Daiya No Ace belongs to Terajima Yuji

Explisit! R18 ++


Scared to be Lonely

Is it just our bodies? Are we both losing our mind?

Is the only reason you're holding me tonight

'cause we're scared to be lonely?

.

MIYUKI KAZUYA

Suasana klub malam hari itu begitu ramai, malah lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena malam minggu, jadi banyak orang yang datang ke klub malam untuk bersenang-senang. Miyuki Kazuya datang bersama dengan teman-temannya. Ada Ono Hiroshi, Maezono Kenta, dan Kuramochi Youichi.

"Bersulang!"

Kuramochi mengangkat gelasnya yang berisi vodka, memimpin teman-temannya yang lain untuk melakukan hal serupa. Ono dan Maezono mengangkat gelas mereka tinggi-tinggi. Miyuki mengangkat gelasnya juga, tetapi tidak setinggi ketiga temannya. Suara musik berdentum-dentum dengan sangat keras, membuat membrana timpani milik Miyuki bergetar tanpa henti.

Lalu, mereka berempat meminum vodka di gelas masing-masing.

"Vodka setelah memenangkan proyek besar memang paling nikmat!" kata Maezono sambil menuang minuman beralkohol itu ke gelasnya lagi.

"Jangan terlalu banyak minum Zono," kata Ono, "tidak ada yang mau melihatmu mabuk dan telanjang di sini."

Kuramochi tertawa nyaring. "Kalau kau telanjang di sini, akan kusebar video-mu di seluruh group chat firma," katanya.

"Sial kalian berdua," geram Zono, "aku tidak akan mabuk!" bentaknya. Lalu, dia meneguk vodka lagi dalam satu tegukan. Wajahnya sudah mulai menghangat. Toleransi Maezono terhadap alkohol memang sangat rendah. Lambungnya begitu sensitif dan langsung melakukan metabolisme ketika cairan alkohol itu masuk melalui kerongkongannya.

"Taruhan dia tidak akan bertahan sampai 5 gelas," kata Kuramochi pada Ono. Ono hanya menanggapinya dengan dengusan saja. Mengajak Maezono minum sebenarnya merepotkan, tapi yah… kasihan juga kalau dia tidak pernah diajak minum bersama dengan teman-temannya. Lambungnya yang sensitif akan alkohol akan semakin sensitif.

Kuramochi merangkul Miyuki yang dengan tenang meminum vodka-nya. "Dan pemeran utama kita malam hari ini, Miyuki Kazuya!" seru Kuramochi sambil mengangkat gelas kosongnya tinggi-tinggi.

Miyuki memutar bola matanya. "Jangan norak Mochi," katanya.

"Dasar sinis," kata Kuramochi, "mentang-mentang menang proyek besar!"

Miyuki tidak menanggapi. "Itu kan juga berkat kerja seluruh tim," jawabnya.

"Kau menjijikan kalau berusaha rendah hati seperti ini," kata Kuramochi. Dia menuang vodka lagi ke gelasnya dan Miyuki.

Miyuki mendesah. "Aku sinis, salah. Aku rendah hati juga salah. Apa yang kau inginkan sebenarnya?"

Sebagai jawaban, Kuramochi hanya tertawa lagi. Dia meneguk vodka itu dalam dua tegukan. Lalu, diletakkannya gelas beling itu di atas meja yang mereka reservasi. Kuramochi duduk bersandar di sofa panjang itu. Miyuki menatap ketiga temannya yang sudah mulai teler akibat alkohol.

Miyuki tahu kalau ini belum seberapa. Para host girl datang ke meja mereka dan menempati ruang kosong di antara para lelaki. Yang menempati tempat di sebelah Miyuki berbau parfum mawar. Dia seorang perempuan berambut hitam legam pendek sebahu dan tubuhnya yang sintal dibalut dengan dress berwarna merah darah. Sangat kontras dan sungguh memikat, persis seperti representasi bunga mawar yang begitu mempesona.

Ketika dia ingin menuang vodka ke gelas Miyuki, arsitek muda itu menolak. "Aku tidak minum lagi," katanya.

Perempuan itu memandang bingung. "Bukankah hari ini kalian sedang perayaan? Minum satu dua gelas lagi tidak masalah kan?" tanyanya.

"Aku harus menyetir pulang," kata Miyuki, "maaf."

Botol vodka diletakkan kembali ke atas meja. Dia duduk semakin merapat pada Miyuki. "Jadi, apa kau mau mengobrol denganku?" tanyanya.

Miyuki Kazuya sendiri bingung apa yang harus dibicarakan. Dia tidak pernah banyak berbincang dengan orang lain kecuali masalah pekerjaan. Dia tidak suka basa-basi dengan orang, apalagi orang yang baru dikenal.

"Kau beritahu aku," kata Miyuki.

Untuk sesaat, perempuan itu tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Miyuki, tetapi dia segera menemukan kesadarannya kembali. Dia berdeham. "Oke. Aku dipanggil Sakura," katanya dan setelahnya dia kehabisan kata-kata. Dia sendiri juga bingung apa yang harus dikatakan. Biasanya klien lah yang membuka percakapan dan berbicara aktif. Dia hanya tinggal mengikuti arus dan meneruskan percakapan.

"Uh… apa pekerjaanmu?" tanya Sakura.

Miyuki tersenyum tipis. "Kau tidak diberitahu?"

Sakura tampak bimbang. "Well, kami hanya diberitahu kalian sedang perayaan."

Miyuki mendengus tipis. "Arsitek."

Sakura membuka mulutnya seperti dia terpesona. "Hebat," katanya. Lalu, sesaat hening kembali.

Miyuki tersenyum simpul. "Lihat, rupanya kau juga tidak suka basa-basi," katanya. Lalu, Miyuki bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menjauh dari meja yang mereka reservasi. Perempuan itu bingung dan tidak mengerti.

"Kau mau kemana?" seru Kuramochi, dia nyaris berteriak. Dia merangkul dua perempuan sekaligus. Keduanya tampak nyaman-nyaman saja dipelukan Kuramochi. Miyuki merasa temannya seperti Raja Harem untuk semalam.

"Mencari cairan yang tidak mengandung alkohol."

Miyuki berjalan sampai dia menemukan sebuah bar di sudut lain dari klub malam. Bar tidak begitu padat orang, karena kebanyakan mereka sedang menari di lantai dansa. Hanya ada beberapa lelaki dan perempuan yang sedang meminum dengan tenang.

Miyuki mengambil kursi di sebelah seorang lelaki yang tampaknya sudah lumayan mabuk. Kepala lelaki itu menunduk dan kadang bergoyang ke kanan dan ke kiri seperti orang tidur. Tangan kirinya terlipat rapi di atas meja bar, sementara tangan kanannya memegang gelas yang isinya setengah kosong.

Seorang bartender menghampiri Miyuki.

"Cocktail," kata Miyuki.

Vodka dan cocktail bercampur menjadi satu di lambungnya di waktu yang bersamaan, kenapa tidak? Toh lambung Miyuki sudah terbiasa diisi dengan minuman alkohol. Metabolismenya tidak akan ekstrem seperti Maezono. Bartender tersebut mulai meracik minuman Miyuki. Miyuki menontonnya dengan terpana. Berapa kali dilihatpun, keterampilan para bartender terasa seperti sebuah mahakarya.

"Lagi!" seru orang yang di sebelah Miyuki. Dia mendongak sesaat sebelum kembali menunduk. Bartender, yang telah selesai meracik minuman Miyuki, menuang brandy ke gelas kosongnya lagi.

Lelaki itu tidak langsung meminum minuman yang tadi dituang. Dia tampak seperti orang teler. Miyuki mengambil hati-hati cocktail hasil racikan tersebut dan meminumnya perlahan-lahan dengan rasa hormat atas sebuah mahakarya. Lelaki di sebelah Miyuki masih setengah teler.

"Persamaanmu salah…" gumamnya ngelantur. "Kenapa sulit sekali mengajari kalian…?"

Miyuki Kazuya kembali menyesap perlahan-lahan cocktail-nya.

Tak berselang lama, seorang wanita datang menghampiri mejanya. Rupanya, dia menghampiri lelaki yang sudah diambang antara mabuk dan runtuh. Wanita itu melingkarkan lengannya ke sekeliling leher lelaki itu dan mulai menciumi leher si pria. Setiap sentuhan bibirnya membangkitkan birahi, tetapi lelaki itu tidak bergeming.

Ketika tangan si wanita sudah hampir menyentuh area selangkangan si lelaki, tiba-tiba si lelaki itu bertanya, "berapa 25 dikali 25?"

Yang kaget ditanya seperti itu bukan hanya wanita penghibur, tetapi Miyuki juga ikutan kaget. Namun dia tidak mau memperlihatkan dengan jelas kalau dia tidak paham dengan pertanyaan remeh itu. Dia hanya melirik lelaki mabuk itu dan si wanita yang kebingungan. Dia masih tetap pura-pura minum, padahal seluruh tubuhnya mengamati interaksi aneh tersebut.

"Apa?" tanya si wanita. Dari ekspresinya dia tidak menyangka akan ditanya tentang perkalian di tengah dentuman musik yang berusaha menggetarkan tulang-tulang pendengaran secara brutal. Di tengah lautan manusia yang euforianya memuncak, siapa yang akan peduli dengan hasil perkalian?

"25 dikali 25. Berapa hasilnya?" tanya lelaki itu lagi. Dia masih menunduk.

Si wanita tampak berpikir, tetapi jawaban tidak sampai ke dalam otaknya. "Lima… eh… dua ratus… lima…?" jawabnya ragu-ragu dan tidak yakin.

Meja digebrak dengan gelas beling. Sebagian alkohol tumpah dan mengotori meja. "Kau berharap lulus cumlaude dengan otak seperti itu? Kau pikir aku akan menandatangani tesismu? HAH?" bentaknya di akhir.

Wanita itu kaget karena dibentak. Lalu ketika dia sadar, dia hanya menampilkan wajah sinis dan pergi berlalu dari lelaki itu. Ketika dia berjalan, high heels-nya dihentak-hentakkan. "Dasar aneh." Miyuki masih bisa membaca gerakan bibir dari wanita yang dibentak itu.

Bartender itu kini sibuk mengelap meja di depan lelaki yang mabuk itu. Ekspresinya sama sekali tidak terganggu. Miyuki menatap lelaki aneh itu. Katanya orang yang sedang mabuk itu bisa menjadi apa saja dan bisa melakukan semua tindakan absrud yang tidak mungkin dilakukan ketika sedang sadar. Namun, menanyakan sebuah perkalian sederhana ketika sedang mabuk, Miyuki baru pertama kali melihat.

Waktu yang Miyuki habiskan di bar lumayan lama. Cocktail-nya baru habis 2 gelas, karena dia meminumnya secara pelan-pelan. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk melihat lelaki mabuk yang duduk di sebelahnya.

Perempuan datang silih berganti. Kadang menuju Miyuki, yang ditolak oleh orangnya, dan kadang ke lelaki mabuk itu. Sama seperti wanita yang pertama, lelaki itu mengajukan sebuah pertanyaan perkalian. Tidak selalu 25 dikali 25. Kadang 123 dikali 45, kadang juga 3453 dibagi 76, bahkan ada soal pertanyaan logaritma juga!

Seperti yang Miyuki duga, tidak ada satu pun yang bisa menjawab pertanyaan matematika itu. Dan, jika mereka menjawabnya salah, dia akan membentak mereka dan merutuk bahwa mereka tidak akan bisa lulus tepat waktu. Dari informasi itu saja Miyuki sudah bisa menebak bahwa pekerjaan lelaki itu adalah seorang dosen.

Kali ini, seorang lelaki menghampiri orang mabuk tersebut.

Miyuki tidak ada masalah dengan LGBT dan ini juga bukan pertama kalinya dia melihat dua orang laki-laki yang sedang berciuman dan bercumbu. Dulu sekali, Miyuki Kazuya mempunyai seorang lelaki yang menjadi partner-nya dan sangat disayanginya. Jadi, dia sudah maklum dan biasa saja melihatnya. Namun, reaksi dari lelaki mabuk itu menarik perhatian Miyuki.

Dia membiarkan lelaki asing yang baru datang itu menciumi seluruh lehernya. Bahkan, lelaki yang mabuk itu memiringkan lehernya supaya bisa dicium dengan lebih mudah. Miyuki bersumpah mendengar desahannya di antara kebisingan yang memekakan ini. Lelaki yang mabuk itu tidak memberinya pertanyaan matematika seperti sebelum-sebelumnya. Dia tampak terbuai dengan sentuhan lelaki asing. Mendadak, Miyuki merasa tidak begitu adil.

Kepala lelaki mabuk itu mendongak dan lelaki asing yang gencar menciumi lehernya sudah akan mencium bibirnya, sebelum sebuah pertanyaan terucap, "berapa 25 dikali 25?"

Gerakan mencium itu berhenti. Seperti korban-korban lainnya, si lelaki asing tidak paham dengan pertanyaan hal itu. Namun, dia menguasai dirinya. Miyuki hampir tertawa mendengarnya. Ternyata pertanyaan absurd itu masih ada.

"Apa penting pertanyaan seperti itu sekarang?" tanyanya. Dia kembali menciumi wajah lelaki mabuk itu. Namun, ketika dia hendak mencium bibirnya lagi, si lelaki mabuk menolak.

"Berapa 25 dikali 25?" tanyanya lagi.

Suara dengusan meremehkan terdengar. "Kau serius? Kau ingin kujawab?" Lelaki mabuk itu mengangguk. Lelaki satunya mendekatkan dirinya dan berbisik, "aku tidak peduli."

Tubuhnya terdorong cukup keras sampai dia mundur beberapa langkah. "Kau tidak akan pernah lulus," kata si lelaki mabuk itu datar.

