"Aku ingin pergi ke Cephiro."

Mata Umi dan Fuu melebar. Mereka tak pernah memikirkan ini sebelumnya. "Hikaru?"

"Tekadku tidak berubah," tegas Hikaru sekali lagi. "Aku ingin kembali ke Cephiro. Aku ingin menolong negeri yang selama ini sangat Emeraude jaga. Aku ingin membayar atas kesalahan yang kubuat terhadap negeri itu..."

Lama mereka diam untuk mencernanya. Umi dan Fuu pun akhirnya mengerti. Mereka sadar mereka menginginkan hal yang sama.

"Ya," Umi mengangguk.

"Aku juga." Fuu menyimpulkan tekad mereka bersama.

"Aku ingin melakukan sesuatu..." Kalimat Hikaru menggantung. Pelan ia menoleh ke arah langit di belakang dirinya yang dirasanya memancarkan cahaya yang kuat.

Tiba-tiba lantai Menara Tokyo tempat mereka berdiri tersentak dan berderak. Mereka sangat terkejut, tanpa peringatan mereka kembali merasakan sensasi yang sudah mereka kenal... Lantai tempat mereka berdiri terasa amblas dan cahaya ada di mana-mana... menyelimuti, menyilaukan mata mereka...

"Cahaya apa ini?!" Hikaru melindungi matanya, berteriak bertanya.

"Ini seperti cahaya yang muncul ketika kita dipanggil ke Cephiro!"

"Kita kembali ke Cephiro?"

Hikaru terbelalak. Terbuka?! Portal menuju Cephiro terbuka?! Jalan menuju Cephiro?! Cahaya menjadi semakin intens dan membutakan mereka. Tak sempat Hikaru merayakannya, perhatiannya tersedot pada dunianya yang menjauh dan mengecil, seakan-akan mereka masuk dalam sebuah lorong panjang. Bagaimana bisa? Apakah mereka dipanggil kembali?

Teriakan terkejut Umi dan Fuu menjadi samar di telinganya, seolah ia berada sendirian di tempat itu. Percuma ia mencari... Ia pun memejamkan mata, memutuskan percaya bahwa apa yang terjadi akan membawanya ke dunia yang diinginkannya, yaitu kembali ke Cephiro. Sebentar, ia merasa menyentuh sesuatu seperti kabut dan bergerak maju menembusnya; pembatas dua dunia...

Benar. Kisah perjalanan kami dulu begitu heroik. Kini, aku berada di dunia itu lagi. Sekalipun yang kurasakan adalah kesedihan, bagaimana bisa aku menyesalinya? Hikaru merasa ia sedang berbicara dalam tidurnya. Ia yakin, ia masih bermimpi...

Ia heran dengan angin yang berhembus kencang... menerpanya. Bersamaan dengan ia membuka matanya, bagaikan hendak menjebol gendang telinganya, ia mendengar jerit ketakutan Umi dan Fuu. Ia tidak sedang berada di ranjangnya, melainkan terjun bebas di udara!

"DI MANA KITA?" Umi menggapai-gapai, seakan-akan ada pegangan di situ. Ia panik luar biasa. "Kita jatuh! KITA JATUH!" Benar-benar ada ribuan meter tersisa di bawah mereka sebelum mereka menghantam tanah. "TOLONG!"

Umi berteriak semakin keras sampai parau ketika halilintar menyambar dekat sekali dengan mereka. Dan sekali lagi menyambar di dekat mereka sampai mereka sadar bahwa halilintar tersebut tak kenal kata henti.

"Halilintar di Cephiro? Ini bukan Cephiro..."

"Kau bisa berpikir di situasi seperti ini, Fuu?!" teriak Umi tak percaya.

"Langit berwarna hitam!"

"KITA AKAN JATUH DI LAUT!"

"Tapi, itu bukan lautan! Itu daratan!"

Hikaru terbelalak melihat permukaan bumi yang kasar, berjurang-jurang...

"AKU TAK PEDULI! KITA AKAN MENABRAKNYA!"

"Tenang, Um-" kata Fuu, sambil tertawa. Ia berusaha mencari sisi humor dari situasi mereka.

"TAK BISA TENANG!"

"Kita bisa terbang-"

Umi seketika terdiam ketika tidak disangka, ia membentur sesuatu yang empuk. Gerak terjun bebasnya terhenti. Ia melihat Hikaru dan Fuu mengalami hal yang sama. Ia berusaha duduk. Ia menemukan dirinya menduduki binatang raksasa, ikan berwarna biru dengan sisik berkilauan dan bersayap. Ikan itu mengeluarkan suara yang aneh, seakan-akan ia sedang gembira menyambut mereka.

