Balas Review! :D

RosyMiranto18: Sayangnya ini tidak seperti yang kau maksud... -w-/

Musket: *masih murung.*

Flore: *melihat semua paket yang diterima.* "Aku bingung harus makan yang mana..." 'w'a

Teiron: "Asal jangan makan semuanya sekaligus, apalagi durian, bau-nya tidak enak!"

Flore: "Papa sudah pernah coba?"

Teiron: "Tidak, hanya menciumnya saja!"

Thanks for Review! :D

StrideRyuuki: Nggak apa-apa sih... ^^a Ini udah lanjut! :D

Happy Reading! :D


Chapter 85: The Last Day?


"Senja esok hari kau takkan terlihat lagi. Kakimu akan terbelenggu bumi dan terperangkap sepi. Jatuh ke kedalaman, jatuh ke kegelapan."

Alexia tertawa keras sampai memenuhi seluruh ruangan.

Dia menertawakan dua hal: kalimat dukun barusan dan wajah dukun itu sendiri.

Anak itu tertawa memegangi perutnya untuk beberapa saat, sampai akhirnya dia menyadari ada yang aneh dan berhenti tertawa.

Dia berbalik untuk melihat dua sosok lain di ruangan itu. Wajah kedua gadis di belakangnya sama sekali tidak menunjukkan rasa terhibur. Dua pasang mata merah-hijau dan coklat itu menatap Alexia dengan wajah yang sulit dijelaskan.

Dukun keriput yang duduk bersila di depannya pun hanya memasang tatapan seperti berkata: "Zaman telah berubah."

"Kak Lucy? Hikari? A-ada apa?" tanya Alexia bingung.

"Kamu ngerti kan apa arti kalimat dukun barusan?" Hikari bertanya balik dengan nada yang terdengar seperti baru saja menelan tulang ikan.

"Pfft! Tentu saja, bodoh!" balas Alexia sambil mengibaskan tangan.

"Memang apa artinya?" Lucy mulai angkat bicara dengan wajah yang masih belum santai.

"Artinya ini lelucon!"

Lucy langsung facepalm mendengar jawaban adiknya, kemudian memasang wajah serius. "Otou-chan, kita harus segera pulang!"


Lucy terlihat tidak nafsu makan sama sekali walaupun telah disajikan secangkir teh hangat dan sepiring penuh cinnamon roll, Alexia dengan senang hati menikmati camilan yang disediakan Mathias, sementara Hikari sibuk dengan handphone-nya sambil mengunyah dengan brutal.

"Jadi, bagaimana hasilnya?" tanya Mathias penasaran.

"Ini yang dikatakan dukun itu, kutulis karena takut lupa!" Alexia menyodorkan secarik kertas lecek yang diambil dari saku celananya, Lucy dan Hikari menolak membawanya karena takut kertas itu membawa sial.

Mathias mengambil kertas itu dan mengerutkan kening. "Senja esok hari kau takkan terlihat lagi. Kakimu akan terbelenggu bumi dan terperangkap sepi. Jatuh ke kedalaman, jatuh ke kegelapan?"

"Kami tidak yakin sih... Tapi, bukankah itu ramalan yang buruk?" tanya Hikari dengan mulut penuh remah kue.

"Memang benar... Ini..." Anehnya Mathias terkesan tenang-tenang saja walaupun wajahnya serius.

"Berarti Otou-chan akan mati?" serobot Lucy.

Mathias menengadah ke langit-langit sesaat, kemudian kembali menatap Lucy. "Kurasa iya..."

"Untuk apa jeda yang tadi?" tanya Hikari.

"Aku sedang memikirkan akibat yang akan kudapat jika jawab iya. Tapi setelah kulihat Alexia tidak membawa Revolver-nya, kupastikan tubuhku akan baik-baik saja tanpa terkena lubang tembakan." jelas Mathias seadanya.

"Jadi... Aku bakalan mati besok?" tanya Alexia.

Sebelum Mathias sempat menjawab, Hikari langsung memukul meja. "KITA ADAKAN RAPAT SEKARANG JUGA!"

"Ugh, padahal aku ada janji nanti malam..." keluh Mathias.


