Scared to be Lonely
Do we need somebody
Just to feel like we're alright
Is the only reason you're holding me tonight
'Cause we're scared to be lonely?
.
MIYUKI KAZUYA
Miyuki merebahkan tubuhnya di kasur hotel. Dia terlalu malas untuk melepaskan kemejanya ataupun sekedar mencuci muka. Kepalanya masih terasa sakit dan seluruh tubuhnya lelah. Rapat untuk proyek Mall baru dengan pemkot benar-benar memakan waktu. Miyuki tidak mau mengingat-ingat apa saja bahasan mereka, saking banyaknya yang dibahas.
Dia meraih ponselnya dan membuka percakapannya dengan Sawamura. Miyuki tersenyum ketika membaca ulang semua percakapan mereka. Melihat foto yang dikirim Sawamura membuat Miyuki jadi merindukan lelaki itu. Dia ingin berada di apartment Sawamura sambil bermalas-malasan. Sawamura punya banyak persediaan bir dan wiski, jadi mereka bisa menonton Netflix sambil mabuk. Atau mereka bisa menyentuh satu sama lain. Pilihan manapun tidak jadi masalah untuk Miyuki, karena dia menginginkan semuanya.
Memikirkan Sawamura malah membuat Miyuki jadi ingin meneleponnya. Sekarang masih pukul 10 malam, tapi dia tidak tahu apakah Sawamura sudah tidur atau masih terbangun. Miyuki begitu ingin mendengar suara Sawamura, meskipun dia hanya sekedar bernapas di ponselnya. Akhirnya, dia mengetik sebuah pesan.
Miyuki: Masih bangun?
Untunglah balasan Sawamura muncul beberapa menit setelahnya. Miyuki tersenyum senang.
Sawamura: Sudah selesai rapat?
Miyuki: Begitulah. Video call?
Begitu pesan itu terkirim, Sawamura tidak langsung membalas, meskipun statusnya masih online. Tangan Miyuki berkeringat, apa dia baru saja melakukan kesalahan? Apa Sawamura keberatan? Mungkin Miyuki mengganggu waktu sendirinya. Dia hampir menghapus pesan itu dan meggantinya dengan lelucon, tetapi Sawamura membalas.
Sawamura: Oke.
Miyuki sampai duduk di atas kasur hotel saking senangnya. Dia menuju cermin di hotel dan melihat penampilannya. Rambutnya disisir rapi dan kemejanya tidak kusut. Lalu, dia kembali naik ke kasur dan mengatur posisi supaya duduknya nyaman. Setelah menarik napas dan membuangnya sebanyak 3 kali, barulah dia menelepon Sawamura.
Miyuki menunggu tiga nada dering sebelum Sawamura mengangkat telepon tersebut. Dari latar belakangnya, Miyuki tahu bahwa Sawamura sudah berada di kamarnya sendiri. Wajah Sawamura muncul di layarnya.
"Hai," kata Miyuki.
"Hai. Kau sudah di kamar hotel?" tanya Sawamura.
Miyuki mengangguk. Mendengar suara Sawamura dan melihat wajahnya (meskipun hanya via ponsel) itu sudah cukup untuk saat ini. Miyuki sangat berterima kasih untuk segala kemajuan teknologi. Dia menyadari bahwa dia sangat suka mendengar Sawamura bicara, mendesah, atau apapun itu. Dan, meskipun Miyuki sedang tidak sedang terangsang, melihat Sawamura dengan piama membangkitkan gairahnya. Atau mungkin sebenarnya dia bergairah karena itu adalah Sawamura.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Sawamura.
"Membosankan, seperti biasa. Kau menonton apa tadi?"
"Friends," jawab Sawamura. "Apa kau sendiri di kamar hotel?"
Miyuki menyeringai. "Apa ini? Kau mau mengatakan hal-hal mesum padaku?" godanya.
Sawamura memutar bola matanya. "Aku bertanya karena siapa tahu teman sekamarmu terganggu kalau kita video call," katanya. "Isi otakmu hanya seks dan hal-hal mesum saja."
Miyuki terbahak. "Tenang, aku sendiri di kamar hotel." Lalu, dia mengedarkan kameranya ke sekeliling kamar hotelnya untuk membuat Sawamura percaya bahwa dia benar-benar sendiri. Ketika dia menatap Sawamura lagi, dia tidak bisa menahan dirinya. "Kau pakai baju seperti apa sekarang?" tanyanya.
Sawamura menunduk untuk melihat bajunya sebelum menjawab pertanyaan Miyuki. "Piamaku."
"Apa motifnya?"
Sawamura hanya mendengus. Dia terlihat malu. "Kau pasti akan mengataiku."
"Kenapa? Aku tidak pernah melihatmu memakai piama. Aku janji tidak akan tertawa."
Sawamura terlihat berpikir sebelum menyorot motif piamanya. Piama berwarna biru tua dengan motif… beruang kutub putih. Tawa Miyuki lepas tanpa bisa dicegahnya. "Sudah kuduga! Kau menertawakanku! Aku matikan saja video call ini!"
"Maaf, maaf! Aku tidak sengaja."
Sawamura mendengus. "Mana ada orang tertawa tanpa sengaja. Alasanmu aneh."
Miyuki berdeham untuk mengatur ekspresinya lagi. "Ya sudah, ayo kita bahas yang lain. Atau kau mau mencoba sesuatu yang lain?" tanya Miyuki.
"Seperti apa?"
"Sex call. Bagaimana menurutmu?" tanya Miyuki.
Sawamura tampak terdiam sejenak sebelum menjawab. "Kau ini tidak pernah kehabisan ide ya," ujarnya.
"Katakan itu pada cermin di kamarmu, Sawamura." Karena selama ini yang selalu memberi kejutan pada Miyuki adalah Sawamura.
"Aku tidak pernah mencoba sex call sebelumnya," ujar Sawamura jujur.