"Fyula? Fyula!" Umi mengenalinya. "Kau Fyula, bukan?" Ikan itu menjawab dengan suara yang sama. "Kau ikan milik Clef! Kau menyelamatkan kami."

Fuu terkesiap. "Kalau begitu, kita benar-benar ada di Cephiro?"

"Tidak mungkin! Di mana gunung-gunung hijau yang melayang, lautan, hutan-hutan..." Umi tercekat. "Ini bukan Cephiro! Ini neraka!"

Hikaru mencengkram Fyula erat-erat. Ia memandang dunia di hadapannya dengan mata nanar... Kegembiraannya lenyap dalam sekejap. "Cephiro..." Ini benar-benar Cephiro.

Fyula terbang membawa mereka ke salah satu jurusan. Hikaru memandang langit. Tidak tampak matahari di mana pun. Tidak ada yang bersinar, sekalipun itu hanya bintang-bintang.

"Ke mana kau akan membawa kami, Fyula?" tanya Umi. Lagi-lagi, Fyula hanya menjawab dengan suara lucunya. Ia tetap melaju ke jurusan yang telah dipilihnya.

Mereka mengisi perjalanan mereka dalam keheningan setelah pertanyaan terbesar mereka terjawab. Mereka melintasi daratan yang begitu luas dan sama dalam kehancurannya, jika mereka boleh mengartikannya seperti itu. Semua dalam keadaan mati, tidak ada pepohonan atau makhluk hidup lainnya. Mereka ingin tahu, apakah di Cephiro juga ada kota-kota, sama seperti yang ada di dunia mereka, dan tak lama kemudian pertanyaan itu terjawab dalam bentuk puing-puing reruntuhan peradaban yang terlihat mencekam yang meliputi area yang begitu luas.

"Apakah terjadi perang atau bencana alam di sini?" tanya Fuu tegang. Referensi yang ia punya sebagai penjelasan bagi keadaan ini hanyalah peperangan atau bencana alam. Tak ada jawaban. Hikaru dan Umi tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

"Di mana orang-orang?" tanya Umi setelah beberapa lama. Tak seorang pun berani berpikir ke arah sana. Dengan kehampaan seperti ini, ia tahu yang terburuk: kematian atau pembantaian massal. Umi menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Ke mana orang-orang..." tanya Hikaru yang mencoba tetap optimis. "Ke mana mereka semua pergi..."

"Benar," Fuu mengiyakan. "Pasti ada suatu tempat di mana orang-orang berlindung." Fuu memandang sekelilingnya, mencari-cari sampai di kejauhan. "Suatu tempat... Itukah?"

Sedikit demi sedikit, semakin lama semakin tampak wujud aslinya yang luar biasa besar dan megah, berdiri menjulang dengan tampilan yang begitu kontras dengan lingkungan di sekelilingnya...

"Kastil?!"

Bangunan itu dilindungi oleh semacam selubung transparan yang berpendar-pendar... Fyula terbang menembusnya. Ketiga gadis itu terbeliak... Mereka sangat tidak mengerti.

"Tidak pernah melihat tempat seperti ini sebelumnya... Ini tempat tinggal." Umi menunjuk.

Pepohonan yang rapat dan rimbun, mata air, sungai-sungai kecil dan danau... Rumah-rumah... Orang-orang yang balas melihat mereka... Pria, wanita, anak-anak... mereka tengah mengerjakan sesuatu. Lalu, pria dan wanita yang mengenakan pakaian khusus dengan senjata tersampir di tubuh mereka... Mereka melewati itu semua, menuju ke pusat tempat itu, berupa kompleks yang berisi banyak menara. Ada satu yang tertinggi, terletak di tengah-tengah...

Fyula menukik dan mendarat di salah satu menara dengan mulus. Fyula memekik senang.

"Ayo, kita turun..." ajak Hikaru.

"Hei, kita tidak tahu tempat apa ini..." Umi menahan Hikaru.

"Fyula ingin kita turun..."

"Kau masih bisa bahasa hewan, Hikaru?"

"Hei, hei..." Fuu menepuk pundak kedua sahabatnya. "Kita berada di tempat yang benar." Fuu tersenyum dan menunjuk. "Ini Cephiro."

Hikaru dan Umi menoleh dan kegembiraan tampak di wajah mereka. "Presea!"