Nggak ada balasan Review sekarang, aku lagi nggak mood... ._./

Happy Reading! :D


Chapter 255: Adopted Child


Arie sedang menyiapkan biskuit (gosong) untuk camilan pribadi, kemudian dia mendengar suara telepon dan meninggalkan biskuit itu sebentar.


Ketika Arie selesai mengangkat telepon dan kembali ke dapur, dia terbelalak kaget karena melihat sesuatu.


Seorang gadis kecil sedang berlari menghindari sesuatu. Dia memiliki rambut pirang panjang, mata hitam, tanduk pendek berwarna ungu, dan sayap kecil berwarna merah muda.

Dia melihat Molf yang berjalan di koridor dan segera bersembunyi di belakangnya.

Molf kebingungan kenapa anak itu bersembunyi di belakangnya, sampai dia melihat sepupunya yang terlihat sedang mengejar sesuatu.

"Ada apa?" tanya Molf ketika Arie mendatanginya.

Arie memijit kening. "Tadi ada anak kecil yang memakan- Kau!"

Anak itu memegang erat baju Molf dengan wajah ketakutan ketika Arie melihatnya.

Molf langsung memahami apa yang sedang terjadi. "Sudahlah, Arie. Dia tidak bermaksud melakukan itu. Lagipula, memarahi dia hanya akan membuatnya semakin trauma."

Molf merangkul anak itu. "Aku menyelamatkannya ketika hampir dibunuh ibunya, dan ayahnya sudah tiada dalam perang. Aku tidak tega membiarkannya tanpa orangtua, jadi aku memutuskan untuk merawatnya sebagai anak. Karena itu, aku ingin kalian bisa bersikap baik padanya agar dia bisa melupakan trauma itu."

"Dan untukmu, Duco." Molf berjongkok di depan anak itu. "Seharusnya kamu tidak boleh mengambil sesuatu tanpa bertanya, mengerti?"

Duco mengangguk pelan.

Molf tersenyum dan mengusap kepala anak itu, kemudian dia berdiri dan berjalan ke pintu depan. "Papa mau berangkat kerja, nanti pulang malam. Kamu sama Paman Arie ya."

"Iya, Papa."

Molf mengambil long coat berwarna coklat yang tergantung di pintu dan memakainya, kemudian dia pergi keluar.

Arie mendekati anak itu. "Maafkan aku ya, Duco."

Duco menggeleng. "Duco yang minta maaf."

"Kamu masih lapar? Masih ada sisa biskuit untukmu."

"Benarkah?"

Arie mengangguk dengan senyum tipis.

Duco tersenyum senang. "Makasih, Paman."

Arie mengusap kepala anak itu.


Setelah itu Arie menyalakan TV dan memutar kartun untuk menghibur Duco selagi menunggu Molf pulang kerja.

"Paman."

"Hmm?"

"Sebelum bertemu Papa Molf, Duco punya Papa dan Mama yang baik. Tapi sejak Papa mati, Mama jadi jahat." Duco menunduk sedih. "Apa itu artinya Duco tidak pantas untuk hidup?"

Tidak pantas untuk hidup.

Pernyataan itu mengingatkan Arie pada kenangan masa lalu yang menyakitkan.

Sejak kecil dia selalu dikucilkan dan dihina hanya karena dia satu-satunya hybrid di antara keluarganya yang merupakan keturunan ras 'Cubi' (Incubus-Succubus). Satu-satunya orang di keluarganya (selain orangtua-nya) yang masih menyayangi dirinya adalah sepupu jauhnya Molf.

"Paman..."

Arie tersentak oleh panggilan Duco, tangan anak itu meraba pipinya yang sudah dialiri air mata.

"Paman, menangis?"

Arie menghapus air matanya. "Maaf..."

"Kenapa?" tanya Duco kebingungan.

"Tidak ada." Arie mengusap kepala anak itu dengan lembut. "Kamu tidak perlu cemas."

'Aku tidak ingin membiarkan anak itu menderita lagi.'


Pada malamnya...

Kriieet!

Molf masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. "Aku pulang."

"Papa!" Duco berlari untuk memeluk Molf.

BRAK!

"Haah... Misi hari ini melelah-"

Zen yang baru pulang (sambil mendobrak pintu) langsung terdiam melihat momen 'ayah dan anak' itu.

"Lu nyolong anak dari mana hah?!" omel Zen yang sudah menghunuskan pedangnya di depan Molf.

Molf hanya gelagapan. "A-aku bisa jelaskan..."

Zen pun mulai marah-marah pada Molf, sampai...

Greb!

Zen menengok ke bawah dan mendapati anak itu memegangi ujung jaketnya sambil memasang wajah sedih.

"Papa tidak salah. Papa selamatkan Duco, jadi Duco mau tinggal sama Papa."

Zen kembali menatap Molf yang sudah menunduk sedih.

"Maafkan aku, Zen..."

Zen hanya menghela nafas. "Sudahlah, kau tidak perlu minta maaf."

Kemudian dia beralih menatap anak itu. "Mungkin ini membingungkan bagimu, tapi sebenarnya aku ini... Pasangan papamu. Kamu tidak keberatan punya dua papa kan?"

(Note: Zen bilang 'pasangan' karena sedikit bingung, dia nggak mungkin pakai kata 'suami' dan paling ogah pakai kata 'istri'.)

Duco mengangguk dan memeluk Zen. "Duco sayang Papa Zen!"

Dan kehidupan keluarga kecil itu masih terus berlanjut.


To Be Continue, bukan Tram Bram Crane (?)...


Ya maaf, kepikiran aja... '-')/

Review! :D