Atas permintaan Hikari, rapat dadakan langsung diadakan malam itu juga di perpustakaan markas.

Sebagian besar orang sudah tiba di sana dengan kondisi yang bermacam-macam, lebih dari setengahnya sedang dilanda rasa sebal, dan orang yang paling mudah dilanda hal ini adalah Edgar yang baru saja kembali dari rumah keluarganya.

"Yo Edgy~ Wajahmu mirip ayah muda yang baru saja berhasil mengganti popok anaknya dan ternyata dia belum selesai pup!" seru Tartagus watados.

"Ugh, berisik!" gerutu Edgar sambil menenggelamkan diri di sofa dan memijit kening karena pusing.

"Heiiiii! Permisi tuan-tuan dan nyonya-nyonya! Kita akan segera mulai acaranya~ Mohon masuk ke ruangan ya~" Reha menepukkan kedua tangannya, kemudian mengarahkan mereka semua ke perpustakaan.


Edgar cukup lega mendapati kursinya tidak bersebelahan dengan beberapa orang yang pastinya hanya akan menambah pening. Dia pun dengan lemas berjalan mendekati kursinya dan duduk.

Setelah memastikan tidak ada yang belum masuk ke ruangan, Reha menutup pintu dan berjalan ke tengah kerumunan.

"Apa sih tujuan rapat ini? Ini kan mendadak banget!" celoteh Ethan.

Girl-chan berdehem sejenak. "Baiklah. Selamat malam para hadirin yang terhormat. Hari ini kita akan membahas tentang ramalan seorang dukun tentang masa depan Alexia."

"Kedengarannya tidak penting!" komentar Vincent dengan tangan menumpu dagu karena bosan.

Girl-chan hanya tersenyum karena sedikit bersyukur Vincent sedang tidak mood untuk membunuh orang (setaunya sih).

"Kronologinya akan disampaikan oleh Lucy karena aku ingin pipis, terima kasih!" Gadis itu langsung menyerahkan mikrofon kepada Lucy yang kebingungan, kemudian segera berlari keluar.

"Selanjutnya aku akan menyampaikan kronologi ramalan ini seperti yang telah dikatakan Kaichou." Lucy berdehem sesaat. "Berawal dengan kebosanan Hikari, dia memutuskan untuk mencari sensasi dengan menekan nomor random di handphone-nya dan berhasil membangunkan Mathias (yang saat itu sedang berada di negaranya) pada suatu tengah malam. Setelah Hikari berbasa-basi menyampaikan maksudnya menelepon, Mathias memberinya ide agar pergi ke dukun untuk meramal masa depan, kemudian dia menarikku dan Otou-chan (yang sedang menganggur) untuk ikut bersamanya."

Entah kenapa suasana mulai rusuh selama beberapa menit sampai...

BRAK!

Pintu ruangan didobrak dan memunculkan si gadis yang memasang wajah lega karena baru selesai pipis. "Ah, leganya!"

"Masuklah, Kaichou! Kita teruskan rapatnya!" ujar Lucy.

"Jadi, sampai mana tadi?" tanya Girl-chan.

"Sampai Hikari menyeretku dan Otou-chan..." jawab Lucy.

"Oh, oke oke! Jadi... Hikari, Lucy, dan Alexia pergi ke dukun pagi ini! Lucy dan Hikari mendapatkan ramalan yang tidak terlalu penting, tapi yang didapat Alexia..."

"SANGAT BURUK!" teriak Hikari lantang. "Dukunnya bilang dia akan mati sebelum senja besok!"

Reaksi mereka yang hadir berbeda-beda. Ada yang memekik khawatir, ada yang merengek sambil memeluk lengan orang terdekat, dan ada yang tersenyum lebar karena sesuatu.

"Apa kau yakin itu ramalan dan bukannya kutukan?" Alfred secara mengejutkan mulai angkat suara, walaupun sebenarnya wajahnya memperlihatkan kalau dia sedang tidak tertarik.

Girl-chan menggeleng. "Meskipun Mbah Dukun bisa melakukan keduanya, kalau nggak diminta mengutuk juga dia nggak bakalan melakukannya. Lucy bilang mereka cuma minta ramalan kok. Soalnya kalau sekalian minta kutukan, bayarannya nggak hanya sepuluh ribu per orang."