"Apa-apaan?" seru si lelaki satunya tidak terima. Namun, lelaki mabuk yang duduk di sebelah Miyuki kembali ke aktivitasnya yang semula, duduk manis di kursi bar, melipat tangan kirinya di atas meja dengan rapi dan tangan kanannya memegang gelas.

Merasa tidak terima, lelaki yang di dorong itu menghampiri si lelaki penggila matematika dan akan menarik kerah bajunya. Namun, sebuah tangan menghentikan pergerakannya. Lelaki itu menatap Miyuki dengan pandangan melotot. Barulah Miyuki sadar bahwa tangan yang menghentikan sebuah perkelahian yang nyaris tidak terhindari adalah tangannya.

"Sebaiknya kau tidak membuat keributan di sini," kata Miyuki.

"Kau siapa bangsat?" tanyanya kasar.

"Pengunjung bar," jawab Miyuki. "Jangan sia-siakan waktumu untuk orang mabuk seperti ini. Di lantai dansa masih banyak yang bisa kau ciumi," katanya.

Lelaki asing itu menghentak lepas tangan Miyuki dan pergi begitu saja dari daerah bar. Kini, bar kembali damai dan hanya ada beberapa orang lagi. Ketika Miyuki memutuskan untuk pulang karena terlalu lama berada di klub malam, baju belakangnya di tarik-tarik pelan. Miyuki berbalik dan melihat lelaki mabuk itu menarik-narik baju Miyuki.

"Apa?" tanya Miyuki.

Untuk pertama kalinya, lelaki itu mendongak. Yang menyambut iris coklat tanah milik Miyuki Kazuya adalah sebuah iris yang paling cantik yang pernah Miyuki lihat di kehidupannya. Bersinar terang bagai berlian dengan warna kuning yang berkilau seperti emas. Dia menatap Miyuki dengan kesadaran berkabut.

"Konyol sekali ya," kata lelaki itu. Miyuki hanya menatapnya. Dia tidak ingin terlibat lebih jauh lagi dengan kondisi si laki-laki mabuk misterius itu.

"Klub malam memang tempat untuk orang-orang konyol," jawab Miyuki.

Lelaki itu mendengus geli. "Berarti itu termasuk kau dan aku," jawabnya.

Miyuki mengangkat bahunya. "Aku tidak akan mendebatmu. Bisa kau lepaskan kemejaku?" pinta Miyuki.

Lelaki itu melepaskan genggamannya dari baju Miyuki. "Maaf," katanya, "tadi aku hanya ingin berterima kasih."

"Sama-sama," balas Miyuki datar.

Dalam kesadaran yang diambang batas, lelaki itu berhasil mengatakan, "Aku akan mentraktir minuman untukmu," katanya, "bagaimana kalau kau kembali duduk di sebelahku, Tuan Arsitek?" tawarnya.

Yang membuat Miyuki melihatnya tidak percaya adalah panggilan Tuan Arsitek. Dia mengerjap-ngerjap beberapa kali dan mencoba memproses apa yang terjadi.

"Apa…? Bagaimana kau…"

"Tahu?" sambungnya. Dia menyeringai. "Aku akan memberitahumu kalau kau duduk kembali," katanya.

Miyuki ingin menolak dan tidak mau terlibat lagi, tapi rasa penasarannya berhasil memenangkan debat sengit. Jadilah dia kembali duduk di bangku sebelah lelaki aneh itu dan menatapnya dengan pandangan penuh dengan perdebatan. "Aku yakin kalau kau sudah mabuk," kata Miyuki.

Lelaki itu tertawa serak. "Memang," katanya, "tapi bukan berarti otakku berhenti berpikir kan?" retoriknya.

Miyuki memutuskan untuk tidak membalas ucapan itu. Dia lebih penasaran dengan tebakan dari lelaki itu. "Kenapa kau bisa berpikir aku seorang arsitek?" tanya Miyuki.

Lelaki itu meneguk cairan di gelasnya sebelum dia berbicara. "Kau datang menggunakan kemeja formal dan celana kain. Bahkan sepatumu saja sepatu pantofel, itu artinya kau langsung datang ke klub ini sehabis pulang kerja. Melihat cara berpakaianmu, kau pasti bekerja di sebuah perusahaan nasional yang menjunjung nilai berpakaian. Kau memakai kemeja lengan pendek, yang artinya kau tidak memakai jas. Jadi kemungkinan kau bukan seorang pengacara."

Miyuki mendengarkan lelaki itu bicara panjang lebar. Untuk ukuran orang yang mabuk berat, deduksi lelaki itu tidak seperti orang melantur. "Lalu kemungkinannya kau seorang manager di perusahaan, tapi aku bisa tahu kalau kau arsitek karena melihatmu tadi mengamati klub malam ini."

"Apa maksudnya?" tanya Miyuki.

"Well, ketika kau duduk di bar ini, kau mengamati sekelilingmu terlebih dahulu tadi. Kalau kau seorang designer interior, kau akan melihat bagaimana dekorasi-dekorasi yang terpajang di sekeliling, tapi kau tidak melihat dekorasi ruangan ini. Kau mengamati langit-langit dan tiang-tiang penyangga. Dari situ, aku bisa tahu bahwa kau seorang arsitek dan sedang berusaha membayangkan gambaran blue print tempat ini."

Miyuki sama sekali tidak memotong lelaki itu berbicara. Rasanya masih tidak masuk akal bagi Miyuki, seorang yang dikiranya mabuk berat, tetapi bisa lancar menganalisa seseorang. Otaknya seperti keluar dari dalam buku karya Sir Conan Doyle.

Lelaki itu menopang dagunya sambil menatap Miyuki, "Nah, bagaimana Tuan Arsitek? Apa analisisku salah? Meskipun aku yakin tidak pernah salah," gumamnya diakhir.

Miyuki mendengus. "Aku memang seorang arsitek. Aku melihat tiang-tiang dan langit-langit bukan untuk membayangkan blue print tempat ini, tetapi sedang berusaha mencari tahu pipa-pipa pembuangan diletakkan dimana."

Lelaki itu mengangkat bahunya acuh. "Terserah, sama saja menurutku," katanya.

Miyuki menaikkan alisnya. "Apa sekarang kau membuka lowongan untuk meramal minat dan bakat seseorang?" tanyanya.

"Ini bukan ramalan," ralat si lelaki, "ini analisis. Hipotesis. Tolong dibedakan," katanya tidak terima. "Kau juga menghargai seni."

Miyuki lagi-lagi hanya mengangkat bahunya. "Dan kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" tanya Miyuki.

"Kau menatap bartender yang sedang meracik cocktail-mu dengan saksama. Lalu kau meminumnya juga perlahan-lahan. Artinya kau seperti menghormati karya seni bartender," jelasnya secara singkat. Semua yang dikatakan lelaki itu memang benar adanya.

"Ada lagi yang ingin kau korek dariku? Misalnya dari caraku duduk, makan, berjalan…" tawar Miyuki. "Mungkin kau bisa tahu aku lulusan SD mana?"

Lelaki itu mendengus. "Kau konyol," katanya, "itu sindiran untukku ya?"

"Sindiran itu juga salah satu bentuk komunikasi," kata Miyuki.

"Aku akan menganggapnya sebagai pujian saja," kata lelaki itu. Dia menatap Miyuki, "tapi kalau kau memang ingin aku menganalisisnya sampai sebegitu dalamnya, aku bisa melakukannya."

Miyuki memandangnya sedikit tertarik. "Apa aku harus membayar jasamu juga?"

Sebagai balasan, lelaki itu tertawa. "Anggap saja service gratis dariku," jawabnya. Dia menatap Miyuki Kazuya lagi. Irisnya berpendar indah dan tajam. "Kau gay dan pasanganmu sudah mati."

Seluruh udara di paru-paru Miyuki seperti dirampas paksa dan dia lupa caranya menggerakkan otot-otot pernapasannya. Dia hanya memandang kosong dan tidak percaya dan tidak tahu harus melakukan apa. "Apa katamu…?" bisiknya lemah.

"Aku benar kan?" retorik si lelaki. Dia memberi isyarat bagi bartender untuk mengisi ulang gelasnya yang kosong. "Terlihat jelas sekali."

"Apanya?" tanya Miyuki. Paru-parunya masih terasa seperti diisi es, tetapi dia mulai bisa bernapas.

"Kau sama sekali tidak melihat titik-titik seksi milik wanita ketika mereka berlalu-lalang. Bahkan kau menolak beberapa kali ketika mereka mendatangimu."

"Itu tidak membuktikan apapun!" kata Miyuki sedikit nyaring.

"Tapi kau tidak berpaling saat seorang laki-laki menciumi leherku. Kau tidak merasa terganggu juga. Sikap seperti itu menandakan bahwa kau sudah terbiasa."

Miyuki membuang napasnya kasar. Dibandingkan tersinggung, dia lebih merasa tidak percaya dan seperti sebuah luka lama terbuka lebar lagi.

"Seperti kau tidak saja!" seru Miyuki kasar.

Lelaki itu menanggapinya dengan santai. "Oh, aku memang gay," katanya, "dan aku juga tidak berusaha menyembunyikannya."

"Dan menurutmu aku tampak menyembunyikannya?" tanya Miyuki sengit.

"Tidak," jawabnya, "tapi kau sama sepertiku. Kau berusaha menyembunyikan fakta bahwa kau ditinggal mati oleh pasangan dan membiarkan luka di hati semakin busuk dan busuk."

Miyuki memandangnya sambil mengangkat alisnya. "Oh, kau ditinggal mati juga?" tanyanya. Suasana di sekitar lelaki itu menjadi sendu. Dia menunduk dan tampak semakin mabuk.

"Orang selalu mengambil yang indah-indah untuk dikoleksi kan? Begitu juga kematian," katanya. Miyuki mendengarkannya. Hatinya mulai merasakan sesak lagi, padahal sudah terjadi lama. Kalimat lelaki itu terasa begitu perih dan seperti alkohol, dia membanjur luka Miyuki tanpa ampun. "Dan yang tersisa hanyalah kita-kita," katanya, "produk-produk cacat yang semakin cacat."

Miyuki mendengus. Dia merasa pikirannya selama bertahun-tahun disuarakan oleh lelaki asing ini. Selama ini dia hanya bisa berpikir sendirian, tetapi di tempat ini, seseorang yang rupanya memiliki pemikiran yang sama dengannya mengutarakannya lebih dulu.

"Kau benar," kata Miyuki. "Dia sangat sempurna," ujar Miyuki. Kini, giliran lelaki asing itu memperhatikan Miyuki. Gelas cocktail-nya diputar-putar lembut. "Aku tidak tahu bagaimana mungkin ada orang sesempurna dia di dalam kehidupanku yang cacat ini. Kalau bersanding dengannya aku kadang merasa tidak cocok. Dia terlalu sempurna dan aku terlalu cacat dan banyak kekurangan. Aku bahkan tidak mengerti kenapa dia mencintaiku."

Lelaki itu mendengus miris. Miyuki yakin kisahnya juga sama menyedihkannya. Iris itu terlihat redup. "Mungkin kau dan aku belum begitu beruntung dalam percintaan," katanya.

"Aku tidak tahu apa aku bisa menemukan orang lain untuk mengganti dirinya," kata Miyuki, "atau aku mau mencari yang lain untuk melengkapi kecacatan ini."

"Apa kau mau?" tanya lelaki itu.

Miyuki mengangkat bahunya. "Aku tidak ingin orang lain menempati tempatnya. Dan lagi, membiarkan seseorang tinggal di atas kuburannya."

Lelaki asing yang duduk di samping Miyuki tertawa lemah. Tawa itu mengandung kesedihan. "Manusia tinggal di atas kuburan," katanya, "ratusan juta tahun yang lalu, berlapis-lapis struktur bumi, timbunan fosil, semua itu merupakan kuburan. Kita tinggal di atas sebuah kuburan super besar. Arkeolog dan peneliti tidak berhenti menggali sampai ribuan meter bawah tanah. Tulang-belulang yang tidak lekang oleh waktu terus-menerus ditemukan. Bumi ini diciptakan untuk menjadi kuburan."

Miyuki menatapnya. Lagi-lagi, lelaki itu membuat sebuah poin penting yang logis, terlepas dia mengatakannya dalam kondisi mabuk. "Kau sendiri bagaimana? Apa kau akan mencari pengganti baru?" tanyanya pada lelaki asing itu.

Miyuki merasa aneh. Dia bertemu lelaki itu kurang dari 3 jam, tetapi mereka berdua membicarakan trauma batin dan luka hati, seperti seorang sahabat lama. Semua kalimat Miyuki mengalir lancar dan dia tidak berusaha terlihat baik-baik saja, begitu pula dengan lelaki itu. Mungkin benar kata orang-orang, bahwa kita akan merasa lebih nyaman curhat pada orang asing dibandingkan orang terdekat.

"Meskipun tahu bahwa aku tinggal di atas sebuah kuburan besar, aku tetap tidak menginginkannya," katanya jujur. "Aneh ya? Kita menerima fakta sekaligus menyangkalnya secara bersamaan." Dia meneguk brandy-nya lagi. "Aku tidak mau menggantinya dari dalam hatiku, tapi aku tetap tidak ingin sendirian."

Manusia adalah makhluk yang sangat-sangat aneh.

"Apa yang kau inginkan saat ini? Bercinta dengan seseorang?" tanya Miyuki.

Sebagai jawaban, lelaki asing itu tertawa parau. "Mungkin kita bisa menjadi pelipur lara satu sama lain," tawarnya. Miyuki tidak tahu apakah dia bercanda atau sungguh-sungguh ketika mengatakan hal itu. Namun, sama seperti yang lelaki itu katakan, dia tidak ingin sendirian. Dia ingin merasa penuh, tapi juga tidak mau menghapus orang itu dari dalam hatinya.

