Happy Reading! :D


Chapter 160: Quality Time Share


"Al, lu pernah nggak ngerasain pas lu udah bangun tapi ternyata malah belum bangun alias masih mimpi?"

"Yah, pernah sih. Namanya tuh 'False Awakening'. Biasanya gue ngalamin kalau lagi capek banget."

Saphire hanya manggut-manggut, walaupun sebenarnya sedikit kasihan.

Sebagai satu-satunya petugas teknisi di markas, belakangan ini Alpha kelelahan karena mengerjakan banyak hal. Mengurus peralatan di markas, menjaga Wiona (yang kadang ditinggal sejam aja udah bikin markas gelap mendadak), jadwal perawatan Garcia, belum lagi dia juga harus membantu ayahnya sebagai asisten dalam proyek pribadi keluarga.

"Kayaknya lu butuh liburan deh, Al. Kalau lu sakit bisa bikin semarkas panik lho."

"Pengennya sih gitu, tapi kerjaan seabrek nggak bisa ditinggalin."

Dan dia hampir tidak pernah istirahat karenanya.


Aku tidak tau harus menjelaskan apa, jadi langsung saja! -w-/


~Ligma~

Wiona kebingungan dengan papan bertuliskan 'ask me about ligma' yang dipasang Emy di depan pintu perpus.

"Emy, apa itu ligma?"

"Hooh boi..."

"Nooooo!" pekik Alpha dan Thundy panik (karena mereka juga pernah jadi korban).


"Nee Tum-Tum, sepertinya aku terkena Lig-"

"Ligma?" potong Tumma yang sedang baca buku sambil memasang senyuman jahil. "Oh, biar kutebak. Apa kau juga terkena 'Sugma', Saphire? Malang sekali. Sepertinya kau perlu perawatan selama sebulan dengan 'suckondeeznuts'."

'Sial!' batin Saphire yang langsung keringat dingin.


~Kiss~ (Referensi: Salah satu Chapter di Webtoon 'Deadly Seven Inside Me'.)

"Maurice~"

Yang bersangkutan menengok ketika seseorang mendatanginya di taman. "Oh, Figaro. Ada apa? Tumben pakai wujud itu."

"Boleh minta tolong nggak?" tanya Figaro dengan wajah polos.

"Apa itu?"

"Aku minta cium."

NGIK!

Suara gesekan kasar biola pun sukses menjadi backsound.

Teiron dan Giro yang berada tidak jauh dari situ langsung memasang wajah horror.

"Baiklah..."

Kedua orang itu semakin horror mendengarnya.

Figaro menutup mata dan mulai membayangkan seperti apa rasa mulut sang pencium, tapi tak taunya...

Chu~

Maurice berubah jadi serigala dan menciumnya di hidung (disertai bonus jilatan kecil).

PHP level galaxy.

Figaro langsung pingsan karena shock.

"Gila... Pembunuhan yang sangat kejam." Teiron menoel pipi Figaro yang tergeletak mengenaskan di tanah. "Emang sih dia nggak kasih tau minta dicium di mana, tapi nggak perlu berubah jadi serigala kan?"

"Maurice-pyon itu, lugu tapi mengerikan ya..." gumam Giro risih.

"Heee?" Yang bersangkutan hanya kebingungan.


~Plant Pet~

"Vieny Vieny! Lihat apa yang kutemukan di hutan!" Tartagus menunjukkan makhluk berwarna hijau yang digendongnya. "Imut kan? Dia bisa bicara lho! Dia bilang namanya Belerick, dia tidak takut api dan benci konflik."

'Perasaan Belerick lebih besar dari makhluk ini deh...' batin Vience curiga. "Untuk apa kau membawanya ke sini?"

"Aku ingin memeliharanya! Kupikir tidak ada salahnya menjadikannya teman bermain!"

Vience hanya memutar mata. "Lupakan saja. Markas kita tidak cukup besar untuk menampungnya jika dia tumbuh besar."


Walaupun begitu...

