Balas Review! :D
StrideRyuuki: Well...
Alexia: "Terserah..." -w-'
Teiron: "Nggak yakin..." .w.
Ini udah lanjut... -w-/
I'mYaoiChan: Setidaknya itu masih mending daripada orang yang jago pake Balmond... *ngeliat abang pake itu soalnya.*
Mathias: *tangkap bukunya.* "Sebenarnya aku tidak begitu yakin sih..."
Salem: "Harus ya?" -w-'
Garcia: *manggut-manggut.* "Jadi begitu..."
Sebenarnya aku tak tega membuat bad ending untuk mereka, tapi hanya itu yang ada di pikiranku... Maaf ya... .w./ Makasih Review-nya! :D
RosyMiranto18: Aku ini dari depan terlihat kurus, tapi dari samping (merasa) agak buncit... *nepuk perut.*
Edward: "Umashika? Maksudnya apa ya?"
Hikari: "Aku merasa tidak yakin untuk itu..." -w-'
Vience: "Dia hanya takut dengan kakeknya Iris, tak ada hubungannya dengan naga sama sekali!"
Maaf, kami nggak ngomongin 'Kungfu Panda' lho... 'w'/ Thanks for Review! :D
Happy Reading! :D
Kejadian sebelumnya:
"Iris, sebaiknya kita putus saja..."
"Hah?! Kena-"
Tartagus menutup mulut Iris sebelum dia selesai bertanya, air mata terlihat mengaliri manik hitam pria itu dan dia menggeleng dengan wajah menahan sakit.
"Aku sudah tidak tahan lagi! Aku terlalu takut dengan kakekmu! Aku tidak mau mengalami trauma yang lebih parah dari sebelumnya! Maafkan aku!"
Tartagus langsung pergi tanpa memberi Iris kesempatan untuk bicara.
Sepertinya akan terjadi sebuah masalah.
Chapter 118: Traumatic Problem
"Aku punya firasat buruk soal hubungan mereka..." gumam Daren yang menopang dagu di jendela sampai tiba-tiba handphone-nya berbunyi.
Alexia: Ren, ada masalah nih!
Daren: Masalah apa, Lex?
Alexia: Gue tadi ngikutin Tartagus, dan nggak taunya, ternyata dia minta putus sama Iris!
Daren: Emang kenapa gara-garanya?
Alexia: Yang gue denger sih, dia takut sama kakeknya Iris.
"Waduh, gawat nih..."
Kemudian...
"Segitu phobia-nya kah sampe minta putus?"
"Ini buruk. Aku memang memintanya untuk membicarakan masalah itu dengan Iris, tapi aku tidak menduga kalau dia akan minta putus."
"Sudahlah, Frère. Sekarang yang harus kita lakukan adalah mencari cara untuk menyembuhkan phobia-nya."
"Tapi, aku takut ujung-ujungnya malah kayak Teiron. Dia itu phobia sama Hato dan berubah jadi benci setelah kami mengupayakan segala cara untuk menyembuhkan Cynophobia-nya."
"Vie-nii... Dary... Kurasa masalah ini akan sangat panjang..."
Yah, begitulah perbincangan dari Andreas bersaudara.
"Tingkat trauma-nya semakin parah..." Vience menghela nafas panjang. "Iris, aku berani jamin dia akan selalu menghindari kakekmu jika mereka bertemu, dan ini masalah serius!"
Malamnya, Tartagus sedang memeluk lutut dengan wajah pucat di atas tempat tidurnya. Ketiga sepupunya juga masih tertidur. Karena merasa tidak nyaman, dia mengendap-endap keluar kamar untuk menenangkan diri.
Sekarang dia berada di kandang Jeronium yang terbangun dan terheran-heran melihat sepupu pemiliknya datang ke kandangnya.
"Maaf aku membangunkanmu, Jero..." Dia mengusap kepala naga itu. "Jangan beritahu Vieny kalau aku sempat ke sini, oke?"
Naga itu hanya mengangguk dan Tartagus segera pergi.
Keesokan paginya, Kazuma mendatangi markas Garuchan untuk meminta penjelasan pada Tartagus. Tapi dia malah disambut oleh Vience.
"Tuan Kazuma, aku sangat yakin dia tidak akan mau menemuimu karena masih trauma. Dia perlu waktu untuk sendiri dan melupakan semuanya, jadi tolong jangan hakimi dia untuk masalah ini."
