Balas Review! :D

JustReha: Oh well...

Zen: *bawa sebungkus mata ikan yang dimaksud.* "Sebenarnya mau disimpan buat camilan, tapi kalau mau ya silakan."

Makasih Review-nya.

RosyMiranto18: Kayaknya perlu disingkat 'bundir' aja biar nggak salah paham. .v.a

Alpha: *sibuk perbaiki gameboy-nya.* "Aku tidak tau dia main game apa, tapi dia membuat tombolnya mendem semua! Susah keluarinnya!" *memutar obeng dengan brutal.* "Dan aku sedang malas nonton anime musim ini, banyak kerjaan membuatku sibuk! Apalagi kalau harus menjaga Wiona juga sekalian!"

Yah... Soalnya aku baca di artikel itu kalau mereka makan ulat dan kumbang busuk... .w.a

Luthias: "Aku tidak mau membahas si Bornlock itu!"

Oh ya, benar juga, 'Zen' mode... :V a *langsung kabur sebelum ditembak Alexia.*

Ilia: "Hmm... Boleh juga sih..."

Tinggal googling saja 'Banica Conchita', kau akan tau sendiri... 'w'/

Tumma: "Aku tidak bisa menjelaskannya..." ._.

Maaf, itu rahasia pribadi soalnya. .v./ Thanks for Review.

Guest (Kayaknya ada yang lupa ngasih nama nih): Terserah... Ini udah lanjut... -w-/

Happy Reading! :D


Chapter 151: The Third Devil


Rabu siang yang cerah di ruang tengah markas Garuchan yang tumben-tumbenan sedang sepi, hanya ada Duo Devil di sana.

"Tadi Mama Zela menghubungiku." celetuk Zen yang sedang berbaring 'di udara' (baca: melayang) sambil melipat tangan di belakang kepala, tepat di sebelah Arie yang sedang membaca buku di atas sofa. "Katanya 'dia' kabur dan kemungkinan sedang berada di dunia ini, tapi tidak bilang mau apa dan kemana."

Arie menurunkan bukunya dan melirik Zen sambil mengerutkan kening. "Kau serius?"

Zen mengganti posisinya menjadi duduk bersila dan mengangguk. "Yap. Tapi aku sedikit khawatir karena... Kau tau... 'Dia' kan... 'Masih kecil'."

"Aku pulang!"

"Selamat da-" Mereka berdua langsung terdiam karena ternyata...

Flore yang baru pulang sekolah membawa seorang gadis kecil bersamanya.

Gadis berambut coklat tua twintail, bermata coklat muda, dan juga memiliki aksen iblis (tanduk merah kehitaman dan sayap kelelawar).

"Halo Kak Arie, Kak Zen." sapa gadis itu.

Oh, sepertinya dia mengenali mereka berdua.

"NM?!" pekik keduanya shock.

Flore memiringkan kepala. "Kalian memang saling kenal ya?"

"Hey Flore, kamu ketemu dia dimana?!" tanya Arie.

"Di depan sekolah."

Webek webek...

"Flore, bisa tinggalkan kami? Ada yang harus kami bicarakan dengannya." pinta Zen.

Flore hanya mengangguk dan berjalan pergi.


"Jelaskan pada kami bagaimana kamu bisa mengikutinya sampai ke sini." perintah Arie.

Gadis itu menghela nafas. "Jadi... Aku sedang melewati sebuah bangunan besar dimana banyak anak-anak manusia keluar dari dalamnya. Lalu aku lihat seorang anak setengah kucing sedang berjalan sendirian, jadi kuhampiri. Aku tanya apa dia kenal kalian, dan saat dia bilang dia kenal, aku langsung minta ikut."

"Lalu kenapa kamu mencari kami?" tanya Zen.

Dia mencembungkan pipi. "Aku kangen! Aku bosan sama Mama Zela terus, jadinya aku ke sini."

Arie dan Zen saling berpandangan.

"Kurasa kita biarkan dia tinggal di sini dulu sampai kita bisa jelaskan semuanya pada Mama Zela." usul Zen.

Arie mengangguk setuju. "Baiklah, kamu bisa tinggal di sini dengan kami."