Sebenarnya, Miyuki juga tidak. Dia mencoba hal-hal baru hanya dengan Sawamura dan Miyuki ingin terus mencobanya bersama Sawamura. "Sebentar, aku cari sesuatu untuk menyangga ponselku dulu," kata Miyuki. "Kau juga."
"Oke." Lalu, layar Sawamura menampilkan langit-langit kamarnya. Tampaknya dia sedang mencari sesuatu juga untuk menyangga ponselnya. seharusnya Miyuki membawa tripod untuk perjalanan kali ini. Dia mencatatnya dalam hati untuk membawa tripod pada perjalanan selanjutnya. Hal itu akan mempermudah Miyuki jika ingin melakukan sex call dengan Sawamura.
"Kau pakai tripod?" tanya Miyuki. Sepertinya kamera Sawamura sudah stabil. Miyuki akhirnya memakai tumpukan tas kerja, laptop, dan rancangannya. Tidak sempurna, tapi tidak buruk juga. Ketika dia menatap wajah Sawamura di layar ponselnya, dia kembali tersenyum. Entah kenapa dia merasa bersemangat.
"Buka bajumu," kata Miyuki. Sawamura menurut tanpa banyak bertanya. Miyuki mulai membuka satu per satu kancing kemejanya, bersamaan dengan Sawamura yang membuka kancing piamanya. "Celanamu juga."
Dari layarnya, Miyuki melihat Sawamura yang sudah bertelanjang dada sedang berusaha membuka celananya. Terkadang, kepalanya keluar dari layar sehingga tidak dapat dilihat Miyuki. Dari layar ponsel saja, tubuh Sawamura selalu terlihat sempurna di mata Miyuki, Miyuki membayangkan bagaimana jika dia benar-benar menyentuhnya secara langsung beberapa hari lagi. Hanya memikirkannya saja, penis Miyuki sudah bereaksi.
"Pakai lubrikan," kata Miyuki.
Sawamura menaikkan alisnya. "Kau membawa lubrikan untuk perjalanan bisnis?" tanyanya.
Miyuki tertawa mendengarnya. "Aku punya seribu cara. Tenang saja," jawabnya.
Sawamura menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sulit dipercaya," katanya.
"Sudahlah. Ayo kita lanjutkan."
Sawamura menurut dan mengambil lubrikan. Dia menuangkan cukup banyak di tangannya, sementara Miyuki harus menggunakan ludahnya sendiri. Setidaknya, masih lebih baik daripada sabun hotel. Dia akan terlihat semakin menyedihkan.
"Mau lomba siapa yang lebih lama?" tantang Miyuki.
Sawamura mendengus. "Kau tidak akan bertahan lebih dari satu menit. Jangan mempermalukan dirimu sendiri, Miyuki."
"Suatu saat akan kubuat kau menjilat ludah sendiri," kata Miyuki.
Sawamura hanya mengangkat bahunya santai. "Terserahlah. Jadi, apa kita bisa mulai?"
"Aaah! Kau sudah tidak sabar dan mau curi start ya?"
"Yang benar saja," gumam Sawamura. Namun, Miyuki juga sudah tidak sabar. Setiap hal baru yang dicobanya bersama Sawamura, itu memberi ekstasi tersendiri. Dia mulai menyentuh dirinya sendiri. Sepertinya Sawamura juga sudah mulai, karena Miyuki tidak lagi mendengar ejekan-ejekannya. Dia mulai dengan tempo pelan, seperti biasanya. Di sela kegiatannya, dia melirik Sawamura yang sedang berkonsentrasi.
Miyuki tidak bisa tidak terpana. Dia pernah melihat Sawamura menyentuh dirinya sendiri secara langsung, tetapi meskipun hanya lewat layar ponsel, Sawamura tetap mempesona. Pipinya memerah, rambutnya yang panjang menutupi dahinya dan bibirnya terbuka. Miyuki ingin memutus jarak dan waktu antara mereka dan mencium ganas bibir tipis itu. Penisnya tampak setuju dengan imajinasinya karena vena-venanya berdenyut.
Dia bisa keluar detik itu juga hanya dengan membayangkan Sawamura yang sedang menyentuh dirinya sendiri. Dia memutuskan untuk mengeluarkan suara. "Bukan hanya aku yang sedang bekerja kan? Jangan curang," katanya.
Sawamura mendengus. "Malah aku curiga kau yang curang. Tanganmu tidak terlihat bergerak."
"Aku bergerak dalam keindahan Sawamura. Keindahan tidak bisa diburu-buru."
"Jangan bilang kau sudah keluar dan pura-pura di depan kamera."
Miyuki terkekeh. Dia mengambil ponselnya dan menunjukkan pekerjaannya. "Puas?" Dia meletakkan lagi ponselnya. "Coba aku mau melihat kegiatanmu. Kau bukan sedang main kartu kan?"
Sawamura memutar bola matanya. "Kau ini merepotkanku saja," gerutunya. Namun, dia mengarahkan tripodnya ke area selangkangannya. Miyuki bisa melihat penisnya yang sedang dipijat lembut oleh Sawamura. Lubrikan membuat penis itu sedikit berkilat di sorot kamera. "Sudah kan?" Dia mengembalikan posisi ponselnya dan mereka saling berhadap-hadapan.
Miyuki merileks-kan tubuhnya dan dia mempercepat sedikit temponya. Suara erangannya dan suara desahan Sawamura bersatu. Mereka memang menyentuh diri sendiri, tapi keberadaan mereka untuk satu sama lain cukup untuk saat ini. Miyuki tidak merasa sendirian. Miyuki tidak merasa menyedihkan.
"Kau seksi memakai piama itu," kata Miyuki. "Nanti kalau kita bertemu, kau harus memakainya."
Sawamura tertekeh pelan. Pipinya memerah. "Kau punya fetish pada piama, Miyuki?"
Miyuki menggeleng. Tangannya tetap bergerak dengan temponya. "Hanya padamu."