Mungkin Miyuki Kazuya sudah terlalu banyak minum alkohol hari ini. "Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?"

Lelaki itu tersenyum, atau mungkin seperti menyeringai. Yang mana saja tidak jadi soal. "Berapa 25 dikali 25?"

"Enam ratus dua puluh lima."

.

Gerakannya kasar dan terburu-buru, seperti orang yang sedang ikut lomba lari marathon. Bibir mereka berdua saling bertaut, lalu lepas, lalu kembali bertaut untuk meminta ciuman yang lebih dalam. Kedua lidah mereka saling berusaha mendominasi. Kelenjar ludah milik Miyuki dan milik lelaki beriris emas itu saling menetes dari sudut bibir dan jatuh begitu saja di atas seprai.

Miyuki tidur terlentang di atas ranjang queen size di salah satu kamar yang disewakan untuk one night stand di klub malam. Lelaki itu duduk di atas pinggang Miyuki. Dia mulai membuka bajunya sampai bertelanjang dada. Lalu, dia menunduk kembali untuk mencium Miyuki Kazuya.

"Kau tidak sabaran ya," kata Miyuki. Dia bangkit dan memeluk tubuh lelaki asing itu. Dia bawah penerangan lampu kamar, Miyuki baru sadar bahwa rambut lelaki itu berwarna coklat. Warnanya persis seperti tanah yang baru saja digemburkan. Tubuhnya terasa hangat.

Tubuh manusia hidup, batin Miyuki. Sudah lama sekali Miyuki tidak tidur dengan orang lain, sehingga dia bisa merasakan telapak tangannya memanas saat menyentuh tubuh orang lain. Dia bisa merasakan seluruh tubuhnya merespon dengan baik tanpa ada penolakan. Di bawah pengaruh alkohol, Miyuki seperti bercinta dengan penuh kerinduan.

Ketika kain terakhir terlepas dari tubuhnya, si lelaki asing itu mulai menciumi seluruh wajah Miyuki, sehingga bau brandy begitu keras di penghidu Miyuki. Dia terus menciumi Miyuki, ke lehernya, menjilatnya sampai Miyuki merasa geli, lalu ke dada Miyuki, menggigit ringan di area sekitar putingnya. Otot-otot perut Miyuki berkontraksi ketika ciuman itu turun ke perutnya. Hembusan napasnya yang hangat menggelitik setiap inchi kulit Miyuki. Bibirnya menyentuh lembut setiap otot yang berkontraksi. Lidahnya menjilat area pusar Miyuki, hingga terus sampai ke bawah.

Miyuki sudah sangat tegang dan dia merasa bisa mengeluarkan semuanya jika lelaki itu menciumi kepala penis Miyuki. Miyuki mencengkram seprai dengan kuat agar dia bisa mengendalikan dirinya dan tidak keluar detik itu juga dan mengacaukan semuanya. Tanpa ragu, lelaki itu memasukkan seluruh penis Miyuki ke dalam mulutnya yang basah dan hangat.

"Sial…" desis Miyuki. Rasa nikmat membuat pandangannya berkabut. Lidahnya berputar, menyentuh setiap vena-vena superfisial yang berdenyut-denyut. Dia menahan kedua tangannya untuk tidak mendorong kepala lelaki tersebut sehingga penisnya bisa masuk lebih dalam. Dia masih menahan seluruh sisa-sisa kesadarannya.

Namun, lelaki itu tidak berhenti. Dia masih mengulum penis Miyuki dengan bersemangat. Seolah dia bisa menghisap sisa-sisa kesadaran Miyuki. Akhirnya, Miyuki menghentikkannya.

"Kau tidak suka?" tanyanya sambil mengelap sisa-sisa liur di sudut bibirnya.

Miyuki menggeleng. "Jangan terburu-buru begitu. Nanti tidak seru," katanya.

Bibir mereka bertemu lagi dan kali ini Miyuki yang berusaha mendominasi. Lelaki itu tertidur di atas ranjang dan Miyuki di atasnya. Bibir mereka masih bertaut, sementara tangannya berusaha meraih nakas untuk mencari lubrikan dan kondom. Biasanya di kamar-kamar seperti itu sudah disediakan. Dengan gerakan yang berantakan, Miyuki berhasil meraih nakas dan mencari lubrikan serta kondom.

Dia melumuri tangannya dengan lubrikan dan turun menuju area selangkangan si lelaki. Penis mereka berdua sudah sama-sama tegang dan berdenyut-denyut. Sebelum benar-benar memasukkan jarinya, Miyuki merangsang area sekitar anus dan menatap laki-laki tersebut. Ketika lelaki itu mengangguk satu kali, barulah Miyuki memasukan tangannya. Jepitannya kuat dan tangan Miyuki terasa panas. Lubrikan sangat membantu untuk melonggarkan lubang yang sempit.

Suara tercekat antara teriakan dan desahan lolos dari mulut lelaki itu. Namun, buru-buru dia menggigit bibirnya agar tidak ada desahan yang lolos lagi. Wajahnya menoleh ke samping kiri dan matanya terpejam. Dia seperti menahan antara ingin menikmati atau menjerit seperti orang yang diperkosa.

"Jangan ditahan," kata Miyuki, "keluarkan saja."

Namun, lelaki itu menggeleng. Dia tampak memejamkan matanya kuat-kuat dan menggigit bibirnya. Miyuki memajumundurkan jari-jarinya hingga dia bisa merasakan kelenjar prostat milik lelaki itu. Dia menekannya sedikit lembut. Suara pekikan tertahan keluar. Pre-cum menetes dengan deras.

"Jangan berbasa-basi lagi. Lakukan saja," kata si lelaki itu.

Akhirnya, Miyuki mengeluarkan jari-jarinya. Dia merobek bungkus kondom dan memasangnya di penisnya sendiri. Dengan pelan, dia memasukkan penisnya. Kepala berambut coklat itu kembali tenggelam di atas timbunan bantal. Rasa panas dan menjepit begitu memabukkan. Miyuki sangat merindukan seluruh sensasi persetubuhan seperti ini. Tubuhnya merindukannya. Dia membutuhkan ini.

Dia mulai bergerak secara perlahan sampai si lelaki yang ada di bawahnya dapat menyesuaikan dirinya. Barulah, dia mempercepat temponya. Ranjang yang mereka tiduri berdecit mengikuti setiap sentakan dari Miyuki. Keringat mengucur deras dari seluruh pori-pori kulit Miyuki. Si lelaki itu mengalungkan kedua lengannya ke leher Miyuki, memperdalam sentakan Miyuki. Bibir mereka bertemu lagi dan ciumannya berantakan. Ciuman untuk meredam desahannya. Namun, Miyuki tidak berhenti.

Sebuah sentakan yang mengenai kelenjar prostatnya membuat desahan panjang lolos. Suaranya serak dan mulai detik itu, dia tidak lagi berusaha menggigit bibirnya. Kesadarannya yang berkabut membuat penglihatannya semakin tidak fokus.

"Sentuh dirimu," ujar Miyuki.

Lelaki itu mengangguk tanpa banyak protes. Dia mulai menyentuh dan memijit pelan penisnya sendiri. Pre-cum menetes-netes di seluruh perutnya. Lelaki itu memejamkan matanya sambil menikmati sensasi menyentuh dan disentuh.

Miyuki merasa semakin menegang dan dia tahu bahwa dia sudah akan mencapai puncaknya. Kecepatannya tidak dikurangi dan dia malah semakin mendorong masuk ketika cairan sperma bercampur semen dikeluarkan. Bersamaan dengan keluarnya sperma si lelaki di perutnya sendiri.

Lalu, Miyuki ambruk.

.

SAWAMURA EIJUN

Ketika dia membuka mata, dia tahu bahwa ini bukanlah kamarnya. Seluruh tubuhnya sakit dan kepalanya berdentum-dentum. Sawamura memfokuskan seluruh pandangannya pada sebuah titik di langit-langit sambil mengingat rangkaian kejadian kemarin malam.

Dia memejamkan matanya. Dia sedang berusaha mereka ulang.

Sawamura dari universitas setelah membimbing dua mahasiswa program magister mengenai tesis-nya. Lalu, dia masuk ke dalam mobilnya dan mendapati bahwa hari itu adalah hari yang bersejarah. Selanjutnya, setelah urusannya selesai, dia pergi ke klub malam untuk menghilangkan penat dan kesedihan, sekaligus mengusir dingin di musim gugur. Lalu dia ingat kalau dia minum, minum, minum, sampai dia lupa berapa gentong alkohol yang diminumnya, dan kesadarannya hilang.

Begitu terbangun, dia berada di sebuah kamar yang asing dan tidak pernah ditemuinya.

Sawamura bisa merasakan bahwa dia telanjang bulat dan hanya tertutupi dengan selembar selimut. Kulitnya bergesekan dan bersentuhan langsung dengan seprai ranjang. Udara AC bisa menusuk kulitnya langsung. Sawamura bangkit duduk dan sakit kepala hebat langsung melandanya.

"Sial," umpatnya sambil meremas rambutnya yang berantakan. Pandangannya sempat buram sejenak, tetapi pulih dalam beberapa saat.

Sawamura menatap sekelilingnya. Dia tidur di dalam kamar seperti kamar hotel murahan. Lampunya remang-remang dan seprainya sedikit kasar. Desain interiornya juga tidak begitu mewah, malah terkesan sederhana. Di depan ranjang ada sebuah televisi dan di sebelahnya ada pintu menuju kamar mandi. Sawamura menatap ceceran baju dan celananya di lantai kamar.

Begitu Sawamura melihat ke samping, seorang lelaki yang telanjang juga sedang tidur dengan damai. Dadanya naik turun dengan teratur dan sebuah dengkuran halus keluar dari mulutnya yang sedikit terbuka. Sawamura tidak akan bertanya bagaimana laki-laki itu bisa terdampar di kamar ini bersama dengan seorang dosen sepertinya. Ingatannya tidak bisa diajak bekerja sama barang satu memori pun.

Sawamura Eijun mulai turun pelan-pelan dari ranjang dan memakai pakaiannya kembali. Lalu, terakhir dia memandang lelaki asing yang tidur di sampingnya sepanjang malam sebelum keluar dari kamar itu pelan-pelan. Klub malam sudah tutup. Para pelayan sibuk menyapu dan membersihkan ruangan. Dia berjalan menuju bartender.

"Selamat pagi," sapa bartender itu ramah.

Sawamura membalas sapaan itu dengan senyuman kikuk. Dia berdeham. "Pagi. Saya mau membayar biaya sewa kamar," kata Sawamura. "Dan tagihan minuman saya kemarin."

"Tunggu sebentar," kata si bartender. Dia berjalan ke meja kasir dan Sawamura mengikutinya. Setelah itu, dia menyebutkan sebuah nominal.

Sawamura mengambil dompetnya yang masih berada di kantong celananya. "Saya akan bayar memakai debit." Dia menyerahkan kartu ATM-nya.

Bartender itu menerima kartu ATM Sawamrua dan memprosesnya. Tak berselang lama, kartu itu dikembalikan.

"Terima kasih," kata Sawamura. Dia pergi keluar dari klub malam tersebut dan menuju mobilnya yang masih terparkir cantik di lapangan parkir. Kini lapangan parkir sudah kosong melompong, hanya tersisa mobil Sawamura dan sebuah mobil lagi.

Sawamura membuka kuncinya dan langsung masuk ke dalam mobil. Di kursi penumpang, ponsel Sawamura tergeletak begitu saja. Dia baru ingat bahwa kemarin turun tanpa membawa ponsel.

Dinyalakan ponselnya dan berbagai notifikasi masuk, mulai dari SMS, panggilan telepon, sampai pesan di LINE yang semuanya berasal hampir dari orang yang sama.

56 pesan belum dibaca.

Haruo: Kau dimana? Angkat teleponku!

Dan masih banyak SMS yang serupa.

Lalu ada pula SMS dan pesan via LINE dari beberapa mahasiswanya yang bertanya mengenai revisi, jadwal bimbingan, sampai jadwal mengajar. Sawamura kembali mematikan ponselnya dan menaruh kepalanya di atas setir mobil.

"Benar-benar kacau…" gumamnya.

Dia men-starter mobil dan setelah dirasa cukup panas, dia mulai meninggalkan klub malam itu dan kembali ke apartemennya.

Di tengah perjalanan menuju apartemennya, ponselnya kembali berdering, menandakan sebuah sambungan telepon masuk. Sawamura meraih ponselnya di kursi penumpang dan melihat nama si penelepon.

Haruo

Sawamura mengangkatnya.

"Dimana kau?!"

Suara itu nyaris terdengar seperti bentakan. Kominato Haruichi tidak pernah berteriak atau pun membentak. Bukan berarti dia tidak bisa marah, justru orang seperti Kominato kalau marah seramnya ampun-ampunan. Kemarahan khas Kominato adalah memasang senyum semanis gula, nada menyengat seperti bara api dan kata-kata yang lebih tajam daripada pedang.

"Aku sedang di jalan," jawab Sawamura.

"Kenapa kau tidak mengangkat teleponku dari kemarin?"

Sawamura meringis. "Maaf. Aku meninggalkan ponselku di mobil, jadi yah… kau tahulah," jawabnya.

Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Eijun," panggilnya.

"Aku oke!" kata Sawamura terlampau cepat. "Aku hanya sedang ingin melepas penat karena banyak persamaan yang harus kuselesaikan," jelasnya.

"Aku bahkan belum mengatakan apapun."

"Aku tahu apa yang hendak kau katakan," kata Sawamura. Dia menarik napas. "Pokoknya, aku baik-baik saja. Aku akan datang ke universitas besok, membimbing mahasiswaku yang manis-manis, dan mendapat gaji tiap bulan."

