Balas Review! :D

Hiba: Terserah. Ini udah lanjut... -w-/

RosyMiranto18: Mas, bagian Tigwild kenalan sama Ishar itu setelah bagian di fic Reha. Gagal pahamnya kebangetan deh! =_='

Zen: "Aku masih nggak sudi jadi cewek..." *pundung.*

Alexia: "Iya, kami lagi liat BlazBlue pas ngomongin itu."

Thanks for Review.

Happy Reading! :D


Chapter 229: MysteriouSorry


Pagi ini Zen sedang makan serakus-rakusnya, bahkan dia sampai membuat orang di sekitarnya merasa risih.

"Zen, aku tau kamu sedang kesal karena berubah jadi perempuan, tapi bisakah kamu makan lebih te-" Gluaria langsung terdiam setelah melihat aura hitam yang menguar dari tubuh Zen. "Umm, baiklah... Silakan lakukan sesukamu."

"Urgh... Selamat pagi..." sapa Arie yang baru datang ke ruang makan.

"Selamat pagi, A- Ara ara..." Gluaria hanya speechless.

Zen menengok dan langsung terbatuk seketika. "Uhuk!"

"Kenapa?" tanya Arie bingung.

"Oh Arie, kunciran itu imut lho." celetuk Femuto tanpa dosa.

"Kunciran a-" Arie meraba rambutnya dan baru menyadari kalau poninya dikuncir (lagi). "What the-"

Glinea yang sedang mengintip dari balik pintu langsung kabur begitu Arie melihatnya.

"KEMBALI KAU, CEWEK RESE!"

Arie langsung keluar untuk mengejar sang pelaku yang telah mempermalukannya.

Zen tidak melanjutkan makannya dan mulai merenung. "Huuh, kapan aku bisa kembali jadi cowok?"

Kemudian terdengar nada dering dari handphone seseorang, rupanya Zen mendapat panggilan telepon dan dia pun mengangkatnya.

"Zen~ Kita ketemuan yuk!"

"Gue lagi males."

"Yaaah, jangan gitu dong! Kita kan udah lama nggak main."

Zen hanya menghela nafas. "Ya udah, ke tempat biasa aja."

"Oke! Oh iya, kok suara lu agak beda ya?"

"Gue ogah jelasin." Zen menutup panggilan, kemudian dia beranjak pergi.


Ketika sedang berada di tengah jalan, Zen baru menyadari sesuatu.

"GUE LUPA BAWA DOMPET!"

Zen pun segera berlari secepat kilat untuk kembali ke rumah dan mengambil dompetnya.


Setelah mengambil dompetnya, dia buru-buru ke terminal bus. Tapi ketika ingin naik, pintu bus tertutup tepat di depan matanya dan bus itu pun pergi. Zen terpaksa harus menunggu selama sepuluh menit untuk kedatangan bus berikutnya.


Setelah naik bus dan tiba di terminal tujuan, Zen berniat menelepon Hibatur untuk menanyakan keberadaannya. Tapi handphone-nya mati karena kehabisan baterai.

Dia pun berniat menggunakan telepon umum. Tapi ketika melihat isi dompetnya, isinya hanya uang kertas semua.

Zen pun menukar uang di toko terdekat dan setelah mendapatkan beberapa koin, dia pun kembali ke telepon umum.

Sayangnya, setelah memasukkan koin dan ingin menekan nomor telepon, Zen lupa nomor telepon Hibatur.

Dia pun terpaksa ke konbini untuk membeli powerbank.


Setelah mengisi baterai handphone, akhirnya Zen bisa menelepon Hibatur.

"Batur, lu lagi dimana sih?" tanya Zen.

"Di deket pintu masuk, ke sini aja!" balas Hibatur santai.

"Dimana? Kok nggak ketemu?"

"Gue yang kulitnya gelap dan pake jaket hitam."

"You must be kidding bro..." Zen hanya speechless karena di sekelilingnya banyak orang berkulit gelap dan memakai jaket hitam. "Bisa nggak yang lebih spesifik?"

