"Uh... uh... ohh... ,"

Sudah berapa kali desahan itu keluar dari bibir Hinata. Gadis muda itu akhirnya menikmati aktivitas ranjang. Tidak ragu-ragu lagi. Sudah sekian kali, dia melakukan itu dengan kekasihnya, Toneri. Dan pria itu semakin lihai membuatnya terbang melayang.

Pria itu menindihnya. Sementara bagian bawah tubuh mereka terhubung oleh batang kokoh berurat milik Toneri, yang keluar masuk di inti paha Hinata.

Tubuh Hinata menegang saat klimaks akhirnya datang. Toneri juga mengalami itu. Seketika rahim Hinata menghangat. Toneri ambruk lemas di dadanya. Hinata terhimpit dengan nafas tersenggal-senggal. Alhasil, mereka bisa merasakan nafas dan denyut jantung masing-masing.

Toneri sedikit mengangkat tubuhnya. Dia mengelus wajah cantik kekasihnya. Dan seketika mata Hinata terbuka. Toneri terkekeh kemudian, "Kau hebat, Hime."

Pria itu kemudian berguling untuk berbaring di samping Hinata. Hinata bergerak, hingga kepalanya berbantalkan dada Toneri, lalu mengelus dada pria itu. Toneri juga mengelus dadanya, masih berusaha merayu gadis remaja itu.

Hinata mencekal gerakan tangan Toneri, lalu menatap matanya serius. Pria itu terkekeh lagi, lalu mendekap erat tubuhnya.

"Toneri," panggilnya.

"Hem,"

"Kau tidak pakai kondom lagi."

"Aku merasa tidak nyaman memakainya. Bukankah kau minum morning after pil?"

Gadis itu mengangguk. "Tapi, keberhasilannya rendah. Aku bisa saja hamil."

"Kalau pun hamil juga tidak masalah. Kita akan lulus sebulan lagi, bukan?"

Hinata mengangkat badannya sehingga Toneri berada di bawahnya,"Jadi, kita akan menikah?"

Toneri mengangguk. Hinata seketika menjadi sumringah. Pelukan hangat diberikan pada Toneri. Toneri tertawa bahagia. Hingga pria itu berbisik. Wajah Hinata memerah. Mereka melakukannya lagi. Dan akhirnya, keduanya dimabuk gairah yang menyesatkan lagi.

0o0o0o0

"Kakak, kakak tahu Toneri Otsusuki? Dia sangat tampan,"Kata Hanabi.

Hinata hanya menunduk. Ayahnya, Hyuga Hiasi berdehem. Seketika kedua putrinya menoleh. Mereka sedang makan bersama. Kurenai, Ibu tiri mereka sedang menyuapi Mirai, putri kecil Kurenai dari mendiang suaminya.

"Siapa itu Toneri Otsusuki?" tanya Hiashi. Suaranya berat seperti menginterogasi.

"Teman, pa. Dia sekelas dengan kak Hinata."

"Lalu kenapa? Kau masih kecil. Tidak perlu macam-macam."

"Yah.. Papa kuno."

"Hanabi!" Bukan bentakan yang keluar dari mulut Hiashi, namun nada suara itu cukup membuat Hanabi terdiam.

"Aduuhh!" Kurenai tiba-tiba mengernyit sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Nyonya rumah itu memang sedang mengandung anak hasil perkawinannya dengan Hiashi Hyuga.

Tak ayal perhatian Hiashi teralihkan. Pria itu ikut mengelus-elus perut istrinya. "Masih sakit?"

Kurenai masih mendesis-desis. Mirai memberikan pandangan mata penuh empati pada ibunya, membuat Kurenai tertawa,"Bayi ini sangat aktif."

"Adikku sehat di dalam perut Sensei." kata Hinata sambil ikut mengelus perut ibu tirinya itu.

"Ya, dia sehat."

"Hah, syukurlah. Nanti sore adalah waktunya check up, bukan?" Tanya Hiashi.

"Uhm,"

"Aku akan menjemputmu di sekolah."

"Terima kasih, Anata." Kurenai mengelus pipi Hiashi.

Mereka meneruskan makan lagi. Dan Hiashi berkata,"Hinata, Neji, anak pamanmu sudah akan diwisuda dua bulan lagi. Katanya skripsinya sudah selesai. Dia berupaya mendaftar degree master di Havard."