"Benarkah?!" tanya NM antusias.

"Tentu. Tapi sebelumnya, kamu perlu bertemu ketua kami dulu."

NM memiringkan kepala. "Heeeh? Kenapa harus begitu?"

"Karena ini tempat tinggal bersama!" jawab Zen watados.


Kemudian...

Kriieet!

"Oh, ada a-" Si ketua squad langsung terdiam melihat NM. "Anak dari mana tuh?"

"Kaichou, dia adik kami, NM."


~Another Name~

"Apa dia tidak punya nama lain?" tanya Girl-chan. "Soalnya orang-orang bisa kebingungan jika dia kenalin diri."

Arie dan Zen menggeleng, sementara NM terheran-heran.

Sang ketua squad hanya menghela nafas. "Baiklah, sepertinya kita harus memikirkan nama untuknya."

NM memiringkan kepala. "Kenapa?"

"Karena..." Girl-chan berusaha mencari kata-kata yang tepat agar tidak terlalu menyinggung gadis kecil itu. "Namamu terdengar seperti 'singkatan', jadi sebaiknya kamu menggunakan nama yang lebih 'panjang'."

"Baiklah..."


"Kita mulai dari nama depan, usahakan dari huruf 'N'."

Mereka berempat berpikir keras.

"Ehmm... Nana?" usul NM.

"Ada yang manggil?" Nana nongol dari bawah meja.

"Bukan kamu!" balas Arie sewot.

Nana langsung ngilang ke bawah meja.

"Nastar?"

Girl-chan langsung menabok Zen dengan sapu lidi. "Ngaco lu! Itu mah nama makanan!"

"Iya iya, tapi nggak usah pake tabok juga kale!" sembur Zen nggak terima.

"Nabila?"

Kali ini giliran Arie yang ditabok dengan sapu lidi.

"Nggak lucu, kampret! Temen SD gue ada yang namanya Nabila! Ada artis yang namanya Nabila juga! Itu kan konyol banget!"

"Terus, kau sendiri bagaimana?" tanya Arie menahan emosi setelah ditabok barusan.

Girl-chan berpikir sejenak, kemudian dapat ide. "Oh, bagaimana dengan Ney?"

Gadis kecil itu tersenyum riang. "Aku suka!"

"Nah, sekarang nama belakang." Girl-chan berpikir lagi. "Yah, banyak sih yang dari huruf 'M'..."

"Melody!"

"Mirror!"

Zen dan Arie mengusulkan hampir bersamaan dan keduanya langsung adu death glare.

"Hey, sudahlah!" lerai Girl-chan sweatdrop. "Bagaimana kalau digabung saja?"

"Digabung?" tanya ketiga iblis itu bingung.

Sang ketua squad memasang senyum tipis. "Melor atau Mirrody? Itu pilihan kalian."

"Kurasa yang kedua lebih bagus." ujar NM.

"Baiklah, sudah ditentukan! Kamu akan menggunakan nama 'Ney Mirrody' mulai sekarang. Setuju?"

"Setuju!"

Kemudian Girl-chan dan Ney berjabat tangan.


~I Wanna Go to School Too~

"Kau pasti bercanda!"

"Aku serius, Kak. Aku juga ingin sekolah seperti Flore."

Arie dan Zen saling berpandangan sesaat.

"Sebentar ya, Ney. Kami bicarakan dulu."

Kemudian mereka berdua berdiskusi.

"Gimana nih?" tanya Zen.

Arie berpikir sejenak. "Kita biarkan saja. Kalau nanti dia sekelas dengan Flore, kita bisa minta dia untuk mengajari dan mengawasinya."

Lalu mereka kembali menatap Ney.

"Jadi, bagaimana?" tanya Ney penasaran.

"Baiklah Ney, kau boleh sekolah."

"Yeay! Makasih Kak!"


Keesokan harinya...

"Kamu kenapa pakai itu?" tanya Ney saat melihat Flore memakai beanie.

"Papa bilang aku terlalu mencolok sebagai setengah kucing, jadi aku disuruh pakai beanie untuk menutupi telinga kucingku dan ekorku dilipat di dalam rok." jelas Flore. "Oh iya, kamu juga terlalu mencolok sebagai iblis. Anak-anak pasti akan takut melihatnya."

