Balas Review! :D
SR: Aku ora urus. Ini udah lanjut... -w-/
RosyMiranto18: Yah, asal jangan bandingkan berbagai ukuran toples saja.
Maurice: "Aku hanya takut Alpha marah karena Wiona jadi OOC."
Tartagus: "Aku nggak jago rap, maaf." .w.v
Luthias: "Yah, begitulah. Yang kutau dia takut suara klakson, suara pesawat, dan suara konser metal."
Diggie: "Aku burung hantu sungguhan!" *langsung ditarik Cyclops sebelum sempat mengeluarkan 'time bomb'-nya.*
Ikyo: "Aku ragu untuk itu..." -w-a
Thanks for Review.
Happy Reading! :D
Chapter 156: The Cousin
"Nanti kita qurban apa ya?" tanya Saphire penasaran.
Ketiga makhluk Andreas itu berpikir sejenak.
"Kambing?"
Vience geleng-geleng kepala. "Asal kambingnya bukan si 'entuh' aja. Tahun lalu dia nyaris dibakar sama gerombolan Reha Squad, kan kasihan dia sampe trauma terus ngurung di kamar."
"Sapi?"
"Kita kan punya sapi, gede pula!" celetuk Saphire watados.
Vience melipat tangan. "Kalau yang kau maksud itu Minotaur, entar markas bisa dihancurin sama dia."
"Katanya tahun lalu ada yang nyumbang dua domba, entar dia nyumbang lagi nggak ya?"
"Nggak tau." Saphire angkat bahu. "Oh iya, katanya adeknya si 'entuh' ada yang melihara domba, kita minta aja kali ya?"
Vience memutar mata. "Entahlah, entar gue nanyain."
Abaikan intro gaje itu.
"Hermm..." Arie sedang duduk di sofa sambil melipat tangan dengan wajah serius.
"Kenapa, Rie?" tanya Zen yang baru lewat.
Arie menengok ke arahnya. "Ibuku tadi menelpon, dia memintaku untuk menjemput sepupu jauhku dari tempat Lady Zela."
"Aku ikut ya! Bosan nungguin Ney pulang, dia pasti main sama Flore dulu!" ujar Zen.
Arie angkat bahu. "Ya sudah."
Setibanya di istana Lady Zela, mereka bertemu dengan seorang pria berambut ungu sebahu, bermata merah keunguan, berkulit keabu-abuan, dan juga memiliki tanduk yang melingkar ke bawah seperti tanduk domba.
"Sudah lama tidak bertemu, Arie." sapa pria itu datar.
"Ya, aku juga sudah lama tidak melihatmu, bahkan hampir lupa tampang." Arie menggaruk kepala dengan canggung.
Pria itu mengalihkan pandangan pada Zen dan yang bersangkutan langsung gugup.
"A-ah, kita belum pernah bertemu ya? Ehehe..." Zen cengengesan. "A-aku Zen, ehmm..."
Zen bingung mau menjelaskan hubungannya dengan Arie. Mau dibilang saudara relasinya kejauhan, mau dibilang teman nggak akur-akur banget.
Pria itu merasa kebingungan dengan tingkah Zen, tapi wajahnya tetap datar. "Apa kalian itu, partner?"
Zen menyahuti dengan cepat. "Ya! Seperti itulah! Partner!"
'Tapi bukannya partner itu satu tingkat di atas teman ya? Ah, sudahlah! Yang penting nggak dibilang pacar, bisa hancur harga diriku nanti!' batin Arie.
Pria itu hanya manggut-manggut. "Namaku Molf, Molf Chaindelier. Senang bertemu denganmu."
"Ya, aku juga. Ahahaha..." Zen tertawa canggung. 'Kenapa jadi canggung begini?'
Ya iyalah, wong tampangnya nggak beda jauh sama Alfred. (Yang bersangkutan langsung bersin.)
"Lady Zela pernah cerita kalau kalian anggota sebuah squad, benar begitu?" tanya Molf.
"Iya, tapi kau tidak akan suka mendengar ini, karena kebanyakan dari mereka..." Arie menggantung sebentar. "Manusia."
"Boleh aku mampir sebentar ke sana? Setidaknya untuk beradaptasi." pinta Molf.
Sebelum Arie sempat menjawab, Zen langsung menyela. "Tentu!"
"Zen!" sembur Arie.
"Apa? Kalau dia memang mau begitu, kita harus membantunya!" balas Zen.
Arie menghela nafas. "Baiklah, kau boleh ikut kami."
"Ngomong-ngomong, sebelum kita ke sana, ada baiknya kau mencoba untuk bersikap ramah." nasihat Zen.
"Tapi aku tidak tau caranya." balas Molf datar.
