Well yeah, aku udah pernah jelasin sebelumnya kan?

Happy Reading! :D


Chapter 241: Flo(rida)wer(e)Le(vel)af(fect)


Golden Rare Trio ditantang untuk menggombal.

"Apakah ini takdir yang mempertemukan kita (Is it destiny that we met)?" (Alpha)

"Apakah terasa sakit saat kamu jatuh dari surga (Did it hurt when you fell from heaven)?" (Ikyo)

Teiron yang dari tadi terdiam langsung menyerocos. "DOYOUWANTTOPUTYOURMOUTHONMYMOUTH?"

"Sial, aku keluar!" Teiron langsung pergi.

Itu saja intro-nya.


"Bangunlah! Matahari sudah terbit!" seru Chilla yang membuka pintu kamar Edward.

"Lalu kau ingin aku melakukan apa? Fotosintesis?" tanya Edward yang terlalu malas untuk bangun.


Pagi ini diawali dengan suasana canggung di St*rbucks (sensor untuk keamanan).

"Zen?"

"Kau kerja di sini, Arta?"

"Yah, begitulah..." Arta menggaruk kepala di depan meja kasir. "Ini salah satu kerja paruh waktu yang kujalani."

Zen mengangkat alis. "Emangnya nggak ada kerjaan tetap?"

"Maunya gitu, tapi aku tidak bisa membicarakannya dengan Kakek (Kazuma)." Arta mijit kening. "Tumben ke sini pagi-pagi."

"Tadi kami abis ke Mac-D buat sarapan, soalnya kemarin Molf ngancurin dapur lagi. Terus Arie ngajakin beli kopi, jadinya kami ke sini." Zen menunjuk orang yang dimaksud sedang duduk agak jauh dari kasir.

"Begitu ya..." Arta hanya sweatdrop mendengar itu. "Jadi, mau pesan apa?"

"Dua kopi expresso dalam gelas plastik." balas Zen.

"Baiklah."


"Oh iya, aku boleh nggak nulis sendiri di gelasnya?" pinta Zen.

"Umm, boleh..." Arta menyerahkan spidol pada Zen yang langsung menulis sesuatu.

"Bacain ya, entar Arie yang ambil." Zen langsung pergi entah kemana.

Arta yang heran dengan kelakuan Zen barusan mengambil salah satu gelas. "Emang dia nulis apa-"

Arta langsung skeptis setelah membaca tulisan di gelas itu. 'Serius dia nulis ini?'

'Baca nggak ya?' Arta berpikir sejenak.

Dia pun memutuskan untuk membacanya dan berdehem sesaat untuk menjernihkan suara.


"Si Zen mesan kopi kok lama amat ya?" tanya Arie bingung.

"Dua kopi expresso atas nama Arie Feuerpfeil calon suami Glinea."

"Hah?!" Arie langsung kaget mendengarnya.

Hal itu sukses membuatnya mendapat tatapan mencurigakan dari pengunjung lain di tempat itu.

Arie pun pergi ke meja kasir untuk mengambil pesanan (walaupun dia harus menanggung malu karena kejadian barusan).

"Aku juga tidak tau kalau dia akan seiseng itu..." gumam Arta risih.

Arie bahkan tidak melihat wajah si petugas kasir ketika mengambil pesanan dan keluar dari tempat itu.


Glinea hanya speechless dengan apa yang dilihatnya, karena...

"Aku sudah terbiasa disiram, tapi kopinya mubazir lho." keluh Zen dengan kepala berlumuran kopi dan gelas yang tersangkut di tanduknya.

"Bodoh amat." balas Arie sambil meminum kopinya.


Salem sedang mengurung diri di kamar mandi karena suatu alasan.

"Dia di dalam kamar mandi." Hendry menjauh dari pintu kamar mandi sambil tertawa.

Edgar mengetuk pintu. "Sal, keluar dari kamar mandi!"

"Umm, no..." balas Salem.

"Young lady!"

"No..."

"Keluar dari kamar mandi sekarang juga!"

"Kau tidak mengerti, Edgar!"

"Keluarlah dari kamar mandi, Salem! Ini kakak iparmu yang berbicara dan kau harus menghormatiku di rumahku!"

DUAK!

Salem menghantamkan pintu kamar mandi ke wajah Edgar.

BRAK!

Edgar yang kesal langsung mendobrak pintu. "Argh! Beraninya kau menghantam wajahku dengan pintu! Urgh!"

"Oh tidak! Maaf! Maafkan aku! Aku tidak bermaksud melakukannya!" Edgar mengguncangkan badan Salem yang terkapar dengan panik. "Kumohon, bangun! Bangunlah!"

"The most realistic teenager ever." komentar Rendy yang berada di depan pintu bersama Hendry yang masih saja tertawa tanpa henti.

Note: Referensi bagian ini dari video MMD yang sumber audionya dari Youtuber.


Arie memberikan hadiah pada Glinea dengan malu-malu pada White Day.

Setidaknya itulah yang ada di imajinasi Glinea.

Tapi kenyataannya, Arie malah melempar buku tebal ke wajah Glinea dan gadis itu langsung kesal dibuatnya.


'Teiron memintaku dan Giro untuk berpartisipasi dalam sebuah game kecil, tapi...' Luthias menghela nafas frustasi.