"Atau jangan-jangan otak Lucy waktu itu sedang error? Mungkin saja terjadi kesalahpahaman." Ikyo nimbrung dari tempat duduknya di pojok ruangan.

Semua mata langsung tertuju ke arah Lucy dan banyak yang menyipitkan mata dengan curiga, yang bersangkutan langsung tidak terima. "Kubilang pada dukun itu kalau kami minta diramal!"

"Huweeeee! Berarti Alexia beneran akan mati?" Musket sudah menangis hebat dan Daren yang berada di sebelahnya terpaksa menepuk punggungnya dengan canggung.

"M-memangnya dia punya penyakit yang mengancam nyawa ya?" tanya Iris.

Sayang sekali kalau Alexia harus mati, dia akan kehilangan teman yang bisa diajak sharing tentang yaoi... Sekaligus dinistakan.

Beberapa orang juga mulai heboh sendiri sebelum akhirnya...

"SUDAH CUKUP!" teriak Hikari histeris. "Seharusnya kalian mendiskusikan cara mencegah dia mati!"

"Memangnya ramalan itu sudah pasti tepat?" tanya Saphire.

"Jangan meremehkan kehebatan dukun..." balas Reha dengan wajah serius. "Mau coba menyantet orang? Atau susuk?"

Saphire menggeleng. "Nggak, makasih..."

"Tunggu! Tunggu! Kalian sadar nggak kalau dari tadi Alexia santai-santai saja?" tanya Edgar.

Kali ini semua orang (kecuali dua ketua squad) melotot ke arah Alexia yang hanya tersenyum tenang sambil melipat tangan. "Ehmm... Aku tidak keberatan mati sekarang kok!"

"APA?!"

"Sungguh!"

"K-kau serius?!" pekik Hikari sambil mengguncang bahunya dengan panik plus tidak percaya.

Alexia mengangguk dan tersenyum. "Tapi kalau boleh... Aku ingin minta satu permintaan terakhir..."

Tanpa disadari, seisi ruangan telah diliputi keheningan dan sebagian besar orang mulai memasang wajah prihatin.

"Apa itu?" tanya Lucy.

"Tapi apa yang lain setuju?" Alexia mengalihkan pandangan ke semua orang di depannya.

"Yah, nggak masalah sih..." ujar Reha diikuti anggukan dari teman-temannya.

Girl-chan ikut mengangguk. "Iya! Apa sih yang nggak bisa kami lakukan?"

"Semuanya setuju?" tanya Alexia lagi dengan penuh harap.

"Iya..." jawab beberapa orang bersamaan.

"Baiklah kalau begitu..." Pemuda pirang itu tersenyum.

Tapi bukan senyuman biasa. Senyumnya kali ini membuat beberapa orang yang mengenalnya dengan baik langsung menyesali keputusan mereka. Beberapa orang yang sensitif pun juga berpikiran sama.

"Wah... Ini tidak bagus..." gumam Elwa.


Setelah itu...

BUGH!

"APA-APAAN INI?!" pekik Revan yang baru saja membanting buku setebal tiga puluh halaman yang dibacanya ke atas meja.

Wajahnya merah karena banyak alasan. Pertama, dia marah. Kedua, dia malu. Ketiga, dia malu dengan apa yang baru dibacanya. Keempat, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dibagikan kepada mereka bertiga.

"Itu naskah untuk mini drama yang akan kalian bintangi, Van!" jawab Alexia sambil tersenyum manis dan memainkan sesuatu yang terlihat seperti stoking jala di tangannya. "Apa kau sudah hafal bagianmu?"

"SIAPA YANG SETUJU TENTANG INI?!"

"Wow, Re-chan! Tidakkah kau lihat ini? Aku akan menyelamatkan dunia, tapi tidak jadi karena kau yang cengeng!" seru Red senang sambil melambai-lambaikan buku naskahnya.

"Wow, aku tidak tau kalau Re-chan itu-"

DUAK!