"Jangan terlalu dipikirkan, Vieny selalu begitu. Aku akan tetap merawatmu kok." Tartagus mengusap punggung Belerick dengan lembut, dia memilih tidur di dekat kandang Jeronium untuk menemani peliharaan barunya. "Aku tau tubuh aslimu lebih besar, tapi jika bisa, tetaplah berwujud kecil di sini. Kau mengerti kan?"

"Belerick lebih suka menjadi kecil." balas Belerick pelan.

Tartagus tersenyum riang. "Baguslah!"


~Food~

"Oh ayolah, ini enak. Aku jamin." Tumma memaksa Teiron dan Thundy yang menolak mencoba salad buatannya.

"Huh, dasar. Kalian ini tidak toleran sayuran atau apa?" Kemudian celananya ditarik oleh sesuatu dan Tumma menengok ke bawah. "Oh, kau mau ya, Belerick?"

Dia pun memberikan salad buatannya pada Belerick. "Haha, lihat? Kalian seharusnya seperti dia!"

Hening sesaat.

"Kau tau, Tumma, Belerick hanya makan si- Hmmmph hmmph." Thundy menutup mulut Teiron sebelum dia selesai bicara.


~Ney Depressed Section~ (Fic Reha Squad Chapter 85 dengan sedikit perubahan dan tambahan.)

"Ney, dapat berapa nilainya?" tanya Flore sambil membawa kertas ulangannya.

"Ah, kecil kok." jawab Ney ragu-ragu.

"Berapa kecilnya? Aku dapat 45, Nigou 60." balas Flore penasaran.

"Ha-hanya 35 kok, hehe."

"Lihat ya, Ney. Eh?" Flore yang ingin mengambil kertas ulangan Ney hanya kebingungan karena Ney langsung menyembunyikannya.

"Aku dapat 35 kok, Flore! Nggak usah dita-"

Nigou langsung merebut kertas ulangan Ney. "Lihat ya, Ney!"

Flore pun ikut melihat, tapi mereka berdua langsung shock setelah melihat hasil ulangan Ney.

"Sa-satu?!"

Mereka langsung melihat Ney yang sedang pundung di mejanya.

"Aku amat bodoh. Aku amat bodoh. Aku amat bodoh. Aku amat bodoh. Aku amat bodoh. Aku amat bodoh. Aku amat bodoh. Aku amat bodoh."

'Oh tidak...'

Diam-diam kertas itu ditaruh lagi di meja Ney.


"Haaah... Yang terpenting, setelah mendapatkan nilai kecil, kau harus bisa mengimprovisasi dirimu sendiri." nasihat Flore dengan nada motivator.

Ney hanya termenung sesaat sambil memutar kursinya. "Tapi, terlalu sulit untuk memotivasi diriku sendiri, apalagi aku lebih senang bermain daripada yang lain."

"Jadi tidak bisa ditolong." sambung Ney dengan nada imut.

Nigou berusaha menahan tawa, tapi tidak bisa dan akhirnya kelepasan.


"Ney, coba deh buat sesuatu yang bagus, dan coba bayangkan itu adalah sesuatu yang terjadi sekarang, kemudian buanglah, mungkin itu akan berhasil untuk memotivasi dirimu." usul Nigou.

Ney mendapat ide dan membentuk kertas ulangan itu menjadi pesawat kertas. "Dengan ini, aku putuskan untuk melupakan hal lama dan mulai membuat hal baru."

Ney berniat menerbangkan pesawat kertas itu ke tempat sampah yang jaraknya kurang dari dua meter. "Baiklah, dari sini!"

"Dia mencoba lari dari kenyataan." komentar Nigou dan Flore sweatdrop.

Ney menerbangkan pesawat itu, tapi pesawatnya malah berputar balik dan menabrak dahinya. "Aduh."

'Ini akan berlangsung lama.' batin Nigou dan Flore dengan wajah suram.

Ney mencobanya lagi berkali-kali, tapi hasilnya sama saja. Sampai akhirnya dia mulai kesal.

"Huh! Kalau tidak bisa dibuang, lebih baik dibakar saja!"