Hening sesaat.
"Yah, setidaknya belajarlah." saran Arie seadanya. "Kau tau, keramahan dari seseorang menunjukkan bahwa dia orang yang memiliki perilaku terpuji."
"Baik, apa yang harus kulakukan?" tanya Molf meminta saran.
"Tersenyumlah!" usul Zen.
Dia pun mencoba tersenyum, tapi hasilnya malah buruk.
Nggak, bukan senyum psikopat sih. Itu mah Vincent. *kabur.*
"Oh sial, itu mengerikan..." gumam Zen ketakutan.
"Kita di sini ingin belajar bersikap ramah, bukan membunuh Batman." timpal Arie skeptis.
Molf kembali berwajah datar.
"Coba dengan sedikit gigi." usul Zen lagi.
Molf pun kembali mencoba tersenyum, tapi tetap saja hasilnya tidak baik.
"Ya sudah, lupakan saja. Ayo." Arie berjalan pergi.
Setelah itu...
"Ugh, berat sekali!"
"Mau bagaimana lagi? Dia sudah kehilangan sayapnya karena sebuah insiden, jadi terpaksa kita bawa dia seperti ini."
"Apa aku sangat berat?"
"Tidak juga. Zen hanya tidak terbiasa mengangkut benda berat."
"Yah, itu hampir benar."
Bayangkan Arie dan Zen menggotong Molf seperti adegan orang yang menggotong temannya yang terluka, tapi sambil terbang.
Setelah tiba di markas Garuchan, Molf diturunkan di depan gerbang. Zen langsung terkapar karena sudah tidak kuat menahan beban terbangnya.
"Abaikan saja dia." Arie menarik tangan Molf. "Ayo kita bertemu Kaichou, dia ketua tempat ini."
Di tempat lain...
"Jadi..." Nigou melihat lagu yang akan dipakai untuk latihan. "Siapa yang mau nyanyi?"
Ney hanya memainkan jari, sementara Flore menggaruk kepala. "Aku nggak suka lagunya, dan Ney belum bisa mengatur nada dengan benar."
"Boleh aku yang mencobanya?"
Mereka bertiga langsung melirik si kucing biru di depan pintu.
"Te-tentu."
Naoto naik ke atas meja, kemudian Flore mengatur mic dengan penyangga agar dia bisa menggunakannya.
Musik diputar dan lagu siap dinyanyikan.
Kenapa wajahmu begitu besar?
Banyak yang memanggilmu wajah besar
Bahkan di foto wajahmu tak terpotret semua
Karena wajahmu besar
Apapun usahamu
Wajah besar, wajah besar
Walau keras upayamu
Wajah besar, wajah besar, wajah besar
TIDAAAAAKKK!
Dia juga, dia juga wajah besar
Semua ikat kepalanya kekecilan
Mengagetkan semua dengan wajah besar
Kepalamu cocok untuk menyundul bola
Dari jauh pun terlihat wajah besar
Kerah bajumu kecil untuk kepalamu
Kalau masuk angin bertambah besar
Orang itu, orang itu, orang itu
Orang itu, orang itu, orang itu
Punya kepala besar
Bergaya apapun juga
Wajah besar, wajah besar
Tak akan bisa diubah
Wajah besar, wajah besar, wajah besar
TIDAAAAAKKK!
Wajahmu tak bisa ditutup apapun
Kemanapun pergi tetap berwajah besar
Sepertinya dia bisa terkenal
Di antara makhluk luar angkasa
Apalagi kalau benjol bertambah besar
Orang itu, orang itu, orang itu
Orang itu, orang itu, orang itu
Punya kepala besar
"Wah, ternyata Naoto bisa juga ya!" puji Flore sambil tepuk tangan.
Naoto melompat turun dari meja. "Aku hanya menemani kalian sebentar, karena aku harus melihat anak-anakku dulu."
"Baiklah, dadah Nao!" Ney melambaikan tangan selagi kucing biru itu pergi.
Sementara itu...
Arie dan Molf mendatangi Girl-chan yang sedang mengurusi sesuatu di laptop-nya dan yang bersangkutan sedikit kaget. "Lha, itu siapa ya?"
"Sepupunya Arie."
PLAK!
Girl-chan langsung menabok Zen yang muncul di sebelahnya sambil menggelantung terbalik dengan sendalnya. "Nggak usah nongol kayak gitu juga keles!"
"Uhuhu..." Zen yang terjengkang karena tabokan barusan hanya meringis kesakitan dan bangun dengan cara normal. "Maaf."
"Cepet amat sembuhnya!" ujar Arie skeptis.
"Ehehe... Gue gitu lho~" balas Zen bangga.
Molf menatap ke arah Girl-chan. "Siapa dia?"