"Cari aja yang paling ganteng di sana."

"Nggak ada!"


Setelah pencarian yang membingungkan kemudian...

'Akhirnya ketemu juga tuh sikampret!' batin Zen sebal setelah menemukan Hibatur yang berada di depan pintu gerbang sebuah event.

"Yo!" sapa Hibatur tanpa dosa.

"Lu mau apa? Gue lagi sebel sekarang..." tanya Zen sambil melipat tangan.

Hibatur baru menyadari sesuatu. "Zen, kok lu keliatan lebih pendek ya? Terus sayapnya kemana?"

GLEK!

"Etto... A-ano..."

Sebelum Zen sempat menjelaskan, seseorang sudah memeluknya dari belakang.

"Jangan ganggu 'gadisku'." pinta Molf dengan wajah suram.

Webek webek...

Hibatur langsung korslet seketika.

"Ngapain lu kasih tau, bodoh?!" Zen langsung mencubit hidung Molf karena kesal.


Setelah itu...

Zen sedang berada di depan toilet, tapi dia punya satu masalah.

'Gue pengen pipis! Tapi gue nggak bakalan dibolehin masuk toilet cowok dengan badan kayak gini! Gue juga ogah banget masuk toilet cewek! Sorry ya! Badan gue emang cewek, tapi jiwa gue masih cowok!' gerutu Zen dalam hati. 'Udah gitu si Molf bego banget pake jelasin semuanya ke Batur, dia kan nggak bakalan ngerti kalau tiba-tiba gitu!'

Zen celingukan sesaat dan mendapati sebuah pohon, dia pun bersender di pohon itu.

'Tapi kalau gue kencing di pohon, entar dikira apaan sama orang.' Zen mengacak-acak rambutnya. 'Aaaargh, gue bingung anjir!'

"Zen-pyon, lu ngapain di sini?"

Zen segera menengok dan mendapati Giro di belakangnya.

"Lu sendiri kok bisa tau kalau ini gue?!" tanya Zen kaget.

"Cuma nebak doang, lu kan demen nyender di pohon." balas Giro datar. 'Kalau gue bilang dikasih tau Molf-pyon, dia pasti bakalan ngamuk.'

"Emang sih..." gumam Zen. 'Tapi kayaknya dia bohong deh.'

"Lu ngapain emang? Kok stress gitu?" tanya Giro lagi.

"Gue mau pipis, tapi nggak bisa masuk toilet cowok!" jelas Zen.

Giro hanya ber-'oh' ria. "Ada sih toilet khusus untuk itu."

Zen kaget. "Hah?! Masa sih?"

"Ikut aja sini." Giro mengajak Zen ke suatu tempat.


Mereka berdua tiba di depan sebuah pintu bertuliskan 'toilet khusus untuk yang bermasalah dengan gender'.

Zen hanya speechless. "Kok bisa ada toilet kayak gini ya?"

"Nggak tau, gue yang pertama nemu aja juga kaget." balas Giro seadanya. "Cepetan masuk, entar ngompol lho."

Zen pun langsung masuk ke dalam toilet itu.

Mari kita abaikan masalah Zen untuk sementara.


Kelas Tigwild sedang mengoreksi ulangan dari kelas lain.

Awalnya Tigwild mengira dia akan mendapat kertas ulangan Flore, tapi karena pembagiannya diacak, dia tidak mendapatkan yang dia inginkan.

Tapi nama pada kertas ulangan yang dia dapat membuatnya merasa risih. Bukan hanya karena dia merasa mengenali pemilik nama itu, tapi dia juga berpikir kalau nama itu 'sedikit aneh'.

Tigwild memutuskan untuk menanyakannya nanti setelah selesai mengoreksi.


Keesokan harinya di kelas Flore...

"Katanya hasil ulangan kita dikoreksi kelas lain."

"Aku nggak yakin ah."

Della menyadari sesuatu yang aneh pada kertas ulangan Frans. "Frans, coba balik kertasnya deh."

Frans membalik kertasnya dan menemukan sebuah tulisan.