Ney langsung memunculkan bara api dari tangannya dan membakar kertas ulangan tersebut. Kedua temannya sukses dibuat shock melihat kejadian itu (dan untungnya sedang jam istirahat sih, jadi tidak ada murid lain yang melihat karena kelas mereka kosong).


Sepulangnya...

"Bagaimana ulanganmu, Ney?" tanya Zen yang (seperti biasanya) berbaring di udara.

Yang bersangkutan hanya memalingkan wajah. "Aku tidak mau membahasnya..."

"Biar kutebak." sahut Arie. "Apa karena nilaimu jelek?"

Ney menunduk takut.

Zen mengusap kepalanya. "Katakan saja. Kami tidak akan marah."

Ney mulai angkat bicara. "A-aku... Dapat nilai... Satu..."

Arie menghela nafas. "Ney, kau tidak perlu takut dapat nilai jelek. Setidaknya kau berusaha melakukan yang terbaik."

"Tapi yang terpenting, itu membuktikan kalau kau sedikit lebih pintar dari Zen. Dia pernah dapat nilai minus lima ribu dalam ujian teori." lanjut Arie sambil menunjuk yang bersangkutan.

"Hah?" Zen hanya kebingungan.

Ney menghela nafas lega. "Makasih ya Kak, sekarang aku merasa lebih baik."

"Tidak masalah." balas Arie dan Zen bersamaan.

Kemudian Zen teringat sesuatu. "Tapi ngomong-ngomong, mana kertas ulanganmu?"

"S-soal itu..." Ney hanya menunduk malu dengan wajah memerah. "Aku sudah membakarnya..."

Mereka berdua pun langsung sweatdrop mendengar itu.


~Fanboy~ (Referensi: Fancomic Persona 5 dari Scruffyturtle.)

"Ada yang tau dimana Edgar?" tanya Salem.

"Aku tau!" Edward berdehem sejenak. "Kak Edgar~ Di depan lagi ada Gumi bagi-bagi tanda tangan nih!"

BRAK!

Edgar langsung banting pintu sambil membawa buku kecil dan pulpen. "MANA?!"

"Lihat? Berhasil kan?" tanya Edward tanpa dosa.

"Pffft... Ekspresinya itu lho..." Hendry menahan tawa.

"Wah wah... Ngefans sampe segitunya ya..." ledek Salem.

"Ehmm... Teman-teman..." Rendy mulai merasa firasat buruk.

Aura hitam langsung keluar dari tubuh Edgar dan dia sudah mengeluarkan sabit keramatnya. "Hoooh... Jadi kalian pikir itu lelucon ya? Ha ha! Lucu sekali! Mau tau apa yang lebih lucu? Kepala kalian yang menggelinding di tanah!"

"Tu-tunggu dulu! Itu hanya bercanda!"

Dan mereka berempat langsung kabur menghindari kejaran Edgar mode Grim Reaper tersebut.


~Fans~ (Referensi: Sama seperti sebelumnya.)

"Dan pada akhirnya, Erek berhasil mem-program ulang sistem miliknya, membunuh semua Pengendali yang ada di gedung Matcom, serta menyelamatkan Marco yang sempat mati karena luka di dadanya. Tapi setelah itu, Erek menjadi trauma karena android tidak bisa melupakan apapun yang dilakukannya dan mengembalikan program-nya seperti semula." Mathias mengakhiri ceritanya dengan gaya. "Kau tau, menurutku itu momen paling seru dari semua seri."

"Aku terkesan sih, tapi kenapa cerita padaku? Aku kan bukan penggemar Animorphs." tanya Alexia risih.

"Masa? Exoray pernah bilang kau diam-diam memborong semua seri buku itu termaksud Megamorph dan spin-off lainnya pada event great sale di sebuah toko buku."

Alexia yang sedang minum sukses menyemburkan minumannya dari hidung setelah mendengar itu, dia pun terbatuk-batuk sesaat. "Uhuk uhuk! Ja-jangan konyol! Dia hanya ingin mempermalukanku saja!"