"Aku ketua di sini, sesuatu yang aneh tapi memang itu kenyataannya. Panggil saja Kaichou untuk sekarang ini." jawab gadis itu seadanya. "Oh iya, kau sendiri?"
"Molf."
"Ehmm... Kalau M dibalik, maka akan jadi Wo- Eits! Jangan menatapku seperti itu, aku hanya bercanda!" Girl-chan mencoba membela diri saat Molf menatap tajam ke arahnya.
"Kaichou, dia itu tidak mengerti lelucon." jelas Arie risih.
Si ketua squad manggut-manggut. "Oooh... Maaf ya."
Molf hanya mengangguk.
"Ngomong-ngomong, untuk apa kalian bawa dia kemari?" tanya Girl-chan mengalihkan topik.
Arie menggaruk kepala. "Yah, dia perlu belajar beradaptasi dengan yang lain untuk menghilangkan trauma-nya pada sebuah insiden di masa lalu."
"Baiklah..."
Di sisi lain...
"Katanya Arie punya sepupu lho!"
"Serius?!"
"Iya, beneran." sahut Tumma di belakang Duo Spiky. "Tapi dia cuma berkunjung doang, nggak gabung sama kita."
"Yaaaah... Padahal mah bagus banget kalau dia gabung!" ujar Saphire kecewa.
Salem memutar mata. "Sap, gue nggak mau jamin lu bisa selamat dari Arie kalau dia sampe ikut-ikutan sableng kayak kita!"
"Aku juga nggak mau ikutan ya, jadi jangan salahkan aku kalau Arie sampai membakarmu." timpal Tumma datar.
Kemudian datanglah Arie dan sepupunya yang memasuki perpus.
"Ada banyak buku yang bisa kau baca jika kau ingin belajar lebih banyak tentang manusia."
"Umm... Hey Arie."
"Ya?"
"Apa aku boleh memakan kepala mereka?" Sang sepupu menunjuk Salem dan Saphire. "Bentuknya mirip durian."
"Hah?!" Salem dan Saphire langsung shock, sementara Tumma berusaha menahan tawa.
"Tidak. Jangan coba-coba makan mereka. Itu kanibalisme." nasihat Arie datar.
Tumma langsung kabur keluar perpus dan...
"Bahahahahahahahahahahahaha!"
Seperti biasa, tertawa dengan sangat menggelegar.
"Apa ada yang salah dengan temanmu tadi?"
"Biarkan saja, dia selalu seperti itu."
'Entah kenapa dia mirip seseorang yang kukenal.' batin Molf yang sepertinya mengenali Tumma di suatu tempat.
"Ngomong-ngomong..."
Mereka berdua melirik ke arah Hendry.
"Dia iblis jenis apa? Kok dia punya tanduk, tapi nggak punya sayap?"
GLEK!
Tiba-tiba Molf langsung mengeluarkan aura suram. Arie segera jaga jarak karena takut.
"Aku tidak mau membahasnya."
Hendry pun memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. "Ehmm... Oke..."
Aura suram itu mulai mereda dan Molf menatap Arie. "Bisa bantu aku mendinginkan kepala?"
"Kurasa jalan-jalan bisa membantumu." usul Arie.
"Baiklah." Molf berjalan keluar perpus.
Arie menatap tajam Hendry seolah mengatakan 'jangan tanyakan itu lagi!' sebelum ikut keluar.
Mereka pergi ke atap markas, dan ternyata Zen sudah ada di sana.
"Apa yang terjadi di dalam? Tadi aku sempat merasakan aura suram lho!" tanya Zen penasaran.
"Tadi ada yang menanyakan sayapnya." jelas Arie tidak nyaman, dan Zen hanya manggut-manggut.
"Sebenarnya kau tidak perlu takut dengan cacatmu itu, karena aku juga punya." Zen menurunkan tudung jubahnya.
Molf sedikit terkejut melihatnya. "Tandukmu itu..."
"Yap, patah karena sebuah kecelakaan." Zen mengusap tanduknya. "Yah, walaupun itu aib, tapi tetap saja merupakan bagian dari hidup."
Deg!
"Walaupun itu aib, tapi tetap saja merupakan bagian dari hidup."
Molf teringat seseorang yang pernah mengatakan hal yang sama padanya.
Saat itu dia tertangkap oleh sekelompok pasukan yang menghancurkan tempat tinggalnya dan dijual pada manusia untuk dijadikan budak, sayapnya dipotong agar dia tidak bisa melarikan diri.
Dia berteman dengan seorang pemuda yang juga menjadi korban perbudakan setelah diculik di tengah hutan dan diubah menjadi makhluk hijau. Mereka tidak banyak mengobrol tapi saling memahami satu sama lain karena nasib yang hampir sama.
