Balas Review! :D
SR: Terserah...
Molf: "Hanya mata kanan yang buta, jadi aku membiasakan diri menggunakan satu mata."
Arie: "No!" *angkat papan silang.*
Ini udah lanjut... -w-/
RosyMiranto18: Dude, coba baca lagi Chapter 'The Third Twins'. Steve itu cewek.
Zen: "Yah, cukup rumit untuk dijelaskan..."
Molf: "Aku punya staft, tapi jarang dipakai. Dan sihir yang kugunakan waktu itu semacam sihir penyegel."
Thundy: "Hendry bawa payung abu-abu, tapi payung milik Wu Chang itu hitam. Yah, bagi mereka yang main 'game itu', mereka gampang parno kalau liat payung terbang karena 'alasan tertentu'."
Thanks for Review.
Happy Reading! :D
Chapter 190: Drabble Collections (Secret Part 4)
"Kenapa ya, tiap kali gue pengen beli CN, pasti ada aja yang lebih menggoda di game sebelah?"
"Tabah ya, Reha." Hibatur menepuk pundak pemuda itu. "Bicara soal CN, si Garu pernah dapet gratis dari Dungeon lho. Hoki banget dia!"
Webek webek...
"Tur."
"Hah?"
"Gelut yuk."
Di markas Garuchan...
Aki yang datang bersama seorang wanita hanya skeptis melihat para cewek sedang menyeret si ketua Garuchan.
Gadis itu menyadari keberadaan mereka dan melambaikan tangan. "Masuk aja, aku harus pergi sebentar!"
Ketika mereka berdua masuk, beberapa orang yang melihat mereka hanya kebingungan.
"Itu siapa?"
"Tuh cewek pacar atau adeknya ya?"
"Perasaan adeknya tuh rambut pink deh."
"Mau ngapain mereka ke sini?"
Oke, abaikan saja mereka.
Masih banyak rahasia yang akan diungkap.
1. Donna
"Ada satu hal yang membuatku penasaran denganmu, Donna." ujar Arie suatu hari.
"Apa itu?" tanya Donna.
"Begini... Kau mengingatkanku pada pelayan di rumahku, namanya Yima. Penampilan kalian begitu mirip, hanya beda warna kulit."
"Benar juga! Saat aku pertama kali melihatmu, aku hampir salah mengira kau itu Yima, jika saja aku tidak ingat kalau warna kulit Yima lebih kecoklatan." celetuk Zen yang nongol entah dari mana. "Mengingat itu membuatku ingin bertanya, kalian kembar atau apa ya?"
"Hmm... Baiklah, karena kalian menanyakan itu, aku akan menjelaskannya."
"Oh, oke. Kami mendengarkan."
Setelah itu...
"Apa kau tidak punya niat untuk mengunjunginya?"
Donna hanya menggeleng. "Aku tidak mau memberitahu alasannya. Aku harus kembali bekerja."
Dia pun berjalan pergi.
Arie dan Zen hanya saling berpandangan.
'Sepertinya mereka punya masalah pribadi.'
2. Lucy
Pertanyaan: Kalau misalnya Lucy dan Federic beneran pacaran, apa reaksi kalian?
Exoray: "Yah... Kalau dia senang, aku juga bahagia."
Garcia: "Garcian mendukung seratus persen."
Alexia: "Gue sih bodoh amat, tapi ada syaratnya."
Syaratnya?
Alexia: "Federic dan Hikari harus dipisahin dulu sebelum Federic mau nikahin Kak Lucy. Takutnya kalau nggak gitu, entah apa yang akan Hikari lakukan di dalam tubuh Federic saat dia dan Kak Lucy... Melakukan 'itu'."
Baiklah... Ngomong-ngomong, Tuan Alexia yang budiman, sebaiknya anda harus segera pergi dari sini sebelum ada yang memenggal kepalamu.
3. Garcia
"Lex, Garcia itu dulunya kayak gimana dayo?"
Pertanyaan Musket membuat Alexia memutar memori masa lalu.
Dia teringat gadis itu dulunya memiliki mata coklat yang indah, sifat yang periang, dan senyum manis yang menawan. Berbeda dengan dia yang sekarang memiliki mata monokrom dan wajah yang tak bisa berekspresi.
Tanda disadari, air mata mengalir di pipinya.
Musket merasa bersalah menanyakan hal itu. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Aku hanya bertanya."
Pemuda pirang itu hanya mengangguk dan pergi sambil menghapus air mata dengan lengannya.