"Coba jelaskan kenapa Ax bisa menjadi paman Tobias." timpal Luthias yang baru datang.

"Karena Elfangor adalah ayah Tobias dan kakak Ax." balas Alexia.

"Jadi, bagaimana kau bisa tau hal itu?" tanya Luthias sambil nyengir jahil, dan Mathias juga ikut nyengir.

'Sial!' umpat Alexia dalam hati.


~Pun-Pun Macaroni~

"Kedua makhluk jabrik sialan itu mengerjaiku! Rahasiaku terbongkar dan aku ingin menghajar Nii-san karenanya!" gerutu Alexia kesal setelah kejadian sebelumnya.


Sekarang dia sedang berada di dapur untuk mencari camilan.

Alexia menemukan sebungkus makaroni di dalam rak penyimpanan. "Oh bagus, hanya makaroni. Untungnya bukan Marco-roni."

"Pun detected, saved in memory."

Webek webek...

Karena merasa mengenali suara tadi, perlahan dia menengok ke belakang.

"Se-sejak kapan kau ke sini?!" pekik Alexia pada seseorang yang ternyata...

"Garcian hanya mengikuti saja." balas gadis android itu.

"Bisa nggak pun tadi dihapus? Malu-maluin!" seru si pemuda pirang.

"Perintah ditolak."

Alexia menghela nafas frustasi. "Pokoknya jangan kasih tau siapapun. Ini perintah."

"Dimengerti."


~Another Cat Boy~

Belakangan ini Tsuchi sedikit bermasalah.

Setiap kali dia mengunjungi Marinka, pasti ada 'kucing lain' yang mengobrol dengannya.

Tampangnya nggak cakep-cakep amat sih. Rambut putih, mata biru, telinga dan ekor kucing, serta berpakaian seperti seorang penjelajah. Tapi tetap saja Tsuchi merasa kesal padanya.

Intinya, dia cemburu.


Kebetulan hari ini 'kucing itu' sedang tidak ada, jadi Tsuchi langsung menanyakannya pada Marinka.

"Dia bukan siapa-siapa kok, Tsuchi. Kami hanya teman saja, tidak ada yang spesial." jelas Marinka.

Walaupun begitu, dia tetap saja merasa tidak senang.

Tsuchi mendekati Marinka dan memojokkannya di pohon.

"Tsu-Tsuchi, apa yang kau- Auh! Ugh!"

Dia menggigiti leher Marinka sampai meninggalkan bekas, kemudian langsung pergi tanpa mengatakan apapun.

Marinka hanya memegangi bekas di lehernya. "Kenapa dia?"

"Sepertinya dia cemburu." Seseorang muncul dari semak-semak di dekatnya.

"Kau yakin, Harith?" tanya Marinka ragu.

"Tadi aku sempat mendengar kalian mengobrol, nada suara Tsuchi terdengar marah saat dia bertanya tentangku, jadi dia menggigit lehermu untuk menandai miliknya." jelas Harith. "Lagipula, sebenarnya aku tidak mau jadi perusak hubungan kalian. Aku akan mencoba bicarakan baik-baik dengannya untuk meluruskan masalah ini."

"Tolong ya, Harith."

Harith mengangguk dan segera pergi.


~Error Machine~

Lucy dan Alexia menoleh serentak ketika mendengar suara pintu kamar dibuka. Federico memunculkan kepala, mata heterochrome itu menatap dua pasang mata coklat dari Mercowlya bersaudara sambil mengajukan pertanyaan tanpa suara.

"Masuk aja, nggak apa-apa kok." jawab Lucy dengan suara agak rendah, nyaris seperti bisikan.

Federico mengangguk pelan dan memasuki kamar, menutup pintu dengan hati-hati, lalu berjalan menuju ranjang. Dia mengambil posisi di sisi seberang Lucy dan Alexia yang duduk bersebelahan di sisi kiri ranjang. Matanya menatap kasihan sosok yang tengah terbaring di ranjang.