"Kau tidak berakhir tidur dengan seseorang kan?"

Pertanyaan itu membuat Sawamura bungkam seribu bahasa. Dia hampir saja melepaskan genggaman tangannya dari ponselnya dan membuat benda elektronik itu meluncur bebas ke bawah mobil, tetapi dia bisa menguasai dirinya.

"Tidak," kata Sawamura dengan nada tinggi.

Dia mengingat seorang lelaki asing yang tidur di sebelahnya ketika dia bangun tadi pagi. Dia teringat betapa berantakan kondisinya dan ceceran bajunya dimana-mana. Satu-satunya yang dia tidak ingat adalah kronologis bagaimana mereka berdua bisa berakhir tidur bersama. Karena dia tidak ingat, maka itu jelas bukan salahnya.

Terdengar helaan napas lega.

"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati Eijun."

"Oke. Aku akan mengabarimu kalau aku sudah sampai di apartemen."

Sambungan telepon itu pun terputus.

.

MIYUKI KAZUYA

Ketika dia terbangun, ranjang di sebelahnya sudah kosong, hanya menyisakan seprai yang awut-awutan, selimut yang tersingkap dan Miyuki Kazuya yang kondisinya kacau balau. Miyuki bangun perlahan dan mengusap wajahnya. Semua kejadian kemarin bisa diingatnya dengan jelas. Bagaimana ritme mereka ketika saling bercumbu, ketika mereka berusaha saling mendominasi. Miyuki tidak mau mengakuinya, tetapi pengalamannya bercinta dengan seorang lelaki untuk pertama kalinya setelah sekian lama cukup memuaskan.

Miyuki menyingkap selimutnya dan memakai pakaiannya yang berserakan. Entah siapa orang itu, dia bahkan tidak mau bersusah memunguti pakaian Miyuki dan menaruhnya di tempat yang layak. Miyuki menghela napas dengan sedikit kesal.

Setelah dia selesai berpakaian, dia mengecek semuanya lagi. Dompetnya dan isinya tidak ada satu pun yang dicuri. Uangnya tidak hilang dan kartu-kartu berharganya juga masih lengkap. Kunci mobilnya dan ponselnya.

Ketika Miyuki membuka ponsel, belasan panggilan tidak terjawab dari Kuramochi menghiasi layar depannya. Miyuki tidak repot-repot membalas panggilan temannya. Toh Kuramochi dan kawan-kawan yang lain pasti tahu mengapa Miyuki mendadak hilang di tengah acara dan tidak bisa dihubungi.

Setelah memastikan tidak ada benda yang tertinggal, Miyuki sudah bersiap meninggalkan kamar tersebut, tetapi matanya memandang sebuah kartu yang tergeletak di lantai. Sepertinya kartu itu tidak ada sebelumnya dan bukan milik kamar sewa ini. Miyuki menunduk dan mengambilnya.

Itu adalah sebuah kartu tanda pengenal dari universitas.

The University of Tokyo

Sawamura Eijun

Faculty of Science – Department of Mathematics

Lalu ada sebuah pas foto di kartu tanda pengenal itu. Seorang laki-laki berambut coklat tanah dengan mata sewarna emas. Di dalam foto itu dia tidak tersenyum, tetapi memasang wajah kaku dan datar ke arah kamera. Dia memakai kemeja putih yang terpotong di bagian dadanya. Miyuki Kazuya hanya mengangkat sebelah alisnya ketika membaca semua informasi yang tertera di kartu tanda pengenal itu. Dia memasukkan kartu itu ke dalam dompetnya.

"Selamat pagi," sapa si bartender.

"Pagi," kata Miyuki. "Aku mau membayar tagihan kemarin," katanya.

"Tagihan kamar sudah dibayar oleh lelaki yang sebelumnya pergi," kata si bartender.

Miyuki terlihat kaget. "Oh ya?"

Lelai yang menjadi bartender itu mengangguk. "Saya akan menghitung tagihan minuman Anda."

Pikiran Miyuki berputar-putar secara rumit mengenai lelaki misterius itu, yang sekarang namanya diketahui adalah Sawamura Eijun. Lelaki macam apa yang mau membayar seluruh biaya sewa kamar seorang diri? Dan lagi, dia pergi tanpa mengatakan apapun. Kalau saja dia tidak menjatuhkan kartu tanda pengenal itu, mungkin Miyuki Kazuya akan berpikir kalau dia adalah hantu. Datang sesaat, lalu pergi tiba-tiba juga tanpa meninggalkan jejak.

"Terima kasih," kata si bartender ketika Miyuki memberinya beberapa lembar ribuan yen.

Mobil Miyuki adalah satu-satunya mobil yang terparkir di lapangan parkir yang kemarin malam sangat-sangat ramai. Dia masuk ke dalam mobilnya, men-starter mesinnya dan menunggu beberapa saat agar panas sebelum memasukkan gigi dan menginjak gas.

Universitas Tokyo. Sawamura Eijun. Seseorang yang punya luka yang sama dengan Miyuki. Seseorang yang kesepian dan butuh orang lain untuk melengkapinya

Miyuki jadi penasaran dengan lelaki itu.

.

SAWAMURA EIJUN

Mau berapa kali tasnya diobrak-abrik pun, kartu tanda pengenalnya tidak ketemu. Dua orang satpam yang berjaga di pintu masuk dekat dengan tempat absensi hanya bisa menatap Sawamura bingung. Akhirnya, seorang satpam menghampirinya.

"Selamat pagi sensei," sapanya, "apa yang sedang Anda lakukan?" tanyanya.

Sawamura menatap si satpam. Wajahnya terdistraksi antara bingung, kesal, sebal, dan mau menangis. "Aku tidak bisa menemukan kartu tanda pengenalku," katanya.

Satpam itu juga terlihat sama bingungnya. Dia memasang mode berpikir, "apa Anda menjatuhkannya?" tanyanya, mencoba memberi solusi.

Sawamura masih berusaha mengobrak-abrik isi tasnya. Paper-paper penelitiannya, kertas-kertas perhitungan dan penyelesaian dari persamaan matematika kini tampak sedikit berantakan, padahal Sawamura sendiri yang susah payah menyusunnya menjadi rapi.

"Aku tidak tahu," kata Sawamura. Dia memejamkan mata. "Ah sial," gerutunya. Dia menatap satpam yang menghampirinya. "Aku akan mencoba mencarinya di dalam mobilku sekali lagi."

Sawamura kembali berjalan cepat menuju mobilnya. Dia kembali mengingat-ingat dimana dia menaruh kartu tanda pengenalnya terakhir kali. Apakah di dalam dompet? Di saku-saku tas? Atau di tas yang lain? Tapi Sawamura bahkan tidak berganti tas kerja selama hampir dua tahun!

Sebenarnya, kalau kartu tanda pengenal hilang bisa melapor untuk diproses dan membuat lagi. Namun, itu artinya Sawamura juga harus membayar denda yang tidak sedikit dan prosesnya sedikit lama. Dan lagi, kartu tanda pengenal itu benar-benar multifungsi. Bisa sebagai absensi, bisa dipakai untuk meminjam buku di perpustakaan, bahkan mengecek jurnal-jurnal ilmiah. Benar-benar efisien.

"Eijun?"

Suara itu menghentikan langkah Sawamura. Seorang teman seprofesinya menatapnya dengan tanda tanya. Rambutnya berwarna merah muda, poninya sudah dipotong sehingga kedua matanya yang tajam terlihat dengan jelas. Dia berperawakan kecil dan lebih pendek dari Sawamura. Tas kerjanya disandangnya.

"Haruo!" seru Sawamura.

"Kau sedang apa?" tanya Kominato.

Sawamura menghela napas lelah dan sedih. "Kartu tanda pengenalku hilang. Aku mau mencarinya di mobilku. Siapa tahu jatuh ke sela-sela jok," cerita Sawamura.

"Hilang? Memangnya terakhir kau taruh dimana?" tanya Kominato.

Sawamura terlihat tidak yakin dan berusaha mengingat-ingat dengan baik. "Di tas… mungkin…? Aku benar-benar lupa. Seharusnya kartu itu tidak pernah kutaruh sembarangan," keluhnya di akhir.

Kominato sedikit memiringkan kepalanya. "Kemarin kau habis meminjam buku di perpustakaan kan?" tanya Kominato sedikit mengingat-ingat.

Sawamura mengangguk. "Iya, dan aku taruh di… DI SAKU CELANAKU KEMARIN!" jeritnya di akhir.

Kominato Haruichi harus sampai mengingatkan Sawamura agar dia tidak berteriak-teriak di lapangan parkir. Apalagi mereka bukan lagi seorang mahasiswa, tetapi dosen.

"Eijun, kecilkan suaramu," katanya.

Sawamura menepuk jidatnya. "Aku benar-benar sial! CK! Sepertinya masih tertinggal di saku celanaku yang kemarin," gerutunya pada diri sendiri. Kenapa dia bisa begitu pelupa sih?

Sawamura menghela napas. "Terpaksa hari ini aku absen manual," katanya dengan lemas. Sawamura dan Kominato berjalan bersama menuju gedung fakultas sains.

"Bagaimana sensei?" tanya satpam yang tadi, "apa sudah ketemu di mobil Anda?"

Kominato melirik Sawamura, sementara temannya itu hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sepertinya tertinggal di apartemen," katanya, "maaf ya sudah membuat panik." Lalu dia tertawa hambar di akhir.

Satpam itu menarik napas lega. "Syukurlah kalau begitu. Kalau sampai hilang mengurusnya repot."

Kominato menuju lift terlebih dahulu sementara Sawamura ke bagian administrasi untuk absen secara manual. Beberapa mahasiswa yang berpapasan dengannya membungkuk hormat dan menyapanya sopan.

"Pagi," kata Sawamura di depan meja administrasi. Di sebelahnya ada seorang lelaki juga, sedang bicara dengan seorang staff.

"Ada perlu apa sensei?" tanya staff yang lain.

"Aku ingin absen manual," kata Sawamura.

"Dimana kartu Anda?" tanya staff tersebut.

Sawamura mengusap tengkuknya. "Sepertinya ketinggalan di apartemenku," jawabnya.

Staff tersebut tampak paham. "Baik, mohon tunggu sebentar."

Sawamura melirik lelaki yang sedang berbicara dengan staff tersebut. Lalu, si staff perempuan itu melihat Sawamura dan menunjuknya menggunakan ibu jari.

"Kebetulan sekali! Beliau adalah Sawamura Eijun-sensei."

Pandangan mereka bertemu. Lelaki yang sedang bicara dengan staff itu menoleh ke arah Sawamura dan ekspresinya tampak sedikit kaget. Sawamura sendiri hanya menatapnya bingung. Dia menatap lelaki itu. Dia tinggi, berambut model acak-acakan dengan warna coklat tanah, dan dia memakai kacamata. Untuk wajahnya, jujur saja, menurut Sawamura yang seorang laki-laki pun, dia mengakui bahwa lelaki itu tampan. Menilik dari gurat-gurat di wajahnya, Sawamura yakin bahwa dia pasti bukan mahasiswa program sarjana. Kemungkinan seorang mahasiswa program magister atau doktoral. Namun, wajahnya sangat asing di gedung fakultas ini.

"Ya? Ada yang bisa dibantu?" tanya Sawamura sopan.

Lelaki itu memperkenalkan dirinya. "Saya Miyuki Kazuya dan saya ingin mengembalikan kartu tanda pengenal Anda."

.

MIYUKI KAZUYA

"Tidak bisa datang pagi?" beo Kuramochi lewat sambungan telepon.

Miyuki Kazuya sedang mengelap lensa kacamatanya dan memakainya lagi. Dia memakai kemeja biru lengan panjang dan celana kain. Tampilannya sangat-sangat formal, sampai Miyuki merasa dia seperti akan mengikuti sidang skripsi di fakultasnya.

"Kenapa? Masih hangover?" tanya Kuramochi lagi.

"Tidak. Aku kan bukan kau yang minum dua gelas kecil sudah muntah-muntah," kata Miyuki dengan nada jail.

"Cih, sial kau!" gerutu Kuramochi. "Ya sudah, terserah kau mau datang kapan pun. Yang jelas kalau kau tidak menampakkan batang hidungmu, namamu akan dicoret dari pemegang proyek," ancamnya.

Miyuki pura-pura ketakutan. "Aduh, aku takut sekali. Kau benar-benar menyeramkan~" tambahnya di akhir.

"Setan kau!"

Lalu, sambungan telepon diputus sepihak secara kasar oleh Kuramochi. Temannya yang satu itu mulutnya memang seperti pelaut, suka sekali mengucapkan sumpah serampah. Namun, dia tetap teman yang baik bagi Miyuki, terlepas dari kontaminasi kata-kata kasar dan kotor yang sering diucapkannya.

Miyuki melirik kartu tanda pengenal yang dipungutnya di lantai kamar sewa kemarin. Hari ini dia berencana mengembalikan kartu itu kepada Sawamura Eijun, pemilik aslinya, sekaligus identitas lelaki yang tidur dengannya kemarin malam. Diambilnya kartu tanda pengenal itu dan ditaruhnya kembali di dalam dompet. Lalu, Miyuki Kazuya pergi keluar dari apartemennya dengan bersenandung.

.

Gedung Universitas Tokyo memang sangat-sangat megah. Wajar saja, Universitas Tokyo merupakan salah satu universitas terbaik di Jepang sekaligus di dunia. Banyak program beasiswa luar negeri yang ditawarkan, menjadikan area kampus merupakan campuran dari berbagai kultur di dunia. Bahasa resmi yang dipakai juga merupakan bahasa inggris.