4. Maurice
Sebenarnya ini agak... Gimana gitu deh.
Dia berusaha menahan sesuatu yang bergejolak di bagian 'itu', telinga dan ekornya bergerak-gerak tanpa henti.
Monika terheran-heran melihat pemuda itu dan menghampirinya. "Ada apa?"
Tidak ada jawaban, tapi sepertinya dia menyadari sesuatu. "Apa sekarang sedang musim kawin para Werewolf?"
Maurice masih tidak menjawab.
"Mau kubantu?"
"Ta-tapi-"
"Sssht!" Monika menaruh jari di bibir pemuda itu. "Tenang saja. Kau hanya perlu melakukan apa yang kukatakan."
"Ba-baiklah..."
"Bagus."
Kemudian mereka saling menautkan bibir.
5. Alisa
"Tuh MoniKampret kok lama amat ya?!" gerutu Alisa kesal. "Kayaknya perlu gue susulin tuh anak!"
Dia pun segera pergi ke kamar sepupunya, tapi ketika dia akan melabrak...
Di dalam kamar terdengar suara-suara yang... Gimana gitu deh.
'Anjer! Tuh anak ngapain?!' batin Alisa kaget.
Ketika menyadari pintunya tidak dikunci, dia membuka sedikit celah agar bisa mengintip dan mendapati...
Sesosok cowok berambut abu-abu dengan aksen serigala sedang menempelkan wajah pada dada sepupunya.
Alisa menutup mata dan menjauh sedikit dari pintu. 'Jangan ngegas, jangan ngegas, jangan ngegas, jangan ngegas, jangan ngegas...' (Dia mengatakannya berulang-ulang lho.)
"Hey, kau sedang a-"
Alisa buru-buru meminta Paman Grayson untuk diam.
Mereka berdua mengintip ke dalam dan melihat Monika yang, errr...
Menjilati bagian 'anu' cowok di depannya.
"Ya ampun..." Paman Grayson menutup mata.
Suasana di dalam semakin menjadi-jadi dan Kivosya malah ikutan ngintip.
Duh, dasar nenek-nenek ya...
Tapi anehnya, mereka berdua nggak perduli sekitar, bahkan Monika malah cuek aja pas tau ada yang ngintip dari balik pintu.
Pada akhirnya kedua orang itu mencapai klimaks dan cowok itu tertidur pulas di dada Monika.
"Mimpi indah, serigala kecil." Dia menaruh cowok itu di kasurnya, kemudian mengambil handuk dan menghampiri ketiga pengintip itu. "Sudah puas melihatnya? Aku mau mandi."
Monika pun pergi meninggalkan mereka.
Paman Grayson langsung pergi ke tempat lain dengan wajah memerah, dia sudah tidak tahan setelah melihat apa yang dilakukan keponakannya barusan. Kivosya hanya terkikik melihat reaksi pria itu.
Sementara Alisa... Well, sepertinya dia tidak mau berkomentar apa-apa sama sekali.
6. Saphire
"Lu mau kemana, Sap? Rapi amat kayaknya."
"Mau lihat panti lamaku."
Alpha dan Salem ber-'oh' ria, kemudian mereka langsung shock. "HAH?!"
"Lebay ah. Gue pergi dulu." Saphire segera berjalan pergi.
Dia pun tiba di depan sebuah bangunan tua.
"Sudah lama aku tidak ke sini. Banyak sekali yang berubah. Mereka masih ingat tidak ya?"
Dia hanya memperhatikan bangunan itu selama setengah jam, kemudian meninggalkan tempat itu.
Bangunan itu dulunya panti asuhan tempat tinggal Saphire.
Ketika masih bayi, dia ditelantarkan di tempat itu dan dibesarkan oleh seorang wanita yang merupakan pemilik panti, sampai akhirnya diadopsi oleh keluarga Andreas saat umurnya enam tahun.
Dua tahun yang lalu, panti itu terbengkalai karena pemiliknya sudah lama tiada dan tidak ada yang mau membeli tanah tempat itu. Bahkan anak-anak yang berada di sana dipindahkan ke panti lain.
Tidak ada yang tau kalau arwah pemilik panti itu memperhatikan pemuda tadi dari jendela lantai atas.
7. Rendy
"Gue penasaran." Eris memasang pose berpikir.
"Penasaran kenapa?"
"Si Rendy kayaknya sering banget pake baju kerah tinggi, kenapa ya? Lu tau nggak, Sal?"
"Gue juga nggak tau." jawab Salem seadanya.
Di sisi lain...
"Haaah... Hari ini panas juga ya."