Sepertinya jawaban itu menyinggung sesuatu di dalam diri Sawamura, karena Sawamura mendesah lebih keras. Miyuki menikmati setiap perubahan ekspresinya. "Kau terangsang dengan kalimat itu, Sawamura?" tanya Miyuki.
"Kau mengganggu konsentrasiku," katanya. Namun, dia tetap menatap Miyuki. Matanya berkilat. "Apa kau mau melepaskan piamaku nanti?" tanyanya.
Miyuki membayangkan dia melepaskan satu per satu kancing piama Sawamura dan menelusuri seluruh inchi kulitnya. "Aku akan membuka kancingnya perlahan-lahan, tapi kau akan terus memakai piama itu."
Sawamura terkekeh. "Kau memang aneh."
Mereka kembali diam untuk beberapa waktu. Miyuki masih dengan temponya dan dia tidak berhenti menatap Sawamura. Sesekali Sawamura melihatnya, sesekali dia beralih melihat pekerjaannya. "Kau menatapku terus," kata Sawamura. "Tidak pernah melihat orang manstrubasi sebelumnya?"
"Aku pernah melihatmu memohon padaku, Sawamura."
"Benar juga. Kau menikmatinya, eh? Melihatku memohon padamu. Membuatmu terangsang dan bersemangat. Apa kau suka mendominasiku, Miyuki Kazuya?"
Nama lengkapnya disebutkan oleh Sawamura dan penis Miyuki berdenyut semangat. Dia sangat menyukai cara Sawamura memanggil nama lengkapnya. Miyuki berkonsentrasi dengan pekerjaannya karena dia yakin sebentar lagi akan keluar.
"Sawamura, aku…"
"Aku juga. Mau bersama-sama?"
Miyuki mengangguk. Mereka berdua mempercepat temponya, hingga cairan Miyuki keluar dan membasahi seluruh perut Miyuki. Sawamura di layar ponselnya tampak bernapas patah-patah. "Aku keluar banyak," kata Sawamura. Dia menyorot perutnya yang penuh dengan cairan spermanya sendiri. Miyuki ingin menjilatnya, seperti yang dilakukan Sawamura waktu itu.
"Aku juga," kata Miyuki. Dia mengambil ponselnya. Dia bisa melihat wajah Sawamura lebih jelas lagi.
"Kapan kau akan pulang?" tanya Sawamura.
Miyuki tersenyum. "Tidak sabar mau bertemu denganku?" godanya.
Namun, Sawamura mengangguk. "Iya," katanya.
Kata sederhana itu membuat jantung Miyuki berdebar sedikit lebih cepat dan perutnya bergolak. Sensasi lama yang sudah tidak pernah dia rasakan lagi. "Aku akan pulang dua hari lagi."
"Oke. Aku akan menunggumu," ujar Sawamura.
Miyuki tersenyum kecil, meski hatinya bertalu gila-gilaan. Sudah lama tidak ada yang mengatakan hal tersebut pada Miyuki. Sudah lama tidak ada yang menunggunya pulang. Namun, Sawamura mengatakannya. Dia mengatakan akan menunggu Miyuki pulang. Dia menantikan Miyuki pulang. Di titik ini, Miyuki tidak peduli apa status mereka, selama Sawamura bisa ada disampingnya. Jika Miyuki harus menghancurkan hatinya sendiri agar Sawamura tetap menunggunya pulang, maka Miyuki rela melakukannya.
"Selamat tidur, Sawamura."
"Selamat tidur, Miyuki."
.
SAWAMURA EIJUN
Sawamura melangkah lebar-lebar menuju mansion Miyuki. Dia sudah tidak sabar bertemu dengan Miyuki setelah 1 minggu hanya bisa bicara via telepon atau sekedar sex call. Sesi sex call mereka yang terakhir lumayan memuaskan, tapi itu tidak cukup. Dia harus menyentuh Miyuki secara langsung. Meski begitu, dia tidak yakin bisa puas juga. Miyuki membuatnya kecanduan.
Ketika pintu mansion Miyuki dibuka, tak butuh waktu lama bagi Sawamura untuk langsung mencium Miyuki dengan panas. Miyuki meresponnya dengan menekan lidahnya dan mengeksplore rongga mulut Sawamura. Menyentuh Miyuki untuk pertama kalinya dalam satu minggu mampu membuat penis Sawamura langsung ereksi. Paha mereka bergesekan dan Sawamura senang merasakan penis Miyuki yang sama kerasnya.
Miyuki melepas ciumannya dan menciumnya lebih dalam lagi. Sulit untuk bergerak masuk ke kamar dengan posisi mereka yang tidak mau melepas ciuman, sehingga keduanya terdampar di sofa. Sawamura di atas Miyuki, masih menciumi seluruh mulut Miyuki, mengeksplore langit-langit mulut Miyuki, giginya, gusinya, semuanya. Dia mengecap seluruh rasa Miyuki.
Dia baru menyadari bahwa dia merindukan Miyuki secara keseluruhan. Bukan hanya sentuhan dan seks mereka, tapi keberadaan Miyuki. Dia rindu tawa Miyuki, seringai menyebalkannya, ejekan-ejekannya, serta percakapan mereka yang tidak berguna. Semakin Sawamura berpikir seperti itu, alur ciuman itu berubah. Ciumannya lebih lembut, lebih berperasaan dan menyampaikan kerinduannya pada Miyuki.
Miyuki membalas dengan sama lembutnya. Setiap sentuhan yang Miyuki berikan seperti mengatakan bahwa dia juga merindukan Sawamura. Ciuman itu seolah menegaskan bahwa Miyuki sudah pulang, sudah kembali bersama Sawamura. Ciuman itu menegaskan bahwa Miyuki tidak akan kemana-mana. Sawamura boleh memilikinya sepanjang waktu.