Rone tidak bisa meneruskan kalimatnya karena naskah Revan sudah mendarat di wajahnya.

"A-anu... Alexia... A-apa aku benar-benar harus memakai k-kostum ini?" tanya Lisa yang muncul dari ruangan sebelah dengan memakai baju maid lolita (yang sepertinya kekurangan bahan tapi kelebihan renda) sambil berusaha keras menarik turun roknya (yang jatuh jauh di atas lutut dan lebih dekat dengan garis pakaian dalam) dengan wajah semerah rambut kekasihnya.

Semua orang yang melihatnya (kecuali Alexia) melongo seketika.

"Tentu saja, kau sangat cocok dengan pakaian itu~ Tinggal pakai telinga kucingnya saja, tidak usah malu-malu!"

Alexia sibuk memasangkan bando telinga kucing ke kepala Lisa yang terus-terusan berusaha menutupi tubuhnya dengan sesuatu ketika pintu ruangan sebelah terbanting dan muncullah Maurice yang memasang ekspresi tidak jelas karena kilatan di kacamatanya.

"Hoy Lex, kenapa si Alpha dapat bagian dalam acara pemotretan bersama Ali-chan sementara aku tidak?!" tanya anak itu marah-marah.

"Hmm... Mungkin karena kau pendek?"

"Tapi kau kan lebih pendek dariku!"

"Rice, kau itu cocoknya bergabung dengan Alex menyiapkan konsumsi..." timpal Teiron yang keluar hanya memakai celana selutut bermotif macan tutul dan bando telinga kucing yang matching. Oh, ada buntutnya juga ternyata!

Kemudian pemuda merah itu menyeret Maurice sebelum dia sempat berubah menjadi serigala dan memporak-porandakan seisi ruangan.

Alexia nyengir lebar, sementara Lisa menutupi wajah untuk menyembunyikan rona merahnya setelah melihat pakaian yang dipakai anak itu barusan.

"Lex, aku maunya baju kucing, bukan macan tutul..." protes Teiron setelah selesai mendorong Maurice keluar ruangan.

"Ayolah! Bukankah macan tutul dan kucing itu satu famili? Sama-sama Felidae kan?" hibur Alexia yang tidak mau Teiron melepas kostumnya dan pemotretan bertema 'Red Half-Naked Cheetah x Cute Maid Lolita Kitten' yang sudah diimpikannya gagal (jangan ditanya kenapa judulnya maksa begitu). "Lihat, Lisa sudah menggantikanmu jadi kucing~"

Kemudian Luthias muncul dengan memakai seragam militer khas Denmark.

"Lex, yang bener aja gue harus main satu film sama Aniki?! Dan kenapa juga lu harus ngangkat tema zaman Terusan Kiel?! Itu kan kuno banget!" bentak Luthias dalam mode badmood.

"Heee... Kukira mengangkat kembali tema di masa lalumu akan lebih mendalami, bukan begitu? Kau terlihat gagah dengan pakaian itu, sungguh!"

"Ya ampun, gue beneran nggak ngerti sama lu, Lex! Gue yakin naskahnya pasti cuma semacem makeshift dari fanfic lu di internet kan?! Tau nggak, dengan main di film ini, sama aja gue secara blak-blakan ngumumin apa yang pernah terjadi saat Aniki- Ups!"

"Jadi beneran ada sesuatu di antara kalian waktu itu ya? Ayo ceritakan!" Alexia mengeluarkan notes kecil dan pensil yang entah dapat dari mana.

"Nggak! Itu cuma asal ngomong!" Luthias langsung kabur.

Alexia hanya menghela nafas. "Sayang sekali..."


Sementara itu...

Tsuchi menghela nafas panjang setelah selesai membaca buku tipis yang dipegangnya (dan pastinya juga dimiliki semua orang yang menghadiri rapat sebelumnya). Pemuda kucing itu tengah duduk di atas tempat tidur di saat sang 'Papa' sedang melakukan tugasnya.

Manik emas itu menatap jam dinding. Dia sudah diberi waktu tidur selama sepuluh jam sebelum bagiannya dimulai, tapi dia malah membaca ulang bukunya langsung ke bagian isi.

