Genderbend Reactions (Sedikit random part yang belum ada di fic Reha Squad Chapter Genderbend. Udah di-post di FB sih, cuma ada yang diubah sedikit.)
Bagaimana reaksi beberapa orang dengan perubahan gender orang terdekat mereka?
~Yubi~
Tumma sedikit risih dengan seorang pemuda berambut biru bermata kuning yang duduk di sebelahnya. "Errr, Yubi... Bisa jaga jarak sebentar?"
"Oh, baiklah..." Dia segera menjauh setengah meter.
Saat ini mereka sedang menonton TV yang menayangkan channel dunia binatang, tapi entah kenapa...
"Tum!" Yubi terkejut melihat Tumma yang tiba-tiba menangis.
"Mocha..."
Ternyata channel itu menayangkan kehidupan musang dan membuat Tumma teringat musangnya yang sudah lama mati.
Yubi mendekati Tumma dan merangkulnya. "Jangan menangis, ayo sini kupeluk!"
Mereka pun langsung pelukan dengan suasana menyentuh...
Jika saja tidak ada adegan Alucard yang gendong Thundy dikejar-kejar Emy yang berubah jadi cowok di belakang mereka.
~Lucy~
"Kak Lucy..." Alexia sedikit shock dengan seorang pemuda berambut coklat di depannya.
Pemuda yang diketahui adalah Lucy itu terlihat murung. "Aku tidak tau harus bagaimana lagi, Otou-chan..."
~Vivi~
"Kau tidak apa-apa kan, Vivi?" tanya Daren sambil menepuk punggung seorang pemuda berambut ungu yang sedang depresi.
Si pemuda yang ternyata adalah Vivi itu malah manyun. "Aku takut Vieny nggak sayang aku dengan wujud ini!"
Daren menepuk punggungnya lagi. "Oh ayolah... Frère bisa mengerti keadaanmu kok!"
"Dary, kau lihat Vivi-"
"Oy, Vivi!" Daren kaget saat mendapati Vivi langsung kabur begitu mendengar suara Vience.
Vience yang baru datang terlihat kebingungan. "Dary, apa yang terjadi?"
"Dia depresi karena berubah jadi laki-laki..." jawab Daren risih.
Vience mengangkat alis. "Sepupu Kampret itu juga mendapati pacarnya jadi cowok lho!"
"Hah? Iris juga? Kok bisa?" tanya Daren kaget.
Vience hanya angkat bahu dan berniat pergi. "Aku harus menemui Vivi-chan dulu!"
~Lisa Part 2~ (Part 1 di fic sebelah... -w-/)
"Lis..." Entah kenapa Alpha hanya memasang wajah datar ketika melihat seorang pemuda pirang yang ternyata adiknya beserta temannya yang pingsan. "Sepertinya Teiron shock melihat perubahanmu deh..."
"Benarkah?" tanya Lisa.
Alpha hanya mengangguk.
Kemudian muncullah Flore yang memasang wajah bingung. "Paman, kenapa Papa pingsan?"
"Dia pingsan karena mama-mu jadi laki-laki, Flore..." jawab Alpha.
"Eh?" Flore memiringkan kepala. "Nenek Rilen juga berubah jadi laki-laki..."
"Bibi Rilen juga?" tanya Lisa kaget.
Alpha memasang pose berpikir. "Ini sangat mencurigakan..."
~Grayson~
"Maurice, bisa tolong ke sini?"
"Iya, seben- tar?" Maurice yang baru datang langsung bengong begitu melihat seorang wanita berambut perak bermata ungu di kamar pamannya.
Wanita itu terlihat bingung. "Ada yang salah?"
"Paman... Kenapa jadi perempuan?" tanya Maurice sedikit bingung.
Sang wanita yang ternyata pamannya hanya angkat bahu. "Aku juga tidak tau, nak... Tapi, bisa ke sini sebentar?"
Maurice mendekati pamannya dan...
"Aduh aduh aduh!"
Grayson malah iseng cubitin pipi keponakannya. "Sejak dulu aku pengen cubitin kamu kayak gini!"
"Paman, udah ah! Sakit!"
~Giro~
"Kenapa jadi begini sih?" keluh seseorang berambut hitam panjang sepungung dan memakai kacamata yang telanjang bulat sambil memperhatikan diri di cermin dan memegangi dadanya.
"Giro, ayo kita per-"
Luthias langsung melongo begitu melihat ehemUke-nyaehem yang mendadak terlihat berbeda, tiba-tiba dia langsung berlutut dan memegangi pintu sambil menutupi hidung dengan wajah merah padam.
"Lu-Luthias-pyon!" Giro yang kaget melihat tamu tak diundang itu segera menghampirinya. "Kau tidak apa-apa?"
"J-ja... A-aku baik-baik saja kok..." balas Luthias dengan hidung yang sudah mengeluarkan darah.
"HIDUNG MIMISAN NGGAK BISA DIBILANG BAIK-BAIK SAJA!" pekik Giro panik.
Beberapa menit kemudian...
Mathias sibuk menyumbat hidung adiknya dengan tisu di saat Giro kelabakan mencari sesuatu karena...
"Mathias-pyon, gue butuh bra nih! Bisa tolong pinjam punya Rara-pyon?"
"Hah? Masalahnya tuh anak lagi tidur jam segini dan gue bisa disangka maling kalau ngambil tanpa izin, kalaupun bangun juga gue bingung mesti bilang apa sama dia!"
Makhluk cantik (mau bilang cewek takut digampar, mau bilang cowok juga kayaknya kurang pas sama badannya) itu hanya bisa mijit kening.
Marukaite chikyuu, marukaite chikyuu, marukaite chikyuu, Osutoria desu~
Giro mengambil handphone-nya yang berbunyi di atas kasur dan segera mengangkat panggilan. "Ya?"
"Giro, kayaknya aku ninggalin beberapa bra di dalam paket biola-mu waktu itu deh! Kamu masih nyimpen nggak?"
"Eh? Kayaknya sih, entar aku periksa deh!" Panggilan pun ditutup.
Giro segera membuka lemari baju dan langsung mengobrak-abrik isinya sampai ke bagian sudut.
Setelah menemukan beberapa bra berwarna putih, dia malah cengengesan. "Hehe, ternyata ada gunanya juga Schwester ninggalin bra di dalam paket biola-ku waktu itu!"
Mathias langsung sweatdrop mendengarnya. "Terserah..."
To Be Continue, bukan Typing Budget Confirm (?)...
Judulnya... Receh banget ya? (Pun-nya itu lho...)
Apalagi kelihatannya ini diary yang bukan diary karena nggak pake tanggal. (Iya, serius!)
Ya sudahlah, aku berusaha melanjutkan ini sih... -w-/
Aku sudah membuat fic yang berhubungan dengan bagian 14, tapi bingung mau post di mana... .w.a
Review! :D