"Kak Neji memang hebat. Dia cerdas sejak sekolah dasar dulu," tanggapan Hinata.

"Kau masih ingat pertunangan kalian, bukan?"

Seketika tubuh Hinata menegang. "Ayah... jika... ."

"Tidak ada jika... kalian sudah harus menikah sebelum dia masuk Havard."

"Tapi, ayah... saya.."

"Apa? Kau punya pacar?"

Hinata mengangguk.

"Putuskan segera!"

"Tapi..."

"Anata," Kurenai membelai lengan Hiashi. "Lebih baik bicarakan ini sebulan lagi. Hinata masih harus konsentrasi ujian. Mama rasa seperti itu, bukan? Hem... Hinata?"

Hinata menangguk.

Hiashi mendesah,"Baiklah. Fokus pada ujianmu!"

Hinata mengangguk lagi. Setidaknya masih ada waktu untuk meyakinkan ayahnya akan Toneri. Hinata berharap Hiashi mengerti akan keputusannya. Dia memang bersedia menikah muda. Tapi itu hanya dengan Toneri.

Ujian dua minggu kemudian. Hinata belajar giat demi ujian. Walau pun dia tahu bahwa kemungkinannya untuk kuliah nol persen mengingat keputusan ayahnya, dia akan tetap berusaha yang terbaik.

Dia menoleh pada Toneri. Kekasihnya itu masih serius mengerjakan soal ujian. Dia tersenyum dan kembali mengerjakan soal ujian lagi.

0o0o0o0

"Hoek! Hoek!"

Hinata berusaha memuntahkan isi perutnya lagi. Rasa mual yang dirasakannya bahkan sampai di ulu hati. Ujian sudah berakhir. Dua hari lagi, pengumuman kelulusan, tapi dia malah sakit.

"Hoek! Hoek!" Hinata muntah lagi. "Hoek! Uhuk uhuk!" Kali ini bahkan dia sampai batuk-batuk. Dia memukul-mukul dada untuk menghilangkan ampeg.

"Mamaa...! Mamaaa...! Hu hu hu!"

Tiba-tiba terdengar suara tangisan Mirai. Dengan kepala masih pusing dan rasa mual, Hinata berdiri dari posisi berjongkok di depan closst. Lalu, berjalan keluar kamar walau dengan badan terhuyung-huyung.

Di depan kamar orang tuanya, Hinata melihat Mirai menangis di gendongan maid dan Hanabi duduk dengan wajah kawatir.

"Ada apa?" Hinata bertanya sambil memijit pelipisnya.

"Mama Kurenai melahirkan."

Hinata terkesiap,"Apakah baik-baik saja."

"Tidak tahu, bidan sudah ada di dalam."

"Eeennnggghh... Aaarrrkkhhh!"

Terdengar jeritan Kurenai. Diikuti tangisan Mirai yang semakin kencang. Dan Hanabi tiba-tiba menutup kedua telinganya.

Hinata melihat itu dan heran. Hanabi yang bandel ternyata ketakutan. Hinata memang mengambil sekolah menengah kejuruan kesehatan tapi, dia bahkan sudah terbiasa dengan hal tersebut. Dulu sewaktu Hanabi lahir, dia juga membantu ibunya melahirkan. Jadi, hal itu sudah biasa. Sayangnya sang ibu harus meninggal saat beliau melahirkan adik keduanya. Jadilah mereka anak tak beribu. Hingga Kurenai muncul sebagai guru baru di sekolah Hinata, bisa menarik perhatian Hyuga Hiashi. Kurenai pun menjadi Ibu sambung mereka.

"Kau tidak masuk?" Tanya Hinata.

Hanabi menggeleng,"Takut."

Hinata menghela nafas. Dia membuka pintu dan ..

"Eeeeekkkkkk Eeeeeaaaaakkkkhhh...!" Kurenai berteriak lagi.

Mirai menjerit lagi.

"Tutup pintunya,Kak!" Teriak Hanabi sambil menutup kupingnya.

Hinata masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya. Dia melongok di balik penyekat ruangan dan melihat Kurenai telanjang, dalam posisi setengah berbaring dengan kaki terbuka lebar. Pusat selakangannya berdarah.

Hiashi di belakangnya mendukungnya, pria itu bisa merasakan detak jantung istrinya. Dia memberikan bisikan menenangkan di rambut Kurenai.

"Sensei," panggil Hinata.