Jika kau membaca tulisan ini, tolong beritahu aku satu hal.

Kenapa nama tengahmu memakai nama palunya Thor?

-Tigwild


Di sebuah restoran, Trio T sedang memesan makanan.

"Tei, milihnya yang cepet dong! Aku juga lapar nih!" seru Tumma kesal karena Teiron sibuk milih.

"Sabarlah, Tum! Milihnya susah banget nih!" balas Teiron.

"Haduh, masa milih satu aja lama banget?" tanya Thundy. "Habis itu kan kita masih harus belanja lagi!"

"Ih, Thundy mah ikut-ikutan! Memangnya milih itu gampang? Susah tau! Lagian, makanan di sini kan enak-enak! Udah gitu kita kan masih harus mikirin biayanya! Jadi ini bukan perkara mudah! Masa kalian nggak tau yang kayak gini? Yang bener aja!" ceramah Teiron.

Dan selama ceramah berlangsung, Tumma membisikkan sesuatu ke telinga Thundy.

"Okey dokey, Tei! Kamu boleh milih-milih dulu deh, yang lama juga nggak apa-apa." ujar Tumma.

"Nah, gitu kek dari tadi! Kalau begini kan enak! Tunggu bentar ya, bentar lagi aku juga udah selesai kok!"


"Nah, aku sudah tentukan pilihanku! Eh?" Teiron kebingungan ketika melihat dua kantung plastik di atas meja beserta Thundy dan Tumma yang membawa kantung plastik yang sama. "Kalian kenapa udah bawa kantung plastik? Kapan belanjanya?"

"Tei, kamu udah selesai milihnya? Kita pulang yuk! Kami juga udah makan kok." ujar Tumma.

"Tentang saja, Tei. Kami juga udah beliin makan siang sama cupcake kesukaanmu kok." sambung Thundy.

"Eeeh? Kok kalian nggak ngajak aku sih?" tanya Teiron.

"Lagian, kamu milihnya lama banget sih. Jadinya kami tinggal." jawab Tumma.

"Memangnya berapa lama aku milih?" tanya Teiron lagi.

"SUDAH TIGA JAM!" balas kedua temannya kesal.

Teiron hanya speechless. "Eeeeh? Memangnya aku milih selama itu ya?"

"Makanya Tei, kalau milih tuh yang cepet, jangan plin-plan!" nasihat Tumma.


"Wah Lucy, boss-nya udah dateng tuh!"

"Tenang saja, Vi! Semakin banyak party member kita, status kita bakalan naik!"

"Wah, boss-nya lemah terhadap elemen api tuh!"

"Pintar kamu, Vi! Ayo serang terus! Bentar lagi boss-nya mati tuh!"

Vience yang memperhatikan Vivi dan Lucy sedang bermain game dari kejauhan hanya bisa terdiam.


Di markas...

"Haah..." Vience hanya menghela nafas dengan wajah murung.

"Lho, Vience? Kamu kenapa murung begitu?" tanya Ashley.

"Ashley, aku bosan nih. Vivi-chan sama Lucy main game online mulu sih..." jawab Vience lesu.

"Yah, game online terbaru itu memang sedang naik daun. Pantas saja mereka suka." ujar Ashley.

"Tapi setidaknya jangan abaikan aku kek! Aku kan bosan!" keluh Vience sebal.

"Tabah ya, Vience." hibur Ashley. "Oh iya. Ngomong-ngomong soal game, sebenarnya aku..."


Seminggu kemudian...

"Haah, bosen nih! Kenapa sih server-nya harus ditutup segala? Pas aku ngajakin Lucy nyari game lain, dia malah mojok sendirian di kamar." keluh Vivi. "Oh iya! Daripada bosen, mending aku main sama Vieny aja! Aku kan juga udah lama nggak main sama dia!"


"Vieny! Yuk kita main! Eh?"

Pemandangan di depan Vivi sekarang adalah Vience dan Ashley yang sedang main game di gadget portabel.

"Wah Ashley, HP-ku nge-drop nih!"

"Tahan dulu, Vience. Aku cast Heal dulu nih."

