Balas Review! :D
I'mYaoiChan: Kalau abangku itu biasanya pakai Balmond atau Harley atau Vexana, yah begitu deh yang kuingat... 'w'a Makasih Review-nya! :D
StrideRyuuki: Yah, lihat saja... .w./ Ini udah lanjut... -w-/
Note: Lu belum ngasih 5 pertanyaan, coeg!
RosyMiranto18: Oke, untuk beberapa alasan, aku sedikit bingung untuk menjawabnya... .w.a Thanks for Review! :D
Happy Reading! :D
Chapter 119: Brother's Arrival
"Fyuh~ Lega gue!"
Ketika Hikari baru selesai pipis di toilet cowok dan ingin membuka pintu, terdengar derap langkah kaki masuk ke dalam toilet.
'Mampus dah gue! Udah gitu si Federic lagi bobo pula!' batin Hikari panik. (Note: Hikari nggak bisa gender swap kalau Federico sedang tidur di dalam tubuhnya, begitu pula sebaliknya.)
"Sekarang lu yang di belakang, dari kemaren gue mulu yang di depan! Gantian!"
'Dafuq?! Gue kenal nih suara!'
"Nggak mau! Di depan tuh lebih nikmat!"
"Sekali-kali lu di belakang, biar gue juga merasakan nikmatnya di depan!"
'Ini kan suara Edgar dan Salem!' batin Hikari sambil menempelkan telinga di depan pintu.
"Aaah~"
"I-ittai..."
"Aah..."
"A-aduh aduh! Sakit tau! Gyaa! Kenceng banget!"
Hikari langsung mimisan.
Mereka melakukan 'itu'?
"Aa-"
"Kalian nggak boleh yaoi-an di sini!" teriak Hikari sambil menendang pintu toilet yang dipakainya dan langsung cengo.
"Lu ngapain di sini?" tanya Edgar sambil menaikkan resleting celananya, sementara Salem membelakangi mereka berdua.
"Kalian tadi ngapain?!" Hikari nanya balik dengan horror.
"Lu kenapa sih? Pake mimisan pula!"
"Ta-tadi gue denger lu kayak mendesah gitu dan Salem merintih kesakitan! Te-te-terus gue denger ada kata-kata kenceng! Maksudnya apa coba, kalau bukan 'gitu-gituan'?!"
"Gue tau lu tuh fujo, tapi Bitch Please! Gue nggak homo dan gue masih setia sama Naya!" bantah Edgar sewot.
"Coba jelasin, tadi kalian berdua ngapain?" tanya Hikari.
"Si Salem maksa pengen pipis di urinoir yang ada di depan dan gue bilang dia pake yang di belakang aja! Pas dia lagi nurunin resleting celananya, HP-nya geter! Mungkin 'anu'-nya kejepit!" jelas Edgar panjang lebar.
Salem masih diam, sementara Hikari kembali cengo.
"Terus, kata 'kenceng' tadi?" tanya Hikari lagi.
"Oh, itu? Si Salem muter keran urinoir-nya penuh dan airnya mengalir kencang! Udah ah, gue mau cari celana buat Salem di kamarnya! Kasihan banget, resleting celananya jebol!"
Edgar keluar dari toilet dan Hikari ikut keluar sambil tertawa hambar.
Sementara Salem, dia masih terdiam di toilet.
Seorang laki-laki berambut hitam dengan kulit kecoklatan sedang berada di depan pintu gerbang markas Garuchan.
"Nggak yakin sih, tapi coba tanya aja deh..."
Dia membuka gerbang dan melangkah masuk. Tapi...
"Awas bola!"
Dia segera menghindari bola yang datang entah dari mana.
"Hendry, dibilangin jangan lempar sembarangan!"
Dia melihat Rendy sedang memarahi 'udara' di depannya. (Note: Ingat, orang biasa nggak bisa liat Hendry lho!)
"Ehmm... Permisi..."
Mereka menengok.
"Oh, mencari siapa ya?" tanya Rendy.
"Aku mencari..."
Di dalam markas...
"Lu pada asik amat dah main ML..." gumam Girl-chan sambil menopang dagu dengan wajah bosan selagi melihat beberapa cowok yang sibuk dengan handphone mereka.
"Kaichou, ada yang nyari lu nih! Katanya saudara lu, dia nungguin di lantai dua tuh!" seru Rendy yang baru datang.
'Oh please, jangan bilang dia ke sini!' batin Girl-chan yang bergegas ke lantai dua.
"Hai, Dek!" sapa sang tamu.
"Lu ngapain ke sini sih, Bang? Entar dicariin sama istri lu gimana?" tanya Girl-chan sebal.
