Balas Review! :D
StrideRyuuki: Aku pernah mengambil beberapa quiz tentang Arcana di Quotev dan hasilnya kudapat The Moon dan The Hermit... Oh, ini udah lanjut! -w-/
RosyMiranto18: Sekitar 2 GB kartu memori dan 2 GB memori handphone, kemungkinan tidak akan cukup untuk menampung semua episode sampai laptop-ku bisa di-charger lagi... .w.a
Edward: "Aku yang meminta Kak Edgar mencarikan kostumnya untukku..." 'w'/
Itu hanya nama map, tapi kalau emang bentuknya diambil dari tempat aslinya sih entahlah... -w-a Thanks for Review! :D
I'mYaoiChan: Ya ya ya... -w-/
Daren: "Sepertinya aku akan mengganti nama kontaknya..." ._.
Makasih Review-nya! :D
Happy Reading! :D
Chapter 102: The Savior from Hopeless Romance
"Kita sudah mencarinya kemana-mana, tapi nggak ketemu juga!" keluh Edgar sebal karena baru pulang setelah berusaha mencari Salem ke seluruh kota.
"Kalau cuma bertiga mah nggak bakalan ketemu!" balas Rendy.
"Apa kita perlu minta bantuan yang lain?" tanya Edward yang menyambut mereka.
Girl-chan menghela nafas. "Aku tidak yakin, Edward... Mereka pasti shock dengan ini, tapi mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa menanggani ini kalau hanya sedikit orang..."
Tiba-tiba handphone Girl-chan berbunyi dan segera memeriksa pesan yang diterima.
"Kita dapat berita buruk..." Gadis itu memasukkan kembali handphone-nya ke saku celana. "Ternyata Alfa mengetahui masalah ini dan pergi mencari Salem, Eris berusaha mencarinya dan tidak ketemu! Yang lebih parah, Alfred juga depresi sampai tidak bisa dilihat lagi!"
Edgar menelan ludah. "Ini jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan..."
Si ketua Garuchan itu mengangguk. "Kita harus bergegas! Jika dua bulan lagi tidak ketemu juga, kita akan melupakan Alfred selamanya!"
Di dalam markas...
"Aku jadi kasihan pada Eris... Dia ikut depresi karena kakaknya..." Naya menatap jendela kamarnya dan menghela nafas panjang. "Aku berharap semuanya akan baik-baik saja nanti..."
"Hay!"
Dia membuka mata dan mendapati sedang berada di sebuah taman bunga. Dia juga melihat seorang wanita berambut pirang yang pernah dia temui sedang berada di sebelahnya.
"Hay... Salma..." Dia mulai bangun dan memposisikan tubuhnya untuk duduk.
Salma tersenyum. "Aku ingin memberitahumu sesuatu... Alfa sedang mencarimu sekarang dan Alfred-"
"Aku tidak mau kembali..." potongnya sambil memeluk lutut.
"Kenapa?" tanya Salma.
Air mata mulai menetes di wajahnya. "Aku sudah cukup tersiksa karena terjebak dalam 'Hopeless Romance'... Aku hanya ingin hubungan yang normal dan bukan menjadi sasaran empuk para fujoshi..."
"Kau membenci Alfred?"
"Sangat... Tapi aku tidak punya pilihan, aku tidak bisa membujuknya untuk memutuskan hubungan kami..."
Salma menunduk sedih mendengar itu. "Maaf..."
Tiba-tiba terdengar suara lonceng.
Salma tersenyum pahit mendengar tanda perpisahan itu. "Sudah saatnya kau kembali... Aku yakin kau akan menemukan jalan keluarnya nanti..."
Kemudian tempat itu mulai diselimuti cahaya putih.
Dia terbangun di sebuah ruangan berdinding putih disertai bau obat-obatan.
"Ah, kamu sudah bangun?"
Matanya melirik seorang dokter wanita berambut biru ponytail yang membawa sebuah buku biru. Dia merasa pernah melihat buku itu di suatu tempat, tapi bukan itu yang ingin dia tanyakan.
"Bagaimana, aku bisa di sini?"
"Ada seorang gadis kecil yang melihatmu tergeletak di depan sebuah gedung tinggi dengan pendarahan di kepala dan patah tulang di kaki kiri, kemudian dia menghubungi kami. Kamu sudah koma selama sepuluh hari." jelas dokter itu sambil tersenyum. "Aku tinggal dulu ya, gadis itu akan ke sini sebentar lagi."