"Heeeh... Benar juga." Kemudian Ney menghilangkan tanduk dan sayapnya. "Nah, kalau begini beres deh."

"Ya sudah, ayo berangkat."


Di sekolah...

"Salam kenal semuanya." ujar Ney setelah menulis namanya di papan tulis.

'Tulisannya rada creepy...' batin Flore sweatdrop setelah melihat tulisan Ney.

Sementara para murid lainnya beserta sang guru hanya memasang tampang suram dengan hal itu.

Sebenarnya itu terjadi karena Ney harus mengikuti les privat dari Arie sepanjang malam hanya untuk belajar menulis (dia sudah bisa membaca soalnya).


Pada jam istirahat...

"Nigou!" Flore melambaikan tangan ke arah si anak setengah Shiba Inu itu.

Yang bersangkutan menengok. "Oh, Flore. Temanmu ya?"

"Iya, namanya Ney. Dia baru masuk hari ini."

"Halo." sapa Ney.

Nigou mulai mencium bau yang tidak biasa dari Ney. "Hmm? Kamu bukan manusia ya?"

Ney langsung kebingungan. "Hah? Tau dari mana?"

"Oh iya, aku lupa bilang. Nigou itu setengah anjing." jelas Flore.

"Tepatnya jenis Shiba Inu." sahut Nigou menambahkan.

Ney ber-'oh' ria. "Sebenarnya aku ini iblis, seperti Kak Arie dan Kak Zen."

"Begitu ya."


Sepulangnya...

"Bagaimana sekolah kalian?" tanya Zen yang menjemput mereka berdua.

"Yah, senang-senang aneh gitu." jawab Flore risih.

Zen yang mendengar itu langsung kebingungan. "Aneh gimana?"

Gadis setengah kucing itu hanya menghela nafas. "Nanti kujelaskan."


~Gambar Wajah~

"Kak, bisa ajarin gambar wajah nggak?" tanya Edward pada Tumma yang sedang membaca.

"Bisa dong." balas Tumma sambil melepas kacamatanya. (Ingat, dia cuma pake kacamata kalau lagi baca doang.)

"Pertama, pilih objek gambarnya dulu." Tumma menunjuk Primarin, kemudian dia menempelkan kertas di wajahnya. "Terus gambar deh."

"Oi!" protes Primarin.

"Waaah~" Edward berbinar-binar.

"Leh uga, biar nggak kena drama." celetuk Federico dari kejauhan.


~Hibatur si Lolicon~

"Ra, anggota baru di markas lu tuh loli ya?" tanya Reha.

Girl-chan mengangguk. "Emang kenapa?"

"Jangan sampe tuh Batu Nisan tau, entar jadi heboh lho!" nasihat Reha.

"Iye, gue tau kok!" balas gadis itu datar.

"Ngomong-ngomong, tuh Batu Nisan kemana?" tanya Reha lagi.

Girl-chan angkat bahu. "Paling ngikutin Flore lagi. Kalau sampe tuh Batu Nisan ketemu Ney, gue nggak mau tanggung jawab kalau nanti dia dibakar Zen."

Reha mengangkat alis. "Emang apa hubungannya tuh anak sama Zen?"

Gadis itu memutar mata. "Mereka saudara."

"Hoooh..." Kemudian Reha baru menyadari sesuatu. "Wait, what?"


Sementara itu, Hibatur sedang mengikuti Flore yang kebetulan mengajak Ney pergi ke rumah pohon Marinka.

"Ney, papaku bilang kita harus hati-hati sama Paman Hibatur."

"Hah? Memangnya dia kenapa?"

"Katanya dia suka mengikuti anak kecil seperti kita secara diam-diam."

"Orangnya seperti apa?"

Sebelum Flore sempat menjelaskan, yang bersangkutan sudah muncul duluan. "Halo Flore, teman baru ya? Boleh kenalan nggak?"

"Paman hati-hati deh, entar kualat lho." nasihat Flore.