"Waduh, aku kebanyakan bawa musuhnya nih!"

"Tidak apa-apa, Vience. Kalau mau cepat naik level, mainnya memang harus horde-an."

"Untung tadi aku pake equip 'Thunder Sword'."

"Eeeh? Aku nggak tau kalau kelemahannya petir. Pintar kamu."

"Ashley, aku nggak tau kalau kamu juga suka main game..." komentar Vivi bingung.


Kalau kalian bertanya seperti apa hubungan Arashi dan Jeronium...

11-12 mirip majikan mereka: Kadang berantem, kadang akur.

Berantemnya mah paling banter gigit-gigitan doang, kalau akurnya sih...

Mereka berdua terlihat tidur bersama dengan Arashi yang melilit tubuh Jeronium.

Kesannya kayak kura-kura dililit ular gitu ya...

Arta yang melihat kejadian itu hanya speechless.


Di sebuah mall, terlihat parade badut berkostum Pikachu di sana.

"Ngapain foto-foto, dayo? Orang lain mah juga bisa." tanya Musket.

Mira yang sedang memotret parade badut itu bertanya balik, "Terus gimana dong?"


Di ruang ganti badut...

"Lho, si Bonyok mana?" tanya seseorang pada temannya.

"Paling udah pulang duluan." jawab temannya.


Tapi ternyata, orang yang mereka maksud malah dibawa pulang oleh kedua saudara itu.

"KELUARIN SAYA DONG!"

"Waduh, mas-masnya lupa dikeluarin dayo!" ujar Musket.

"Jadi kita bawa pulang nih badutnya?" tanya Mira agak bingung.


Keesokan harinya...

"Lagi main apa, dayo?" tanya Musket.

"Pokemon." jawab Alpha yang sibuk main.

"Pokemon ya? Kalau itu mah aku juga punya, dayo!" ujar Musket.

"Masa sih? Coba bawa sini, kita battle!"

"Gue ambil dulu, dayo!"


Beberapa menit kemudian...

"Al, pokemon-nya udah gue bawa dayo!"

"Mana? Nyalain wireless-nya, yuk kita ba- ttle?"

Ternyata pokemon yang dimaksud malah badut yang dibawa kemarin.

"Dek, keluarin saya dulu dong! Saya belum makan nih!" pinta orang di dalam kostum badut itu.

"Orangnya belum dikeluarin ya?" tanya Musket.

"Bukannya kemarin udah aku bilangin buat keluarin orangnya?!" balas Mira sebal.


"Lu kenapa, Mundo?" tanya Mathias ketika mendapati Mundo sedang menggaruk kepala dengan wajah bingung.

"Gue bingung nih. Gue pengen khilaf, tapi nggak tau mau beli apa." jawab Mundo.

"Kalau gitu mah mending lu bikin wishlist aja." usul Mathias.

"Wishlist? Kayak semacam catatan gitu?" tanya Mundo bingung.

"Iya, lu tinggal tulis aja apa yang pengen lu beli." jelas Mathias seadanya.

"Hmm, ya udah deh. Entar malem gue coba."


Malamnya...

"Thias, lu bisa liatin wishlist gue nggak?" tanya Mundo sambil menyerahkan sebuah buku.

"Lha, buat apaan? Kok tebel amat?" Mathias mengambil buku itu dan melihat isinya, tapi...

"Lu bikin wishlist udah kayak bikin skripsi aja, sebanyak itu yang lu pengen?" tanya Mathias sweatdrop.


"Tidak!"

"Please!"

"Tidak!"

"Ayolah!"

Jangan sampai kau terperdaya bujuk rayunya, Alexia. Ini semua menyangkut harga dirimu sebagai seorang pria dan juga masa depanmu yang berharga. Kau harus menolaknya karena nama baikmu-lah taruhannya.

"TIDAK!"

"IYA!"

Ouch! Tolong hentikan tatapan ala kucing kesepian itu, Exoray. Kau sudah tau sendiri kalau adikmu itu...

"Ayooooo!"

"Terserah!"

Sangat lemah.