Miyuki berjalan memasuki gedung mewah tersebut. Banyak mahasiswa-mahasiswa yang asyik duduk bergerombol dengan masing-masing membawa buku tebal dan berdiskusi seru. Majalah dinding ditempeli berbagai pemberitahuan mengenai konferensi ilmiah, seminar-seminar nasional maupun internasional, sampai olimpiade-olimpiade.

Berjalan masuk sepanjang koridor kampus selalu mengingatkan Miyuki semasa dia kuliah. Masa-masa yang penuh dengan campuran emosi. Suka, duka, kesal, sedih, capek, putus asa, sampai akhirnya lega dan berujung rindu. Miyuki bersyukur dia sudah menyelesaikan masa kuliahnya. Kuliah arsitektur benar-benar sebuah neraka berjalan dan membunuhnya selama 4 tahun.

Dia sampai di meja administrasi. Seorang staff sedang sibuk menatap layar komputer dan mengetik sesuatu di sana.

Miyuki berdeham. "Selamat pagi," sapa Miyuki.

Staff perempuan itu mendongak dan menyadari Miyuki sedang berdiri di balik meja. "Ya? Kalau jadwal para dosen, sudah dikirim e-mail ke masing-masing ketua prodi," katanya.

Miyuki mengerjap. "Ah bukan," katanya, "saya ingin bertemu dengan yang bernama Sawamura Eijun."

Staff itu berhenti mengetik dan berdiri. Dia menatap Miyuki. "Sudah buat janji sebelumnya?" tanyanya.

Miyuki menggeleng. "Saya hanya ingin mengembalikan kartu tanda pengenal ini. Disini tertulis namanya Sawamura Eijun dan dia berasal dari universitas ini dan fakultas sains," jelas Miyuki. Dia mengeluarkan kartu tanda pengenal yang sempat terjatuh itu. Si staff mengambilnya dan melihat keasliannya.

Lalu, si staff perempuan mengangkat pandangannya dan ibu jarinya menunjuk ke seseorang. Miyuki mengikuti arahannya, ke arah seorang lelaki yang juga berdiri di sebelahnya, sedang menunggu seorang staff.

"Kebetulan sekali! Beliau adalah Sawamura Eijun-sensei," katanya.

Berdirilah di sebelah Miyuki, persis di sebelahnya, lelaki yang tidur dengannya kemarin malam dalam kondisi mabuk. Hari ini penampilannya jauh lebih baik, bahkan Miyuki merasa orang yang kemarin bercinta dengan ganas dengannya adalah orang yang berbeda dengan yang hadir di sini. Dan lagi, Sawamura Eijun seorang dosen? WOW, itu adalah informasi baru untuk Miyuki. Miyuki malah mengira awalnya Sawamura adalah mahasiswa pascasarjana atau staff biasa.

Sawamura Eijun memakai kemeja formal berwarna coklat tua dan celana kain panjang. Kakinya dibalut sepatu pantofel yang sangat formal. Tas kerjanya di sandang di bahu kanannya. Rambutnya di sisir rapi dengan belah tengah. Wajahnya segar dan kesadarannya jernih. Dia menatap antara Miyuki dan staff perempuan itu bingung.

"Ya? Ada yang bisa dibantu?" dia bertanya dengan sopan.

Suaranya tidak begitu berat dan tidak begitu dalam. Suara itu terdengar berbeda ketika mabuk dan mendesah di atas ranjang. Suara yang ini sangat berwibawa dan penuh dengan ketatakramaan tingkat tinggi. Miyuki takjub bagaimana orang bisa berubah dalam sekejab menjadi orang lain.

Miyuki menarik napasnya. "Saya Miyuki Kazuya dan saya ingin mengembalikan kartu tanda pengenal Anda," kata Miyuki.

Mulut Sawamura sedikit terbuka dan matanya terbelalak. "Kartu… pengenalku?" tanyanya tidak yakin. Dia tampak bingung dan seperti tidak mengenal Miyuki. Si staff perempuan menyerahkan kartu tanda pengenal yang tadi diamatinya. Sawamura mengambil kartu itu dan matanya semakin terbelalak.

"Ini kartuku!" pekiknya senang. Dia menatap Miyuki, "dimana kau menemukannya?" tanyanya.

Miyuki bingung harus menjelaskan darimana. Dilihat dari gelagat Sawamura Eijun, Miyuki yakin bahwa dosen muda itu sama sekali tidak ingat kejadian kemarin malam.

"Sensei," panggil seorang staff lainnya. Dia menyerahkan sebuah buku catatan putih yang penuh dengan tulisan tangan yang acak, "silahkan."

Sawamura menyadari keberadaan staff itu. "Ah, tidak jadi," katanya, "ternyata kartuku sudah ketemu." Dia menunjukkan kartu itu ke arah staff. "Maaf merepotkan," katanya lagi sambil tersenyum minta maaf.

"Tidak masalah," kata staff, "syukurlah kalau kartu Anda sudah ketemu." Lalu, staff itu pamit untuk mengerjakan pekerjaan lain. Tinggal lah Miyuki berhadap-hadapan dengan Sawamura. Dia merasa harus menjelaskan sesuatu, tetapi tujuannya sudah tercapai dan tidak ada lagi alasan baginya untuk tetap berada di gedung universitas.

"Kalau kau tidak keberatan," kata Sawamura, "aku ingin mengucapkan terima kasih."

Miyuki mengikuti pengajar itu ke sebuah café yang menyediakan menu kopi. Mereka duduk di sebuah meja yang berisi dua kursi berhadapan di dekat jendela.

"Pertama, terima kasih sudah menemukan kartuku dan mengembalikannya," kata Sawamura sambil tersenyum. Ada sebuah senyum kelegaan yang luar biasa di wajah itu, "aku pikir aku harus membuat surat keterangan hilang dari kepolisian. Syukurlah itu tidak sampai terjadi," katanya.

Miyuki mendengus. "Ya, syukurlah."

Sawamura menatapnya. "Dimana kau menemukannya? Apakah terjatuh di jalan?" tanya Sawamura penasaran.

Miyuki mengamati setiap inchi dari wajah lelaki yang duduk dihadapannya. Ekspresinya benar-benar berbeda dengan kemarin malam. "Kau… benar-benar tidak ingat?" tanya Miyuki hati-hati.

Sawamura memandangnya semakin bingung. "Maaf, apa… uh… seharusnya aku ingat sesuatu?" tanya Sawamura dengan ragu.

Miyuki menimbang-nimbang apakah hal tepat memberitahu Sawamura apa yang terjadi kemarin malam dan mengapa kartu itu bisa sampai di tangan Miyuki. Namun, jika dia memberitahu Sawamura, lantas apa? Apa Miyuki sedang meminta pertanggungjawaban? Tidak juga. Kalau pun tidak diberitahu apa yang terjadi malam hari itu, tidak ada ruginya untuk mereka berdua.

Ada sesuatu di dalam diri Miyuki Kazuya yang sedang bergolak saat ini. Dia tidak bisa menjelaskannya dengan rinci saat ini, karena baru berupa percikan-percikan kecil yang mudah sekali padam. Sejujurnya, percikan itu bukan hal baru, tetapi sesuatu dari diri Sawamura membangkitkan lagi hal itu. Hal yang mereka bicarakan dan lakukan kemarin malam menjadi pemicunya.

Miyuki bertopang dagu. Ekspresinya dibuat tampak terluka dan kecewa. Sawamura hanya menatapnya ragu. Mungkin mengerjai dosen muda ini tidak masalah. "Wah, bagaimana ini? Setidaknya ingat wajah orang yang tidur denganmu semalam dong."

Sawamura Eijun dengan cepat memparadekan beberapa ekspresi dalam waktu singkat. Melongo seperti orang tolol, lalu dia tampak mencerna kalimat Miyuki, terkejut, dan berakhir dengan dia menggebrak meja dengan wajah yang syok. Beberapa pasang mata menatap ke arah mereka berdua, tetapi Sawamura tampaknya terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga mengabaikan mereka semua.

"A-Apa? Kau… kau…" ucapnya terbata-bata sambil menunjuk Miyuki dengan gemetar. Ekspresinya campur aduk antara bingung, dan tidak percaya. Mungkin memori Sawamura baru kembali pulih berkat kalimat Miyuki.

Dia menatap Miyuki. "Dimana kau temukan kartu pengenalku?" tanya Sawamura sengit. Keramahtamahan tadi benar-benar terenggut semua. Matanya menyipit seperti mata kucing.

Miyuki mengangkat bahunya santai, "Di lantai kamar. Kau pergi terlalu cepat dan terburu-buru sih," ujarnya.

Meja digebrak lagi dan kali ini wajah Sawamura memerah, seperti tomat. "Jangan bicara seperti itu keras-keras di sini," desisnya. Miyuki sama sekali tidak merasa terintimidasi. Dia mengamati setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh dosen muda itu dengan santai.

Sawamura Eijun tampak bergumul dengan pikirannya sendiri. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan tampak sedang berpikir keras, mungkin mengenyahkan rasa malu, rasa kesal, rasa kecolongan dan kecerobohan. Setelah dia cukup tenang dan berhenti bergumul sendirian, dia menatap Miyuki.

"Jadi, kau mau apa sekarang?" tanya Sawamura dengan nada tegas dan sedikit kasar. "Kalau mau pertanggungjawaban… well, aku sendiri tidak tahu apa yang harus kutanggung," katanya. Dia berdecak, "Tapi tetap saja aku merasa berterima kasih karena kau menemukan kartuku," gerutunya. Miyuki tidak tahu apakah rasa terima kasih itu benar-benar tulus. Dia masih terlihat gusar.

Sebagai balasan, Miyuki tersenyum manis dan Sawamura semakin siaga melihat senyuman Miyuki. "Tapi aku juga harus berterima kasih padamu," kata Miyuki. Sawamura memandangnya penuh perhitungan. "Kau membayar kamar sewa kita semuanya, dan membuatku tidak perlu keluar uang lagi."

Sawamura hanya meringis mendengarnya. "Soalnya kurasa sebagian besar itu juga kesalahanku," katanya. Lalu dia menghela napas, "aku memang paling payah kalau soal mabuk seperti ini." Dia mengusap wajahnya. Lalu, dia menatap Miyuki. Pandangannya tegas, seperti guru BK yang siap menyidang Miyuki setiap kali dia bolos sekolah. "Sebaiknya kita berdua lupakan saja apa yang terjadi semalam."

Suaranya tegas dan jelas. Tidak ada setitik keraguan di dalam suaranya. Miyuki tidak langsung bereaksi. Dia mencerna dalam-dalam setiap kata yang diucapkan dosen matematika ini. Sawamura ingin melupakan segalanya, dia menganggap apa yang terjadi di malam hari itu sama sekali tidak berarti apapun. Seolah tidak pernah terjadi apapun di antara mereka.

Seharusnya Miyuki juga bisa melakukan hal sama dan sebenarnya dia hendak melakukan hal sama. Melupakan apapun yang terjadi di malam hari, di bawah pengaruh alcohol. Hanya saja, dia tidak bisa melupakan hal itu setelah dia menemukan kartu identitas Sawamura. Dia tidak bisa mengabaikan apapun, apalagi setelah mereka telah berbagi luka hati.

"Kita berdua sama-sama tinggal di atas kuburan. Itu adalah yang kau sampaikan semalam," kata Miyuki.

Sawamura tampak tidak nyaman ketika topik mengenai semalam dibahas. Dia terus melirik ke kiri dan kanan seolah pembicaraan mereka akan terdengar dan disiarkan di seluruh kampus.

"Dengar, jangan membahas masalah seperti itu di sini. Ini tempat kerjaku," katanya. Dia mengecek arloji dan mendesah. "Kalau kau masih mau membahasnya, kita bisa bertemu di Starbucks dekat stasiun jam 3 sore nanti. Aku harus mengajar sekarang. Bagaimana?" tanya Sawamura.

Miyuki juga mengecek arlojinya dan dia sadar bahwa dia harus kembali ke firma secepatnya atau Kuramochi akan mengamuk. "Aku juga harus kembali," katanya. Sawamura membereskan tasnya dan mengeluarkan uang untuk membayar minuman mereka berdua. "Aku minta nomor teleponmu," kata Miyuki.

Sawamura menatapnya bingung. "Untuk apa?" tanyanya.

Miyuki menghela napas tidak sabar. "Tentu saja untuk menghubungimu. Bagaimana nanti aku mau menghubungimu setelah sampai di Starbucks?"

"Kau sudah tahu namaku, sudah tahu tempat kerjaku, dan itu tidak cukup?" tanya Sawamura.

"Sudah sewajarnya orang janjian bertukar nomor telepon," kata Miyuki.

Sawamura mengalah. "Mana ponselmu?" tanyanya. Miyuki memberikan ponselnya dan Sawamura mengetikkan nomornya. "Aku sudah menyimpan nomorku di sini," katanya sambil mengembalikan ponsel Miyuki.

Miyuki mengambil ponselnya dan mencari kontaknya yang bernama Sawamura. Lalu, dia menelepon nomor tersebut. Tak berselang lama, ponsel Sawamura berbunyi dan dia sedikit bingung menatap nomor tersebut. "Itu nomorku," kata Miyuki sambil mematikan sambungan telepon mereka. Sawamura menatapnya antara geli dan tidak percaya. "Aku harus memastikan kau tidak salah memasukkan nomor. Lagipula, kau harus punya nomorku juga."

Sawamura mendengus. "Ya terserahlah. Sekarang, aku bisa pergi? Ada kelas yang harus kuajar."

Miyuki merentangkan tangan. "Silahkan, sensei."

.

SAWAMURA EIJUN

Kepala Sawamura terasa sangat kosong ketika dia berjalan menuju kelas yang harus diajarnya. Pagi ini adalah pagi paling tidak terduga yang pernah dialami oleh Sawamura. Kondisinya sama seperti menghadapi sebuah soal sulit dengan faktor x yang tidak terduga. Faktor tersebut tidak disangka-sangka oleh Sawamura sehingga dia bingung cara menghadapinya.