Saat tempat perbudakan itu diserang, dia ditemukan oleh pasukan baik hati yang mengembalikannya ke Dunia Iblis, sementara pemuda itu pergi entah kemana tanpa diketahui keberadaannya.
Sejak saat itu, dia mulai trauma pada manusia dan hampir tak bisa berekspresi lagi.
"Molf?" Zen melambaikan tangan di depan wajahnya.
Arie mulai merasa tidak nyaman. "Sepertinya dia terbawa ingatan masa lalu."
"Apa itu buruk?" Zen menoel pipinya.
Arie menggeleng. "Tidak juga, kita hanya perlu menunggu sampai dia mulai bereaksi lagi."
Molf kembali tersadar ketika jari Zen menyentuh hidungnya. "Apa yang kau lakukan?"
"Hanya memastikan apa kau masih hidup atau nggak." balas Zen sambil nyengir.
Arie hanya facepalm dengan perkataan Zen barusan.
Tumma yang menguping pembicaraan mereka di belakang pohon hanya menghela nafas.
'Molf ya? Kalau kuingat-ingat lagi...'
"Aku Tumma. Aku manusia, tapi mereka mengubah rambut dan kulitku jadi hijau. Kau sendiri?"
"Molf. Seorang incubus, tapi mereka memotong sayapku."
"Mau berteman?"
"Tentu."
"Sepertinya kita sudah pernah bertemu ya?"
Kita beralih ke tempat lain.
Halaman depan markas Garuchan sedang ramai karena ada pertarungan antara Alucard (ML) dengan Mathias.
Jangan tanya kenapa mereka bertarung. Yang jelas, pertarungan itu disambut heboh oleh para cowok Garuchan dan Reha.
Bahkan ada 'band dadakan' yang terbentuk untuk menyanyikan lagu yang dibuat dadakan untuk mendukung mereka.
Yah, sebaiknya kita abaikan saja.
Tapi tunggu, itu ngapain si Estes nyempil di belakang band sambil main terompet?
Back to Arie and Molf...
"Jadi, dimana Molf akan tinggal?" tanya Girl-chan.
"Dia tinggal di rumahku setidaknya selama setengah tahun sebelum kembali lagi ke Dunia Iblis." jelas Arie sambil menggaruk kepala.
"Hmm, baiklah..." Gadis itu memegang tangan Molf. "Kau bisa berkunjung lagi jika kau mau."
Molf hanya mengangguk. "Terima kasih."
Kemudian dia melepaskan tangannya dan melirik Arie. "Ngomong-ngomong, bagaimana caranya kita ke rumahmu? Kau tidak bisa membawaku sendirian, dan Zen bilang dia keberatan."
"Oh iya." Arie hanya sweatdrop. "Mungkin, naik taksi? Manusia menciptakan itu untuk pergi ke tempat tujuan lebih cepat, karena kalau jalan kaki dari sini bisa makan waktu sampai malam."
"Baiklah."
Dan mereka pun pergi.
To Be Continue, bukan Tummy Bicorn Cyclone (?)...
I'm jelolo... ~(-w-)~
Alasanku tak bisa masukkan Molf ke squad: masalah cash. Aku masih belum bisa beli Soul Master (Hendry) dan Devil (Ney), kalau nambah lagi dengan Chain Mage (Molf), bisa gempor nanti, soalnya aku nggak tau lagi harus beli cash dimana karena warnet yang biasa jual cash selalu kosong. .w.a (Ditambah lagi nggak ngerti pake Unipin and nggak yakin bisa beli cash pake pulsa karena kartuku XL.)
Bagian Molf belajar tersenyum itu dari video MMD 'Smile, England!' di YT. Sebenarnya audio video itu dari salah satu episode 'Big Bang Theory', tapi karena terjemahan dari dialog itu rada kurang sreg (salah satu tokoh di episode itu, Howard, membicarakan tentang kosmik), jadinya pake versi sendiri. 'w'a Sebenarnya sih aku suka pas Leonard ngomong 'We're here to see Koothrappali, not kill Batman', seolah-olah senyum Sheldon itu dianggap mirip Joker si antagonis bermuka badut. :v a
Lagu yang dinyanyikan Naoto itu opening anime 'Dr. Slump' versi Indo. Yah, entah kenapa suka aja sih... 'v'a
Mungkin kalian akan mengerti maksud dari 'M yang dibalik dari Molf' jika membayangkannya sendiri... 'w'/
Aku males bikin Chapter khusus 17-an, jadi kurasa lain kali saja... -w-/
Spoiler Chapter depan: Cerita dari lima anak kucing.
Review! :D