"Biarin, orang gue pengen ngeliatin lu doang!" Kemudian dia melempar sebungkus pocky rasa 'double choco'. "Nih, buat lu!"
Gadis itu menangkapnya dan menghela nafas. "Makasih..."
Setelah itu...
"Lho, ini siapa?" tanya Bibi Rilen.
"Ini kakakku, namanya Ahmad Irfani, dipanggil Ipan..." jelas Girl-chan.
Bibi Rilen ber-'oh' ria dan pergi.
"Bang, mending lu jalan-jalan aja deh!" usul Girl-chan sambil berjalan pergi.
"Ya udah..." Ipan pergi ke tempat lain.
"Lagi main ML?" tanya Ipan pada para cowok yang ngumpul dengan handphone mereka di ruang tengah.
"Iya, mau ikutan? Kebetulan kurang satu orang nih!" ajak Saphire.
"Boleh!" Ipan mengeluarkan handphone-nya dan bergabung dengan mereka.
Girl-chan datang sambil makan pocky dan duduk di sebelah abangnya untuk melihat, tapi malah dihalangi. "Elah, ngeliat doang nggak boleh?"
"Nggak!" jawab Ipan singkat.
"Abang macam apa lu?!" sembur Girl-chan kesal.
'Abang?' batin sebagian orang kebingungan.
Gadis itu menyadari sesuatu. "Oh ya, lu pada belum tau abang gue?"
Semua orang (selain mereka berdua) di sana menggeleng.
"Temen-temen lu, Dek?"
"Iye!"
"Kok cowok semua? Yang cewek nggak ada?"
"Ada, tapi pada keluar semua!"
Si abang ber-'oh' ria.
"Udeh, lanjutin aja! Entar AFK lho!"
Mereka pun melanjutkan permainan.
Setengah jam kemudian di luar markas...
"Gue pulang ya, Dek!"
"Iye, kalau perlu nggak usah balik lagi!"
"Ya udah." Ipan angkat bahu dan pergi.
Seminggu kemudian...
"Garu, gue pengen nanya!" seru Hibatur yang baru datang.
Girl-chan mengangkat alis. "Nanya apaan?"
"Cowok yang kemaren tuh, selingkuhan lu bukan?" tanya Hibatur watados.
Webek, webek...
"Sayangnya salah... Itu abang gue, bukan selingkuhan..." jawab Girl-chan sweatdrop. "Oh, dan kayaknya lu harus hati-hati deh..."
"Hah?"
Kretek kretek!
Hibatur menengok ke belakang dan wajahnya langsung pucat karena ternyata...
Mathias sudah berada di belakangnya sambil menggertakkan tangan dengan aura hitam.
"BATU NIISAAAAAN!"
DUAAAAAK!
Hibatur langsung terbang ke pohon terdekat.
"Ayo masuk!" Mathias menarik Girl-chan kembali ke markas.
"Iye iye..." gumam gadis itu pasrah.
"Waduh, bisa gitu ya..." gumam Reha dan Kunihiro bersaudara (Yamagi, Yamatabi, Hayabusa) yang kebetulan berada di dekat pohon tempat Hibatur nyangkut.
Pesan Moral untuk Hari Ini: Jangan pernah berurusan dengan orang yang kelewat overprotektif.
Setelah itu...
"Ra, orang yang kemaren di markas lu tuh siapa? Kayaknya kenal banget!" tanya Reha yang lagi jalan-jalan sama Girl-chan.
Oh, bicara soal Yamagi dan kedua adiknya, mereka lagi main bareng para cowok Garuchan.
"Jadi gini... Sebenarnya gue tuh anak bungsu dari dua bersaudara. Nah, orang yang tadi tuh abang gue. Sekarang dia udah nikah, bahkan punya dua anak dan tinggal misah dari ortu." jelas Girl-chan datar, kemudian dia teringat sesuatu. "Oh ya Reha, moncong-moncong, gue punya ide lucu lho!"
"Apaan?" tanya Reha penasaran.
Girl-chan nyengir. "Coba lu bayangin, para karakter ML nyanyi lagu 'Bangau oh Bangau' di Upin dan Ipin, terus ada yang nunjuk Akai pas lirik 'Kerbau tak makan aku'. Dia kan gendut banget!"
"Eh, boleh juga tuh!" seru Reha.
"Maaf ya, tapi aku tidak gendut!"
Mereka berdua langsung menengok ke arah sumber suara dan mendapati...
Seekor panda besar yang entah sejak kapan sudah berada di belakang mereka sambil tersenyum aneh.