"Rendy, mau- Eh?"
Rendy menengok dan mendapati Ilia di depan pintu kamarnya. "Ada apa?"
Ilia hanya terdiam melihat Rendy yang buka baju, dia mendekati pemuda perak itu dan meraba lehernya.
Lehernya terlihat memiliki bekas luka.
"Kamu dapat dari mana luka ini?" tanya Ilia.
Dia hanya menghela nafas mendengar pertanyaan itu. "Ceritanya panjang."
"Jadi... Aku mendapat luka ini sebulan setelah kematian Hendry. Saat itu aku tidak tau kalau Hendry sudah mati, dan aku punya bibi yang tidak menyukaiku, jadi dia mencekikku saat aku sedang sendirian di rumah. Untungnya orangtuaku sudah pulang dan membawanya ke kantor polisi. Sejak saat itu aku merasa bersalah pada Hendry."
Ilia merasa prihatin mendengar itu.
8. Chilla
"Salem, mau ke rumah Chilla?"
"Yah, baiklah."
Kemudian...
"Nah, di situ rumah Chilla!"
Salem memperhatikan rumah kecil bercat jingga yang ditunjuk Chilla. "Tidak buruk."
"Tunggu sampai Salem melihat ke dalam!"
Dan ketika mereka masuk ke dalam...
Satu pepatah untuk ini: Jangan menilai buku dari sampulnya.
Karena bagian dalam rumah Chilla terkesan cukup mewah untuk rumah kecil yang luasnya 20 kali 50 meter.
"Chilla?"
"Ya?"
"Orangtua kamu kerjanya apaan? Kok bisa sebagus ini?"
"Pekerjaan Ayah dokter dan pembuat obat, pekerjaan Ibu pembuat kue, lalu ada harta warisan dari empat generasi. Yah, walaupun begitu, keluarga Chilla selalu hidup sederhana."
Salem hanya ber-'oh' ria saking speechless-nya.
Di lain kesempatan, mereka berdua dan Salma sedang makan-makan di sebuah cafe.
"Kamu cowok sendiri harus bayarin lho ya!"
"Hah?! Yang bener aja lu?! Gue nggak bawa dompet ini!"
"Bu Kasir, bisa bayar pakai kartu kredit tidak?"
Salem dan Salma menengok ke arah suara dan mendapati Chilla memberikan kartu kredit pada kasir.
'CHILLA! KENAPA MALAH KAMU YANG BAYAR?!' pekik mereka berdua dalam hati.
Kemudian...
"Aduh... Chilla, seharusnya kamu nggak usah bayarin."
"Kenapa? Chilla hanya ingin membantu. Lagipula Salem sering tidak bawa uang, jadi Chilla bawa kartu kredit untuk jaga-jaga."
"Emang sih..."
9. Elwa
"Jadi, kau akan lahiran dua bulan lagi?"
"Yap! Bukankah itu menarik?"
Elwa melipat tangan. "Yah, terserah. Tapi seharusnya kau kasihan dengan Thundy, dia sangat tersiksa saat mengurusmu."
"Ehehehe..." Emy malah cengengesan.
Elwa menghela nafas. "Sudahlah, lagipula aku kemari ingin mengatakan sesuatu."
"Soal apa? Soal cowok?" tanya Emy.
"Ya gitu deh." balas Elwa singkat. "Aku tuh suka seseorang, tapi bingung gimana bilangnya."
"Ya sampaikan saja, siapa tau dia menerimanya."
"Sebenarnya aku bisa saja melakukan itu, tapi masalahnya aku tidak tau bagaimana cara menghadapi saudaranya. Kakak tertuanya sangat protektif dan aku tidak yakin hubunganku bisa la-"
"Sebentar, sebentar." potong Emy. "Memangnya siapa cowok yang kamu maksud?"
"Cullen Valient."
PRANG!
Kedua cewek itu menengok ke arah suara.
Mereka mendapati Teiron dan Tumma yang berada di balik pintu melihat ke arah Thundy yang terlihat shock dengan pecahan gelas di dekat kakinya.
Sekarang mereka berlima sedang duduk di sofa, dan suasana sekitar terasa cukup hening.
"Aku punya pertanyaan." Teiron memecah keheningan. "Cullen itu kan jiwa tanpa tubuh, dan Elwa remaja berdada rata, apa hubungan mereka akan lancar?"
Tei, lu ngomongin urusan dada nggak tau sikon banget dah!
