Balas Review! :D

I'mYaoichan: Ehehe... :V a

Arie: *ngumpet di bawah meja.*

Alexia: *kabur.*

Untuk orang yang kesulitan Review karena masalah pribadi akan kumaklumi saja... ^^/ Makasih Review-nya! :D

RosyMiranto18: Mungkin akan kurealisasikan untuk beberapa Chapter ke depan, karena ada beberapa ide yang harus kubuat dulu... .w./

Hikari: "Yah, begitulah... Oh, dan ngomong-ngomong, bakso jenis apa itu?"

Musket: *masih murung.*

Tumma: *nunjukin kaset yang dimaksud.* "Untung aku sempat mengambilnya sebelum dijadikan bahan peluru baru oleh Alexia (dan ya, dia menggunakan dinamit itu untuk ledakan tadi)!"

Rendy: "Oke, kami menolak! Kalau cosplay aku masih sanggup, tapi si Emy nggak bakalan mau 'gituin' orang lain selain Thundy! Dia terlalu setia!"

Salem: *bikin surat wasiat.*

Rendy: *sweatdrop melihat kelakuan Salem.* "Please deh, Sal! Emangnya lu bakalan mati?"

Thanks for Review! :D

StrideRyuuki: Si rubah itu denial lho! :V / *dicakar.*

Ikyo: "Nggak juga..." =w="

Ini udah lanjut! :D

Happy Reading! :D


Chapter 87: The Cursed Prince and His Blessed Sister


Rina sedang asik beres-beres kamar ketika menemukan sebuah foto di bawah bantal tempat tidur Jean.

"Heeeh, kenapa dia menyimpan foto di sini?" tanya gadis itu bingung sambil mengambil foto itu.

Rina memperhatikan foto itu cukup lama sampai tiba-tiba dia jatuh berlutut sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit.

"Ka-Kak Rina!" Jean yang baru masuk langsung kaget dan segera menghampirinya. "Kau baik-baik saja?"

"A-aku, ti-dak, apa-apa..."

Jean membantu Rina berdiri dan menolongnya duduk di atas kasur, kemudian dia melihat foto yang dipegang Rina dan mengambilnya. "Sebaiknya kau istirahat..."

Jean berniat keluar dan dicegat Rina. "Jean..."

Dia berhenti dan menengok. "Ya?"

"Kau tau, aku... Mulai mengingat kembali semuanya... Hanya sebagian, tapi-"

"Kak..." Jean kembali menghampiri Rina dan memegangi pundaknya. "Dengar! Aku akan terus menolongmu sampai ingatanmu sembuh! Karena kita saudara!"

Rina tersenyum dan meraba wajah Jean. "Terima kasih..."


Musket yang berada di depan pintu kamar yang terbuka segera pergi sebelum mereka melihatnya.


"Kau masih menyayanginya kan? Kalau begitu jenguklah dia! Dia pasti sangat merindukanmu!"

Perkataan Daren kembali terngiang di pikiran Musket dan anak itu hanya menggeleng sesaat.

'Aku masih belum siap...'

Kemudian dia turun dari atap.


Di ruang tengah...

"Papa, siapa dia?" tanya Flore yang berdiri di belakang sofa sambil melihat Teira sedang mengelus kepala Tsuchi.

"Adikku, kalau mau ikut main ya bergabung saja!" balas Teiron yang sedang baca buku di sofa.

"Baiklah!" Flore menghampiri mereka berdua.

Kemudian Musket datang dan duduk di sebelah Teiron. "Aku tidak tau kau punya adik perempuan dayo..."

"Yah, begitulah..." Teiron menutup bukunya dan menatap Musket. "Ngomong-ngomong, kau sedang ada masalah?"

"Ti-tidak kok!" bantah Musket.

Teiron mengerutkan kening, kemudian mendorong 'jembatan' kacamatanya dengan tangan kiri. "Jangan bohong! Tadi kau mendatangiku dengan suffix 'dayo'-mu yang terdengar hambar!"

Musket menghela nafas pasrah karena sudah ketauan. "Baiklah, kau menang... Aku memang sedang ada masalah... Ini soal adikku..."