"Ah, nggak ada yang kualat kok kalau sama kali-"

Tiba-tiba leher Hibatur sudah terhunus pedang hitam yang diselimuti bara api dan di belakangnya ada Zen yang memasang seringai angker disertai aura hitam di tubuhnya.

"Mau apa kau, Batu Nisan? Jangan macam-macam dengan adikku ya! Aku baru saja mengasah pedang ini tadi pagi!" ancam Zen dengan nada sadis.

"A-ampun, Zen..."


Sementara kedua anak itu hanya memasang tampang pokerface.

"Kakakmu bisa begitu ya, Ney."

"Aku juga baru lihat Kak Zen seperti itu. Biasanya Kak Arie yang melabrak duluan."


Setelah itu...

"Wah, ada yang berkunjung!" Marinka melompat turun dari rumah pohonnya.

"Hay Marinka." sapa Ney.

Marinka menghampiri mereka. "Oh, kamu Ney ya? Tsuchi cerita soal kamu lho!"

"Kak Tsuchi ke sini?" tanya Flore.

"Iya, tadi dia sempat ke sini, tapi pergi lagi." jelas Marinka.

"Tsuchi itu kakak kamu?" tanya Ney.

Flore mengangguk. "Iya, dia juga setengah kucing, hanya saja dia masih mengeong."

"Oh iya, ayo naik." ajak Marinka.

Kemudian mereka bertiga naik ke rumah pohon.


Sore harinya...

"Kalian nggak ketemu yang aneh-aneh kan?" tanya Arie saat melihat kedua anak itu baru pulang.

"Tadi kami sempat ketemu Paman Hibatur, tapi langsung diusir Paman Zen." jelas Flore.

"Oh bagus..." Arie memutar mata. "Sebaiknya kalian mandi dulu, sebentar lagi makan malam."

"Ayo, Ney." Flore menarik Ney pergi ke kamar mandi.

Arie yang menatap kepergian mereka hanya menghela nafas panjang. "Aku tidak yakin apa dia akan terbiasa dengan semua ini."


~Belanja~

Arie menghampiri Tumma yang sedang membaca. "Kaichou meminta kita untuk belanja kebutuhan akhir bulan, mau pergi sekarang?"

"Tentu." Dia menutup buku dan melepas kacamatanya.

"Hey, aku ikut dong!" seru Zen sambil melambaikan tangan dari kejauhan.

"Aku juga, aku juga!" timpal Ney yang melompat-lompat di sebelahnya.

"Tidak boleh! Kalian pasti akan membuat kekacauan jika ikut!" omel Arie.

"Ayolah, (Kak) Arie..." Mereka berdua memasang puppy eyes untuk meluluhkan Arie.

Arie yang mulai tidak kuat melihat itu akhirnya menyerah dan terpaksa membiarkan mereka ikut.

"Baik baik! Kalian boleh ikut, tapi hanya sekali ini saja!" semburnya sambil balik badan untuk menutupi blushing-nya. 'Ugh, kenapa wajah memelas mereka terlalu sulit untuk ditahan?'

"Yeay!" koor Zen dan Ney kegirangan.

"Oh, dan ingat! Jangan coba-coba membuat kekacauan!"

"Baik!"


Sekarang mereka berempat sedang berjalan menuju supermarket.

"Benda yang bergerak di jalan itu namanya apa?" tanya Ney yang sejak tadi berada di punggung Zen sambil menunjuk jalan raya.

"Itu disebut kendaraan. Mereka memiliki banyak jenis. Kendaraan beroda empat disebut mobil, dan kendaraan beroda dua disebut motor." jelas Zen. "Oh, beberapa mobil juga memiliki jenis lain tergantung fungsinya. Misalnya, mobil ambulans berguna untuk membawa orang sakit dan orang yang terluka karena kecelakaan. Mobil pemadam kebakaran untuk membantu memadamkan api atau menyelamatkan orang dari tempat tinggi. Dan masih banyak lagi."

"Memangnya tidak ada kendaraan yang beroda satu dan tiga?" tanya Ney.

"Kalau kendaraan beroda tiga, namanya bajaj!" jawab Tumma sambil memasang cengiran garing.

"Kalau yang beroda satu, adanya sepeda roda satu." timpal Arie datar.