"Garcia masih belum sadar juga ya?" Federico mengulurkan tangannya dan mengusap rambut maroon si gadis android yang tengah terbaring di ranjang dalam kondisi tidak sadar, atau lebih tepatnya 'shut down'.

Alexia mengawali jawabannya dengan helaan nafas panjang. "Aku dan Alpha sudah melakukan semua yang kami bisa, bahkan Alpha sampai membongkar tubuhnya dan mengeringkan beberapa sirkuitnya secara manual. Tapi tetap aja aku nggak tau dan nggak bisa jamin kapan dia akan sadar. Maksudku, dia benar-benar sampai terendam..."

Alexia bergidik. Walaupun dia bukan seorang mekanik, dia tau betul betapa tidak kompatibelnya mesin dengan air. Tapi di sisi lain, dia juga marah karena suatu alasan.


Bencana ini berawal saat Thundy sedang emosi karena 'alasan umum' (alias kelakuan si istri garong) dan melempari barang-barang di sekitarnya pada Emy yang berusaha menghindari lemparannya. Tapi sialnya, salah satu barang yang dilempar Thundy mengenai Garcia yang kebetulan sedang jalan-jalan di pinggir kolam renang (yang kebetulan sedang kosong) dan membuatnya tercebur saat itu juga.

Walaupun Thundy dan Emy langsung dengan tanggap (dan sedikit panik) mengangkat Garcia dari kolam dengan kekuatan sihir, tapi hal itu sedikit terlambat. Garcia langsung korslet, tubuhnya melemas dan percikan-percikan kecil bermunculan di kulitnya. Alhasil, Garcia segera dibawa ke dalam markas untuk dimintai penanganan darurat dari Alpha yang sedang libur dari tugas.


Lucy menepuk punggung adiknya untuk menghibur.

Garcia bukan hanya sekedar android belaka, dia adalah rekan yang setia, teman seperjuangan mereka. Melihatnya sakit (baca: korslet) dengan kemungkinan sembuh mendekati nol persen seperti ini, rasanya...

Suara 'bip' samar langsung menyita perhatian ketiga orang itu. Garcia membuka mata dan mengerjap perlahan, menggerakkan kepalanya untuk menatap satu per satu para penjenguk.

"Garcia? Kau beneran sadar?" tanya Alexia antara tidak percaya tapi juga sangat lega.

"Otou-chan! Garcia nggak mati! Syukurlaaaaaah!" Lucy memeluk adiknya sekilas sebelum beranjak ke sisi tempat tidur dan menggenggam erat tangan kanan Garcia.

"Syukurlah, Garcia. Kau membuat kami semua khawatir..." Federico berniat mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut Garcia, tapi dihentikan oleh sebuah cengkeraman kaku di pergelangan tangannya. Cengkeraman dari sang android yang baru saja terbangun dari koma.

"Garcia?"

Komentar Lucy sama sekali tak didengar ketika Garcia menarik tangan Lucy dan Federico, lalu menyatukan kedua tangan itu di dadanya seperti penghulu menyatukan dua insan di pelaminan.

"Papa dan Mama sampai mengkhawatirkanku seperti ini..."

Federico dan Lucy langsung mangap lebar. Federico menatap Alexia tanpa berkedip dengan setengah berharap agar pacar si android itu mengatakan sesuatu (apapun itu) untuk memecah keheningan karena situasi awkward yang terjadi sekarang ini.

Tapi ternyata kejadian ini menjadi salah satu dari sedikit skenario langka dimana seorang Alexia Mercowlya sampai kehabisan kata-kata.

"Aku senaaaang sekali..."

Tapi diucapkan tetap tanpa ekspresi. Silakan bayangkan sendiri seberapa creepy.


~Kinky Stuff~

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Wiona?" tanya Lisa pada Wiona yang berkunjung ke rumahnya.

Wiona menggaruk pipi. "Sebenarnya aku benar-benar tidak tau bagaimana menanyakanmu. Aku seharusnya bertanya pada Kaichou, tapi Emy memberitahuku kalau kau orang yang lebih tepat untuk bicara tentang topik ini..."

