"Fang."
Si pemilik nama mendongak dari laptopnya saat mendengar ada yang memanggil. Solar menyerbu masuk ke ruangan kantor dengan langkah cepat dan tanpa menoleh.
"Tolong beri aku semua referensi bahan cat tembok yang kamu tahu. Kutunggu paling lambat besok pagi."
Fang ternganga. Tak ada salam selamat pagi, tak ada preambul apa pun setelah Solar hilang dari kantor selama seminggu. Patut disesalkan bahwa Nut dan Ying, kawan-kawan insinyurnya di biro itu, tidak ada di tempat karena sedang menjalankan proyek masing-masing di lapangan.
"Aku ada deadline artikel penelitian malam ini!" protes Fang. "Untuk studi lanjutku!"
"Siapa yang menyuruhmu kerja di sini, kalau kamu memang mau studi lanjut?" balas Solar datar sembari menyalakan laptopnya sendiri, disambut keluhan panjang dari mulut si insinyur sipil.
"Engineering manager, konon!" gerutu Fang sambil mengernyit pada layar laptopnya, menutup dokumen makalahnya, dan mencari dokumen berisi bahan bangunan khususnya mengenai cat tembok.
"Sebagai engineering manager, aku memintamu menyiapkan referensi yang kubutuhkan selagi aku menyelesaikan rancangan gambar dan pemilihan bahan bangunan lainnya."
Fang dilanda keinginan melempar kepala Solar dengan sesuatu, tapi di ruangan itu tidak ada benda yang cukup berat untuk dilempar. Masa mau melempar laptop? Akhirnya, Fang hanya bisa merepet,
"Ya, tapi nggak mendadak begini juga, dong!"
"Kalau mau protes, sana protes sama project manager-nya," sahut Solar tak acuh. "Besok, aku harus presentasi di depan abangmu."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Disclaimer: BoBoiBoy © Monsta
A Luta Continua (Latin: the struggle continues) © Roux Marlet
The author gained no material profit from this work of fiction.
Alternate Universe, No Pairing, Grown-up Characters.
Genre: Friendship, Family, Angst.
Rated M (Mature) for the ADDICTIONS theme (to be explained later).
.
Important side notes: Tok Aba dan Amato di sini bukan ayah dan anak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sesungguhnya Solar bisa saja minta dicarikan referensi oleh Fang minggu lalu, tapi dia tidak melakukannya. Dia merasa butuh mengeksplorasi ide sendiri dulu dalam menggambar sketsa awal rancang bangun, barulah dia yakin apa yang diperlukan untuk bahan bangunannya. Dalam hal ini, Solar mengakui bahwa dia belum banyak paham perihal cat tembok karena selama ini proyek pembangunan hanya sampai kepada bangunan tegak berdiri saja. Arsitek mana yang mau mengurusi jenis cat tembok?
Dengan adanya Duri dalam tim ini, Solar terpaksa bergerak di luar zona nyamannya yang penuh kepastian. Sesungguhnya dia sudah akan mencari sendiri referensi itu, tapi waktu yang diberikan kepadanya hanya seminggu dan besok Kaizo sudah memintanya menyampaikan sketsa awal. Solar selalu kurang percaya pada kemampuan orang lain dan karenanya enggan mendelegasikan tugas, merasa segalanya sanggup diatasi sendiri.
Dan saat Solar tidak sanggup, korban termudahnya selalu Fang. Fang yang ringan tangan dan selalu siap menolongnya, menjadi back-up baginya, meski diiringi keluh-kesah panjang dan gerutuan yang bisa disumpal dengan traktiran sebungkus besar donat wortel.
"Berikut ini adalah sketsa awal gedung tampak depan." Solar membuka presentasinya keesokan harinya. Amato, Kaizo, Duri, dan Gempa hadir dalam ruangan, menyaksikan gambar dari proyektor yang terhubung ke laptop milik Solar.
"Waaah!" Duri berceletuk takjub dan Gempa buru-buru membisikkan sesuatu kepadanya. Solar meneruskan presentasinya. Rancangan awal selalu hanya berupa sketsa kasar dua dimensi, tapi Solar sudah merapikan sebagian besarnya karena menggunakan software AutoCAD. Kaizo mencondongkan tubuh dengan penuh minat ke layar proyektor dan sesekali mengangguk-angguk. Amato diam saja sepanjang presentasi, kadang-kadang mengetik di ponselnya, selebihnya memandangi pekerjaan putranya tanpa ekspresi berarti.