Sesampainya di supermarket...

"Kak Zen, itu apa?" Ney menunjuk sekumpulan troli.

Zen melihat ke arah yang dimaksud. "Oh, itu hanya troli. Biasanya digunakan untuk membawa banyak barang."

"Sepertinya bisa dinaiki." Ney menghampiri troli-troli itu dan berniat menaikinya.

Zen mulai merasakan firasat buruk. "Ney, kita sudah janji pada Arie untuk tidak-"

Rupanya Ney sudah menaiki salah satu troli itu. "Kak Zen, dorong!"

"Oh ya ampun..." Zen hanya menghela nafas dan terpaksa menuruti kemauan Ney.


"Wiiiiih, asik! Lebih cepat lagi, Kak!"

Sekarang Zen sedang mendorong troli yang dinaiki Ney dengan kecepatan tinggi sampai hampir menabrak pelanggan lainnya.

Kelakuan mereka berdua sukses membuat Arie dan Tumma yang melihatnya langsung sweatdrop.

Arie menghela nafas. "Lihat? Itu sebabnya kenapa aku melarang mereka ikut belanja."


Setelah itu...

"Ternyata naik troli itu asik juga ya!" celetuk Ney tanpa dosa.

"Asik dengkulmu?! Tadi kalian hampir menabrak meja kasir!" omel Arie sebal.

"Sudahlah, Arie!" hibur Tumma sambil tersenyum. "Setidaknya kita bisa bersenang-senang sedikit setelah belanja."

"Oh, bagaimana kalau kita balapan? Pemenangnya yang terbang paling cepat sampai rumah!" usul Ney antusias.

Tumma tertawa kecil. "Sayangnya aku tidak punya sayap, Ney. Aku manusia, bukan iblis seperti kalian. Tapi, aku bisa melakukan sesuatu seperti..."

Tumma yang awalnya berada di sebelah Ney tiba-tiba berpindah tempat ke seberang jalan.

"Waaah~" Ney yang terbinar-binar segera terbang menghampirinya. "Yang tadi itu apa?"

"Itu disebut teleportasi, biasa disingkat 'Teleport'. Sering digunakan untuk berpindah ke suatu tempat tanpa memakan banyak tenaga." jelas Tumma.

"Ajari aku caranya!" pinta Ney antusias.

Tumma mengusap kepalanya. "Jika kau punya kekuatan sihir, kau bisa mempelajarinya. Kau juga perlu berlatih agar tidak berpindah ke tempat yang salah. Nah, sekarang kita pulang ya. Besok aku akan menemanimu belajar dari ahlinya. Oke?"

Ney mengangguk. "Iya."


~Teleport~

Keesokan harinya, Tumma mengajak Ney ke rumah Emy untuk belajar dari Izca.

"Jadi kamu ingin belajar teleport?"

Ney mengangguk.

Izca berpikir sejenak. "Baiklah. Aku akan mengajarimu dari dasarnya, jadi kamu bisa menguasainya dengan mudah."

"Asik!"


Kemudian...

"Nah, sekarang yang perlu kamu lakukan adalah memusatkan pikiran pada tempat yang ingin kamu tuju. Tumma, apa kamu bisa beri dia contoh?"

"Baiklah. Jadi, aku akan mencoba teleport ke belakang dia." Tumma menunjuk Thundy yang sedang memandikan Greif. "Perhatikan baik-baik ya!"

Dia mulai fokus dan dalam sekejap sudah berpindah ke belakang Thundy, kemudian mengeluarkan megaphone untuk...

"WAAAAAN PAAAAANC!"

Ada-ada aja dia! Ngasih contoh kok sambil ngerjain orang?

Tumma segera teleport kembali ke Izca dan Ney sebelum Thundy sempat berbalik untuk mencari tau pelakunya.


Setelah kembali, dia malah melambaikan tangan sambil memasang cengiran garing.

Izca hanya geleng-geleng kepala. "Abaikan saja yang tadi, dia memang sering menjahili Thundy. Tapi kamu paham intinya kan?"

Ney mengangguk. "Aku mengerti."

"Bagus, sekarang giliranmu."