Lisa angkat bahu dan menyeruput teh yang disiapkannya sejak tadi. "Yah, aku tidak yakin topik apa yang kamu maksud, tapi lanjutkan saja. Tanyakan apapun itu."

"Kau tau, selama aku disekap di tempat lamaku, aku hampir tidak tau apa-apa soal dunia luar. Dan setelah tinggal di squad, aku mulai belajar banyak hal, kecuali satu..." Wiona menggantung sesaat. "Bagaimana caramu menggoda pria?"

Lisa langsung menyemburkan teh yang diminumnya.

"K-kau baik-baik saja? Kau baru saja menyemburkan semua minumanmu." tanya Wiona khawatir.

Lisa mengelap mulutnya. "Tidak tidak. Aku baik-baik saja, aku hanya terkejut kamu menanyakan hal seperti itu. Itu tidak seperti dirimu."

"Aku tau. Aku tidak berpengalaman. Aku yakin kau akan memberitahuku kalau aku tidak perlu berubah dan aku akan tau hal itu pada waktunya, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu untuk Alpha. Aku baru saja membaca sebuah majalah dan di situ tertulis kalau pria menyukai hal seperti itu." Wiona memainkan jarinya. "Aku tau itu tidak pantas menanyakan hal-hal seperti itu, tapi kau satu-satunya orang yang bisa kutanyakan sekarang... Tapi aku mengerti jika kau tidak mau mengajariku, lagipula ini hal pribadi."

Lisa menghela nafas. "Baiklah, aku akan mengajarimu hal yang kutau, tapi jangan beritahu siapapun tentang ini. Aku akan mengajarimu apa yang dipakai dan apa yang dilakukan, itu tidak apa-apa kan?"

"Ya, tentu saja! Terima kasih banyak Lisa, kau yang terbaik!" balas Wiona senang.

"Aku hanya berharap Kak Al tidak membunuhku karena mengotori pikiranmu dengan 'kinky stuff'..." gumam Lisa was-was.


Di tempat lain...

"See? Easy game! Sudah kubilang ini akan menjadi yang tercepat dan masih ada cukup waktu, jadi ayo kita pergi ke pesta sekarang! Semuanya sudah menunggu!" seru Alpha bersemangat.

"Aku sudah tau, geez..." Teiron mendengus sebal. "Kelihatannya kau bersemangat sekali."

"Tidak juga, aku hanya mencoba untuk tidak memikirkan Wiona. Sekarang ini dia sedang keluar. Karena aku tidak mau jadi pacar yang terlalu protektif (dan kebetulan situasi sekarang cukup aman), jadi kubiarkan dia, tapi aku mulai merindukannya dan mungkin sedikit bersenang-senang bisa membuatku melupakannya sejenak." balas Alpha sambil membuka pintu rumah.

"Ngomong-ngomong, bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum memasuki rumah seseorang?" tanya Teiron yang risih dengan ketidak sopanan temannya.

"Kenapa aku harus mengetuk pintu? Ini rumahku, aku tinggal di sini. Lagipula, keluargaku tidak pernah menyembunyikan apapun selama kami membangun hubungan dengan cinta dan kepercaya- an..."

Mereka berdua langsung terdiam karena...

"Oh, Alpha! Bukannya kau pergi ke pesta ya? Aku menanyakan Lisa untuk mengajariku beberapa 'kinky stuff'. Bisakah kalian segera meninggalkan kami?" pinta Wiona yang memakai gaun backless warna biru.

"Uhmm... Aku tidak menyangka kau juga ke sini, Tei-kun. Kukira kalian akan pergi ke pesta." ujar Lisa yang memakai gaun tanpa lengan warna kuning.

Mereka berdua langsung nosebleed.

"Pesta apa? Kami tidak ada pesta yang ingin didatangi kok. Kami istirahat saja di sini. Jadi kenapa kalian tidak lanjutkan saja? Kami akan mengawasi agar tidak ada yang mengganggu kalian, benarkan Tei?"