Tsuchi mengerutkan kening setelah membacanya. Dia tidak percaya kalau semua orang akan setuju untuk ini (yah, sebenarnya Alexia pakai cara licik agar semuanya setuju) dan dia jadi tidak bisa tidur karena gugup.

Karena apa? Karena banyak hal.

Dia sedih karena ramalan itu, tapi ketika mengingat Alexia akan mengandalkannya, Tsuchi memaksakan diri untuk tidur.


Di sisi lain...

"Oy Lex..."

"Ya?"

Hikari bersandar pada tembok di sampingnya dan memperhatikan Alexia yang terlihat lelah. Anak itu seharusnya tidur sampai jam lima, tapi dia malah sibuk meng-edit hasil kerja mereka hari ini.

'Ruang kerja sementara' pemuda pirang itu gelap, satu-satunya sumber cahaya adalah menyala adalah layar laptop di depannya yang terlihat persis seperti mangaka dikejar deadline. Kopi yang dibuatkan Bibi Rilen untuknya sudah dingin di sudut meja.

"Kau seharusnya tidur!" ujar Hikari sambil melipat tangan dan tidak mengalihkan pandangan dari rambut pirang itu.

"Kau sendiri kenapa tidak tidur?" tanya Alexia.

Hikari menghela nafas dan mendekati teman sekolahnya dulu. "Aku tidak butuh tidur! Kau sendiri, di lain pihak..."

"Heh, kenapa?"

"Kau akan mati besok... No offense, dude! Tapi setidaknya istirahatlah, masih ada tiga jam sebelum subuh..." Hikari menepuk bahu Alexia.

Akhirnya pemuda itu menghentikan aktivitasnya. Setelah menyimpan file di sana-sini, dia menatap Hikari yang masih memegangi bahunya dan tersenyum lelah. "Thanks. Kupikir aku akan membuat tubuhku sangat lelah sampai tidak kuat lagi sehingga nanti akan mati dengan mudah, tapi kalau dipikir lagi, itu bodoh ya?"

"Yep, berterima kasihlah padaku!"

"Makasih ya!" Alexia menyelonong pergi.

Hikari hanya tersenyum melihat kepergiannya.


Keesokan harinya...

Flore mencabuti gulma yang tumbuh di sekitar taman tempat bunga-bunga tumbuh untuk menyiapkan lokasi syuting selanjutnya sambil bersenandung pelan.

Nigou yang sedang mengecek apa semuanya sudah beres berjongkok di samping gadis kucing berambut hitam-putih itu dan menghela nafas.

"Nigou, sudah selesai dengan tugasmu?" tanya Flore.

"Ya. Yang lainnya sudah beres, tinggal bagianmu saja!" jawab Nigou sambil melirik keranjang anyaman yang dipenuhi gulma.

"Ah, aku terlalu banyak bersenandung! Sebentar lagi ya!" Flore langsung panik dan buru-buru mempercepat gerakannya.

Nigou hanya tersenyum sambil membaca ulang catatannya dan menambahkan tanda centang di kolom 'Pembersihan (Flore)'.

"Aku tidak percaya Paman Alexia akan meninggal hari ini..." gumam Flore dengan wajah sedih.

"Memang sulit dipercaya... Tapi mau bagaimana lagi? Dunia memang tidak bisa diprediksi..." Nigou menengadah ke langit cerah di atasnya.

"Makanya itu aku akan berusaha keras! Ayo semangat di bagian kita nanti!" Flore mengepalkan tangan dan Nigou mengangguk.

"Hey, Nigou, Flore! Lihat Tartagus nggak?" Tiba-tiba Vience muncul sambil membawa cangkul yang berlumuran tanah.

Flore menggeleng. "Tidak lihat, Paman!"

"Cih, baiklah kalau begitu! Daaah!" Vience melambaikan tangan dan pergi.

"Untuk apa dia bawa cangkul?" gumam Nigou yang tidak yakin kalau Vience punya tugas menggali di agendanya.


Di tempat lain...

"Hei Thun, ayo katakan!" seru Lectro dari tempatnya duduk di belakang kamera.