Ney mulai berkonsentrasi untuk membayangkan tempat yang ingin dikunjungi, kemudian dia menghilang seketika.

'Dia pergi kemana ya?' batin kedua orang lainnya penasaran.


Sementara itu...

"Kyo, bisa tolong siapkan bak mandi untuk Yorei dan Jioru? Mereka akan pulang sebentar lagi." pinta Eira dari dapur.

"Akan kulakukan." Ikyo yang sedang bersantai di sofa segera berdiri dan berjalan ke kamar mandi.

Setelah tiba di sana, dia berniat menyiapkan bak mandi ketika mendapati sesuatu yang mengejutkan di sana.


Di markas...

Kriiiiing!

"Halo?"

Tiba-tiba telinga Estes langsung diserang teriakan protes dari sang penelpon dan dia segera menjauhkan gagang telepon untuk sesaat. (Hayoloh Kyo! Entar kualat lu diburu sama Miya!)

Setelah agak lama, dia mulai bersuara. "Aku tidak tau apa masalahmu, tapi tolong bicaralah baik-baik."

Menyadari dia telah berteriak pada seorang raja elf, Ikyo langsung facepalm. "Maafkan aku, tadi kukira temanku. Oh iya, boleh aku minta tolong? Bisa panggil siapapun yang kau lihat dan mengalihkan telepon padanya?"

Estes melihat sekitar dan tidak jauh dari tempatnya, dia mendapati Zen sedang meditasi bersama Cyclops. (Jangan tanya bagaimana mereka bisa akur setelah Zen nyaris memakan Cyclops.)

"Tentu. Mohon tunggu sebentar." Kemudian dia menaruh gagang telepon di atas meja dan menghampiri kedua makhluk itu. "Permisi. Maaf mengganggu kalian."

Mereka berhenti dan menengok ke arahnya. "Ya?"

"Ada telepon. Aku tidak kenal siapa (karena Estes dan Ikyo emang belum pernah ketemu sebelumnya), tapi apa ada yang mau mengangkatnya?"

"Biar aku yang angkat." Zen segera menghampiri telepon dan mengangkatnya. "Halo?"

"Zen, coba jelasin ke gue! Kenapa ada anak kecil bisa nyasar ke kamar mandi rumah Adel?!" omel Ikyo to the point.

"Paman, boleh aku yang angkat teleponnya? Tadi Paman nyebut Kak Zen."

Zen langsung kaget setelah mengenali suara itu. "Ney, ngapain kamu di situ?!"


Ikyo menyerahkan gagang telepon pada Ney. "Nah, jelaskan semuanya sebelum aku semakin stress!"

Ney mengambil gagang telepon. "Ehmm... Begini, Kak... Tadi aku sedang belajar teleport, lalu aku mencoba untuk pindah ke bak mandi, tapi aku tidak tau bagaimana aku bisa berada di kamar mandi rumah orang lain."


"Tunggu di situ! Aku akan menjemputmu!" Zen menutup telepon dan menghela nafas frustasi. "Aku harus pergi."

Dia segera pergi meninggalkan Estes dan Cyclops yang hanya menatap kepergiannya dalam diam.


Setelah sebuah penjemputan kemudian...

"Aku benar-benar tidak menduga dia akan memikirkan bak mandi sebagai tempat teleport!" gerutu Arie frustasi.

Zen menepuk punggung Arie untuk menenangkannya, kemudian dia melirik Ney dengan tampang serius sambil melipat tangan. "Dengarkan aku, Ney. Jika kamu ingin teleport, cobalah ke tempat yang bukan merupakan sesuatu yang umum dan sangat mudah ditemui. Hampir semua kamar mandi di dunia ini memiliki bentuk bak mandi yang sama."

Arie menghela nafas panjang. "Untung saja kamu tidak berpindah ke tempat yang sangat jauh, kami bisa sangat panik jika itu sampai terjadi."

Ney menunduk malu. "Iya, Kak. Maafkan aku."


'Seharusnya aku memberitahunya untuk teleport ke tempat yang lebih spesifik.' batin Tumma sambil menghela nafas risih.


~'Ukuran'~

"Hey Salma, berapa 'ukuran'-mu?" tanya Tumma.