"Vie-nii, ini gawat!" Saphire mendatangi mereka dengan tergesa-gesa.
"Ada apa, Sap?" tanya Vience.
"Sepupu! Dia kabur! Aku menemukan surat di atas tempat tidurnya, dan di situ tertulis dia tidak mau kembali lagi!" jelas Saphire panik.
Kemudian mereka segera mencarinya.
Vience dan Iris menemukan Tartagus di sebuah tempat konstruksi terbengkalai. Dia terlihat menyembunyikan diri di balik tumpukan kayu.
"Aku tidak pantas bersanding dengan Iris! Kakeknya terlalu keras! Aku tidak akan sanggup!"
"Tarta-kun..."
"Jangan memaksaku untuk kembali! Aku sudah tidak mau lagi bersamamu! Aku ingin melupakan semuanya dan tidak pernah berhubungan denganmu lagi!"
Sekarang dia mulai menangis sesegukan dan memeluk lutut tanpa mau menatap kedua orang itu. Iris berniat menghampiri Tartagus, tapi dicegat Vience.
"Sebaiknya biarkan dia seperti itu, percuma saja membujuknya. Itu tidak akan bisa memperbaiki hubungan kalian dan hanya akan membuatnya semakin trauma."
Di markas...
"Masalah ini semakin rumit, dan kami tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu kalian." Sang ketua Garuchan menghela nafas panjang. "Maafkan aku Iris, tapi sebaiknya kau harus melupakannya... Karena Tartagus juga berusaha untuk melupakanmu agar bisa menyembuhkan trauma-nya... Dan untuk Kazuma-san..."
"Ya?"
"Tolong jangan mengungkit masalah ini lagi, untuk sekarang dan selamanya... Dan juga, biarkan mereka saling melupakan..."
Dan pada akhirnya, masalah itu tak bisa diselesaikan.
Seminggu kemudian...
"Tumben lu nggak kencan sama Iris." celetuk Ikyo yang baru balik.
"Jangan sebut nama itu lagi!" Tartagus langsung kabur sambil nangis.
Ikyo kebingungan melihat itu, kemudian Vience datang dan memukulinya di perut.
"Tadi tuh aneh banget deh! Masa gue digebukin sama Vience gara-gara Tartagus nangis, emang apa masalahnya?" gerutu Ikyo sebal sambil memegangi perutnya yang kena tonjok Vience selagi memasuki ruang makan.
Girl-chan yang baru mau makan mendengar itu dan teringat sesuatu. "Kyo, lu tadi abis nyebut Iris ya?"
"Emang napa?" Ikyo nanya balik sambil mengangkat alis.
"Tartagus abis putus sama Iris gara-gara kakeknya Iris terlalu keras padanya, dan dia trauma berat karena itu..." jelas gadis itu datar.
Ikyo langsung bingung, dia memang tidak tau masalah yang menimpa Tartagus karena saat itu sedang merawat istrinya yang hamil di rumah keluarganya. "Lha, kok bisa?"
Sang ketua Garuchan menghela nafas. "Ceritanya panjang..."
Saat ini Tartagus sedang duduk memeluk lutut di belakang tumpukan pipa raksasa di tempat konstruksi terbengkalai.
Sementara itu, Zen sedang terbang di atas tempat itu ketika angin kencang datang sampai membuatnya mendadak oleng dan terjatuh.
"Huwaaaaaaaa!"
GUBRAK!
Tartagus yang mendengar itu langsung menghampiri sumber suara dan mendapati Zen yang nyungsep dengan kepala terpendam di dalam tanah. Dia segera membantu Zen untuk mengeluarkan kepalanya dari dalam tanah.
"Makasih ya!" ujar Zen setelah kepalanya berhasil keluar. "Moncong-moncong, kau sedang apa di sini?"
Tartagus menunduk sedih. "Aku tidak mau membahasnya..."
"Baiklah..." Zen merasa kasihan dan tidak ingin mengungkitnya lebih lanjut. "Hey, kau tidak mau kembali ke markas?"
Tartagus menggeleng.
"Oke, sampai jumpa!" Zen segera terbang meninggalkannya.
Tartagus menghela nafas panjang, kemudian dia memilih untuk meninggalkan tempat itu dan pergi ke taman kota.