Teiron hanya mengangguk saja karena terlalu speechless.


~Al-bot?~

"Dicariin kemana-mana malah nyangkut di sini. Kalian ini gimana sih?" ujar Thundy sebal.

Rupanya dia dan Tumma (beserta Miorin) menyusul mereka berdua ke rumah Alpha.

"Maaf, Thun."

Thundy menghela nafas frustasi. "Kita harus pergi secepatnya, pesta-nya akan segera dimulai."

Tumma menyadari sesuatu ketika melihat komputer di kamar Alpha. "Hey, aku ada ide!"

"Al, pinjam komputer-nya ya!" Tumma langsung mendorong kursi yang diduduki Alpha. "Ayo Tei, cepat lakukan!"

"Tu-tunggu dulu! Apa yang kalian-"

"Pintu digital terbuka!"

"He-hey, nanti ibuku ke sini!" seru Alpha panik.

"Menuju ke tempat pesta."

Alpha semakin panik ketika Anisa memasuki kamarnya.

"Ayo, silakan makan dulu."

"Berang-" Teiron menengok. "Wah, kue!"


Pada akhirnya, mereka tidak jadi ke pesta dan malah makan kue.

'Hampir saja...' batin Alpha lega.

"Oh iya." Anisa celingukan sesaat. "Hari ini si Al-bot tidak datang ya?"

Semua orang langsung kaget.

Entah kenapa, Trio T malah memasang tampang suram (bahkan mereka tidak sadar kalau Miorin mengambil kesempatan dengan memakan potongan kue yang terjatuh dari tangan Tumma).

"Al-bot siapa ya?" tanya Wiona bingung, sementara Lisa hanya tersenyum canggung.

"Temanmu yang itu lho." balas Anisa.

"Oooh... Dia ya... Ahahahaha..." Alpha tertawa gugup.


"Memangnya Al-bot itu siapa?" tanya Tumma setelah Anisa pergi.

"Itu lho, robot dari fandom sebelah yang namanya sama kayak Kak Al." jelas Lisa seadanya.

Trio T hanya sweatdrop mendengarnya.


~Easy~

"Emangnya kau pikir segampang apa Adel membawa beban tiga kilogram di perutnya setiap hari kemanapun dia pergi?!"

"Gampang! Karena aku ini keren!"

DUAK!

"Makan tuh tiga kilo!"

Sebuah buku kamus setebal lima ratus halaman langsung melayang ke wajah Mathias (dan belakangan diketahui kalau berat buku itu tiga kilogram).


~Finally, She's Pregnant!~

Pada suatu pagi...

"Thun-kun~"

"Bangun!" Emy langsung mengangkat kasur sampai menjatuhkan Thundy yang masih tertidur di atasnya.

"Lihat!" Emy menunjukkan sebuah test pack.

"Uhmm... Apa itu... Test pack?" tanya Thundy yang masih setengah mengantuk.

"Yap!"

"Dan... Uhmm... Dua garis... Apa itu artinya... Kau positif?"

"Yap!"

"Dengan siapa?"

Emy langsung mencubiti pipi Thundy dengan kesal.

"Ugh... Maap... Afu hana behtanda (aku hanya bercanda)..." (Note: Aku kurang yakin membuat ini karena sebenarnya aku nggak berani nyoba ngomong sambil nyubit pipi sendiri... .w.a)

Kemudian Thundy segera mencengkeram tangan Emy. "Jadi... Apa itu berarti... Aku akan segera menjadi ayah?"

"Yah... Aku akan menjadi ibu dan kau akan jadi ayah (kecuali jika kau ingin bertukar posisi ehehe)." jelas Emy.

"Oh... Wow..." Thundy hanya terdiam.

"Apa kau senang?" tanya Emy.

Thundy langsung gugup. "Eh? Apa? Aku... Tidak bisa? Uhmm... Aku pikir itu hal yang bagus, jadi...? ...Atau tidak...? Tidakkah kau senang? Atau apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"

Emy hanya murung. "Hmm... Aku tidak tau... Bukannya aku tidak senang atau apa... Aku sebenarnya sangat senang dengan ini... Ini hanya... Aku takut... Karena ini kehamilan pertamaku..."