"Hinata, mendekatlah... temani mamamu," kata Hiashi.

"Hinata... ." Tangan Kurenai menggapai-gapai.

Hinata segera maju, duduk bersimpuh di dekat kepala Kurenai.

"Hinata... Oh.. oh...,"

"Sabarlah, Sensei"

Hinata membelai dahi Kurenai, menyibakkan rambut Kurenai ke belakang.

"Hina... Oh.. oh.. Maafkan, Mama...,"

"Maaf?"

"Maaf.. Oh.. Oh.. Karena... karena... merebut .. ayahmu."

Hinata jadi terkejut,"Sensei...," Hinata terenyuh juga. Dia membelai lagi wajah Kurenai.

"Kau.. kau pasti... ehm.. ehm.. kecewa padaku... Percayalah.. aku mencintai.. ayahmu.. aku.. cinta.. kau.. hanabi."

"Sudahlah, Sensei.. saya tahu."

"Kurenai.. jangan berpikir yang tidak-tidak," Hiashi berbisik lembut.

"Aku... Hinata..." Kurenai mengelus perutnya,"Rawat adikmu ini.. jika mama tidak bisa."

"Kurenai!"

"Sensei."

"Oh.. oh.. Aaaarrrrkkhhh!"

Kurenai berteriak saat kontraksinya menyiksa lagi. Dia mengejan kuat. Wajah wanita itu sudah tidak karuan. Rambutnya basah, kusut oleh keringat yang bau kecut bercampur amis darah. Terkadang nafasnya tersenggal-senggal. Senseinya itu sedang berjuang melahirkan adiknya. Hinata bisa merasakan perjuangan hidup dan mati Kurenai. Kurenai pasti sangat mencintai Ayahnya hingga bersedia melahirkan anak bagi ayahnya itu.

Hingga akhirnya bayi laki-laki meluncur diantara kaki Kurenai. Wanita itu benar-benar lemas di dada Hiashi. Bayi itu menangis keras. Kurenai menerimanya dengan kelegaan hati saat bidan meletakkan bayi itu di dadanya.

Hiashi menangis penuh haru. Hinata juga menangis, lega karena Kurenai dan bayinya selamat hingga tak sadar dia berkata,"Mama, oh.. syukurlah.. syukurlah... Mama."

Hiashi dan Kurenai terpana dengan panggilan itu.

"Hinata.. kau.. memamggilku.. Mama?"

"Iya, Mama adalah mamaku. Mamaku!" Hinata memeluk Kurenai yang sedang menyusui adiknya.

Hiashi pun ikut serta memeluk Hinata. Pria kaku itu sedikit melow semenjak menikah dengan Kurenai.

Hingga pesta selamatan bayi pun digelar malam harinya. Semua kerabat datang. Hinata merasakan mual mutah lagi, namun dia tetap harus bertahan demi acara.

Neji juga datang bersama ayahnya. Hisazhi Hyuga, kembaran Hiashi. Kedua pria itu bertemu, saling memukul dada ringan," Hebat, kau bang... Tua-tua subur juga," canda Hizashi.

Hiashi yang sedang menggendong Mirai tertawa,"Ha ha ha, Tuhan merestui cinta kami sehingga gadis cilik ini akhirnya punya adik," Hiazshi menggelitiki Mirai.

Bocah itu tertawa sambil meronta-ronta. Pada saat itulah, Hinata datang menyajikan minuman pada para tamu. Hiashi segera memanggilnya," Hinata, kemarilah!"

Hinata mendekat.

"Kau masih ingat pamanmu?"

Hinata berajoji untuk menghormat pada Hisazhi,

'Ya Tuhan, benar-benar bunga yang mekar."

"Selamat datang, Paman."

"Ya, tentu saja," Hizashi memanggil Neji. "Neji!"

Neji menoleh. Pada saat itu, Hinata merasa melihat wajah muda Ayahnya saja. Gen Hyuga memang benar-benar kental.

"Apakah kau masih kenal Hinata?"

Neji tersenyum manis. "Tentu saja! Dia dulu sering menarik rambutku."

Kedua orang tua itu tertawa.

"Hinata pasti akan terus menarik rambutmu nanti," Kata Hizashi.

"Maksudnya?"

Handphone Neji berdering saat dia menanyakan itu. Alhasil, Neji undur diri untuk menerima telephon.