Ini bukan pertama kalinya Sawamura mabuk dan berakhir tidur dengan orang tidak dikenal. Namun, seperti biasa yang dia lakukan adalah melupakan mereka, karena tidak saling kenal. Tidak ada alasan bagi Sawamura untuk mengenal orang asing yang tidur dengannya. Mereka tidak penting untuk diingat.

Bisa-bisanya aku masih membawa kartu identitasku saat masuk ke bar, batinnya sedikit menyesal. Biasanya dia selalu menaruh semua yang berkaitan dengan identitasnya di dalam mobil untuk mencari aman. Mungkin malam itu hatinya benar-benar sedang kalut sehingga ia dengan ceroboh masih mengantongi kartu identitasnya. Kebetulan sekali, dia tidur dalam kondisi masuk dan kebetulan pula kartunya jatuh.

Sungguh kesialan beruntun.

Sawamura hanya setengah mengingat pemuda bernama Miyuki Kazuya itu. Dia masih ingat berada di bar, minum bergentong-gentong brandy sampai dia yakin lambungnya tidak kuat lagi dan bertukar sapa dengan orang asing yang duduk di sebelahnya. Apakah orang asing itu adalah Miyuki Kazuya atau bukan, dia tidak bisa ingat. Atau dia bertemu Miyuki secara kebetulan di lantai atas klub malam, dia juga tidak bisa mengingatnya. Sawamura bahkan sudah lupa apa yang dibicarakannya dengan orang asing di bar tersebut.

Dia berhenti berjalan. Pintu kelasnya masih tertutup, tapi Sawamura bisa mendengar suara percakapan dari balik pintu kayu tersebut. Dia menarik napas sebelum membuka pintu. Dia harus mengosongkan dan menyingkirkan semua pikirannya mengenai Miyuki Kazuya atau apapun yang terjadi semalam. Dia harus menjadi professional selama 100 menit ke depan.

Dia membuka pintu kayu tersebut dan dengungan percakapan berhenti. Kelas itu adalah kelas yang berbentuk undakan-undakan hingga ke atas. Sawamura dapat melihat seluruh mahasiswanya tanpa terkecuali dan kelas pagi ini hanya diisi oleh setengah dari seharusnya. Biasanya kelas akan penuh ketika menjelang waktu ujian.

"Selamat pagi," katanya. Dia berdiri di mimbar yang telah disediakan untuk para dosen. Laptop milik fakultas sudah tersedia dan Sawamura mulai membuka presentasinya. Barulah, dia mulai mengajar.

Matematika adalah bagian hidup dari seorang Sawamura Eijun. Dia mulai menyukai ilmu matematika sejak dia berhasil memecahkan persamaan pecahan di kelas 3 SD. Matematika tidak seperti ilmu lainnya, karena semua persamaan dan pertanyaan selalu memiliki jawaban. Jawaban matematika mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Rumus matematika sebenarnya sederhana, hanya saja aplikasinya seolah membuat pertanyaan itu tampak sulit. Namun, jika bisa menguraikan satu per satu dari masalah, penyelesaiannya sudah di depan mata. Perasaan itulah yang selalu dicari oleh Sawamura.

Tenggelam dalam matematika berarti kepastian. Sawamura sangat menyukai segala hal yang absolut. Kepastian dibutuhkan di dalam hidup, padahal hidup sendiri bersifat fluktuatif dan dapat berubah-ubah seperti gulungan ombak di laut. Untuk mengimbangi ketidakpastian itu, Sawamura bisa melarikan diri ke dalam ilmu matematika. Di sana adalah zona nyamannya, sebuah persamaan yang memiliki kepastian.

Mengerjakan sebuah soal matematika itu tidak ubahnya seperti menyusun sebuah puzzle. Menguraikan semua kepingan-kepingan variable yang ada, mulai menyusun satu per satu variable dan memasukkannya ke dalam persamaan-persamaan, sehingga terbentuklah sebuah jawaban yang tidak akan berubah. Hasil yang merupakan kepastian. Sawamura kecanduan oleh perasaan itu. Dia tidak bisa berhenti menguraikan berbagai persamaan matematika.

Kelas selesai setelah 100 menit berlalu. "Jangan lupakan kita akan ada kuis minggu depan," katanya. Dia kembali membereskan isi tasnya, begitu pula dengan mahasiswanya. Satu per satu dari mereka mulai turun dari tempat duduk masing-masing dan keluar kelas. Beberapa menunduk hormat ketika melewati Sawamura.

"Sensei, kuis yang kemarin saja terlalu susah," kata seorang mahasiswa perempuan ketika hendak keluar kelas. "Aku sudah berusaha menguraikan persamaannya, tapi tetap tidak menemukan hasilnya. Apa besok kuisnya akan seperti itu lagi?" tanyanya.

"Mungkin kau harus melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Aku selalu bilang bahwa penyelesaian matematika–"

"–tidak hanya melalui satu jalan, tetapi hasilnya adalah absolut. Iya, Sensei selalu mengatakan hal itu," Mahasiswa itu menyelesaikan kalimat Sawamura. "Tapi aku masih belum bisa mengaplikasikannya."

Sawamura hanya tersenyum tipis. "Kau tidak bisa terburu-buru. Semakin kau terburu-buru, semakin banyak kesalahan yang kau lakukan. Kau akan semakin tidak teliti. Disitulah kelemahanmu. Kau terlalu terburu-buru. Hasilnya tidak akan berubah, jadi jangan terburu-buru."

Mahasiswa itu tampak merenung sebelum akhirnya mengangguk. "Saya paham. Saya akan coba lagi untuk mengerjakan persamaan matematika. Kali ini, tidak akan terburu-buru. Terima kasih sensei." Lalu, dia keluar dari kelas.

Setelah tidak ada lagi mahasiswa yang di dalam kelas, barulah Sawamura keluar. Dia masih banyak jadwal mengajar, lalu dia juga masih harus menyelesaikan essai dan persamaan matematikanya. Untuk sesaat yang sibuk, masalah kemarin malam terlupakan begitu saja dari otaknya.

.

Unknown Number: Kau dimana? Gelas kopi keduaku sudah hampir habis.

Sawamura hampir tersedak ludahnya sendiri ketika membaca pesan tersebut. Dia tidak perlu tahu siapa pemilik nomor tidak dikenal yang menghubunginya, karena ingatan Sawamura bagaikan kembali seperti air bah.

"Kau kenapa?" tanya Haruichi yang bingung karena ekspresi Sawamura seperti habis melihat hantu.

"Aku lupa kalau sore ini ada janji bertemu dengan orang," katanya. Mereka sedang mengobrol santai di salah satu meja istirahat di Ruang Kerja milik Sawamura.

"Oh? Mahasiswamu? Tumben sekali."

Sawamura hanya mengangguk dan membereskan tasnya. "Banyak persamaan yang harus kuselesaikan, jadi aku lupa." Dia tidak mau memberikan detail apapun pada Haruichi. Kominato junior itu memang teman dekatnya sedari dulu, hanya saja dia tidak mau memberitahu hal memalukan seperti tidur dengan sembarang orang, sampai insiden kartu identitasnya. Sudah cukup selama ini telinganya setengah tuli mendengar ceramah Haruichi. Pokoknya, Sawamura akan menyelesaikan masalahnya sebelum Haruichi curiga.

"Aku duluan ya," katanya. Dia keluar dari ruangannya sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya.

Baru selesai mengajar. OTW.

Sawamura sedikit berlari menuju Starbucks. Dia tidak terbiasa terlambat ketika berjanji dengan seseorang, termasuk dengan para muridnya. Tasnya berayun-ayun mengiringi langkah kaki Sawamura yang berlari.

Dia membuka pintu Starbucks dan matanya mencari sekeliling untuk melihat orang yang familiar. Miyuki Kazuya sedang duduk di salah satu kursi sofa sambil mengerjakan sesuatu di laptop-nya. Sawamura mengatur napas sebelum menuju lelaki tersebut.

Harus Sawamura akui, Miyuki Kazuya itu tampan. Di lihat dari segala sisi, dia tampan. Rahangnya tajam, kokoh, dan sudutnya sempurna. Matanya besar, tajam, sekaligus tampak jenaka di waktu bersamaan. Kacamata yang dia kenakan tidak mengurangi ketampanannya, malahan menambah daya tariknya. Rambutnya yang berwarna hitam malam itu disisir rapi dan poninya diangkat baik. Postur tubuhnya juga bagus, Sawamura yakin dia rajin berolahraga untuk menjaga tubuhnya tetap sempurna.

Kalau dipikir-pikir, dia sedikit menang banyak juga bisa tidur dengan Miyuki Kazuya meski dalam kondiri mabuk berat. Segera Sawamura enyahkan pikiran memalukan itu dari kepalanya. Ketika dia sudah cukup dekat, Miyuki mendongak menatapnya. "Kupikir kau tidak akan datang. Untung saja aku sudah menyimpan nomormu."

Sawamura mendengus dan duduk di depan Miyuki. "Kalau kau memang sibuk, kita bisa batalkan saja." Dan tidak usah bertemu lagi untuk selamanya, lanjutnya dalam hati.

"Tidak, ini sudah selesai," kata Miyuki. Dia terfokus pada laptopnya sebentar lalu kemudian menutup layarnya. "Oke, sekarang kita bisa bicara. Apa kau mau pesan minum dulu?"

Sawamura menggeleng. "Aku masih tidak tahu apa lagi yang masih harus dibahas. Bukankah tadi pagi kita sudah membahas semuanya?"

Miyuki menatapnya dengan matanya yang berkilat. Entah apa yang dipikirkan olehnya, tapi Sawamura yakin bahwa itu adalah sesuatu yang merepotkan. "Masih ada yang harus dibahas, Sensei."

"Panggil saja aku Sawamura," kata Sawamura.

"Sawamura-san," ralat Miyuki. "Nah, kau yakin tidak mau minum dulu?" tanyanya lagi.

"Jangan berbelit-belit. Katakan saja apa yang mau kau bahas."

"Tidak sabaran, persis seperti di atas ranjang," komentar Miyuki ringan.

Sawamura hampir menggebrak meja mereka lagi. Wajahnya panas karena malu dan kesal. Kenapa Miyuki harus membahas hal itu terus-menerus? "Itu yang mau kau bahas? Masalah… itu…" Bahkan Sawamura tidak sanggup mengucapkannya keras-keras tanpa merasa malu.

"Tidak, tentu saja. Aku hanya menggodamu saja. Reaksimu menarik," ujar Miyuki sambil menyeringai.

Sawamura menghitung sampai sepuluh untuk menghilangkan kekesalannya. Ada yang salah di dalam otak Miyuki, dia yakin. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa sesantai itu membahas mengenai kesalahan satu malam tanpa beban? Kenapa pula Miyuki tampak tidak mau melupakan hal itu begitu saja? Dia menatap wajah tampan itu dan menurut Sawamura ketampanannya berkurang karena Miyuki ternyata menyebalkan.

"Apa yang mau kau bahas, Miyuki-san?" tanya Sawamura pelan dan penuh penekanan. "Hentikan saja basa-basi ini."

Miyuki menyerah. Dia menatap Sawamura. "Aku tahu bahwa kau berpikir bahwa lebih baik melupakan kejadian semalam. Itu pilihan mudah. Tapi, apa kau tidak ingat apa yang kau katakan sebelumnya padaku? Ketika masih di bar?" tanya Miyuki. Ekspresinya serius.

Sawamura mengernyit. Dia saja tidak ingat pernah bertemu Miyuki, sekarang lelaki itu memintanya untuk mengingat sesuatu yang mustahil. "Pertama, sebelum aku bertemu denganmu, aku sudah minum banyak sekali alcohol. Jadi, apapun yang aku katakan, jelas itu melantur. Anggap saja itu orang lain."

Miyuki menatapnya dan sebelah alisnya terangkat. "Begitu, kau tidak ingat apapun. Apa kau juga tidak ingat mengatakan bahwa kita berdua orang yang menyedihkan karena ditinggal mati kekasih?"

Dada Sawamura terasa mencelus. Rasanya ada yang mengeluarkan jantungnya secara paksa dan meninggalkan sebuah rongga hampa yang tidak mampu berdetak. Tubuhnya terasa berat dan tampak ringan sekaligus. Benarkah dia mengatakan hal itu? Tentang kematian kekasihnya? Tentang kesedihannya? Benarkah?

"Aku… mengatakan hal itu…?" tanyanya lemah.

"Kurang lebih begitu. Sebenarnya kau berusaha menebakku dan tebakanmu benar. Selamat," jawab Miyuki datar.

Sawamura mengerjap. Kesadarannya yang sempat melayang belum sepenuhnya kembali. "Maaf, aku tidak paham. Apa yang… Apa yang aku katakan saat mabuk, itu yang mau kau bahas?" Sawamura membenarkan posisi duduknya. Mendadak dia merasa ingin kabur dari tempat itu. "Apa… kau tersinggung? Aku banyak mengatakan hal yang tidak mengenakkan saat mabuk dan aku tidak ingat. Aku minta maaf," kata Sawamura.

Miyuki melambai. "Tidak, bukan masalah itu. Santai saja. Kemampuan analisismu hebat, ngomong-ngomong. Sudah kepikiran untuk membuka kantor detektif?" tanya Miyuki.

Sawamura mengabaikan lelucon konyol itu. Dia masih berputar-putar di kalimat bahwa dia mengatakan kekasihnya meninggal dan juga kekasih Miyuki… barulah dia tersadar. Rupanya mereka bisa bertemu dalam keadaan senasib di dalam bar. Sawamura mendengus. Takdir macam apa lagi ini?