"Reha... Apa ini hanya perasaan gue, atau tuh panda emang beneran Akai?" tanya Girl-chan was-was.
"Kayaknya..." balas Reha pelan.
Webek, webek...
Sepertinya mereka dalam masalah besar.
"GYAAAAAH!"
Girl-chan dan Reha langsung kabur dikejar-kejar Akai yang berguling ke arah mereka.
Ketiga makhluk ML yang kebetulan melihat kejadian itu dari kejauhan langsung sweatdrop berjamaah.
'Tuh panda ngapain coba di sini?' (Alucard)
'Aku tidak tau dan tidak mau tau apa yang baru saja mereka lakukan sampai dikejar begitu...' (Clint)
'Cewek itu siapa ya? Simpanan Reha?' (Zilong)
Setelah selamat dari Akai kemudian...
"Oh, selain ide tadi... Kemaren gue abis dibeliin tab sama emak gue."
"Emang HP lu kenapa?" tanya Reha.
"Layarnya bermasalah, suka remang-remang kayak apaan tau..." balas Girl-chan datar. "Terus, abang gue download ML biar bisa mabar!"
"Ciyus? Entar add dong!"
"Sabar mas, orang baru main juga! Lagian gue perlu latihan dulu biar bisa mikirin tipe apa yang cocok buat gue, lu kan tau sendiri gue tuh kayak gimana!"
"Ya udah, kapan-kapan kasih tau gue! Oke?"
"Iye iye..."
Kemudian mereka berdua berpisah.
"Beli apaan?" tanya Teiron saat melihat Girl-chan baru pulang sambil membawa sebuah kantong plastik.
"Es krim." jawab Girl-chan singkat.
Teiron melihat isi kantong plastik itu dan mengerutkan kening. "Es krim mochi lima bungkus? Buat siapa sebanyak itu?"
Girl-chan malah nyengir. "Sendirian..."
"Buset! Rakus amat!" sembur Teiron kaget.
"Biarin! Orang gue jarang jajan juga!" balas Girl-chan santai sambil berjalan pergi.
Teiron hanya menghela nafas dan pergi ke kamarnya.
Sementara itu...
"Kak Hikari." panggil Jean sambil berlari menghampiri Hikari yang berjalan tak jauh darinya di koridor lantai empat.
Hikari berbalik dan menatapnya. "Ya?"
"Bisa panggilkan Kak Federic? Aku mau menonton TV dengannya." pinta Jean.
Hikari berpikir sejenak. "Ehm... Kenapa kamu nggak minta ditemenin yang lain aja?"
Jean menggeleng.
"Baiklah..." Hikari menghela nafas dan mengusap kepala Jean. "Aku akan panggilkan dia, kamu tunggu di kamar ya."
Hikari masuk ke kamarnya dan bersender pada pintu, kemudian menutup mata untuk memanggil Federico.
'Oy Federic, bangun!'
'Apaan sih? Lagi enak-enakan tidur juga!'
'Jean manggil lu tuh!'
'Buat apaan?'
'Dia minta ditemenin! Lagian ngapain sih lu pake tidur jam segini? Abis begadang?'
'Iye, gue abis begadang main ML. Naikin rank soalnya!'
'Dih! Ya udah, mending lu ambil ahli dan temenin Jean, atau gue hapus ML-nya sekarang juga!'
'Iye iye, gue ambil ahli!'
Pintu kamar terbuka dan terlihatlah Federico yang ditunggu Jean. "Nah, ayo!"
Sekarang Jean dan Federico sedang menonton TV di ruang tengah.
"Kak Federic."
"Hm?"
"Kenapa Athena berbentuk perempuan? Bukannya itu nama benda?" tanya Jean.
Federico langsung bingung. "Hah? Maksudnya?"
"Perempuan yang tadi kan dipanggil Athena."
"Terus?"
"Nah, padahal yang disebut Athena kan itu..." Jean menunjuk sesuatu di atas TV.
Webek, webek...
"ITU ANTENA, BUKAN ATHENA! ATHENA MAH NAMA SALAH SATU DEWA YUNANI! CARA BACANYA EMANG RADA MIRIP, TAPI NGGAK USAH SEGITUNYA JUGA!" sembur Federico sewot.
Jean hanya memiringkan kepala dan Federico langsung facepalm.
Sabar ya Federic, ngadepin anak kelewat polos kayak Jean emang susah lho!
Note: Gue kepikiran ini pas nggak sengaja nemu Saint Seiya Omega 'nggak-sempet-baca-lanjutannya' di RTV pada Malam Senin, terus bapak gue ngelawak pas denger kata Athena yang dikiranya antena TV. :V a
Back to Teiron...