"Hey Arta! Masih ingat aku?" sapa seorang pria berambut coklat muda sebahu, bermata coklat tua, serta memakai jas abu-abu dan topi fedora hitam yang menghampiri Tartagus.
Tartagus mencoba mengingat-ingat. "Uhmm... Toby?"
"Yap! Tobias Machawk, teman lamamu dulu." Pria itu tersenyum. "Sekarang kau terlihat lebih kekar ya!"
Tartagus nyengir garing. "Ehehe..."
"Kau mau kemana?" tanya Tobias.
Tartagus menghela nafas panjang. "Aku ingin ke taman kota, untuk menenangkan diri..."
"Kebetulan aku juga ingin ke sana, mau bareng?"
Tartagus mengangguk. "Boleh!"
"Kau terlihat sedih, bermasalah dengan Vience lagi?" tanya Tobias.
"Nggak, ini bukan soal Vieny kok..." balas Tartagus dengan senyum miris. "Ini soal pacar..."
Tobias mengangkat alis. "Pacar?"
Tartagus menunduk sedih. "Aku putus darinya karena kakeknya terlalu keras padaku dan itu membuatku trauma..."
Tobias ber-'oh' ria dengan prihatin. "Maaf membuatmu menceritakannya..."
"Yah, tidak masalah... Lagipula aku juga perlu menjelaskan ini, karena..." Tartagus menggantung perkataannya sesaat. "Kakekku dulu juga begitu..."
Tobias sedikit terkejut. "Kakekmu?"
Tartagus mengangguk. "Dulu dia begitu keras padaku karena aku hanya anak adopsi, dia tidak pernah memperlakukanku dengan baik..."
Di sudut lain taman, Iris yang sedang bersama komplotan fujodan tak sengaja melihat kedua orang itu.
"Pindah tempat yuk! Bosen di sini!" usul Emy.
"Kalian duluan aja..." sahut Iris.
Emy dan Hikari segera pindah tanpa banyak bertanya, tapi Alexia tetap tinggal karena mengetahui sesuatu.
"Kau masih tidak bisa melupakannya? Aku sarankan kau jangan menghampirinya sekarang."
Setelah Alexia pergi, Iris bersikeras untuk menghampiri Tartagus.
"Tarta-kun!"
Mereka menengok dan yang bersangkutan langsung pucat.
"Tidak! Jangan dekati aku!" Tartagus segera kabur.
"Apa kau mantan pacarnya Arta?" tanya Tobias.
Iris mengangguk.
"Boleh aku kasih saran? Karena sepertinya dia masih trauma dengan apa yang terjadi di antara kalian..." ujar Tobias. "Dia mudah trauma pada orang lain yang bersikap keras padanya dan jika itu terjadi, dia akan menghindari siapapun yang berhubungan dengan orang yang membuatnya trauma itu... Jadi kurasa, dia perlu waktu untuk menyendiri sekarang..."
Iris menghela nafas panjang. "Begitu ya..."
Sekarang Tartagus kembali menyembunyikan diri di tempat konstruksi terbengkalai.
Di markas...
"Kenapa dia belum pulang sih?"
"Kau perduli padanya?" tanya Mathias nongol di belakang Vience yang sedang melipat tangan di depan jendela.
"Dih! Aku hanya khawatir dia akan bunuh diri karena trauma berat, itu saja!" bantah Vience sewot.
"Sama aja itu mah!" Mathias nyengir. "Nggak usah bohong deh! Aku bisa baca pikiran lho!"
"Cih! Terserah lu!" Vience langsung pergi dengan wajah sebal.
"Emangnya lu beneran bisa baca pikiran?" tanya Edgar penasaran.
Mathias kembali nyengir. "Nggak, gue cuma bercanda kok! Vience tuh nggak pernah mau jujur kalau dia perduli sama Tartagus, jadi gue bohongin aja biar dia ngaku!"
Edgar manggut-manggut. "Emang sih, dari awal udah keliatan jelas..."
To Be Continue, bukan Take Bartender Cereal (?)...
Oke, kurasa hanya segini yang bisa kukerjakan... .w./
Yah, aku berusaha membuat ini walau terkendala handphone yang layarnya bermasalah... -w-a
Oh, untuk Chapter depan, aku ingin membuat semacam 'FAQ' (silakan cari sendiri itu singkatan dari apa) gitu. Kalau mau naruh pertanyaan, maksimal 5 aja ya. 'w'/
Review! :D