'Aku akan terkejut jika bukan itu...' Thundy tersenyum kecil dan menepuk kedua pipi kekasihnya.

"Auh! Apa yang-"

Thundy memegangi bahu Emy. "Oh ayolah. Kemana Emy yang kukenal? Itu bukan 'kau' jika murung seperti itu. Jangan lupa jika aku selalu di sini untuk menolong dan mendukungmu. Ini bukan hanya tanggung jawabmu, tapi kita. Kita bisa melewatinya bersama, jadi bersemangatlah, oke?"

Emy menghela nafas pelan dan tersenyum kecil. "Aku mencintaimu, Thun-kun..."

"Hah?" Thundy terdiam sesaat dan mulai blushing. "Ah ya, aku juga mencintaimu."

"Hey, apa kau pikir kita perlu berlatih memanggil satu sama lain dengan 'Mom' dan 'Dad'?"

"Heeeh?! Sekarang juga?"

"ThunDad. Ahaha. Sungguh panggilan yang lucu."

"..."


Sementara di markas...


Emy: Halo semua, bersiaplah dengan bayi baru di markas kita! :D


"Hey, sepertinya Emy hamil!" seru Maurice ketika membaca pesan tersebut di grup chat squad.

"Oh." balas Luthias singkat.

"Wow." timpal Teiron tanpa ekspresi.

"Jadi?" tanya Giro.

"Uhmm... Tidakkah kalian... Senang... Atau terkejut soal ini?" tanya Maurice.

"Ini tidak seperti kami tidak terkejut, tapi itu sangat jelas. Aku bahkan takjub Emy masih belum hamil sebelum pernikahan mereka." Luthias melipat tangan. "Aku tidak ingin lagi mengingat suara-suara aneh itu setiap kali mereka 'melakukannya' di sebelah kamarku."

"Tampangku masih terlalu muda untuk dipanggil 'Paman'..." gumam Teiron risih.

"I know right." Giro meminum teh-nya.

Maurice hanya terdiam mendengar pendapat mereka.


~Name~

"Kyo, kau sudah memikirkan nama untuk anak kita nanti?" tanya Adelia.

Yang bersangkutan hanya menghela nafas. "Aku tidak punya ide, memangnya apa yang kau harapkan dariku?"

Adelia menopang dagu. "Aku hanya ingin nama yang unik dan tidak berdasarkan gender. Yah, mungkin itu sangat sulit untuk dipikirkan, tapi..."

Ikyo berpikir sejenak. "Karena kelahiran merupakan awal dari kehidupan makhluk yang baru, aku berpikir untuk menamainya 'Neo'."

"Tapi, sepertinya lupakan saja. Aku khawatir setelah dia lahir nanti malah menjadi bahan tertawaan." Ikyo langsung mengeluarkan aura suram. "Manusia zaman sekarang senangnya menertawakan kejelekan orang lain."

Tanpa diduga, Adelia malah tertawa mendengar itu.

"Kenapa tertawa? Memangnya itu lucu?"

"Melihatmu memikirkan resiko dari hal kecil seperti nama yang akan diberikan menunjukkan kalau kau sangat bertanggung jawab pada perkembangan anak kita. Entah kenapa itu membuatku terkesan."

Ikyo mulai blushing mendengar itu dan hanya menggaruk kepala. "Sejujurnya... Aku tidak yakin apa aku bisa menjadi ayah yang baik nantinya."

"Kau pasti bisa jadi ayah yang baik untuk Neo, percayalah padaku."

"... Kau serius ingin memakai nama itu?"

"Tentu, kenapa tidak?"

"Aku hanya berharap para manusia berotak aneh itu tidak menertawakannya..."

"Jangan pesimis seperti itu, Kyo."


To Be Continue, bukan Tanam Bulu Cangkok (?)...


Bububu, bodoh amat lha... ~(-w-)~

Review! :D