Mini drama bagiannya baru berjalan seperempat dan Thundy sudah menunjukkan tanda-tanda tidak mau lagi berakting.

Thundy mengepalkan tangan. Dia tidak percaya kalau dia benar-benar harus melakukan ini!

Meskipun Alexia sudah memberinya plot paling mudah (dia hanya perlu memperlakukan Emy seperti biasanya, marah-marah seperti biasanya, dan memukulnya seperti biasanya), dia tetap tidak mau mengucapkannya pada Emy!

"E-Emy, m-maukah, kau, tidur, denganku, malam ini?"

Yah, dia sangat tidak ingin mengucapkannya meskipun hanya untuk akting!

"Thun-kun?" Emy hendak menyentuh pipi pemuda biru di depannya, tapi ditepis dengan kasar.

"Aargh! Ini bodoh! Bodoh! Aku tidak tahan lagi!" teriak Thundy marah dan berlari keluar ruangan.

"Thun-kun!"

Thundy tidak berhenti dan Emy langsung mengejarnya.

"L-Lex, bagaimana ini?" tanya Lectro panik sambil melirik Alexia yang agak shock.

"Tidak apa-apa! Cepat rekam mereka! Kejaaaaar!"


Thundy terus berlari tanpa arah.

Pokoknya dia tidak mau! Oke, mungkin dia sedikit perduli pada Alexia karena dia akan mati, tapi tetap saja dia tidak mau berakting begitu dengan Emy.

Menurutnya semua orang tampak bodoh dengan akting mereka. Tapi... Emy tadi sangat cantik dengan rambut yang sedikit ditata ulang oleh kru make up dan jantungnya mulai bertingkah.

Tidak, tidak, tidak! Bisa-bisa kalau dia mengucapkan bagiannya tadi, bakalan kelihatan jelas kalau...

"GYAAAAAAAAH!"

Tiba-tiba Thundy terjembab ke dalam sebuah lubang sempit sedalam dua meter. Kepalanya terbentur tembok lubang dengan cukup keras dan dia merasa pusing hebat seketika.

Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, dia berharap semua yang dilakukan Emy bukan hanya akting.


"Halo, Eris? Lihat Thundy nggak?" tanya Adelia lewat handphone dan menggigit kuku, kemudian mencoret nama Eris di kertasnya.

Alexia sudah membiarkan Lectro, Emy, dan Girl-chan untuk mencari Thundy. Semua orang menyarankan kalau sebaiknya syuting tetap dilanjutkan (bukan karena bersemangat, tapi karena ingin cepat selesai dan beristirahat). Adelia ditugaskan menghubungi orang-orang yang tersebar di kota untuk bertanya-tanya, sementara Alexia sedang berkonsentrasi dengan mini drama di hadapannya.

Sampai pada akhirnya jadwal sudah memasuki sesi terakhir dan Thundy belum juga ditemukan.

Orang-orang mulai gempar. Dua jam lagi senja dan Alexia...

Alexia yang sejak tadi duduk di sofa sambil berpikir akhirnya mulai angkat suara. "Hikari! Ayo susul Emy!"

"Heh? Kau di sini saja, biar aku yang susul!"

"Tidak bisa! Thundy hilang karena aku!"

"Tapi sebentar lagi senja! Kita tidak tau kapan kau-"

Alexia tidak mendengarkan dan hendak berlari keluar ruangan, tapi tangannya dicengkeram Paman Grayson yang berdiri di ambang pintu. "Kita tunggu setengah jam. Kalau masih tidak ada kabar, kita telepon polisi dan kau boleh ikut mencari."


Edward, Mita, dan Andre sedang jalan-jalan sambil mendiskusikan hilangnya Thundy, tapi topik mereka malah cepat berganti ke Skypee.

"Toilet dimana ya?" tanya Mita yang kebelet.

Edward menengok ke belakang sebentar. "Wah, sudah terlalu jauh untuk kembali ke markas, mungkin di gedung itu ada!"

"Itu kan gedung belum jadi! Lihat, tanah di sekitarnya saja masih belum ditanami rumput!" celetuk Andre.

"Pipis di semak-semak?" usul Edward.

"Masalahnya aku nggak mau pipis!" balas Mita.