"Dengan seluruh desain dan rencana pembangunan ini sudah siap dalam seminggu," ucap Solar, berusaha tidak terdengar sombong, jangan lupakan jasa Fang membantunya di sehari terakhir, "aku rasa kita bisa melakukan survei lokasi dalam minggu depan, yaitu akhir Maret; mengurus perizinan dalam bulan April; melakukan rancang konstruksi dan rapat teknis di bulan Mei; menyiapkan tender pada bulan Juni; dan memulai pembangunan di bulan Juli."
Tahap terawal dalam konsep mendirikan sebuah bangunan, yaitu desain, yang biasanya makan waktu 6-10 minggu, telah terselesaikan dalam satu minggu oleh Solar—dengan catatan dianggap selesai jika Kaizo tidak minta revisi apa pun. Menilik dari antusiasnya orang itu, sepertinya dia cukup puas dengan desain gambar dua dimensi Solar.
"Aku mau lihat model tiga dimensinya dulu," ujar Kaizo akhirnya. "Tapi, secara keseluruhan, aku suka desainmu."
Solar bisa membayangkan kepalanya melembung secara imajiner.
"Ternyata kamu juga arsiteknya, bukan hanya engineering manager. Luar biasa, Solar."
Pujian lebih lanjut dari Kaizo membuat senyum Solar terkembang. "Terima kasih."
"Sekarang, aku mau tahu desain dari Duri." Kaizo memutar tubuh ke arah si seniman.
"Giliranku!" Duri melompat dari tempat duduknya sambil mengacungkan sebuah buku gambar, lalu pindah duduk di sebelah Kaizo. Amato menggeser duduknya mendekat di sisi Kaizo yang satu lagi.
Solar membereskan laptop dan proyektornya, sempat kaget karena tidak menyangka bahwa bukan dia saja yang harus presentasi, dan mengira Duri akan presentasi dengan perangkat itu. Dia sejenak lupa fakta bahwa Duri itu ketinggalan zaman. Solar bertemu pandang dengan Gempa yang duduk di sudut ruangan, yang sepertinya sudah cukup lama mengamatinya dari situ. Si arsitek mengalihkan pandangan, merasa mukanya memanas kalau teringat kejadian memalukan di toilet minggu lalu.
"Wah, gambarmu bagus sekali, Duri!"
"Lihat detailnya, betul-betul rapi."
Kepala Solar tertoleh dengan cepat mendengar Kaizo memuji si seniman, tapi lebih karena Amato juga melakukannya. Sedangkan Amato sama sekali tak bersuara saat Solar yang presentasi tadi. Ukh, kenapa tiba-tiba dadanya terasa nyeri? Solar ikut mendekat dan melihat isi buku gambar itu, sambil dari sudut matanya dia juga mendapati Gempa ikut berdiri dan mendekat.
Apa yang dilihat Solar betul-betul mencengangkan. Sketsa setangkai bunga lili, dengan kelopak-kelopak yang mekar indah dan gurat-gurat pada daun dan tangkai yang semampai. Solar pernah tahu istilah gambar realis; rupanya seperti itulah gaya menggambar Duri. Gambar bunga lili hitam-putih itu tampak begitu hidup dan bisa dikira tiga dimensi seandainya Duri coba mewarnainya.
"Luar biasa …," seloroh Solar tanpa sadar, murni kagum pada karya seindah itu.
Duri mendongak dan tersenyum lebar. "Ini yang akan kugambar di tembok luar gedung!"
Solar teringat lagi bahwa Kaizo memang minta gambar bunga lili secara khusus untuk tembok terluar. "Kamu bisa membuatnya setinggi enam ratus meter?!"
Senyum Duri agak berkurang. "Umm, belum pernah setinggi itu, sih. Tapi, aku yakin bisa!"
"Benar. Duri pasti bisa!" timpal Gempa yang baru bersuara.
"Kamu menggambarnya dengan pensil jenis 6B?" tanya Solar sambil mengamat-amati gambar Duri.
"Bukan. Ini semua pakai pensil HB."
Kali ini Solar betul-betul tercengang. "Masa bisa begitu?" Dengan semua shading yang tebal dan rapi itu, mana mungkin Duri hanya menggunakan pensil HB? Jenis pensil hard & black, yang dihasilkan dari keseimbangan antara isi grafit dengan bahan pengisi lainnya? Garis setebal dan serapi itu harusnya hanya bisa dibuat dengan pensil yang bahan grafitnya jauh lebih banyak di golongan B, yaitu 2B sampai 9B. Menurut mata Solar yang terlatih, harusnya Duri memakai paling tidak pensil 6B untuk bisa menghasilkan sketsa itu.