"Kau punya adik juga?"

Musket mengangguk. "Namanya Mira. Kami sering bersama sejak kecil, tapi sebuah kecelakaan membuatnya koma dan aku merasa bersalah karena itu, jadi aku memutuskan untuk pergi darinya."

Teiron mulai prihatin mendengar itu dan menghela nafas panjang. "Dengar! Melarikan diri bukan cara yang baik untuk menyelesaikan masalah, kau harus bisa menghadapinya seburuk apapun itu, mungkin kau akan menemukan penyelesaian terbaik nantinya..."

Kemudian pemuda berambut hitam itu mendapat sebuah tepukan di pundak disertai senyuman tipis dari teman di sebelahnya.

"Jangan biarkan semua perasaan negatif di hatimu membuatmu terpuruk terlalu jauh..."

Musket hanya terdiam mendengar nasihat Teiron dan memilih untuk pergi, sementara pemuda berambut merah dengan kacamata itu kembali menghela nafas panjang melihat kepergiannya.

"Aku menasihatimu seperti itu karena aku juga pernah melarikan diri dari masalah..."


Pada malamnya, dia bermimpi sedang berada di sebuah ruangan gelap dan tubuhnya mulai diselimuti bayangan hitam.

Saat seluruh tubuhnya hampir ditelan bayangan, sebuah cahaya kecil muncul di depannya.

"Nii-chan... Kumohon, ulurkan tanganmu!"

"Mira..."

Dia berusaha menggapai cahaya itu, tapi...


GUBRAK!

Dia malah terjatuh dari tempat tidur.

"Ugh..." Musket mengelus kepalanya yang terbentur lantai, kemudian menatap bulan yang bersinar dari jendela.

'Haruskah aku menjenguknya?'

Kemudian dia teringat nasihat yang dia dapat sebelumnya.

"Melarikan diri bukan cara yang baik untuk menyelesaikan masalah, kau harus bisa menghadapinya seburuk apapun itu, mungkin kau akan menemukan penyelesaian terbaik nantinya... Jangan biarkan semua perasaan negatif di hatimu membuatmu terpuruk terlalu jauh..."

"Kau benar, Teiron!" Musket tersenyum miris. "Baiklah! Besok aku akan mencoba menjenguknya!"


Keesokan harinya...

"Monika, mau main ToD?" ajak Yubi. "Kau tau cara mainnya kan? Aku ingin mencobanya! Pasti menyenangkan!"

"Tidak, aku tidak punya waktu untuk itu!" tolak Monika yang sibuk membaca.

"Dia takut kalah ya?" tanya Yubi.

"Iya, dasar pecundang!" jawab Lisa.

Monika yang tidak terima langsung nimbrung. "Baiklah, aku ikut main! Akan kutunjukkan siapa pecundang sebenarnya!"

'Gampang sekali...' batin kedua gadis lainnya.


"Gunting, batu, kertas!"

"Apa?!" Monika terkejut karena kalah suit dari Yubi.

"Jadi, Truth or Dare?" tanya Yubi.

'Sepertinya aku melupakan sesuatu...' Monika menghela nafas. "Aku pilih Dare..."

"Oke! Jadi bagaimana kalau..." Yubi menggantungkan kalimatnya sesaat. "Beritahu Maurice kalau kau mencintainya! Kalian berdua kan sering bersama, jadi itu bukan masalah besar kan?"

"Aku paham sekarang!" Monika langsung menyadari sesuatu. "Apa Tumma dan Teiron yang memberitahu kalian untuk melakukan ini?! Si bocah hijau dan kepala merah itu?!"

"Eh? A-apa maksudmu?" tanya Yubi bingung.

"Kau bagus dalam berakting, tapi buruk dalam berbohong..." gumam Lisa.

"Dan kalian pasti sudah menebak pilihanku bukan?!" lanjut Monika kesal. "Sialan! Aku tidak akan melakukannya!"

"Heeee?! Itu tidak adil!"

"Jangan bermain sesuatu jika kau takut kalah sejak awal!"

Tiba-tiba seekor burung beo nongol. "Tolonglah, Nona! Aku mohon padamu! Aku sangat ingin melihatnya!"