"Tei-kun."
"Ya?" Teiron menengok ke arah Lisa yang baru datang ke kamarnya.
"Aku... Mungkin kau tidak akan senang dengan ini, tapi..." Lisa mendekati Teiron dan duduk di sebelah pemuda merah itu, kemudian dia memeluknya dengan erat.
Teiron berusaha melepaskan pelukan gadis pirang itu. "He-hey! Le-lepaskan, i-ini memalu-"
Lisa malah mengusel kepalanya di dada Teiron dengan manja. "Kumohon, tolong manjakan aku sekali saja..."
Wajah Teiron langsung memerah, dia hanya bisa menghela nafas pasrah dan mulai mengusap kepala Lisa yang semakin manja di pelukannya.
'Sepertinya ini efek samping yang dikhawatirkan Alpha...' batin Teiron menyimpulkan.
"Tei, ada wa-" Thundy hanya terdiam melihat apa yang terjadi di depannya.
Teiron yang menyadari keberadaan pemuda biru itu langsung panik. "Tu-tunggu dulu, Thun! Ini tidak seperti yang kau-"
"Baiklah... Anggap saja aku tidak melihat apa-apa tadi..." potong Thundy yang berniat pergi. "Oh, kalau kau sudah selesai, pergilah ke perpustakaan."
"O-oke..."
Thundy berjalan meninggalkan mereka, sementara Teiron kembali mengusap kepala Lisa. "Lis, sudahlah... Ini memalukan..."
Lisa melepaskan pelukannya dan menunduk malu dengan wajah memerah. "Maaf..."
Special Bonus: A Letter for Iris
Sudah beberapa minggu setelah insiden yang menimpa Iris.
"Vience, kau kan yang paling dekat dengan Tartagus, bagaimana pendapatmu soal dia?" tanya Mathias saat menghampiri Vience yang menopang dagu di jendela.
Vience hanya menghela nafas. "Well, kalau aku boleh jujur... Jika ada orang yang bisa menyembunyikan luka di balik senyuman, dia-lah yang sanggup melakukan itu selama bertahun-tahun..."
Mathias mengangkat alis. "Maksudnya?"
"Dia masih bisa tersenyum walaupun aku sering memarahi dan melukai perasaannya, dan setiap kali aku menemukannya menangis di suatu tempat secara sembunyi-sembunyi..." Vience menatap langit. "Entah kenapa aku merasa bersalah padanya..."
Entah kenapa, Vience teringat pertemuan pertama mereka delapan tahun yang lalu.
"Dia akan tinggal di sini bersama kita, jadi kalian harus akur ya." pinta ibunya saat membawa seorang anak laki-laki berambut coklat tua bersamanya, kemudian meninggalkan mereka agar bisa saling berkenalan.
"Umm..." Anak itu terlihat gugup. "Na-namaku Tartagus, sa-salam kenal..."
Vience mengerutkan kening. "Terdengar seperti 'Tartar Sauce' di telingaku."
"Eh? Begitu ya?" Tartagus menggaruk kepala. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Arta."
"Seperti D'Artagnan?"
Tartagus mengangguk.
"Baiklah..." Anak pirang itu menghela nafas. "Namaku Vience, itu saja."
"Boleh aku memanggilmu Vieny?"
Vience berpikir sejenak. "Kalau itu maumu ya sudah."
Tartagus tersenyum riang sambil mengulurkan tangan dan Vience menjabat tangannya.
"Yah, seperti itulah..."
"Hah?" Mathias langsung melongo.
Vience buru-buru menggeleng. "Tidak ada!"
Di rumah sakit...
"Seon, ada surat untukmu." Kim menyerahkan sebuah amplop pada Iris.
Iris menerimanya dengan wajah bingung. "Dari siapa?"
-Flashback-
"Kim, kau mau jenguk Iris ya? Bisa tolong berikan surat ini padanya?"
"Kenapa tidak kau sendiri yang memberikannya?"
"Maaf, aku tidak bisa menjelaskannya. Oh iya, jangan bilang itu dariku sebelum dia membacanya."
-Flashback End-
"Sebaiknya kau baca saja dulu." usul Kim.
Iris membuka amplop itu dan menemukan dua lembar kertas yang penuh dengan tulisan.
Untuk Iris.
Aku masih belum siap menemuimu, jadi yang bisa kulakukan hanyalah menulis surat ini, dan apa yang kutulis di sini cukup panjang sampai menghabiskan lebih dari satu kertas.