Mereka melepaskan diri dan saling bertatapan. Napas mereka menderu dan Sawamura bisa merasakan debaran jantung Miyuki lewat telapak tangannya. Dia yakin Miyuki bisa merasakan milik Sawamura juga. Tidak ada yang bicara di antara mereka, karena mereka menahan semua kata-kata di ujung lidah. Kata-kata itu tidak boleh keluar, tidak boleh sampai didengar oleh Miyuki. Jika Miyuki mendengarnya, dia akan menghilang. Dia akan meninggalkan Sawamura.
Miyuki mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Sawamura. Sentuhan yang begitu lembut, seperti kapas. Dia mengusap pipi Sawamura dengan lembut dan penuh perhatian. Seolah Sawamura adalah barang antik dan mudah hancur. Perasaan Sawamura memang sudah di ambang kehancuran akibat batasan-batasan yang semakin kabur di antara mereka.
Kalau kau mengatakannya, aku akan di sini selamanya.
Namun, Miyuki tidak mengatakannya. Miyuki tidak mengatakan apapun, begitu pula dengan Sawamura. Sawamura menelan ludahnya yang terasa menyakitkan.
"Aku pulang," bisik Miyuki.
"Selamat datang." Sawamura mengecup bibir Miyuki. Hanya kecupan, tidak ada keagresifan, tidak ada lidah. Kecupan selamat datang. Dia senang Miyuki mengucapkan kata-kata itu. Seolah dia kembali untuk Sawamura, dan meskipun itu hanya ada di imajinasi Sawamura, itu tidak jadi masalah. Setidaknya, di dalam imajinasi dan mimpinya, dia bebas memiliki Miyuki. Setidaknya di sana, dia aman untuk mencintai pria itu.
Mereka bangkit dari sofa dan duduk saling berhadapan. Penis mereka masih ereksi, tetapi alur permainan telah berubah. Miyuki tidak memprotes soal perubahan suasana seperti ini. Dia masih menatap Sawamura.
"Kau menatapku lagi," kata Sawamura. Perutnya bergolak dalam sensasi menyenangkan dan gugup.
"Aku suka matamu," kata Miyuki.
"Warna mata kita sama."
Miyuki menggeleng. "Apa kau tahu bahwa matamu terkadang berubah warna? Coklat lalu emas, lalu coklat lagi." Ujung mata Sawamura disentuh lembut oleh Miyuki. Sawamura merinding dengan seluruh sentuhan itu.
Jangan lepaskan. Teruslah menyentuhku. Teruslah di sisiku.
"Hanya mataku yang kau suka?" goda Sawamura.
"Itu pertama."
"Apa lagi yang kau suka?"
Tangan Miyuki menyusuri tulang pipi Sawamura dan turun sampai dia mengusap bibir Sawamura. "Aku suka bibir ini. Terutama saat mendesah dan memanggil namaku."
"Apa lagi?"
Tangan Miyuki turun untuk membelai lehernya lembut. Dia memajukan diri untuk menciumi seluruh leher Sawamura. Sawamura memiringkan kepalanya, membiarkan Miyuki mengecup ringan seluruh otot lehernya. "Leher jenjangmu," bisiknya. Lalu, dia menjilat leher Sawamura.
Sawamura bisa meleleh jika Miyuki terus menyentuhnya dengan tempo lembut dan memabukkan seperti ini. Miyuki membuka pelan seluruh kancing kemeja Sawamura tapi tidak melepaskan bajunya. Tangan Miyuki meraba dadanya dan menyentuh putingnya yang keras. Dia menciuminya dan menggigit kecil puting kanan dan kiri Sawamura.
Sawamura sendiri sudah terbuai dengan seluruh sentuhan Miyuki yang tampaknya tidak akan pernah selesai. Dia menyentuh Sawamura dengan ringan tapi sensual. Setiap sentuhan lembutnya mengirimkan impuls langsung ke penisnya. Namun, dia membiarkan Miyuki berbuat sesuka hatinya.
Mulut Miyuki menjilat pusarnya dan otot perut Sawamura berkontraksi karena geli. Dia membuka celana Sawamura dan melepaskannya. Penis ereksi Sawamura terlihat jelas, tetapi Miyuki tidak menyentuhnya. Dia meraba paha dalam Sawamura dan menciumnya dan tetap mengabaikan penis Sawamura. Sawamura merasa dia bisa mati detik itu juga karena Miyuki tampak berlama-lama.
"Berbalik," katanya.
Secepat kilat, Sawamura berbalik. Kini, dia menunggungi Miyuki dengan bokong yang menghadap Miyuki. Dia bisa merasakan tangan besar Miyuki menyusuri kulit bokongnya. Semua stimulus itu sudah berlebihan dan Sawamura merasa dia bisa keluar sekarang.
"Miyuki…" katanya pelan. Dia berusaha melihat kegiatan Miyuki di belakangnya, tapi tidak bisa. Jadi, dia menantikan apa yang akan Miyuki lakukan. Sampai dia merasakan mulut Miyuki menggigit kulit bokongnya. Sawamura mendesah tertahan. Adrenalin mengaliri seluruh peredaran darahnya dan jantungnya berdebar-debar.
Dengan kedua tangan, Sawamura bisa merasakan Miyuki membuka jalan menuju lubangnya. Sawamura baru akan bertanya mengenai lubrikan ketika dia merasakan sesuatu yang lebih lembut dari tangan menyentuh lubangnya. Miyuki sedang menjilati sekitar lubang Sawamura. Sawamura sudah lama tidak merasakan lubangnya dirangsang dengan lidah. Tidak semua lelaki mau melakukannya, tapi Miyuki melakukannya.
"Miyuki…" desahnya tertahan. Lidah Miyuki mengitari sekitar lubangnya sebelum dia memasukkan lidahnya ke dalam lubang Sawamura. Sawamura bisa melesat menuju langit ketujuh karena tindakan Miyuki. Penisnya berdenyut meminta perhatian dan akhirnya dia meraih penisnya sendiri dan mulai memijatnya pelan. Gerakan Sawamura seirama dengan lidah Miyuki di belakang. Dia merasakan lidah Miyuki yang memutar di dalam lubangnya, dan Sawamura melupakan seluruh masalahnya. Dia melupakan apa yang sedang menjadi kebimbangannya. Yang dipikirannya saat ini hanyalah lidah Miyuki yang mencumbu lubangnya. Hanya itu yang penting. Hanya itu yang diinginkan Sawamura.