"Yeay!"

MP3 Player pun terhubung dengan speaker dan Exoray mulai menyalakan handycam.

"Tapi ingat!" Alexia memberi peringatan. "Ini hanya untuk konsumsi pribadi!"

Terdengarlah lagu Crazy Frog dari speaker tersebut.


Daren sedang bosan.

Tidur telentang di atas kasur dengan handphone di tangan belum cukup untuk mengusir kebosanannya dan dia kembali menguap untuk kesekian kalinya.

Tiba-tiba handphone-nya bergetar dan karena malas untuk menoleh ke samping, Daren mengangkat tangannya dan mengarahkan handphone itu tepat di atas wajahnya untuk membaca pesan yang baru masuk.


Jangan menengok ke arah pintu.


Daren mengangkat alis karena tidak mengerti dan berniat melirik sedikit ke arah pintu sebelum...

"DARY!"

DUAK!

Sebuah teriakan menghentikan gerakannya dan membuat sang handphone terjatuh sampai menghantam wajahnya dengan telak.

Saphire yang cengengesan di depan pintu langsung terdiam karena tak mengira adiknya akan mengalami insiden seperti itu.

Suasana pun hening seketika.

"Saphire..."

Saphire hanya menelan ludah.

Terkutuklah kau, handphone sialan!

"Lu pernah nelen racun tikus nggak?"

Saphire langsung memasang wajah horror.

Daren memang sengaja menyimpan racun tikus di dalam laci mejanya, untuk jaga-jaga kalau Saphire menyelonong masuk dan memporak-porandakan barang pribadinya.

Dan dia tidak pernah main-main dengan perkataannya.


Sewaktu dia mengancam akan memasukkan kepala Federic ke dalam panci air panas karena mengejeknya ketika sedang memasak, Daren benar-benar serius memasukkan kepalanya ke dalam panci.

Saphire tidak bisa melupakan wajah penyesalan seumur hidup Federic yang menjerit histeris memohon ampun pada Daren yang sudah dibutakan amarah.

Tanpa banyak bicara, Daren langsung mencelupkan kepalanya ke dalam panci dan tertawa sarkastik sambil berteriak 'Rasakan!' berkali-kali tanpa memperdulikan Federic yang menangis.


Saphire segera mengambil langkah seribu untuk menyelamatkan diri, walaupun sepertinya itu tidak mungkin.


Bonus:

Arie memasuki markas dengan wajah merah padam.

"Lu kenapa, Rie?" tanya Zen.

"Kebanyakan makan sambel gratisan di pasar." jawab Arie.

"Dasar nggak modal!" sindir Yubi.

"Dipeluk sama Glinea ya?" tanya Tumma iseng.

Arie pun langsung menatap tajam Tumma.

"Masa sih?! Ciyus?! Miapah?!" tanya Hibatur lebay.

"Nggak kok!" bantah Arie gelagapan.

"Halah, alasan aja lu!" timpal Yubi.

"Haha, ciieee Arie! Radar Tumma emang selalu tepat!" seru Zen iseng.

"CIIIEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE~ ARIE NGGAK JOMBLO LAGI! MINTA PAJAK PELUKANNYA DONG!" teriak mereka berempat (Zen-Tumma-Yubi-Hibatur).

Tapi...

CRAT! CRAT! CRAT!

Mereka langsung tewas di tempat karena dilindes buldoser.

"KALAU GUE BILANG NGGAK YA NGGAK!" pekik Arie emosi.

"Dasar... Yandere..." gumam Zen yang sekarat.

"Arie... Ternyata... Tsundere... Ju-ga... Ya..." timpal Hibatur yang juga sekarat.

"LU BERDUA MASIH HIDUP JUGA?! GUE NGGAK TSUNDERE!" teriak Arie yang langsung menghidupkan buldoser lagi dan...

CRAT!

Zen dan Hibatur pun kembali tewas.


To Be Continue, bukan Too By Consistent (?)...


Ya gitu deh.

Chapter depan bakalan lama, jangan tanya kenapa... -w-/

Review! :D