Balas Review! :D
Hiba: Nggak, perasaan lu doang.
Arie: "Nggak, makasih! Gue nggak sudi!"
Ini udah lanjut... -w-/
RosyMiranto18: Well, mantannya Zen itu udah lama dibahas.
Teiron: "Yah, rumahku punya ruang tengah, ruang makan, dapur, kamar mandi, dua kamar, dan gudang yang diubah menjadi ruangan untuk anak kucing. Soal grinding itu, aku tidak bisa membahasnya."
Edgar: "Minimarket yang kutau cukup jauh, jadi aku tidak ingin ke sana."
Alexia: "Aku pengen nulis 'Valir' typo mulu."
Arie: "Aku tidak akan memberitahumu."
Entahlah, aku tau 'pun' itu dari anime 'Sakamoto Desu Ga'.
Mundo: "Chapter 225."
Bagian obrolan beserta tembakan itu inspirasinya dari '50% Off'. Thanks for Review.
Happy Reading! :D
Chapter 239: WilDerPain
"Hey, Aniki."
"Hvad?"
"Waktu itu Tumma meminta saran dariku, lalu aku menyarankan cara yang pernah kau gunakan saat merayakan hari tengah ulang tahun Noru-nii dan Aisu-nii."
"Ah, hari itu ya?" Mathias manggut-manggut. "Kayak gimana?"
Luthias tersenyum. "Jadi..."
-Flashback-
(Referensi: Komik 'Meeting of the Nordic' dengan sedikit perubahan.)
Pada tanggal 5 November tahun lalu di sebuah hutan bersalju...
"Yo semuanya! Ayo kita mulai rapatnya!"
"Wah, cuaca hari ini cerah sekali. Kondisi yang bagus untuk rapat." ujar Glinea.
"Itu karena aku adalah magnet cuaca cerah!" seru Zen bangga. "Nah, kita mulai saja!"
'Kenapa, tidak ada yang menyadarinya?' batin Arie sambil menopang dagu dengan wajah gelisah.
Luthias datang membawa sekeranjang makanan. "Hay semuanya, ada yang mau beberapa makanan manis dari tempat Aniki? Ini cocok untuk rapat yang menyenangkan."
'Untuk suatu alasan, anak perak bermata empat itu ikut rapat dengan kami.'
"Wah~ Makasih, Luthias! Mereka terlihat enak! Semuanya, ayo makan!"
'Dan Tumma benar-benar sudah teralihkan oleh orang itu.'
Luthias sempat melihat Arie dan mengedipkan mata ke arahnya.
Arie langsung shock melihat itu. 'A-apa itu? Itu tadi untuk apa?!'
"Arie." Seseorang menepuk pundak Arie dan ketika dilihat, Molf berada di sebelahnya. "Kau baik-baik saja?"
"Ah, i-iya. Aku baik-baik saja, Molf. Hanya saja..." Arie menggantungkan kalimatnya sesaat. "Aku tidak bisa berhenti memikirkan kalau ada sesuatu yang aneh di sini."
'Hutan ini jelas bukan tempat untuk rapat.'
"Heeeyy, kau tidak bisa memulai rapat tanpa ini!" seru Zen yang menunjukkan beberapa botol minuman.
'Kami di sini untuk rapat, tapi Zen malah mengeluarkan beberapa alkohol.'
"Ah, aku membawa sesuatu yang lebih baik untukmu." Glinea memegang sebotol jus yogurt. "Tidakkah kau senang memiliki kekasih yang baik?"
'Dan gadis itu terlalu perhatian padaku. Tapi itu sudah biasa, jadi aku mengabaikannya.'
"Jangan khawatir, Arie!" Tumma mengancungkan jempol. "Di tempat Mathias, minor bisa minum jika mereka di bawah pengawasan orang dewasa!"
"Hey, kita ini bukan anak-anak!" seru Arie.
'Di sinilah Tumma seharusnya ikut campur, tapi dia yang ceria di sini.'
"Ada banyak makanan manis dan minuman di sini~ Jika aku bisa menemukannya di dalam sauna Fin-nii, rasanya seperti surga~"
"Senang mendengarnya!" timpal Zen.