"Iya, memang harus bersabar untuk bagian ini," ucap Duri seraya menunjuk bagian yang paling banyak shading. "Solar ternyata tahu banyak tentang pensil juga!"
"Ya, aku dulu juga menggambar dengan pensil, tahu," balas Solar.
"Wah, asyik!" sorak Duri. "Tahu begitu, kemarin kita kerjakan sama-sama, Solar!"
Solar menggeleng. "Aku sudah nggak menggambar dengan pensil. Kamu lihat sendiri tadi. Gambarku pakai teknologi digital."
"Oh, kenapa begitu?"
Pertanyaan itu sebetulnya sederhana, tapi sungguh menikam hati Solar. Dia sampai tak bisa berkata-kata atas pertanyaan polos dan wajar itu.
Gempa menimpali, "Zaman sekarang, melukis apa pun bisa dilakukan dengan komputer, Duri."
"Wow, canggih sekali! Hihihi!" Duri bertepuk tangan dan Kaizo tampak geli melihatnya.
Gempa melanjutkan sambil menunjuk, "Coba lihat gambarmu yang lain …."
Dan begitulah, topik beralih sepenuhnya kembali ke hasil karya Duri di buku gambar itu. Solar berpamitan singkat dan tidak terlalu fokus pada siapa saja yang membalas pamitnya. Apakah Amato juga membalas?
Kaizo minta model tiga dimensi, maka Solar akan segera mengerjakannya. Dia yakin bisa menyelesaikannya dalam tiga hari. Tiga hari, Solar rasa itu tidak akan terlalu menyimpang dari jadwal yang direncanakannya tadi.
Namun, seluruh percakapan setelah dia presentasi tadi sangat mengganggu Solar. Diangkatnya kedua telapak tangan sambil berjalan pulang. Keduanya sedikit gemetar meski hawa sama sekali tidak dingin.
"Solar … Ayah nggak sanggup kalau harus kehilangan lagi."
Kenangan itu masih jelas di benak Solar. Ayahnya, Amato, menggenggam tangannya yang gemetaran hebat di ruang ICU. Solar mengalami kecelakaan mobil malam sebelumnya dan baru siuman setelah dua puluh dua jam.
"Sudah cukup dulu ibumu meninggal karena kecelakaan mobil."
Kabar baiknya adalah Solar tidak mati, meski mobilnya ringsek parah, kaca depan serta dasbornya hancur, dan jatuh dari ketinggian.
Kabar buruknya … saraf-saraf di tangan Solar kehilangan fungsinya, lantaran terjepit kemudi dan dasbor mobil yang akhirnya hancur. Tangan itu bisa digerakkan, tapi tak bisa tanpa bergetar. Arsitek mana yang masih bisa menggambar dengan kondisi seperti itu? Ini adalah karma bagi Solar. Tentu saja dia menyesal, tapi semua sudah terlambat.
"Ayah … maafkan Solar."
"Ada apa, Solar?"
Solar ingat dilema dalam batinnya waktu itu. Kenapa sang ayah tidak heran terhadap waktu kejadiannya? Solar itu kecelakaan mobil di jam satu dini hari! Dia memutuskan untuk bicara sejujurnya.
"Aku ikut geng balapan mobil …."
Kejujuran Solar berbuah pahit. Sejak hari itulah Amato bersikap dingin terhadapnya; sang ayah memang berhak kecewa padanya.
"Ayah kira kamu sering nggak pulang itu untuk tugas kuliahmu …."
Hanya itu komentar Amato. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada anak yang mengkhianati kepercayaan orang tuanya. Meski begitu, hati Solar tetap sakit saat driving license-nya disita sang ayah dan mobilnya dijual kemudian sebagai besi rongsokan saking tak terselamatkan lagi.
Anak tunggal cemerlang yang semula mau mengikuti jejak karier ayahnya, kini harus mengecap kecacatan akibat pilihan bodohnya sendiri. Solar masih bersyukur ada AutoCAD, sehingga dia tidak betul-betul mengakhiri kariernya sebagai arsitek. Makanya dia tadi tertegun ketika menyadari bahwa sesungguhnya dia iri pada Duri yang bisa menggambar begitu bagus menggunakan tangannya.
Selain perihal tangan, kecelakaan itu mengubah banyak hal pada dirinya. Solar jadi trauma pada mobil dan lampu sorot; tanpa sadar mengidap social anxiety disorder; dan dia sulit sekali bersosialisasi dengan orang baru.