"Maaf?" Salma bertanya balik dengan wajah skeptis.

"Mungkin A. Kau tau, A untuk Alfred." celetuk Rendy cuek.

"A-apa?" Salma langsung blushing.

"Ya ampun Rendy, pffft!" Tumma langsung menahan tawa.

"Oh tidak, aku mengatakannya terlalu keras." Rendy mulai ketakutan setelah merasakan aura hitam dari Salma.


Beberapa menit kemudian, Rendy langsung tepar dalam keadaan babak belur setelah dihajar Salma. Di sebelahnya ada Hendry yang sedang menoel benjolan besar di kepalanya.

"I-itu bukan urusanmu!" sembur Salma yang blushing berat.

Sementara Tumma hanya tertawa saja dengan hal itu.


Note: Ini terinspirasi dari fancomic Persona 4 dimana Rise menanyakan 'ukuran' Naoto, kemudian Kanji 'tak sengaja' berceletuk 'D untuk Detektif' dan membuat Naoto marah.


~Umur~

"Dia cantik juga. Kira-kira dia suka sama kita nggak ya?"

"Hush, jangan ngawur kamu! Dia kan seumuran Flore, nggak pantes buat kita yang lebih tua."

"Tapi apa salahnya? Kak Naya aja lebih tua dari Kak Edgar."

"Selera kakakmu itu wanita tua ya?"

"Ish, bukan begitu! Kak Edgar nggak tau kalau Kak Naya lebih tua. Eh, emangnya Ney seumuran Flore ya?"

"Kelihatannya, tapi nggak tau juga deh. Kita tanya Kak Zen aja kali ya?"

"Iya aja deh."

Jangan tanya apa yang dibicarakan Edward dan Jean barusan.


~Lady Zela~

Zen yang sedang mengusap kepala Ney yang berbaring di pangkuannya tiba-tiba teringat sesuatu. "Kamu nggak mau pulang dulu? Kasihan Mama Zela nanti."

Ney yang mendengar itu mulai murung. "Hmm, baiklah."


"Zela itu siapa?" tanya Naoto 'si kucing' di dekat kaki Arie.

"Dia itu, ehmm... Ratu di tempat asal kami, dan dia cukup mengerikan jika diganggu. Tau Azazel?"

Mengetahui apa maksud Arie, Naoto hanya manggut-manggut. "Hoooh..."


Sekarang ketiga iblis itu sedang terbang menuju kampung halaman mereka.

"Mama pasti marah." gumam Ney ketakutan.

"Aku rasa Lady Zela tidak akan marah karena hal sekecil itu." hibur Arie.


Setelah hampir satu jam perjalanan, mereka bertiga sampai di istana sang ratu iblis.

"Hoooh, kamu dari mana saja?" tanya Lady Zela setelah mendapati kedatangan mereka.

Ney menunduk malu. "Maaf, Mama. Soalnya aku kangen Kak Arie dan Kak Zen."

Dia mendekati Ney dan mengusap kepalanya. "Tidak apa-apa kalau kamu kangen, tapi lain kali kamu harus beritahu dulu sebelum pergi."

"Iya, Mama." Ney memeluk Lady Zela. "Aku boleh kan tinggal dengan mereka?"

"Karena kamu sudah bertanya, tentu kuizinkan." Dia balas memeluk Ney, dan Zen main ikut peluk dari belakang. "Huh, kau tidak berubah juga ya, Iblis Tersesat."

Zen malah cengengesan. "Hehehe, maaf Mama."

Entah kenapa Ney teringat sesuatu. "Oh iya, kenapa Kak Arie tidak manggil Mama Zela 'Mama'?"

"Aku masih punya orangtua, Ney." jawab Arie skeptis.


To Be Continue, bukan Tweet Beat Contra (?)...


NM/Ney Mirrody (Devil): Gadis kecil yang dekat dengan Arie dan Zen. Manis tapi misterius.


Sekarang aku permisi dulu, karena aku mau pundung setelah bingung harus bagaimana untuk beli cash. *mojok.*

Ah sudahlah, mau gimana lagi lanjutinnya? -w-a

Review! :D