"Di lubang itu saja!" usul Andre yang menunjuk sebuah lubang.


Kembali ke rombongan...

"Sudah setengah jam! Aku pergi!" Alexia bangkit dari sofa dan Paman Grayson bergeser dari posisinya untuk membiarkan anak itu lewat.

Tapi ketika tangannya sudah terulur untuk membuka pintu, handphone seseorang berbunyi.

"Ada apa?" tanya Arie pada orang yang meneleponnya.

Sesaat wajahnya terlihat sebal, tapi kemudian dia terkejut. "Thundy ketemu!"

Semua orang langsung memperhatikan Arie dengan saksama, wajahnya tampak gugup ketika memutuskan telepon. "T-Thundy terjatuh ke dalam lubang galian di dekat gedung yang belum selesai dibangun..."

"Seseorang telepon Emy! Ada yang punya kotak P3K? Tangga juga!" seru Alexia.

Ketika semua orang tengah bergegas keluar, Daren melirik kakak sulungnya yang terlihat tidak nyaman.

"Kau kan yang menggali lubang itu?" tanya Daren setelah semua orang pergi.

Vience hanya menunduk. "Aku tidak bermaksud menjebaknya, aku hanya berniat mengerjai Tartagus!"

Daren menghela nafas. "Yah, sebaiknya kau minta maaf nanti. Berdoa saja semoga Thundy tidak apa-apa."


"THUN-KUN!" teriak Emy sambil menerobos orang-orang yang berkumpul untuk melihat keadaan Thundy.

"E-Emy..." Thundy sudah hampir menangis ketika Emy mendekatinya.

Giro dan Naya yang baru selesai membalut luka-luka Thundy beranjak pergi.

"Kau baik-baik saja kan?" Emy berlutut di depan Thundy sambil mengelus kepala dan pipi pemuda biru itu.

Setelah melihat Thundy mengangguk, Emy mendekapnya dengan pelukan hati-hati tapi tulus. "Syukurlah..."

Pasangan itu berpelukan di bawah cahaya jingga langit senja dan semua orang tersenyum lega. Teiron merasa sangat terharu sampai harus membuang ingus dua kali.

"SIAPA YANG MEREKAM ITU TADI?!" teriak Alexia dengan nada berapi-api yang mengagetkan semua orang. "LECTRO, LU DAPET KAN?!"

"Ma-maaf Lex, tadi kameranya kehabisan baterai di tengah jalan... Soalnya gue merekam semua yang dilakukan Emy sih..." Lectro menggaruk kepala.

"A-A-" Alexia langsung lemes. "Pa-padahal yang tadi itu..."

"Lex, ini..." Rendy secara mengejutkan menyodorkan sebuah handycam pada Alexia yang sesenggukan. "Tadi kurekam, soalnya disuruh Salem..."

"Huweeee! Rendyyyyyy! Makasiiih!" Alexia langsung memeluk pemuda perak itu.

Ketika suasana mulai damai, Mita yang baru selesai buang air besar muncul. "Lho, Kak Alexia kok masih hidup? Ini kan sudah lewat senja!"


Seminggu kemudian...

"Mbah Dukun! Apa maksudnya semua ini?!" teriak Hikari kepada Mbah Dukun yang berada di layar proyektor.

Reha dan Girl-chan tidak hadir di ruangan karena mendampingi Mbah Dukun yang baru pertama kali pakai webcam dan Skypee.

"Ini Mbah, mic-nya dideketin mulut!" Terdengar suara Reha yang membimbing si Mbah.

"Oooh... Gadis pirang, lama ndak ketemu..." Si Mbah Dukun menyapa Hikari yang hampir mencak-mencak. "Apa kalian ndak pernah nonton Narnio?"

"Hah?"

"Mbah, kita ini tanya kenapa Alexia nggak jadi mati seperti yang sudah Mbah ramalkan! Jangan OOT dong!" protes Alpha.

"Sabar sabar... Saya ndak ngomong kalau dia akan mati... Ramalan saya kan cuma 'Senja esok hari kau takkan terlihat lagi. Kakimu akan terbelenggu bumi dan terperangkap sepi. Jatuh ke kedalaman, jatuh ke kegelapan'... Ndak ada kata-kata mati..."