Dia memelankan tempo di penisnya sendiri, karena dia merasa bisa keluar detik itu juga. Namun, Miyuki belum berhenti. Miyuki tampak asyik sendiri mencumbu lubang Sawamura. Seolah dia telah memikirkannya terus-menerus. Namun, akhirnya permainan itu berhenti. Sawamura berkedip-kedip untuk mengusir keringat yang jatuh ke matanya. Dia menoleh ke belakang.
"Tunggu sebentar," kata Miyuki. Dia beranjak dari sofa dan menuju kamarnya. Sawamura tidak mengubah posisinya sampai Miyuki kembali ke sofa dengan sebuah lubrikan dan kondom. Dia memposisikan diri di belakang Sawamura. Sawamura menantikan apapun yang terjadi selanjutnya dengan dada berdebar. Suara botol lubrikan dibuka, suara bungkus kondom di robek. Dan, bahu Sawamura menegang ketika kedua tangan Miyuki memegang bokongnya dan membuka jalan. Dengan pelan, penis Miyuki memasukinya.
Miyuki mencumbunya dari belakang dan Sawamura merasakan getaran-getaran impuls adrenalin. Dia tidak bisa melihat wajah Miyuki, tapi disitulah keseruannya. Dia membayangkan Miyuki dengan seluruh sentakannya yang brutal tanpa ampun, tapi juga yang pelan dan bertenaga.
Penis Miyuki menggesek dinding-dindingnya, dan betapa Sawamura selalu berfantasi dia bisa merasakannya selama seminggu kemarin. Tidak ada sex toy yang mampu menyamai penis Miyuki. Miyuki memajumundurkan tubuhnya dengan tempo pelan. Kedua tangannya menahan pinggul Sawamura. Barulah dia mulai menstabilkan sentakannya.
Sofa yang mereka tempati berderit dan bergeser. Sawamura tidak berusaha meredam suaranya dan dia menikmati seluruh penis Miyuki yang memenuhi lubangnya. Permainan Miyuki selalu membuai dan memukaunya. Semuanya terasa sempurna bagi Sawamura. Sawamura kembali memberi perhatian pada penisnya yang menganggur. Dia memijat pelan hingga pre-cum bercucuran. Setiap sentakan dari Miyuki membuatnya semakin tidak bisa berpikir dan dia seperti merasakan sebuah kenikmatan yang tampaknya mustahil untuk diraih. Namun, Miyuki meraihnya dan memberikannya untuknya.
"Miyuki, aku mau keluar," ujar Sawamura. "Mau… melihat wajahmu…" bisiknya.
Sepertinya kalimat Sawamura membangkitkan sesuatu dari Miyuki, karena dia menyentak Sawamura dengan keras sebelum membalikkan badan Sawamura tanpa melepas penisnya. Kini setelah mereka saling berhadapan, Sawamura mengalungkan sebelah tangannya di leher Miyuki dan sebelah lagi tetap memijat penisnya.
Dia mengamati ekspresi Miyuki baik-baik. Miyuki tanpa kacamata masih terlihat tampan. Matanya berkilat tajam dan penuh nafsu, dan ekspresinya begitu serius. Sawamura suka melihat ekspresi Miyuki selama mereka bersetubuh. Miyuki tampak seperti terkejut dan bersemangat di saat yang bersamaan. Miyuki seperti mencoba banyak hal baru dengan mata yang berbinar-binar. Miyuki bilang bahwa dia suka mata Sawamura, tapi sebenarnya Sawamura yang bisa tenggelam dalam tatapan Miyuki.
Tatapan yang begitu membius, begitu memabukkan dan candu. Sawamura bisa menghabiskan seluruh hidupnya untuk menatap Miyuki. Tatapan itu bicara banyak pada Sawamura, apa yang Miyuki rasakan, apa yang membuatnya bersemangat, apa yang membuatnya terangsang, semuanya Sawamura lihat dari tatapan itu. Dan kini tatapan itu seolah merasakan kesenangan tanpa akhir.
Gerakan Miyuki semakin kuat dan cepat karena dia juga ingin keluar. Sawamura meremas rambut Miyuki. Dan, sebelah tangan Miyuki meraih tangan Sawamura di kepalanya dan meremasnya perlahan. Gerakan yang sederhana, tapi jantung Sawamura berdetak gila-gilaan.
Kendalikan dirimu, bisiknya pada diri sendiri.
Sawamura menyambut genggaman tangan Miyuki. Mereka saling menggenggam tangan ketika keluar. Cairan sperma Sawamura membasahi seluruh perutnya dan dia merasakan penis Miyuki perlahan-lahan kembali.
Miyuki menunduk untuk menciumnya dengan manis dan lembut, seolah itu adalah ucapan terima kasih. Tangan mereka masih bertaut. Sawamura tidak ingin melepaskannya. Dia ingin menggenggam tangan itu terus. Di atas ranjang, di kesehariannya juga. Miyuki melepaskan ciuman mereka dan dia menunduk ke arah perut Sawamura yang penuh dengan cairannya sendiri. Dia mulai menjilati cairan itu hingga bersih.
Melihatnya, Sawamura tertawa pelan.
Barulah Miyuki mengeluarkan penisnya dari dalam Sawamura dan membuang kondomnya. Sawamura masih setengah tidur di sofa dan masih berusaha mengumpulkan tenaganya. Miyuki kembali duduk di sampingnya. Kali ini, dia meraih kepala Sawamura dan meletakkannya di atas dadanya sendiri. Sawamura setengah dipeluk oleh Miyuki. Dia menyamankan dirinya dalam pelukan Miyuki.