"Sebenarnya, apa yang kau katakan saat itu adalah sesuatu yang menarik. Setelah bagian 'ditinggal mati'. Kau mengatakan kita bisa menjadi pelipur lara untuk satu sama lain."

Satu per satu bagian mulai memasuki otak Sawamura. Bagaikan sebuah persamaan, dia seperti bisa melihat hasil akhirnya. Dia mulai paham ke arah mana pembicaraan Miyuki ini. Memang, pembicaraan ini tidak bisa dilakukan sebentar. Dan dia bersyukur bahwa saat ini mereka berdua tidak sedang ada di lingkungan kampus.

"Aku paham maksudmu," kata Sawamura. "Jadi masalah ini yang mau kau bahas denganku. Sebelum kita lanjut, aku ada pertanyaan untukmu, Miyuki-san. Apa kau selalu membahas hal yang sama pada setiap orang yang kau tiduri?" tanyanya.

Miyuki tampaknya sedikit terkejut mendapat pertanyaan blak-blakan seperti itu. Jadi, dia tidak langsung menjawab. "Sejujurnya, tidak. Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu."

"Kalau begitu, kenapa menginginkannya sekarang? Kenapa aku?" tanya Sawamura.

Miyuki mengangkat bahu. "Tidak ada alasan khusus."

"Jadi kalau malam itu yang bertemu denganmu bukan aku, apa kau akan membahas hal yang sama juga?" tanya Sawamura.

"Tidak." Jawaban itu keluar cepat dari mulut Miyuki.

Sawamura mengernyit bingung. "Kata-katamu tidak masuk akal. Semuanya tidak pas. Kau bilang tidak ada alasan, tapi kau juga tidak memilih sembarang orang. Ini tidak masuk akal." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Itu tidak benar," gumamnya pelan.

Tidak seperti persamaan matematika yang memiliki nilai mutlak, hubungan manusia dan manusia memiliki banyak kemungkinan. Karena itu, Sawamura tidak suka pada semua kemungkinan abu-abu yang membuatnya bingung. Dia tidak suka merasa kebingungan.

Miyuki mendesah. "Kau terlalu banyak berpikir, Sawamura-san," katanya. "Sederhananya, mungkin karena kita senasib. Kalau orang lain yang waktu itu aku temui, mungkin dia tidak akan mengerti perasaanku. Tapi kau berbeda. Kau yang mengatakan kita senasib dan aku setuju padamu. Karena itu aku ingin membahas itu denganmu. Kau tahu apa yang kurasakan seperti aku tahu perasaanmu. Ini akan membuatnya jauh lebih mudah."

Dia benar-benar tidak habis pikir. Bisa-bisanya ada orang yang mempunyai pemikiran aneh seperti itu. Jadi kenapa kalau mereka ternyata sama-sama menderita kehilangan? Duka Sawamura tidak bisa dipukul rata dengan duka Miyuki. Miyuki tidak tahu apa yang terjadi padanya dan dia pun tidak tahu apa yang terjadi pada Miyuki. Hanya satu pertemuan di malam hari dalam kondisi mabuk seharusnya tidak beruntun panjang seperti ini. Sawamura yakin bahwa masih banyak orang di luar sana yang juga menderita karena duka.

Sawamura menggeleng. "Bagaimana caramu mengatakan duka seseorang sama dengan yang lain? Itu berbeda. Jangan menyamaratakan penderitaan!" Sawamura berdiri. Irisnya berkilat marah. "Pembicaraan ini telah selesai! Semoga kita tidak bertemu lagi." Lalu, dia keluar dari Starbucks dengan langkah lebar-lebar, meninggalkan Miyuki seorang diri.

.

Sawamura melempar sembarang tasnya di sofa ruang tamu di apartment-nya. Dia kembali ke kediamannya dalam keadaan gusar, apalagi setelah percakapan aneh dari Miyuki. Apa-apaan pria itu? Dia saja tidak kenal Miyuki sebelumnya, mereka hanya bertemu satu kali, lalu Miyuki malah mengajukan permintaan aneh seperti itu? Dunia memang dipenuhi oleh orang-orang gila.

Dia berjalan ke dapur untuk mengambil satu bir kaleng dari dalam kulkas dan langsung meneguknya. Rasa tajam bir memenuhi seluruh lambung Sawamura sehingga dia menjadi sedikit rileks. Dia berjalan ke meja makannya dan duduk di sana sambil menyandarkan punggungnya ke punggung kursi. Dia menatap langit-langit dapurnya yang tidak menarik sama sekali.

Ponselnya berdering di saku celananya dan ada sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenalnya, lagi. Tanpa dia membuka pesan itu, dia sudah tahu bahwa Miyuki Kazuya-lah yang menghubunginya. Dengan malas, dia membuka pesan tersebut.

Unknown Number: Maaf aku membuatmu marah seperti itu. Aku tidak bermaksud aneh atau buruk. Pikirkanlah tawaranku.

Sawamura mendengus. "Kau sudah jadi orang aneh bagiku," katanya. Tentu saja dia tidak mengetiknya. Dia tidak membalas pesan dari Miyuki juga. Namun, dia menyimpan nomor Miyuki dengan nama 'Orang Aneh' di daftar kontaknya. Dia menghabiskan birnya dan meremas kaleng tersebut sebelum di buang ke tempat sampah.

Setelah itu, Sawamura mengambil tas kerjanya dan dia menuju sebuah meja di ujung ruang tamu yang merupakan Ruang Belajar-nya. Ada beberapa rak buku berisi buku-buku matematika dan kumpulan soal-soal, baik yang telah selesai dikerjakan maupun yang masih dalam proses pengerjaan. Dia mengeluarkan kertas-kertas hasil perhitungannya dan dijajarkan di atas meja. Dia akan mulai mengerjakan persamaan lagi.

Mengerjakan persamaan matematika selalu memberinya ketenangan yang tidak bisa didapatkan dari hobi yang lain. Konsentrasinya penuh sehingga dia tidak bisa memikirkan hal lain dan itu menyenangkan. Dia hanya harus fokus pada angka-angka di depannya serta mencari jalan keluar untuk semua pertanyaan. Dunia dia atas kertas jauh lebih mudah dihadapi dibandingkan dunia nyata. Di dalam matematika, semua ada jawabannya. Bilangan-bilangan yang bermunculan pun terbatas. Sawamura bisa mengendalikan semuanya di atas kertas persamaan.

Namun, dunia luar tidak seperti itu. Terlalu banyak faktor x yang tidak bisa dikendalikan. Terlalu banyak kebetulan, kejutan dan pembuktian hipotesis yang melenceng. Emosi manusia tidak bisa disamaratakan dengan bilangan 0 dan 1. Tidak sesederhana itu.

Penanya terus menggores persamaan-persamaan baru di atas kertas tersebut. Setiap dia berhasil menyelesaikan sebuah persamaan, dia akan beralih ke persamaan lain dan lagi hingga hasil yang diinginkannya keluar. Sawamura yakin bahwa perhitungannya tidak salah. Dia tidak pernah salah menghitung. Matematika terlalu mengasyikkan untuk berbuat kesalahan. Tidak, Sawamura bukan orang ceroboh seperti itu.

Tapi kau ceroboh malam itu. Kau membiarkan seseorang mengetahui identitasmu.

Tulisan Sawamura berhenti. Entah mengapa, di tengah-tengah keasyikannya dalam mengutak-atik persamaan matematika, sebuah pikiran dunia nyata memasuki kepalanya. Dia mengerjap. "Jangan pikirkan," katanya pada diri sendiri. Dia kembali melihat coretannya yang sudah setengah jalan. Dia sudah hampi menyelesaikan satu persamaan lagi. Dan seharusnya, ini adalah waktu sakral bagi Sawamura. Seharusnya tidak boleh ada pikiran tentang hal lain selain matematika yang memasuki kepalanya ketika dia sedang menyelesaikan persamaan.

Dia kembali mengenyahkan pikiran tersebut dan berfokus pada matematika. Jika dia terus konsentrasi, maka dia tidak akan ada waktu untuk memikirkan hal lain, terutama memikirkan Orang Aneh yang ditemuinya pagi ini.

Terima saja tawarannya. Kau juga kesepian. Tidak ada ruginya.

Sawamura melepaskan penanya. Dia memijit pangkal hidungnya. Menguap sudah keinginan untuk menyelesaikan persamaan di hadapannya. Dia tidak lagi mau mengerjakan apapun. "Apa-apaan…" gumamnya.

Apa karena dia minum bir sebelum bekerja, karena itu pikirannya sedikit melantur. Namun, dia terbiasa dengan bir sambil bekerja, jadi seharusnya itu bukanlah sebuah masalah. Dia terbiasa duduk di depan meja sambil terus mengerjakan persamaan hingga lupa waktu. Biasanya Haruichi yang akan meneleponnya untuk berhenti sejenak dan mengajaknya jalan keluar. Namun, kali ini Sawamura bahkan tidak bisa fokus.

Akhirnya dia tidak lagi menyentuh persamaan setengah jadi itu. Dia berjalan menuju balkon apartment-nya dan membiarkan angin sepoi-sepoi membelainya. Dari unit tersebut, suara lalu lintas Tokyo terdengar sangat jauh, seperti Sawamura hidup di daerah yang berbeda. Seperti menonton kehidupan orang lain dari balik layar televisi. Langit sudah mulai menggelap dan semburat jingga bercampur nila dan ungu menghiasi Tokyo. Gedung-gedung tinggi berkilau di timpa sinar mentari sore. Pemandangan yang jarang diapresiasi oleh Sawamura.

Dia berdiam diri cukup lama di balkon apartment-nya. Salah satu keuntungan hidup sendiria adalah dia bebas melakukan apa saja. Tidak perlu membuat makan malam karena Sawamura tidak merasa lapar. Tidak perlu memikirkan bahwa udara dingin bisa masuk ke apartment-nya karena dia membuka balkon. Jadi, dia terus menatap sibuknya Kota Tokyo sampai dia merasa bosan.

Dia kembali memikirkan hari ini. Hari yang seharusnya berjalan normal, tapi karena seseorang, dunia Sawamura cukup terguncang. Miyuki Kazuya, Sawamura memikirkan laki-laki yang sama sekali tidak diingatnya. Dia tidak ingat bertemu dengan Miyuki di Klub Malam, tidak ingat bicara dengannya, oversharing kisah cintanya yang menyedihkan, apalagi sampai tidur dengan lelaki itu. Bahkan, ketika Sawamura bangun di pagi harinya, dia tidak benar-benar melihat wajah Miyuki yang masih tidur. Dia pergi secepat yang dia bisa. Dia segera melupakan semuanya.

Benarkah mereka senasib? Apakah hanya itu alasan Miyuki mengajukan hal tidak masuk akal itu? Mungkin Miyuki mengingat setiap detailnya, tapi Sawamura tidak. Dia tidak merasa bahwa orang yang bicara dengan Miyuki adalah dirinya.

Pelipur lara satu sama lain.

Kalimat itu terngiang-ngiang terus di dalam benak Sawamura. Benar, Sawamura tidak memiliki pasangan. Dia bebas tidur dengan siapapun, meskipun terkadang dia terlalu malas untuk menyalurkan kebutuhannya. Atau terkadang dia minum terlalu banyak dan berakhir di atas ranjang dengan entah-siapa-yang-tahu. Sawamura kembali berpikir.

Jika dia menerima tawaran Miyuki, jelas kedua belah pihak diuntungkan. Kapan pun, dimana pun, Sawamura bebas menghubungi Miyuki, begitu pula dengan Miyuki. Dia tidak harus takut tidur dengan sembarang orang, atau mencari-cari orang yang mau tidur dengannya. Dia tidak harus keluar uang untuk pergi ke bar dan kadang berakhir gagal. Semua itu tidak diperlukan.

Kalau dipikir-pikir, penawaran itu tidak sepenuhnya aneh dan mustahil. Mungkin Miyuki mempertimbangkan asal-usul Sawamura (karena kartu identitasnya tertinggal) dan lebih baik bersama dengan kenalannya daripada orang yang tidak dikenal. Kalau dilihat dari penampilan Miyuki, Sawamura bisa menebak pekerjaannya, mungkin seorang Arsitek atau Insinyur. Setidaknya, bukan orang dengan asal-usul tidak jelas.

Dan tidak bisa Sawamura pungkiri, perasaan mendamba untuk disentuh dan menyentuh itu begitu kuat. Ada malam-malam sepi yang membuatnya meringkuk dan merindukan seseorang untuk tidur di sebelahnya. Dia yakin, Miyuki juga merasakan hal yang sama. Malam-malam sepi itu menyerang semuanya tanpa pandang bulu.

"Aku pasti sudah gila…"

.

MIYUKI KAZUYA

Ketika ponselnya berdering, Miyuki mau tidak mau tersenyum. senyumnya semakin lebar ketika melihat siapa orang yang menghubunginya.

Sawamura: Bisa kita bertemu? Aku mau membahas mengenai penawaranmu.

Miyuki hampir saja bersorak kegirangan mendapati pesan dari Sawamura. Untunglah dia memutuskan untuk bersabar dan memberi waktu hingga Sawamura yang akhirnya menghubunginya. Memang butuh waktu dua hari, tapi ini jelas bukanlah sebuah penolakan.

"Oi, mau makan siang?" tanya Kuramochi.

Miyuki mengangkat kepalanya dari layar ponsel. Dia belum membalas pesan Sawamura. "Ah maaf, aku ada janji makan siang," katanya.

"Dengan klien?"

Miyuki mengangguk asal. "Begitulah," jawabnya. Dia mengetikkan balasan.

Miyuki: Kau kosong siang ini? Mau makan siang bersama sambil membahasnya?

Dia tidak berharap Sawamura langsung membalas atau menyetujuinya, namun sepertinya hari itu memang hari keberuntungannya.