'Si mata empat itu sudah terbang ke dunianya sendiri.'
Arie menopang dagu lagi. "Hey Molf, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tentu." balas Molf.
"Bukankah rapat itu biasanya diadakan di dalam ruangan?"
"Hm." Molf mengangguk.
"Bukankah ini jelas terlihat aneh?"
"Hmhm." Molf mengangguk lagi.
Arie menghela nafas. "Syukurlah, aku lega kalau kau masih bersikap nor-"
Ketika dia menengok, Arie melihat topi kerucut di kepala Molf.
Arie langsung terbelalak dengan hal itu. 'Eh? Kenapa aku merasa paling asing di sini? Maksudku, aku ini memang-'
"Arie!"
Dia pun menengok dan...
KRAK KRAK! (Ini suara cracker.)
"Arie, selamat ulang tahun!" seru Tumma sambil memegang kue ulang tahun.
"Sepertinya kau berpikir kalau kita sedang rapat, jadi kami bisa membuat kejutan untukmu!" timpal Zen sambil memberikan sebuket bunga pada Arie.
Arie hanya blushing selagi menerima bunga itu. "A-apa ini? Semacam trend baru? Ini bahkan bukan hari ulang tahunku!"
"Ah, sebenarnya ini hari tengah antara ulang tahunmu dan ulang tahunku." jelas Glinea di belakang Arie.
Arie menengok dengan wajah kesal. "Apa maksud perkataanmu barusan?"
"Maaf kami telah menipumu, Arie. Tapi, kenapa kau tidak pernah merayakan ulang tahunmu? Bisa jelaskan?" tanya Tumma.
"Ulang tahun itu hanya untuk anak kecil."
"Ayolah!" seru Zen.
"Aku tidak akan mau melakukannya."
"Oh ayolah!" seru Zen lagi.
"Jangan memaksaku seperti itu!"
Zen menghela nafas. "Kau tidak pernah membiarkan kami merayakan ulang tahunmu selama beberapa tahun."
"Karena itu kami memilih tempat yang membuatmu tidak terlalu curiga." ujar Tumma.
Arie hanya mendengus pelan.
"Apa yang membuatmu kesal?" tanya Molf.
'Sejujurnya, walaupun umurku bertambah, tapi tetap saja aku tidak bisa memahami semua ini. Mereka juga tidak akan mengerti sama sekali. Huh, bodoh!' Arie melepaskan syalnya.
"Eh?" Zen menyadari sesuatu. "Itu bukan sweater yang biasa kau pakai kan? Tidak biasanya kau terlihat stylish hari ini."
Background memperlihatkan sebuah sweater dengan motif yang menyebar dari leher disertai tulisan 'Lopapeysa' di atasnya.
Arie langsung menutupi pakaiannya dengan jaket. "Ke-kenapa kau ingin tau soal pakaianku?"
"Wah, pakaian itu benar-benar cocok denganmu!" ujar Tumma kagum.
"Melihatnya membuatmu terasa seperti musim dingin." timpal Zen. "Benar kan?"
"Aku setuju." balas Molf datar.
"Sudahlah, aku tidak perduli!" (Arie)
"Ahahaha, kenapa kita tidak pakai itu saja pada rapat berikutnya?" (Zen)
"Aku ingin memakai baju yang sama dengan Arie." (Glinea)
"Memakai baju yang sama itu terdengar menggelikan!" (Arie)
"Kurasa tidak, kita coba saja." (Tumma)
"Hm." Molf memegang sweater yang dimaksud.
'Aku senang melihat mereka akrab satu sama lain.' batin Luthias.
-Flashback End-
'Yah... Entah kenapa Greeny mirip Fin dan Estonia dalam beberapa hal...' batin Mathias setelah mendengar cerita itu.
Di sisi lain...
"Aku tidak suka ketika mereka berpikir kalau aku hanya memakai Lopapeysa! Aku juga memakai banyak pakaian yang berbeda!" gerutu Arie yang masih tidak terima dengan kejadian saat itu.