"Kau seksi sekali tadi," kata Sawamura pelan. Dia mengusap dada Miyuki yang basah karena keringat. Miyuki mencium puncak kepala Sawamura. Tindakan yang manis dan ringan, tapi membuat seluruh hati Sawamura berdenyut sakit. Dia memutuskan untuk mengabaikan perasaannya.
"Kau suka?" tanyanya.
"Apa kau bercanda? Itu hal terseksi yang pernah dilakukan orang padaku."
Miyuki tertawa pelan. Dia memainkan rambut Sawamura dengan lembut. Mengusap-usapnya. Semua itu membuat jantung Sawamura berdebar-debar dan dia mulai memejamkan matanya. Dia mendengarkan suara detak jantung Miyuki. Apakah perasaannya saja atau memang debaran jantung Miyuki juga bertalu-talu sepertinya?
Perasaan Sawamura saat ini meluap-luap, sampai terasa menyakitkan. Dia ingin mengatakan di momen seperti ini, bahwa Sawamura ingin melupakan semua perjanjian mereka. Dia ingin bersama Miyuki, bukan karena mereka senasib di masa lalu, tapi karena dia adalah Miyuki. Miyuki yang ditemuinya di bar ketika mabuk, Miyuki yang mengembalikan kartu identitasnya. Jika saat itu kartu identitas tidak ketinggalan, apa yang akan terjadi?
Sawamura begitu terbuai dengan sentuhan Miyuki sampai suara Miyuki membangunkannya. "Apa?" tanya Sawamura. Dia menoleh ke arah Miyuki.
"Makan malamlah di sini," kata Miyuki. "Aku akan memasak untuk kita."
Sawamura melepaskan diri dari Miyuki. "Aku mau coba masakanmu," katanya bersemangat.
Miyuki tersenyum lebar. Mereka memakai lagi pakaian yang berserakan dan Sawaura mengikuti Miyuki ke dapurnya.
"Sejak kapan kau bisa memasak?" tanya Sawamura. Miyuki mengambil semua alat-alat untuk masak. Sawamura menontonnya.
"Aku mulai memasak sejak kuliah," jawab Miyuki. Dia mengambil bahan-bahan masakan di kulkas. "Kau mau makan apa?" tanyanya.
"Apapun yang kau masak," jawab Sawamura. "Kau belajar masak dari siapa?" tanya Sawamura. Dia ingin tahu lebih banyak tentang Miyuki. Dia ingin mengenal Miyuki lebih dari sekedar hubungan kasual mereka.
"Dari teman satu kamarku di asrama mahasiswa." Miyuki mulai memotong-motong sayuran dan bumbunya.
"Kau masih sempat masak sendiri dan kuliah arsitektur?" tanya Sawamura.
Miyuki tertawa. "Percayalah, aku tidak sanggup makan di luar terus. Tunjangan mahasiswaku sedikit."
Sawamura mengamati Miyuki yang dengan lincah mencampurkan bumbu-bumbu dan menumisnya. Miyuki memasak seolah itu sudah bagian dari dirinya. Sawamura merasa Miyuki semakin menarik. "Apa kau bisa membantuku?" tanya Miyuki.
"Kau mau aku melakukan apa?" tanyanya.
"Tolong cuci udang-udang yang baru aku keluarkan dari freezer," pinta Miyuki.
"Apa yang akan kau masak?" tanya Sawamura. Dia mengeluarkan udang-udang dan mulai mencucinya. Mereka bersisian di dapur dan Sawamura merasakan sebuah perasaan yang familiar. Kegiatan mereka hanyalah kegiatan rumahan biasa, memasak bersama, berbincang-bincang, tapi semua itu membuat Sawamura senang. Miyuki ada di sisinya dan itu berarti segalanya.
"Nasi goreng dengan tempura," jawab Miyuki. "Kau tidak ada alergi udang atau apa kan?"
Sawamura menggeleng. "Aku pemakan segalanya."
Miyuki terkekeh. "Termasuk sperma ya."
Sawamura menggelengkan kepalanya. "Kau benar-benar tidak bisa lepas dari percakapan seperti ini ya."
"Tapi kau suka dengan topik seperti ini kan? Mungkin lain kali kita harus coba di dapur."
Sawamura menunjuk lantainya. "Di sini? Yang benar saja."
"Kenapa? Kau malu ya."
"Kau berniat menjadi sutradara AV atau bagaimana? Atau kau ke Kyoto untuk syuting film AV?" tanya Sawamura.
Miyuki menyenggolnya dengan main-main. "Aku ketahuan. Tahu sesi sex call kita? Itu adegan salah satu film kami."
"Berarti aku harus minta komisi," kata Sawamura. "Lumayan untuk biaya tambahan hidup."
Miyuki tertawa. "Hooo, apa sebaiknya kita video kan saja untuk seterusnya?"
"Sembarangan. Biayaku mahal kalau kau mau buat video."
"Jangan bilang kau punya situs OnlyFans."
"Kau pikir gaji sebagai dosen cukup untuk hidup di Tokyo? Kakiku bagus kan?" Sawamura mengedipkan matanya.
Miyuki tertawa. "Mana udang-udangnya?" tanya Miyuki. Sawamura menyerahkan udang-udang yang sudah dicuci. "Boleh tolong ambil tepung di rak atas?" Miyuki menunjuk sebuah rak.
Sawamura membuka rak tersebut dan mengambil tepung. "Kau bisa membalurkan udang tersebut kan? Nanti tepungnya kau aduk dengan bumbu dulu."
"Siap chef."
Miyuki tertawa. Mereka bekerja tanpa bersuara untuk beberapa waktu. Sawamura menikmati semua keheningan kali ini. Miyuki bekerja dengan cepat dan kadang memberi Sawamura instruksi. Kadang dia juga membantu Sawamura jika lelaki itu kebingungan.
Tak berselang lama, makanan mereka jadi dan mereka duduk berhadap-hadapan di meja makan. Aroma bumbu nasi goreng dan tempura menguar membuat perut Sawamura keroncongan. "Selamat makan."