"Figaro?! Kau juga?!" Akhirnya Monika terpaksa mengalah. "Baik, hanya kali ini saja... Demi Figaro..."

"Sepertinya burungnya lebih berharga daripada temannya..." gumam Lisa datar.

"Yeay, terima kasih Nona! Aku yakin Maurice akan-"

"Apa itu, Figaro?" tanya Maurice yang muncul entah dari mana.

Monika langsung kaget. "Defak?! Aku beritahu ya, dia itu siluman!"

"Dia/Nona ingin memberitahumu sesuatu!" seru Yubi dan Figaro bersamaan sambil menunjuk Monika.

Maurice terlihat bingung. "Hmm? Oke. Katakan saja, aku mendengarkan."

Monika langsung terdiam sesaat.

'Oh sial! Kenapa aku harus berada dalam situasi seperti ini?! Aku tidak mau mengatakan itu padanya, tapi aku ingin menunjukkan pada kedua gadis itu kalau mereka pecundang! Tapi demi Tuhan, wajah Maurice saat ini sangat mengerikan! Haruskah aku melewatinya?! Tapi harga diriku jauh lebih besar dari rasa maluku, tapi mengatakan hal cheesy itu padanya sangat memalukan dan aku akan membawa rasa malu itu sampai mati, tapi aku wanita yang memegang kata-kataku!'

'Sial!' Monika mengepalkan tangan dengan kesal.

"Hey! Kau tau kalau aku mencintaimu kan?!" seru Monika menahan malu.

Maurice memiringkan kepala sesaat. "Ya, aku tau itu... Dan aku juga merasakan hal yang sama..."

Monika langsung blushing.

"Aku juga mencintai diriku sendiri." ujar Maurice sambil menaruh tangan di dada.

"Jadi... Hanya itu? Ada yang lain?"

"Hanya itu... Maaf mengganggumu..."

"Baiklah..."

Maurice berjalan keluar dari perpus.

"Aku melakukannya!" bisik Monika sambil mengancungkan kedua jari tengahnya pada Yubi yang tepuk tangan dan Lisa yang merekam.

"Hey, Monika..." panggil Maurice dari balik pintu perpus dan yang bersangkutan menengok. "Kau juga tau kalau... Aku mencintaimu, bukan?"

Webek, webek...

Suasana mulai hening dan tanpa mereka sadari, Figaro berubah jadi manusia.


Di luar perpus...

"Aku mengatakannya! Aku bersumpah tidak akan bermain ToD denganmu lagi!" sembur Maurice sambil mendatangi Teiron dan Tumma.

"Itulah kawanku~" balas Teiron dengan cengiran lebar.

"No-Nona?! Kau baik-baik saja?!"

"Medis! Medis!"

Ketiga cowok itu langsung terdiam di tempat mendengarnya.


Lupakan selingan itu, kita kembali ke inti cerita!

Sekarang Musket sudah berada di depan sebuah rumah sakit.

'Aku berharap dia masih di sini...' batinnya sambil masuk ke dalam.


Dia berjalan mencari kamar pasien, kemudian tak sengaja melihat sesuatu dan segera bersembunyi di balik tembok.

Rupanya terdapat orang tua Musket yang sedang berbicara dengan seorang dokter.

Dia terus bersembunyi sampai mereka pergi.

Begitu orang tua Musket pergi, sang dokter menyadari keberadaan anak itu dan memanggilnya untuk keluar.

"Tidak perlu memperkenalkan diri, aku tahu kamu kakak dari Mira."

"Bagaimana Dokter bisa tau?" tanya Musket sedikit terkejut.

"Aku ini penyihir yang bekerja sebagai dokter, aku bisa mengetahui siapa dan apa tujuan seseorang." jawab dokter itu sambil tersenyum ramah dan membuka pintu kamar di belakangnya. "Nah, masuklah!"


Musket masuk ke dalam kamar itu dan melihat seorang gadis yang merupakan adiknya sedang terbaring di atas ranjang, kemudian dia duduk di kursi samping ranjang dan dokter itu berdiri di sebelahnya.