Setelah dokter itu pergi dan menutup pintu, dia bangun dan bersandar di kepala ranjang sambil memegangi kepalanya.
Krieeet!
Pintu terbuka dan terlihat seorang gadis berambut pirang twintail dengan mata jingga.
"Akhirnya sadar juga! Chilla lega!"
"Namamu Chilla?"
Dia mengangguk. "Nama sendiri?"
"Salem..." gumamnya setelah yakin kalau Chilla menanyakan namanya.
"Nama yang bagus!"
Dia terkejut begitu ada yang memuji namanya, kemudian memalingkan wajah dengan rona merah. "Te-terima kasih..."
Pada hari-hari berikutnya, Chilla selalu mengunjunginya. Terkadang dia membawa buah atau makanan kecil.
"Apa orangtuamu tidak khawatir?"
Chilla menggeleng. "Orangtua Chilla bekerja di luar kota, Chilla tinggal dengan kerabat di kota ini. Orangtua Salem sendiri?"
Dia menunduk sedih. "Mereka sudah meninggal, aku hanya punya kakak perempuan dan dia sudah menikah..."
"Begitu ya..."
Mereka saling bertukar cerita dan mulai menjadi akrab.
Pada minggu ketiga setelah Salem menghilang, kondisi di markas sedang dalam keadaan suram.
"Kau tau, terkadang jika seseorang benar-benar depresi dan membenci orang yang telah membuatnya menderita, dia akan mencoba segala cara untuk menjauh darinya, bahkan jika harus membunuh sekalipun..."
Perkataan Rendy barusan disambut tatapan horror dari beberapa orang di perpus.
"Ren, lu abis kerasukan apa sampe ngomong gitu?" tanya Maurice.
"Semalem gue mimpi Salem mau bunuh Eris..."
"Tunggu, emang apa hubunga-"
"Yang kudengar dari Ashley, Alfred terikat pada Eris karena dark magic..." timpal Tumma datar. "Dan kalau sampai kejadian..."
"Hey, aku tidak seperti Salem yang mimpinya selalu jadi kenyataan!" sembur Rendy kesal karena tidak terima mendapat tatapan horror dari teman-temannya.
Sebenarnya tidak ada satupun dari mereka yang mengetahui masalah Alfred, dan Rendy merasa tidak nyaman untuk menceritakannya.
"Permisi, si Balsem ada nggak?"
Kunjungan Hibatur hari ini malah mendapat tatapan tajam dari seluruh penghuni perpus yang masih mengeluarkan aura suram.
"BEGO! ORANG LAGI NGILANG MALAH DIBERCANDAIN!" bentak mereka semua kesal.
Dia hanya bisa kicep karena tidak tau apa-apa.
Pada saat yang bersamaan, Luthias sedang meneropong kondisi sekitar markas dari atap.
"Sepertinya masalah ini terlalu cepat menyebar..." gumamnya setelah melihat seorang gadis pirang yang menaiki angsa dan seorang wanita yang menaiki motor lewat di depan markas.
Pada minggu keempat di rumah sakit...
Salem terbangun dengan wajah pucat dan tubuh bergetar hebat, kemudian dia segera turun dari ranjangnya dan keluar dari rumah sakit.
"Salem hilang?" tanya Chilla.
Sang dokter mengangguk. "Dia sudah pergi sejak tadi pagi, mungkin tidak jauh karena kondisi kakinya masih belum pulih..."
Chilla segera mencari di sekitar rumah sakit dan menemukan pemuda spiky itu sedang memeluk lutut di antara semak-semak. "Salem kenapa di sini?"
"S-soal itu..."
Dia menceritakan semua hal padanya dan semakin lama bercerita, dadanya merasa semakin sakit dibuatnya.
"Aku sudah tidak sanggup lagi dengan semua yang terjadi, itu sebabnya kenapa aku melompat dari atas gedung saat itu..." Dia mengakhiri cerita dengan setitik air mata yang jatuh membasahi pipinya.
Gadis itu menunduk sedih. "Maaf, Chilla tidak bermaksud membuat Salem sedih..."
"Itu bukan salahmu... Lagipula aku butuh orang yang mau membantuku keluar dari masa depresi, seseorang yang bisa memahami masalahku..."
"Chilla bisa membantu, yang penting Salem tidak sedih lagi!"
Senyum tipis mulai muncul di wajahnya. "Terima kasih..."
Chilla membalasnya dengan senyum ceria. "Salem harus kembali ke kamar, nanti Dokter Izca khawatir."