"Bukannya ada pesan tersirat di dalamnya?" tanya Monika.

"Ndak ada..." jawab si Mbah.

"Terus, arti dari ramalan itu apa?" tanya Alisa.

"Dia bakalan jatuh ke lubang..."

.

.

.

.

.

Webek, webek...

.

.

.

.

.

"Ta-tapi Mbah, yang jatuh ke lubang bukan Alexia, tapi Thun-kun!" Emy mengangkat tangan untuk mencari pencerahan.

"Di film Narnio kan juga ada cara mematahkan sebuah ramalan... Nah yang bisa mematahkan ramalan buat dia ya si rambut biru itu... Pokoknya kalau ada yang tidak menuruti perintah dia hari itu, maka dialah yang akan menggantikannya jatuh ke lubang..."

.

.

.

.

.

Webek, webek...

.

.

.

.

.

"Mbah kok nggak bilang ke kita waktu itu?" tanya Lucy yang akhirnya mulai nimbrung.

"Saya mau bilang, tapi kalian sudah terlanjur pergi..."

"Nah, oke deh! Sekarang masalahnya beres kan? Sampai jumpa! Bye bye!" Girl-chan mendominasi layar dan koneksi diputus seketika.

Sayangnya, ketika sebagian besar orang sudah bersiap dengan senjata mereka untuk membantai Alexia, anak itu sudah menghilang begitu saja.


Bonus:

Tumma melewati koridor lantai tiga begitu melihat Yubi yang memasang wajah serius sedang memperhatikan sebuah papan bersama Primarin di depannya. Bahkan saking seriusnya, dia sampai tidak menyahuti panggilan Tumma.

Lagi ngapain dia? Mau jadi penghulu?

Tapi beneran lho! Walaupun mukanya serius, tapi bukan berarti mau jadi penghulu ya?

Karena penasaran, Tumma mendekati Yubi dan melihat apa yang dilakukan gadis itu.

Yubi dan Primarin terlihat begitu serius dan sesekali menggelengkan kepala. Tampang mereka sudah seperti dua kubu yang sedang berperang.

Sang prajurit putih maju selangkah.

Kuda hitam maju dan mengalahkan sang prajurit putih.

Melihat salah satu prajuritnya dikalahkan, sang ratu putih maju dan langsung mengalahkan sang kuda hitam.

Karena terdesak, akhirnya sang menteri hitam meluncur ke depan rajanya. Tapi itu langkah yang salah.

Kuda putih yang tadi berada di baris depan langsung bergerak dan...

"Skakmat!" Primarin nyengir kuda laut.

Ternyata Yubi tidak mau kalah, dia pun ikutan nyengir dan kembali menggerakkan bidaknya. "Skakster!"

"Bilang-bilang kek kalau ternyata lagi main catur, kirain mau nikahin anak orang!" bentak Tumma sebal.

"Oh, Tumma-kun~" sapa Yubi senang. "Kok bisa ada di sini?"

"Tadi kebetulan lewat, terus dari tadi dipanggilin nggak nyahut, makanya ke sini!"

"Gitu toh~ Kamu manggil karena kangen ya?"

Tumma langsung blushing berat dan memalingkan wajah. "N-nggak kok!"


Setelah itu...

"Gue baru tau kalau ternyata Yubi ngerti banget main catur!" celetuk Primarin.

"Moncong-moncong, tadi kenapa Tumma blushing pas ngomong sama Yubi ya?" tanya Raimundo.

"Entah, demen kali!" jawab Zen.

"Kayak lu, yang demen sama Arie?" ledek Salem.

"Wahai bocah unicorn yang baik hati, tidak sombong, rajin menabung, tapi nggak pernah traktir gue dan terkadang suka ngumpetin barang-barang gue, jelas-jelas Arie itu cowok dan gue juga cowok!" balas Zen sedikit jengkel dan tidak terima.


To Be Continue, bukan Terjangan Bangau Congkak (?)...


Yah, ini absurd sih, tapi biarlah... -w-/

Review! :D