Satu hal yang tidak berubah dari Solar adalah kelekatannya terhadap pujian orang. Dia tetap bisa mendapatkannya dengan kondisinya sekarang, karena belajar keras membuatnya berhasil menguasai AutoCAD dalam hitungan bulan. Dalam pekerjaan, hubungannya dengan Amato adalah hubungan profesional. Dia tak butuh kehangatan cinta ayahnya kalau sang ayah tidak lagi sudi memberikannya, yang penting pekerjaan beres dan klien senang. Solar pikir dia bisa terus berpura-pura seperti ini sampai proyek gedung pencakar langit Kaizo selesai … tapi ternyata dia salah.
"Oh, iya. Duri saat ini sedang dalam proyek berkelanjutan di Selangor, Malaysia. Anda bisa masuk waiting list untuk saat ini. Terima kasih sudah menghubungi kami."
Orang itu memutus sambungan di ponselnya, lalu menulis sesuatu pada layar tablet di pangkuannya.
Duri dan Gempa datang lagi ke kantor Surya Gamma Sentosa tiga hari kemudian, ketika model tiga dimensi Solar sudah siap dan Kaizo telah memilih beberapa gambar sketsa Duri untuk ruangan-ruangan penting.
"Maaf, Duri perlu fokus dalam proyek yang satu ini sampai paling tidak bulan Agustus tahun depan. Terima kasih sudah menghubungi kami."
Gempa kembali mengakhiri sebuah sambungan telepon. Saat dia mendongak dari gawainya, didapatinya Solar sedang menatapnya. "Solar? Ada yang bisa kubantu?"
"Itu Instagram?" tanya Solar sambil menunjuk layar tablet.
"Ini? Benar." Gempa menunduk sekilas. "Akunnya Duri. Semua portofolionya ada di sini. Mau lihat?"
"Kamu mengelola media sosial untuknya juga?" Solar membungkuk mendekati Gempa dan menengok isi akun itu tanpa mau duduk di sampingnya.
"Iya, begitulah. Sebagian besar aku yang mengambil fotonya. Mahal kalau menyewa fotografer profesional, hehe."
Padahal, gambar-gambar hasil tangkapan kamera itu tidak tampak amatiran di mata Solar. Semua mural tanaman itu terlihat jelas dan utuh dari sudut pengambilan yang proporsional. Sebentuk pemikiran yang belakangan ini bercokol di kepala Solar, semakin mewujud nyata.
"Gempa. Sebetulnya kamu digaji berapa, sih, oleh Duri?" Solar tak tahan untuk tidak bertanya, berhubung Duri dan Kaizo sedang diskusi dengan asyik di ruang sebelah. Gempa tadi pindah ke sini karena banyak menelepon. "Oh, maafkan pertanyaanku yang lancang dan kurang etis. Kulihat pekerjaanmu banyak sekali, mengurusi jadwal, foto, media sosial, dan lain-lain. Apa kamu pernah ambil cuti atau libur?"
Gempa tersenyum simpul. "Bagaimana denganmu sendiri, Solar?"
Belum pernah orang membalikkan sarkasme terselubung Solar sampai membuatnya terdiam begini. Secara tidak langsung dan halus, Gempa membalas pertanyaannya dengan nasihat untuk tidak mencampuri urusan orang lain—sekaligus menamparnya dengan fakta bahwa hal-hal yang disebutkan itu juga terasa tak adil ketika kau bekerja pada biro milik ayahmu sendiri. Solar menyipitkan mata.
"Apa aku pernah bilang kalau Pak Amato adalah ayahku?"
Gempa mengerjap, lalu menggeleng.
"Tapi, kamu tahu?" desak Solar.
"Aku baru tahu saat kamu bilang barusan."
"Kelihatannya kamu nggak kaget."
"Apa seharusnya aku kaget?" Lagi-lagi, Gempa membalik perkataannya.
"Lalu, apa maksudmu tadi?" Solar mulai merasa sebal.
"Tadi yang mana?"
Solar mendengus. "Sudahlah. Lupakan saja. Aku pulang dulu." Dia keluar tanpa menunggu Gempa menjawab.
Firasat Solar benar. Sejak insiden muntah di toilet, Solar bisa merasakannya. Bicara dengan Gempa seperti tadi membuatnya semakin yakin … ada sesuatu yang aneh dari orang itu. Gempa itu jauh lebih cerdas dari yang ditunjukkannya, dia lebih canggih daripada sekadar manajer seniman mural jalanan.
Semua hal tentang Gempa yang misterius itu tidak disukai Solar.
.
.
.
.
.
to be continued.
.
.
.
.
.
26.11.2023