Kau tau, saat Kazuma-sensei menjelaskan masa lalumu padaku dan ketiga sepupuku, sepertinya aku juga perlu memberitahumu tentang masa laluku yang tak pernah kuceritakan pada siapapun, bahkan pada Vieny sekalipun (kau akan tau itu nanti).
Jadi, begini ceritanya.
Sebenarnya aku hanya anak adopsi di keluarga Andreas. Aku tidak ingat keluarga asliku sejak umurku delapan tahun. Yang kuingat saat itu, aku terbangun di sebuah tempat konstruksi dan tinggal bersama para pekerja di sana.
Tapi dua tahun kemudian, saat umurku sepuluh tahun, mereka semua tewas dalam reruntuhan konstruksi. Aku sendiri mengalami luka parah dan tertimpa puing, kemudian aku melihat sebuah cahaya sebelum kehilangan kesadaran.
Setelah itu aku terbangun di sebuah rumah sakit dan seorang wanita paruh baya yang menjengukku. Dia menanyakan keluargaku dan aku bilang padanya kalau aku tak ingat sama sekali, kemudian dia menawariku untuk tinggal bersamanya dan aku menyetujuinya.
Setelah kondisiku pulih, dia membawaku ke rumah baru. Aku sempat berpikir akan mendapat kehidupan yang lebih baik, tapi ternyata tidak.
Kakek angkatku tidak menyukaiku karena dia menganggapku sebagai anak jalanan. Dia tidak pernah memperlakukanku dengan baik dan yang kudapat darinya hanyalah penyiksaan, sampai akhirnya orangtua angkatku memutuskan untuk menitipkanku pada saudara mereka. Belakangan kuketahui, mereka adalah orangtua Vieny.
Saat pertama kali bertemu Vieny, aku terkejut melihat penampilannya begitu mirip denganku, hanya berbeda warna rambut dan mata. Aku mencoba akrab dengannya, tapi ternyata dia juga tidak menyukaiku. Walaupun begitu, setidaknya dia tidak pernah memukuliku seperti yang dilakukan kakek dulu, hanya saja perkataannya sering melukai perasaanku.
Saat umurku dua belas tahun, aku berpisah dengan Vieny karena orangtua angkatku mengambilku kembali untuk pindah ke Portugal. Aku tinggal di sana selama lima tahun sampai akhirnya kembali lagi ke rumah Vieny.
Setiap kali mengingat semua itu, luka lama selalu membuatku merasa tidak kuat, bahkan aku berusaha menahan air mata agar tidak membasahi kertas saat menulis surat ini.
Ada saat dimana seseorang menyembunyikan luka di balik senyuman, biasanya orang yang tersenyum paling lebar adalah orang yang perasaannya paling sering terluka.
Iris.
Kau tau, Vieny bilang aku ini pecundang dan aku mengakui kalau itu memang benar adanya.
Aku terlalu trauma sampai putus darimu, tapi hal itu malah membuatku menyesal. Aku tidak sekuat ayahmu yang pernah nekat melawan Byakko untuk mendapatkan hati kakekmu agar bisa menikah dengan ibumu.
Oh, aku dengar kau sempat bertemu Toby ya? Itu lho, cowok berambut coklat muda yang sempat kau temui di taman waktu itu.
Dia teman lamaku dan merupakan 'Agent' (aku sengaja memberi tanda kutip karena suatu alasan) yang baik dalam memberikan saran, terkadang dia mau mendengarkan curhatku saat bermasalah dengan Vieny.
Iris.
Jika ada kesempatan kedua, aku ingin mengembalikan hubungan kita dan memperbaikinya. Mungkin aku akan mencoba membicarakannya dengan Kazuma-sensei, hanya saja aku tidak mau membuatnya terkena serangan jantung lagi.
Sepertinya hanya itu yang bisa kujelaskan padamu saat ini.
Maafkan aku.
Tertanda, Tartagus.
"Tarta-kun..."
To Be Continue, bukan Triple Brother Creed (?)...
Question of The Day:
Q: Kenapa abang lu dimunculin?
A: Pengen aja sih... Lagian gue juga pengen ngasih tau beberapa kisah nyata aja di sini...
Yah, biarlah... -w-a
Setelah dipikir-pikir, Q&A-nya akan kutunda untuk Chapter depan karena satu alasan: aku lupa ngasih tau kalau pertanyaannya harus berhubungan dengan anggota squad, misalnya tentang kesukaan, masa lalu, kebiasaan, atau pendapat untuk orang lain... Kalau ada yang terlanjur menanyakan hal lain di luar itu atau belum mencantumkan pertanyaan, silakan diulang... -w-/
Review! :D