"Kondisinya sudah membaik sekarang. Sebenarnya dia sudah sadar sejak seminggu yang lalu, hanya saja sedang tertidur."

"Begitu ya..."

"Oh iya, Musket, kudengar kamu memiliki kutukan karena sebuah ramalan, apa itu benar?" tanya sang dokter.

Musket hanya mengangguk.

"Sebenarnya ada cara untuk menghilangkan kutukan itu."

"Benarkah?"

"Ya." Dokter itu mengangguk. "Kamu hanya perlu menghilangkan semua pemikiran negatif bahwa kamu akan melukai semua orang yang kamu cintai. Mungkin itu terdengar sulit, tapi aku yakin kamu bisa melakukannya."

"Kalau kamu ragu untuk melakukannya, kamu perlu dorongan dari orang terdekat." lanjut sang dokter. "Mira pernah mengatakan dia melihat seseorang berpenampilan buruk rupa di tempat tinggalmu saat rohnya mengunjungimu, dia pasti selalu butuh dorongan."

Musket mengangguk. "Tumma sering merasa tertekan jika ada orang yang takut padanya, tapi dia punya pasangan dan sahabat yang selalu menghiburnya setiap saat..."

"Dia sangat beruntung. Kamu juga bisa sepertinya."

Musket menunduk sedih. "Tapi... Aku tidak punya orang yang bisa mendukungku..."

Dokter itu menggeleng. "Tidak, kamu memilikinya."

"Siapa?"

Sang dokter menunjuk Mira. "Dia selalu berdoa agar kamu bisa kuat menjalani hidup dan tetap tegar di setiap kondisi. Bisa dibilang, adikmu adalah keajaiban untuk 'pangeran terkutuk' sepertimu."

"Aku masih ada pekerjaan yang belum diselesaikan, jadi kutinggalkan kalian ya!" Dokter itu berjalan keluar dari kamar.

Musket melihat kepergian sang dokter sesaat sebelum kembali menatap adiknya, kemudian dia meletakkan tangannya di atas tangan Mira dan menggenggamnya dengan erat.

"Ma-maafkan aku, Mira... Aku tidak menyadarinya... Aku tidak tau kalau aku bisa terus hidup karena doa-mu..." Air mata haru mulai mengaliri wajah pemuda bermata biru itu dan dia mengusapnya dengan lengan baju. "Aku memang kakak yang tidak berguna, tapi kalau diberi kesempatan kedua... Aku ingin... Melindungimu sekali lagi..."

Dia menjauhkan tangannya, kemudian segera berdiri dan berniat pergi.

"Jangan... Pergi..."

Gadis yang terbaring itu bergerak sesaat dan sang kakak mulai tidak tega meninggalkannya, akhirnya Musket memutuskan untuk tetap di sampingnya dan kembali duduk.

Akhirnya mata Mira mulai terbuka dan melihat sosok kakaknya.

"Nii-chan..."

"Mira..." Musket tersenyum tipis. "Hisashiburi dayo..."


"Kau dari mana saja? Tumben lebih ceria dari biasanya!" tanya Thundy begitu mendapati Musket yang baru pulang.

"Hehe, itu rahasia dayo~" balas Musket yang segera masuk ke dalam markas.

Thundy hanya memasang wajah bingung saat memperhatikan kepergiannya.


Seminggu kemudian...

"Yosh, hari ini aku menje-"

"Musket, ada misi battle sama dungeon dari Kaichou buat lu!" potong Daren.

Yang bersangkutan langsung kaget. "A-ap- Sekarang?! Ta-tapi-"

"Katanya kalau udah selesai lu boleh cabut entar malem!" lanjut Daren.

"Hmm, ya udah deh!" Musket hanya pasrah. 'Semoga dia tidak lama menunggu...'

Sepertinya dia akan sibuk untuk hari ini...


To Be Continue, bukan Track Bizarre Colonel (?)...


Random Fact Today:

Burung beo Monika, Figaro, adalah seekor 'shape-shifter' (kayak Morgana gitu deh).


Aku tau ini kurang gimana gitu, tapi... Hmm... .w.a

Review! :D