Sawamura menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. "Enak!" serunya. "Kau benar-benar jago, chef!" Dia tidak pernah berpikir masakan Miyuki seenak ini. Dia tersenyum sepanjang memakan karena akhirnya dia mencoba masakan Miyuki. Rasanya batasan itu semakin kabur. Namun, Sawamura memutuskan untuk tidak memikirkannya.
"Terima kasih," ujar Miyuki. "Kau sesenang itu memakannya?"
Sawamura terlalu kelaparan untuk merasa malu. Dia mengangguk. "Karena ini masakanmu," katanya.
Miyuki tersenyum. "Kalau kau mau, kita bisa masak bersama terus."
"Untuk seterusnya?"
"Untuk seterusnya."
.
MIYUKI KAZUYA
"Karena ini masakanmu," kata Sawamura.
Miyuki tertegun mendengarnya. Dia menatap Sawamura yang tampak menikmati masakannya. Sudah berapa lama sejak Miyuki berbagi masakan dengan orang lain? Sudah berapa lama Miyuki tidak memasak bersama dengan orang lain? Sekali lagi, Sawamura membuat dunia Miyuki kembali penuh dengan warna.
"Kalau kau mau, kita bisa masak bersama terus."
Kedua iris Sawamura berbinar. "Untuk seterusnya?"
Untuk selamanya, jika kau meminta.
"Untuk seterusnya."
Mereka menghabiskan makanan mereka dan menaruhnya di kitchen sink, lalu mereka mencuci piring bersama. Miyuki tidak bisa berhenti bersenandung selama Sawamura bersamanya di dapur. Masak bersama, makan bersama dan membagi pekerjaan rumah bersama. Semua itu sudah lama Miyuki rindukan.
"Ada es krim?" tanya Sawamura ketika dia selesai mengelap semua piring yang sudah mereka cuci. Miyuki mencuci tangannya sebelum mengeringkannya dengan tissue dapur.
"Ambil di freezer," ujarnya. Sawamura menuju kulkas dan mengambil sebuah es krim berwadah mangkok.
"Magnum. Fancy," komentarnya.
Miyuki mengambil dua buah sendok dan mengikuti Sawamura ke sofa. Dia menyalakan televisi dan memilih film. Miyuki duduk di sampingnya. Sawamura membuka es krim tersebut dan mengambil satu sendok dari Miyuki. Mereka mulai memakan pencuci mulut sambil menonton.
Sawamura duduk sangat dekat dengan Miyuki. Dia tampak menikmati film yang sedang berputar di Netflix, tetapi Miyuki tidak bisa berkonsentrasi. Dia lebih tertarik melihat Sawamura. Sawamura yang berada di dekatnya, beraroma cerutu dan juga cologne, Sawamura yang tertawa, menanggapi leluconnya, dan Sawamura yang bersantai di dekatnya. Miyuki menikmati waktu-waktu malas seperti ini. Hanya berdua dengan Sawamura, melontarkan lelucon jorok, mengganggu dan menggoda Sawamura, semua itu ingin terus Miyuki lakukan.
"Jadi, OnlyFans ya."
Sawamura menatap Miyuki dan mendengus. "Kenapa? Kau penasaran dengan akunku?" tanyanya.
"Apa fansmu banyak?"
"Cukup untuk membayar biaya sewa apartment."
Miyuki tertawa. "Jadi dosen adalah kegiatan sampinganmu. Kulihat kau orang yang sibuk, Sawamura."
"Begitulah. Jadi, jangan buang-buang waktuku."
Miyuki merendahkan kepalanya. Dia berbisik, "Aku buang-buang waktumu? Seingatku kau yang bersemangat ketika kubuka pintu depanku."
Sawamura mendengus. "Masa? Aku tidak ingat."
"Mau kuingatkan lagi?" bisik Miyuki sambil menciumi seluruh telinga kanan Sawamura. Sawamura menggeser kepalanya menjauh.
"Geli," katanya sambil tertawa. "Kau menggangguku menonton filmnya."
"Kau menonton filmnya?" tanya Miyuki. Dia masih menciumi seluruh sisi wajah kanan Sawamura.
"Benar, Miyuki Kazuya. Aku menonton filmnya sambil memakan es krim."
"Aku punya ide," kata Miyuki.
"Paling hanya ide mesum," dengus Sawamura. Miyuki mengambil es krim di tangan Sawamura.
"Aku bisa memikirkannya," kata Miyuki. Namun, Sawamua mengambil lagi es krim dari tangan Miyuki dan memakannya. "Ayolah," kata Miyuki.
"Sabar Miyuki. Kita masih punya banyak waktu," kata Sawamura. Dia menyenderkan kepalanya ke bahu Miyuki dan kembali menonton. Kali ini, Miyuki tidak mengusiknya. Dia ikut memakan es krim di tangan Sawamura dan menonton. Sesekali, dia mengelus puncak kepala Sawamura dan merasakan rambutnya yang halus. Jika detik itu Sawamura meminta padanya, maka Miyuki akan memberikan segalanya. Namun, Sawamura tidak mengatakan apapun. Dia menonton dengan berbagai ekspresi. Bahkan, ketika Sawamura kembali ke apartment-nya setelah mereka mandi, Sawamura tidak meminta apapun padanya.
Begini sudah cukup, ini sudah lebih dari cukup. Miyuki meresapi momen itu baik-baik, sambil berusaha menekan perasaannya.
.
Hari itu Miyuki memutuskan untuk mengajak Sawamura pergi. Mereka pergi ke Tokyo Tower. Kali terakhir mereka pergi bersama, Sawamura mengajaknya ke Planetarium untuk melihat hujan meteor. Setidaknya, Miyuki harus membawanya ke tempat yang bagus dan romantis. Dia ingin membuat Sawamura senang dan terpukau.
"Dari mana asalmu?" tanya Sawamura.