'Kenapa gadis sialan itu juga diajak?!' Dia melirik sinis Enara yang duduk di sebelah kirinya.

"Jadi aku akan menyebutkan nama elemen dan kalian mengulanginya dengan bahasa yang kalian kuasai." Teiron menjelaskan peraturan game yang dia buat. "Siap ya?"

(Note: Giro-German, Luthias-Danish, Enara-Finlandic. Mereka ngomongnya hampir bersamaan.)

"Api."

"Feuer. Ild. Tuli."

"Air."

"Wasser. Vand. Vesi."

"Angin."

"Der Wind. Vind. Tuuli."

"Alam."

"Natur. Natur. Luonto."

"Es."

"Eis. Is. Jää."

"Tanah."

"Der Boden. Jorden. Maa."

"Petir."

"Blitz. Lyn. Salama."

"Cahaya."

"Licht. Lys. Valo."

"Kegelapan."

"Dunkel. Mørk. Tumma."

"Apa ada yang memanggilku?"

"Heeeh?" Keempat orang itu langsung menengok ke arah Tumma yang sedang membaca buku di tempat yang agak jauh dari mereka.


"Enak ya jadi kucing. Nggak ada masalah, tiap hari tidur mulu." keluh Cyclops di sebelah Harith yang rebahan di bawah pohon.

"Kau pikir hidup kucing seenak itu?" tanya Harith sedikit tersinggung. "Kami perlu mencari makan saat lapar, bermain setelah kenyang, dan tidur saat bosan."

"Kau tidak akan mengerti betapa sulitnya hidup kami!" seru Harith frustasi.

Cyclops hanya terdiam mendengarnya.


Special Bonus: Volley Ball Trouble

"Hey Creik, tunjukin teknik smash milikmu dong!" Zen melemparkan bola voli ke arah Creik.

"Woy, jangan!" seru Preski panik.

Ketika Creik men-smash bola (hanya dengan merentangkan tangannya), semua orang langsung kabur saat melihat bola itu melesat dengan kecepatan tinggi.

Zen yang kaget segera menghindar dengan cepat, tapi bolanya memantul ketika membentur lantai dan langsung menjebol atap stadiun.

"Atap jebol, dan bola satu-satunya hilang..." gumam Arie skeptis.

"Woy, Creik! Udah gue bilangin-" Preski yang ingin memarahi Creik langsung cengo karena pelakunya sudah pergi tanpa jejak. "Lha, segede gaban gitu cepet amat ngilangnya."

"Udahlah, mending kita cari bolanya aja." usul Tumma.


SRAT!

Tumma memotong rumput tinggi dengan pedang (curian).

'Hari pertama, aku terpisah dari tim pencari bola voli. Seharusnya aku tidak langsung melompat ke semak-semak. Tapi aku yakin mereka sedang mencariku.'

Tumma terus berjalan menyelusuri hutan, sampai dia mendengar suara di semak-semak.

"Teman-teman, apa itu kalian?"

Tapi yang dia temui malah kerumunan serangga.


"AAAAAAH!"

Molf yang tersentak kaget mendengar teriakan itu menengok ke arah hutan, sementara Arie dan Zen mencari bola voli di semak-semak taman kota.

'Itu tadi apa ya?' batin Molf terheran-heran.

"Sebaiknya kita istirahat dulu, capek banget nyari bola voli selama lima jam." keluh Arie.

"Aku tau alat yang bisa membantu pencarian kita!" seru Zen.

"Apa itu?" tanya Arie dan Molf penasaran.

"Alat pencari benda ajaib!" ujar Zen dengan nada ala D0r43m0n (sensor dipaksakan) sambil menunjukkan sebuah alat. "Dengan ini kita pasti bisa-"

Pip pip pip!

Ternyata alat itu kehabisan baterai.

BRAK!

Zen langsung membanting alat itu dengan kesal.

"Bukannya kita bisa mencari baterai pengganti?" tanya Molf.

Webek webek...

Zen langsung pundung di tempat.


Keesokan harinya...

"Aku menyeraaah!" pekik Arie frustasi. "Dari kemarin kita nyari bola voli nggak ketemu juga!"

"Setidaknya kita menemukan Tumma." timpal Molf di sebelah Tumma yang memeluk lutut dengan aura suram.

"Rasanya lama sekali... Tanpa manusia dan peradaban..." gumam Tumma murung.

"Halah! Lu cuma nyasar ke semak yang penuh serangga!" ejek Zen sebal.

"Hey, kita tidak boleh menyerah! Pasti ada cara untuk menemukan bolanya!" seru Preski.

Kemudian dia teringat sesuatu. "Oh iya, aku ada ide!"

Preski pun menelepon seseorang. "Halo? Ibu, bisa tolong bantu carikan bola voli-"

DUAK!

Wajah Zen terhantam bola voli yang datang entah dari mana.

"Nyari tuh pake mata, bukan pake mulut!" seru ibunya Preski dari kejauhan.

Arie dan Molf langsung berkeringat dingin melihat kejadian itu, sementara Tumma yang khawatir menghampiri Zen yang sudah terkapar mengenaskan.


To Be Continue, bukan Twenty Beauty Century (?)...


Yah, gitu deh... -w-/

Review! :D