Sawamura: Oke. Makan siang dimana?

Miyuki mengetikkan balasannya sambil berdiri. Dia mengambil dompetnya dan mengantongkannya di saku celana bahannya. "Mochi, aku pergi dulu!" serunya sambil berjalan keluar dari firma tersebut.

"Kemana Miyuki?" tanya Ono yang baru dari toilet.

Kuramochi mengangkat bahu. "Katanya makan siang bersama klien."

"Klien?" tanyanya bingung,

"Mana kutahu. Si Tuan Sempurna itu kan banyak janji dengan klien."

Ono memperhatikan Miyuki yang menghilang dari pintu firma. "Makan siang bersama klien tapi tidak membawa laptop dan desain-desainnya? Aneh."

"Dia memang aneh."

.

Sawamura sudah menantinya ketika Miyuki memasuki restoran. Dia berpenampilan rapi seperti terakhir kali mereka bertemu. Rambutnya yang berwarna coklat tua, bahunya yang lebar dan bidang dan posturnya yang tinggi. Tubuhnya cukup terbilang atletis meskipun pekerjaannya adalah dosen. Mungkin Sawamura rutin gym untuk menjaga bentuk tubuhnya. Miyuki akan menanyakan hal itu, mungkin.

"Maaf aku terlambat," kata Miyuki sambil duduk di depan Sawamura. Ada satu gelas air mineral yang sudah habis setengah di depan meja Sawamura.

"Aku belum memesan apa-apa," katanya.

"Kita bisa memesan makan siang dulu. Tidak perlu terburu-buru. Kau tidak ada kelas yang harus diajar?" tanya Miyuki.

Sawamura menggeleng. "Tidak. Aku punya banyak waktu luang," katanya. Sawamura mengambil buku menu dan mulai melihat-lihat menunya. Miyuki memperhatikan setiap gerakannya.

Sawamura tidak lagi bergerak gelisah atau gugup. Hari ini dia terlihat tenang dan percaya diri. kilatan di matanya pun tidak menunjukkan kegugupan atau pun ketergesaan. Seolah dia sudah memiliki banyak waktu untuk berpikir dan saat ini dia sedang memainkan perannya dengan sempurna.

Miyuki merasa tidak mau kalah. Jadi, dia juga berusaha untuk tenang dan mengambil buku menu di depannya. Dia menatap menu-menu yang berjajar dan dia tidak bisa berkonsentrasi karena terus-menerus menatap Sawamura yang masih serius menatap buku menu dan membaca. Dia tidak bisa menghapus bayangan pemuda itu ketika di bawah Miyuki, mendesah dengan wajah yang kacau dan merah.

Fokus! Bentak Miyuki pada dirinya sendiri. Dia tidak boleh kehilangan fokus karena Sawamura mau membicarakan penawarannya. Jika dia memikirkan hal aneh-aneh, Sawamura sudah pasti akan menganggapnya orang mesum. Dia tidak boleh kehilangan harga dirinya sekarang.

Sawamura mengangkat tangannya dan seorang pelayan menghampiri meja mereka. "Sudah siap memesan?" tanyanya.

"Aku pesan Fish and Chips dan Teh Oolong dingin," kata Sawamura.

Miyuki kembali melihat daftar menu-menu. Dia harus memilih. "Aku… Spaghetti Carbonara dan Soda," kata Miyuki sambil menutup buku menu. Kedua buku menu itu dikembalikan kepada pelayan. Mereka tidak bicara sampai si pelayan berjalan jauh dan sudah tidak mendengar apapun lagi.

"Jadi, apa pekerjaanmu?" tanya Sawamura.

Miyuki mengangkat alisnya. "Kau tidak bisa menebak? Kemampuan analisismu muncul ketika sedang mabuk saja atau bagaimana?" tanya Miyuki.

Sawamura memutar bola matanya. "Jangan membahas hal-hal kemarin. Kita akan sering bertemu, jadi sebaiknya kita mulai mengenal satu sama lain."

Miyuki mengangkat tangannya, tanda menyerah. "Oke, Sensei."

"Jangan panggil aku begitu."

"Oke, Sawamura-san," ralatnya. Berbincang dengan Sawamura memang mengasyikkan dan membuat Miyuki selalu penasaran. "Mungkin kita bisa berkenalan secara formal dulu, untuk memulai. Aku Miyuki Kazuya, pekerjaanku arsitek di sebuah firma."

"Sawamura Eijun, dosen matematika."

Miyuki mengangguk. "Awal yang bagus untuk hubungan yang bagus," komentarnya.

Sawamura tidak menanggapi komentar itu. "Jadi, aku mau membahas penawaranmu," kata Sawamura. Dia menggeser posisi duduknya, seolah ada duri di pantatnya. Setitik kegelisahan tampak di wajahanya dan Miyuki hampir menyeringai. Namun, dia menahan diri. Dia tidak mau kembali lagi dengan tangan kosong. Dia harus mendapat hasil. Jadi, dia menunggu Sawamura bicara tanpa menginterupsinya.

"Tawaranmu… sebenarnya tidak buruk. Terlepas dari apa yang kukatakan saat mabuk," lanjut Sawamura. "Lagipula, perjanjian seperti itu sebenarnya menguntungkan kedua belah pihak."

"Jadi… kau menerima tawaranku?" tanya Miyuki pelan-pelan. Dia mengamati seluruh ekspresi Sawamura baik-baik. Sawamura tampak seperti orang yang akan membuat keputusan paling sulit di dalam hidupnya. Namun, Miyuki harus menunggu dengan sabar. Jika dia memperlihatkan sebuah gerakan yang sedikit agresif, Sawamura akan lari. Dia seperti anak kucing yang ketakutan. Dengan pelan, Sawamura mengangguk. Satu kali, tapi itu sudah cukup. Miyuki menghela napas. Dia tidak sadar sudah menahan napas sedari tadi.

"Karena itu, aku ingin membahas beberapa hal. Meksipun hubungan seperti itu saling menguntungkan, tapi kurasa harus ada beberapa batasan dan peraturan dasar. Supaya kita berdua sama-sama nyaman," ujar Sawamura.

Miyuki mengangguk. "Aku setuju. Kau mau perjanjian yang tertulis atau bagaimana?" tanyanya.

Sawamura tampak berpikir. "Sebenarnya, aku lebih memilih ada perjanjian yang tertulis. Aku lebih nyaman jika ada bukti persetujuan kedua belah pihak. Namun, aku mau dengar pendapatmu dulu. Karena kita akan berada di dalam hubungan yang banyak berkontak fisik, maka sebaiknya aku mendiskusikannya denganmu sebelum dimulai."

Miyuki sedikit tertegun. Dia tidak menyangka bahwa Sawamura sudah memikirkan semuanya matang-matang, termasuk perjanjian dan batasan-batasan dalam hubungan mereka.

"Kau benar-benar memikirkannya ya," kata Miyuki.

"Aku tidak berlebihan kan?" Sawamura balik bertanya. "Atau kau ingin berkata sesuatu?"

"Aku setuju. Perjanjian tertulis juga tidak masalah. Kadang, kalau hanya diucapkan suka lupa. Mungkin kita bisa bahas beberapa poin-poinnya dulu sebelum kuketik nanti," kata Miyuki.

"Kau mau mengetiknya?" tanya Sawamura.

Miyuki melambaikan tangannya. "Bukan persoalan besar."

Lalu, seorang pelayan datang membawa dua gelas minuman mereka. Teh Oolong dan soda.

"Terima kasih," kata Sawamura. Lalu, si pelayan kembali pergi. Barulah Sawamura mengeluarkan sebuah kertas HVS kosong dan pulpen. "Oke, kita bahas mulai dari mana?" tanyanya.

Dia benar-benar sudah mempersiapkan semuanya, batin Miyuki geli. Padahal mereka hanya akan menjadi Friends With Benefits, tapi Sawamura memperlakukannya seolah-olah mereka adalah rekan bisnis yang saling berbagi keuntungan. Lagi-lagi, Miyuki tidak tertawa. Dia menatap kertas kosong yang siap ditulis oleh Sawamura.

"Oke." Dia mulai berpikir. "Kita hanya akan bertemu jika sebelumnya ada janji. Janji mendadak tidak berlaku," katanya.

Sawamura mengangguk. "Aku setuju." Dia menulis di kertas kosong tersebut. "Bagaimana dengan tempat pertemuan? Haruskah kita di hotel atau di kediaman masing-masing?" tanyanya.

Miyuki mengangkat bahu. "Aku tidak keberatan di mana saja. Kalau di kediaman masing-masing, menghemat biaya hotel juga," ujarnya.

Sawamura mengangguk. "Oke. Berarti kita akan bertemu di kediaman masing-masing, tergantung siapa yang menghubungi duluan." Dia menulis lagi.

"Lalu–"

Kalimat Miyuki terhenti karena pesanan mereka datang. Sawamura segera menyingkirkan kertas HVS tersebut sebelum si pelayan membacanya dan berpikir aneh-aneh.

"Selamat makan," gumam keduanya. Lalu, mereka mulai makan. Untuk sesaat, tidak ada yang bicara karena sibuk menyantap makanan masing-masing.

"Kita lanjutkan?" tanya Miyuki.

Sawamura mengangkat kepalanya dan mengangguk. Mulutnya masih mengunyah. "Boleh."

Wajib memakai kondom setiap berhubungan. ("Waktu itu kau memakai kondom kan?" tanya Sawamura. "Tentu saja. Aku selalu bermain aman," jawab Miyuki.)

Wajib melakukan medical check-up rutin 3 bulan sekali. ("Sebelum kita benar-benar memulai hubungan ini, ada baiknya kita medical check-up," usul Sawamura. "Aku sudah medical check-up dua minggu yang lalu. Akan aku bawa hasilnya nanti," kata Miyuki.)

Tidak ada unsur-unsur BDSM. ("Bahkan ikat pergelangan tangan?" tanya Miyuki. Sawamura menggeleng. "Bahkan itu!")

Masing-masing pihak berhak menolak jika tidak berkenan. ("Apa kita butuh safe word?" tanya Miyuki. Sawamura menatapnya, "Ini bukan BDSM. Cukup menolak saja.")

Penggunaan sex toy bisa dipertimbangkan dalam beberapa kondisi. ("Jangan yang terlalu ekstrem," kata Sawamura. "Tidak masalah. Aku tidak keberatan," jawab Miyuki.)

Sawamura mengetuk-ketukkan pulpennya di dagu. "Kira-kira apa lagi yang bisa kita tambahkan?" tanyanya.

"Semua peraturan dasar sudah kita cantumkan," ujarnya.

Sawamura lalu menyeletuk. "Bagaimana dengan pasangan? Kalau seandainya… kau sedang berkencan dengan orang lain, apa hubungan di antara kita berlaku?" tanya Sawamura.

Miyuki tidak pernah lagi membayangkan dirinya berkencan dengan orang lain. Namun, itu poin yang bagus. "Bagaimana pun hubungan kita tidak resmi. Kalau salah satu dari kita sedang berkencan dengan orang lain tapi kita masih tidur bersama, itu sama saja selingkuh."

"Berarti kita bisa tambahkan ke dalam peraturan. Hubungan berakhir sementara jika salah satu dari masing-masing pihak sedang berkencan dengan pihak ketiga."

Miyuki mengangguk. Dia melihat kertas Sawamura yang tidak lagi kosong. "Sepertinya cukup. Aku tidak kepikiran lagi."

"Oh, satu lagi. Dilarang jatuh cinta terhadap masing-masing pihak. Bagaimana, kau setuju?" tanya Sawamura.

Untuk sesaat Miyuki tidak tahu. Rasanya aneh sekali peraturan itu. Namun, dia juga merasa tidak ada salahnya dicantumkan. Toh, mereka murni ingin mencari penghiburan satu sama lain, bukan untuk jatuh cinta. Seperti kata Sawamura di kala mabuk, hati manusia adalah sebuah kuburan. Lagipula, jatuh cinta akan memperumit semuanya. Cinta tidak dibutuhkan dalam hubungan yang akan mereka jalani.

"Hubungan berakhir jika ada yang jatuh cinta," tambahnya.

Sawamura mengangguk setuju. "Oke. Sudah kutambahkan." Lalu, Sawamura membaca ulang. "Kurasa ini cukup. Kau mau membacanya?" tanyanya sambil menyodorkan kertas itu kepada Miyuki.

Miyuki meraihnya dan membaca perjanjian tersebut. Dia sendiri cukup puas. "Aku akan mengetiknya dan akan kukirimkan file-nya setelah jadi. Kita juga bisa membubuhkan electronic signature untuk membuatnya semakin resmi."

"Oke, aku serahkan semuanya padamu."

Makanan mereka telah habis. Sudah tidak ada lagi yang harus dibahas.

"Kurasa aku akan kembali ke kampus," ujar Sawamura.

"Aku juga," kata Miyuki. Miyuki mengangkat tangannya dan seorang pelayan datang ke meja mereka. "Tolong bill-nya." Ketika Sawamura mau mengeluarkan kartu debitnya, Miyuki menggeleng. "Sekarang giliran traktiranku," katanya.

Sawamura mendengus, tapi bibirnya tersenyum. Dia menunggu Miyuki selesai membayar, barulah mereka keluar dari restoran bersama. Sebelum berpisah, Sawamura menatap Miyuki.

"Mohon bantuannya," kata Sawamura sambil menunduk sebelum berjalan menjauh.

"Iya. Mohon bantuannya juga," ujar Miyuki. Dia berjalan ke arah yang berlawanan dari Sawamura.

.

BERSAMBUNG


A/N: Masih ada 1 part lagi. Komentar, kritik, saran, semuanya terbuka tanpa syarat dan ketentuan.

Salam,

Sigung-chan