"Maksudku, aku mengecek lemariku di bagian baju musim dingin dan hanya ada dua Lopapeysa." Wajah Arie sedikit memerah mengingat hal itu. "Kesimpulannya, aku tidak hanya memakai baju itu! Walaupun aku punya firasat kalau seharusnya aku punya lebih."
"Petugas laundry!" Seseorang mendatangi kamar Arie. "Ini sepuluh Lopapeysa yang kau tinggalkan di tempat kami dua tahun lalu!"
"Sepuluh?!" pekik Arie kaget.
Pada akhirnya Arie memakai salah satu baju itu. "Ya, aku tidak akan berusaha terlalu keras lagi. Ini tidak masalah."
Yah, aku lagi pengen bikin intro yang panjang. Jadi tolong maklumi saja... -w-/
~Surat Cinta~
"Kakak, lihat ini! Aku dapat surat cinta!" Edward menunjukkan sebuah amplop pada Edgar.
"Oh." balas Edgar datar.
"Datar banget! Nggak ada reaksi apaan gitu?!" gerutu Edward sebal.
"Tenang saja, aku tak akan jamin pengirimnya akan selamat dalam 24 jam." Aura hitam langsung keluar dari tubuh Edgar.
"Jangan beranggapan seolah sedang berhadapan dengan makhluk berbahaya!" pekik Edward panik.
Salem yang mendengar percakapan itu mendatangi mereka berdua.
"Kamu yakin itu surat cinta? Bisa aja itu dari orang iseng." tanya Salem.
"Jangan meremehkan kekuatan cinta!" seru Edward tidak terima.
"Dulu aku juga pernah dapet surat cinta kayak gitu, tapi..." Salem menggantung sesaat. "Isinya surat tagihan hutang!"
'Seram!' batin Edward shock.
"Tapi..." Salem mulai mengingat sesuatu. "Dari yang kutau, surat cinta itu kebanyakan dari laki-laki."
Edward tersenyum manis. "Selama ada cinta, semuanya akan baik-baik saja."
Salem dan Edgar langsung memasang wajah suram.
"Kembalilah ke jalan yang benar!" seru Salem sambil mengarahkan senter ke wajah Edward.
"Silau!" Edward langsung menutup mata.
"Memang suratnya dari siapa?" tanya Edgar. 'Siapapun pengirimnya, aku tidak akan pernah memaafkannya!'
"Tidak ada nama yang tertulis di sini, jadi aku tidak tau siapa pengirimnya. Lagipula aku menemukan surat ini di depan pintu." Edward tiba-tiba langsung nyolot. "Aku duluan yang memunggutnya!"
"Bukan itu masalahnya!" sembur Edgar.
Edward pun mulai membuka surat itu.
"Aku harap itu bukan tagihan..." gumam Salem was-was.
Setelah membaca surat itu, Edward hanya terdiam.
"Hey, jangan bilang itu memang surat tagihan!" seru Salem khawatir.
"Aku menang undian, tapi untuk lima tahun lalu." jelas Edward seadanya.
"Jelas-jelas itu penipuan!" seru Salem kesal.
"Cih..." Edgar mendengus sebal dengan aura hitam di tubuhnya. 'Jadi nggak bisa nyerang orang lagi!'
"Woy..." Salem langsung risih melihat aura hitam itu.
~Hard and Soft~
Zen sedang memperhatikan Molf dengan wajah serius.
"Apa ada yang salah?" tanya Molf bingung.
Zen masih terilhat serius. "Kau itu... Keras."
Molf malah semakin kebingungan. "Maksudnya?"
Zen menghela nafas. "Biar kutunjukkan padamu."
Zen mencoba mencubit pipi Molf, tapi pipinya tidak melar. "Pipimu sangat sulit ditarik."
"Kepalamu." Zen menjitak pelan kepala Molf.
"Tanganmu." Zen meremas tangan Molf.
"Bahkan dadamu." Zen menapakkan tangan di dada Molf.
"Semuanya sangat keras." Zen hanya manyun.
Molf masih kebingungan. "Benarkah?"
Zen melipat tangan. "Ya, seolah kau itu seperti batu berjalan."