Hinata juga undur diri. Dia pergi ke dapur. Bertanya jika ada aktivitas yang perlu bantuannya. Ternyata semua telah beres hingga dia kembali ke kamar orang tuanya.

Hinata melongok di penyekat ruangan dan dia bisa melihat Kurenai menyusui bayinya sambil bersenandung, sementara di kanan kirinya, ada Hanabi dan Mirai, tertidur sambil memeluk Kurenai.

Menyadari kehadiran Hinata, Kurenai mendongak. "Hinata, kemarilah, Nak."

Hinata tersenyum. Dia mendekat dan duduk di tepi ranjang, lalu membangunkan Hanabi. "Kalau mau tidur, tidur sana di kamarmu. Jangan ganggu Mama."

Hanabi menggeliat, lalu mengucek matanya," Hah, baiklah.. tapi.. kau memanggil Mama?" Hanabi jadi riang.

"Ah, sudahlah! Sana ke kamarmu."

Hanabi bangkit ogah-ogahan." Iya." Lalu dia melangkah meninggalkan kamar dengan langkah kaki diseret.

"Mama, perlu aku pindahkan Mirai di kamarnya?"

Kurenai menggeleng,"Biarkan saja. Aku merasa bersalah karana dia harus berbagi ASI dengan adiknya sekarang."

"Baiklah" Hinata memberikan senyum penuh pengertian, lalu menggenggam tangan Kurenai,"Mama bahagia?"

Kurenai mengangguk,"Ya.. sangat bahagia."

"Mama, Kenapa mama harus hamil lagi? Itu bahaya untuk Mama, Bukan?"

Kurenai mendesah," kau tahu? Ayahmu adalah cinta pertama Mama."

Cinta pertama?

"Ya, cinta pertama. Dulu kami berpacaran.. lalu.. ayahmu dijodohkan dengan ibumu. Kami akhirnya putus."

"Anda pasti sedih saat itu."

Kurenai mengangguk,"Ya, aku bahkan enggan menikah. Untungnya ketemu Asuma. Aku jatuh cinta lagi. Sayangnya, TBC memisahkan kami, padahal aku sedang mengandung Mirai dua bulan. Aku harus menjanda, melahirkan Mirai ... sampai aku betemu denganmu, Hanabi lalu.. ayahmu."

Kurenai menerawang, "Kau pasti merasa bahwa cinta kami begitu cepat. Suamiku baru meninggal, bayiku masih belum genap setahun, dan ayahmu melamarku. Lalu aku bersedia. Aku hanya mencintainya saja. Tanpa pikir panjang. Toh, aku juga butuh pria untuk menyokongku. Mirai juga perlu sosok ayah. Kami menikah. Bersama..Dan kemudian... aku merasa mual-mutah. Aku deg-degan saat melihat hasil test pack.. dan ternyata... sudah ada bayi mungil ini di perutku."

Kurenai mengelus pipi bayinya. Hinata ikut mengelus dahi bayi itu. "Apakah sudah ada nama?"

"Ayahmu ingin memberikan nama Hiroshi."

"Nama dengan huruf "H" lagi."

"Tapi aku menyukainya."

Hinata tersenyum, lalu dia teringat sesuatu. Mual-mutah. Kurenai tadi menyebut mual mutah. Hinata terkesiap. Dia segera berdiri.

"Hinata, kenapa?" Kurenai jadi heran.

"Tidak.. sepertinya.. aku lupa kalau ada sesuatu yang harus kuurua di dapur.

Kurenai mengangguk,"Baiklah, jangan telalu diforsir. Tidur saja kalau sudah capek."

"Tentu saja, Mama."

Hinata mencium dahi Hiroshi. Kurenai tersenyum menghantar kepergian Hinata.

Hinata segera mengambil jaketnya di kamar. Tanpa ba bi bu segera melajukan mobilnya ke apotek. Dia kembali ke rumah dengan test pack di tangannya. Dan dia segera menuju kamar mandi di dalam kamarnya.

Nafasnya bahkan tercekat saat dia mencelupkan stick itu ke urinnya. Hingga dua garis merah muncul di stick itu. Hinata jatuh tersimpuh. Dia mengelus perutnya. Dia tahu hal ini akan terjafi. Itu adalah konsekuensi dari hubungan yang lepas kendali. Namun, hal itu sudah terjadi. Entah kenapa Hinata menangis tergugu., merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga.

Ya, dia hamil.
Benih Toneri ada di dalam rahimya.

TbC