"Kalau aku tidak membahas masalah serius seperti ini, aku tidak akan memaafkanmu untuk bagian 'dada rata' itu." gumam Elwa rada gondok.
"Tapi aku hanya heran saja, soalnya nggak pernah numbuh lho." Teiron menoel dada Elwa yang berada di sebelahnya dengan wajah polos. "Kenapa ya?"
Tei... Please deh...
Keempat temannya hanya facepalm berjamaah.
'Jangan sampe anak gue ketularan begonya si Tei, amit-amit!' batin Thundy stress.
"Apa boleh buat, aku akan menceritakan rahasiaku pada kalian untuk menjawab pertanyaan melenceng itu." Elwa menghela nafas panjang. "Jadi begini, keluargaku diberkati kekuatan phoenix api selama beberapa generasi. Kekuatan itu membuat seseorang menjadi awet muda, tapi dia masih bisa mati jika dibunuh atau memiliki penyakit mematikan."
Keempat orang lainnya ber-'oh' ria.
"Kalian harus tau kalau aku diberkati kekuatan itu di usia muda, 14 tahun. Sekitar enam tahun lalu."
GLEK!
"Bisa dibilang, sekarang umurku 20."
Tumma terbatuk sesaat. "Bisa kita kembali ke masalah Cullen?"
Elwa mengangguk, kemudian dia menjelaskan masalahnya dari awal.
"Jadi intinya, kau tidak berani menghadapi Alucard (Valient)?" tanya Thundy.
"Seperti itulah..."
"Hmm..." Trio T dan Emy berpikir keras untuk menemukan solusi dari masalah Elwa.
"Mau bagaimana lagi, satu-satunya cara hanyalah memberitahu mereka."
Elwa menghela nafas. "Yah, kurasa aku harus memikirkan bagaimana cara mengatakannya..."
Special Bonus: SushIncident (Lanjutan dari 'Special Bonus' pada Chapter sebelumnya.)
"Laapaaar~" keluh Ney dengan kepala di atas meja. "Mau sushi..."
"Aku juga." timpal Yima yang sedang menyapu.
"Sushi ya..." Zen berpikir sejenak. "Kayaknya aku tau tempat yang buka pas malam."
"Benarkah?!" Ney langsung antusias.
"Kalau begitu kita makan sushi saja malam ini." usul Femuto.
Gluaria mengangguk. "Aku setuju."
"Ayo!" seru Ney dan Zen bersemangat.
Arie hanya menghela nafas, sebenarnya dia tidak terlalu menyukai sushi. Sementara Molf, sepertinya dia masih menyesal karena telah menghancurkan dapur.
Pada malam itu juga, mereka semua pun pergi makan sushi.
"Tempatnya jauh nggak, Kak Zen?" tanya Ney.
"Lumayan sih, palingan naik motor juga sampai." balas Zen seadanya.
"Bicara soal motor, aku ingin memperlihatkan sesuatu pada kalian." Femuto membuka garasi dan menunjukkan...
Sebuah motor vespa dengan lima gerbong kecil yang terkait di belakang.
Itu motor atau kereta?!
Tapi moncong-moncong, tuh vespa dapet dari mana ya? Bukan nyolong kan?
"Kereeen!" komentar Zen dan Ney kagum.
Arie malah facepalm dengan kreatifitas ayahnya yang diluar dugaan.
Akhirnya mereka semua menaiki vespa-kereta tersebut. Urutannya seperti ini: Femuto naik vespa, Gluaria di gerbong pertama, Yima di gerbong kedua, Arie di gerbong ketiga, Molf di gerbong keempat, Zen di gerbong terakhir, dan Ney naik ke pundak Zen.
"Hey, Valir."
"Ada apa, Vale?"
Vale menunjuk jalanan. "Apa ini hanya aku, atau memang ada vespa model kereta ya?"
"Hah?" Valir menengok ke jalanan dan...
CRIIIIIT! GUBRAK!
Setelah 'sedikit' kecelakaan barusan (Ayo taruhan! Nggak bakalan ada korban jiwa di sini!), rombongan nista itu sudah berada di restoran sushi Kunihiro bersaudara.
"Jadi, sushi itu seperti apa?"
Molf hanya disambut senyum miris dari orang-orang di dekatnya.
"Masa Kak Molf nggak tau? Sushi itu makanan dari ikan." jelas Ney polos.
Kemudian pesanan mereka pun datang.
Yah, setidaknya biarkan mereka menikmati sushi untuk saat ini.
To Be Continue, bukan Tofu Bento Choco (?)...
Yah, gitu deh... -w-/
Review! :D