Molf mengepal dan membuka tangannya sendiri.
"Begitu ya..." Nada suaranya terdengar sedih.
"A-aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, oke?" Zen mulai merasa bersalah. "A-aku yakin ada bagian yang empuk di tubuhmu (kalaupun memang benar)."
Molf hanya diam ketika Zen memperhatikan seluruh bagian tubuhnya dengan seksama.
"Oh!" Manik abu-abu itu berbinar-binar.
"Ketemu!" Zen langsung memegang telinga runcing Molf. "Hah! Sudah kuduga, telingamu sangat empuk."
"Bagian telinga itu mudah dingin, apalagi telingamu runcing, jadi kau harus sering pakai topi." nasihat Zen.
"Umm..." Molf melirik arah lain dan wajahnya mulai blushing.
"Eh?" Zen hanya kebingungan melihatnya.
Keduanya bertatapan cukup lama sampai akhirnya mereka berdua menundukkan kepala dengan wajah blushing berat.
Referensi: Fancomic Hetalia tentang Denmark dan Sweden (dengan sedikit perubahan).
~Minimarket~
"Bukankah lebih baik menumpuknya di sana secara vertikal?" tanya Monika ketika mengunjungi Elwa yang kerja paruh waktu di sebuah minimarket.
"Hah? Oh. Kau tau, kupikir kau benar." Elwa melakukan apa yang dimaksud.
"Sementara itu, kau memiliki sisi kanan yang dikemas terlalu ketat. Membuatnya terlalu sulit bagi pelanggan untuk mengambilnya."
"K-kau ada benarnya juga." balas Elwa seadanya. "Kau punya mata yang aneh untuk detail ya? Terutama untuk orang yang menghancurkan geng motor..."
"Oh, ada banyak geng motor yang tidak bisa memimpin sama sekali. Mereka bahkan tidak bisa menjaga garis lurus ketika mengendarai motor mereka!" jelas Monika. "Orang-orang seperti itu, aku membuat mereka berbaris berurutan, dan kemudian menginjak-injak mereka!"
"Kau membuat mereka berbaris!? Itu tidak masuk akal!" pekik Elwa kaget.
Monika menunjuk sebuah rak. "Hei, sebelah sana! Salah satunya tidak berbaris sesuai tanggal!"
"Dimana!? Bagaimana kau bisa mengetahui itu!?" tanya Elwa.
~World~
Molf sedang memperhatikan sesuatu di dinding.
"Apa yang sedang kau lihat?" tanya Zen yang menghampirinya.
"Dunia." jawab Molf singkat sambil tersenyum.
Suasana hening sesaat, kemudian Zen langsung blushing seketika karena...
Ternyata yang dilihat Molf adalah foto dirinya.
~Telu-Papat~ (Abaikan saja judul ini.)
"Miyon oh Miyon, kenapa namamu Miyon?" tanya Mundo penasaran.
Miyon melipat tangan. "Namaku ya?"
"Miyon merupakan gabungan dari Mittsu (tiga) dan Yon (empat), kebetulan aku adalah keturunan ke-34 di keluargaku." jelas Miyon. "Sebenarnya nama asliku Ochami Yona, tapi lebih sering dipanggil Miyon. Memangnya kenapa?"
Mundo menggaruk pipi. "Nggak ada, hanya saja nomor 34 di bajumu itu mengingatkanku pada seorang 'Quarterback' yang kukenal ketika menonton acara olahraga."
Miyon langsung meninju perut Mundo karena kesal.
Special Bonus: Another Volley Training
"Arie, ayo cepat!"
"Aku udah lari cepat, Tumma!"
Duo atlet voli itu sedang berlari dengan terburu-buru.
Setelah sampai di tempat tujuan, mereka berdua pun beristirahat karena kelelahan.
"Wah, akhirnya kalian datang juga! Yuk lanjutin Sombrero-nya!" seru Zen yang ternyata masih memakai baju orang Meksiko.
"Libero!" ralat Arie dan Tumma kesal.