"Baiklah..." Dia berdiri dan berjalan agak terpincang, kemudian Chilla segera membantunya berjalan kembali ke gedung rumah sakit.
Pada minggu kelima di rumah sakit, Salem yang sudah pulih total diperbolehkan pulang.
"Jadi Salem mau pulang?" tanya Chilla kecewa. "Nanti Chilla nggak bisa ketemu Salem lagi..."
"Jangan begitu!" Salem mengusap kepala Chilla. "Kamu punya handphone? Aku akan berikan nomorku, dengan begitu kita bisa terus berhubungan!"
Setelah bertukar nomor telepon, mereka berdua berpisah.
"Lho, kok sepi?" tanya Salem bingung ketika mendapati seisi markas yang kosong.
"Semua orang pergi mencarimu karena kau menghilang selama berminggu-minggu, tidak heran kenapa suasananya jadi suram..." jelas Ashley dari balik tembok.
"Lebih baik aku tidur saja!" Salem berjalan pergi ke kamarnya.
Keesokan harinya...
"Argh, melelahkan sekali! Dan sampai sekarang dia masih belum ketemu juga!" keluh Vivi yang tiduran di lantai perpus.
"Sebenarnya dia sudah pulang..." celetuk Ashley yang muncul di antara mereka.
"APA?! SEJAK KAPAN?!" pekik mereka semua shock.
"Semalam... Dia tidak bilang dari mana dan langsung tidur..." jelas Ashley.
Mereka semua langsung bergegas ke kamar yang bersangkutan.
Saat Salem baru bangun dan keluar kamar, tanpa diduga dia mendapat pemandangan horror berupa...
"Salem..."
Semua orang sudah berada di depan kamarnya dan menatapnya dengan aura hitam di tubuh mereka.
'Tau gini mending nggak usah balik aja deh...'
Yah, silakan meratapi nasibmu, Salem... -v-/
Setelah itu...
Entah kenapa aku merasa bahagia setelah bertemu Chilla. Dia selalu perhatian padaku, rasanya seperti berada di dekat malaikat. Bersamanya telah menghilangkan depresiku selama ini.
Ah~ Aku berharap bisa seperti ini terus~
Tapi, jika saja aku bisa menjauhi si 'Kepala Buntung' itu...
'Sepertinya dia sudah menemukan kebahagiaannya, tapi...' Edgar hanya bisa speechless setelah membaca catatan yang ditinggalkan Salem di kamarnya.
Walaupun sudah mendapatkan kebahagiaan baru, tapi ternyata dia malah mendapat masalah baru.
"Aku tau kau benci padanya, tapi ini masalah serius! Sejak kau menghilang, Alfred jadi tak terlihat lagi! Satu-satunya cara agar dia bisa terlihat lagi adalah kau harus pergi ke makamnya, mengakui keberadaannya, dan berbahagia dengannya hanya untuk sekali saja! Kami juga berusaha keras mencari Alfa karena dia juga ikut menghilang untuk mencarimu!" Girl-chan menghela nafas setelah menjelaskan semuanya. "Mengerti sekarang?"
Dia hanya mengangguk.
Sekarang dia merasa seperti protagonis di sebuah game yang terinspirasi cerita Lovers Arcana. Di game itu, dia harus memilih antara wanita dewasa yang serius atau wanita muda yang cantik (atau malah kebebasan pribadi).
Nah, dia sedang bingung untuk memikirkan apa yang harus dilakukan. Dia ingin memulai hubungan baru dengan gadis itu, tapi tidak tau bagaimana cara memutuskan hubungan yang terpaksa dijalaninya dengan orang yang selama ini telah membuatnya menderita.
Tapi yang lebih penting dari itu, dia harus memaafkan Alfred atas semua yang terjadi.
Ketika sampai di makam Alfred, dia mendapati (dua) Eris dan Alfa sudah berada di sana.
Dia harus mengatakan semuanya, tidak perduli seperti apa reaksi mereka nanti.
To Be Continue, bukan Tahun Baru Cinta (?)...
Aku nggak tau harus buat yang seperti apa, jadi tolong maklumi saja... -w-/
Selama menulis Chapter ini (dan Chapter sebelumnya), terkadang aku sering membayangkan rasanya berada di posisi Salem pada beberapa bagian dan kalau kalian merasa sama nyeseknya, berarti bagian itu sukses. (Yeah, laknat emang! -v-a)
Profil anak baru itu akan muncul Chapter depan... 'v'/
Review! :D