"Libero adalah posisi Defense Specialist yang tidak main-main." jelas Tumma. "Mereka tidak boleh melakukan serangan dan ditempatkan di bagian belakang lapangan, mereka juga punya seragam tersendiri yang berbeda dengan pemain lain."
"Biasanya Libero lebih pendek dari pemain lain, jadi dia harus menutupi kekurangan dari segi jangkauan dengan kegesitan dan kesiapan untuk melakukan apapun agar bola tidak menyentuh tanah." lanjut Arie.
'Kenapa Libero terdengar seperti kaum minoritas yang tertindas?' batin Molf membayangkan para Libero yang disiksa oleh beberapa setan berkepala bola voli.
"Setelah membahas Libero yang merupakan pemain unik karena memiliki peraturan dan spesialisasi teknik khusus, kita akan membahas tentang Quicker." ujar Tumma.
"Quicker?" ulang Molf.
"Quicker adalah pemain penyerang yang berada di barisan depan court, biasanya mereka pemain tertinggi karena merangkap sebagai Blocker." jelas Arie.
"Nah, Quicker di tim kami itu namanya Creik. Ngomong-ngomong dia dimana ya?" tanya Tumma sambil celingukan.
Tiba-tiba muncul sepasang kaki raksasa di belakang Molf. Ketika dia menengok, ternyata sang Quicker yang dimaksud setinggi stadiun tempat latihan.
"Hay, aku Quicker tim mereka. Salam kenal." sapa Creik.
Molf langsung berkeringat dingin.
"Masih banyak posisi dalam bola voli yang perlu diketahui, misalnya Spiker." ujar Arie.
"Apa itu Spiker?" tanya Molf.
"Spiker adalah pemain yang menjadi penyerang utama dalam tim voli." jelas Arie.
"Ngomong-ngomong soal Spiker, ada teman di tim kami yang berbakat dalam hal ini. Kukenalin ya!" Tumma melambaikan tangan pada seseorang yang menghampiri mereka. "Yo, Preski!"
BRAAAAAK!
Tumma langsung terpental ke tembok ketika hi-five dengan Preski.
"Aaah, maaf Tum! Aku sering lupa dengan tenaga sendiri!" seru Preski merasa bersalah.
Sementara kedua orang lainnya hanya speechless melihat itu.
"Aku sangat penasaran, apa rahasia para atlet voli agar bisa menjadi kuat dan gesit?" tanya Molf.
"Latihan dan asupan makanan yang cukup." jawab Arie seadanya. "Untuk melakukan teknik yang sempurna, kami biasakan latihan Pass-Receive, Spike, Intercept..."
"Lalu 100 kali push up, 100 kali sit up, 100 kali squat, dan lari 10 kilometer. Setiap hari." lanjut Preski dengan aura dan wajah yang berubah tegas, tapi setelah itu kembali seperti semula dalam sekejap. "Bisa juga menonton video pertandingan voli untuk melihat bagaimana para pro bertanding."
Molf langsung shock dengan perubahan wajah Preski barusan, sementara Arie malah kabur.
"Oh iya. Sebenarnya kami udah janji mau ngajarin teknik 'Digging', tapi dimana Zen?" tanya Tumma (dengan tangan diperban karena kejadian sebelumnya) yang menyadari kalau iblis tanduk patah itu tidak terlihat dari tadi.
Arie tak sengaja melihat sebuah lubang dan ketika diperiksa, ada seseorang yang dia kenal di dalamnya.
"Woy Zen, lu ngapain?!" tanya Arie kaget.
Tumma yang mendengar itu segera menghampiri Arie.
Zen keluar dari dalam lubang dengan tubuh penuh keringat. "Lagi praktekin teknik 'Digging', emangnya kenapa?"
Arie hanya menghela nafas frustasi. "Iya sih, kita emang pengen ngajarin itu, tapi..."
"Teknik 'Digging' dalam voli dan 'menggali' itu nggak sama woy!" pekik Arie emosi.
Tumma sendiri hanya facepalm.
Dan ternyata, Zen menggali lubang di tengah lapangan voli.
To Be Continue, bukan Trendy Blue Clothes (?)...
Chapter selingan sebelum Valentine, ya gitu deh... -w-/
Review! :D