"Aku dari Tokyo. Lahir, besar, sekolah, dan bekerja di Tokyo."
"Jadi kau anak Edo."
"Percayalah, hanya orang tua yang masih mengucapkan kalimat seperti itu."
"Itu yang selalu diucapkan oleh orangtuaku untuk anak kota. Jadilah seperti anak Edo. Dasar, memangnya kau anak Edo?" Sawamura meninggikan suaranya, seolah meniru suara seseorang yang tidak Miyuki kenal.
Miyuki tertawa. "Kau berasal dari mana?" tanya Miyuki.
"Nagano. Kau berkuliah dimana?"
"Dari Universitas Swasta. Kau alumni Todai?" Sawamura mengangguk. "Sudah lama menjadi dosen?" tanyanya.
"Belum terlalu lama. Sebelumnya aku guru les matematika."
"Apa kau suka mengajar?" tanya Miyuki.
"Aku suka menyelesaikan persamaan dan aku ingin orang lain merasakan sensasi yang aku rasakan ketika berhasil. Aku ingin membagikan perasaan itu."
"Tidak terlalu mudah, eh?"
Sawamura tertawa. "Sama sekali tidak. Mereka lebih sering memberiku migrain dibandingkan soal."
Mereka menaiki lift untuk sampai ke puncak dari Tokyo Tower. Sudah banyak orang-orang yang melihat pemandangan Kota Tokyo dan berfoto-foto. Mereka berjalan menuju kaca pembatas untuk bisa melihat pemandangan lebih jelas.
"Apa kau punya saudara?" tanya Sawamura.
Miyuki menggeleng. "Orangtuaku dua-duanya bekerja. Dan punya anak lebih dari satu adalah beban besar. Aku menghabiskan hari-hariku di penitipan anak atau ikut les."
"Tipikal anak kota," komentar Sawamura. Miyuki tertawa. Dia menghela napas. "Sebelum depopulasi menjadi tren, Tokyo tetaplah kota sibuk. Lebih baik menghabiskan waktu bersama orang lain di daycare atau les, daripada di rumah. Mereka juga jarang memasak." Miyuki menatap Sawamura. "Bagaimana denganmu?"
Sawamura mengangkat bahu. "Orangtuaku kesulitan punya anak. Sebelum aku lahir, mereka sudah banyak mencoba dan banyak keguguran juga. Aku lahir ketika usia mereka sudah tidak muda."
"Berapa usia orangtuamu saat kau dilahirkan?" tanya Miyuki.
"Ibuku 45 tahun dan Ayahku 50 tahun. Mereka sering disangka kakek nenekku setiap ada pertemuan orangtua. Mereka juga jadi orangtua murid paling tua selama aku bersekolah."
"Mereka tinggal di Nagano?"
"Iya. Dulu mereka punya ladang, tapi sekarang sudah dijual. Sedikit banyak biaya hasil penjualan ladang itu untuk biaya kuliahku." Sawamura menghela napas. "Apa pekerjaan orangtuamu? Apa mereka masih di Tokyo?"
"Mereka pegawai pemerintah, tapi sekarang sudah pensiun. Mereka pindah ke Hokkaido karena mau ganti suasana. Dan kabar terakhir yang kudengar, mereka sedang naik kapal pesiar dari Hokkaido dengan rute Hong Kong."
Sawamura tertawa. "Orang tuamu tahu caranya bersenang-senang."
"Begitulah." Miyuki menghela napas. "Aku juga mau liburan," keluhnya.
"Mau liburan bersama?" tanya Sawamura. Miyuki menatapnya. "Desember nanti jadwal kuliah sudah selesai. Kau mau liburan bersama? Kita bisa pergi ke onsen atau bermain ski. Kau tahu, melepas penat sejenak. Kurasa kita berdua butuh liburan."
Miyuki mencerna penawaran Sawamura baik-baik. Liburan itu terasa sangat sempurna. Mereka bisa menghabiskan waktu berdua, hanya berdua, berhari-hari, dan tidak terpisahkan. Sawamura tidak harus kembali ke apartment-nya dan Miyuki tidak harus tidur sendiri di tiap malam. Sawamura akan ada di sebelahnya dan Miyuki sudah bisa membayangkan betapa sempurnanya hal itu.
Terlalu sempurna.
Hati Miyuki kalut. Jika Miyuki saja sudah bisa jatuh cinta pada Sawamura hanya dengan pertemuan-pertemuan singkat mereka, apa yang akan terjadi jika dia menghabiskan waktu berhari-hari dengan Sawamura? Melihat wajah Sawamura sebelum tidur dan melihat wajah Sawamura di pagi harinya. Bisa-bisa Miyuki tidak bisa menyembunyikan lebih dalam lagi perasaannya. Bisa-bisa Sawamura menyadari bahwa Miyuki telah melanggar peraturan paling penting dalam hubungan kasual mereka dan itu akan membawa kehancuran untuk hubungan ini.
"Kau tidak perlu terlalu keras memikirkannya," kata Sawamura lagi. Dia melihat Miyuki yang diam. "Ini hanya penawaran. Bulan Desember juga masih lama. Aku mengatakannya karena pemilik penginapan onsen itu keluarga teman dekatku. Kurasa aku bisa membujuknya memberikan diskon untuk kita berdua."
Miyuki memaksakan sebuah tawa. Bayangan liburan itu memenuhi kepala Miyuki. Sangat sempurna, persis seperti di film-film. "Jangan menyalahgunakan pertemanan kalian," kata Miyuki bercanda. Sawamura hanya berdecak.
Mereka kembali menikmati waktu di Tokyo Tower, sesekali Sawamura meminta bantuan orang untuk memotret mereka berdua atau sekedar memotret pemandangan. Setengah dari jiwa Miyuki sudah tidak berada di Tokyo Tower. Dia mengulang kata-kata Sawamura. Liburan untuk mereka berdua. Bermain ski dan berendam di onsen. Melanggar peraturan. Jatuh cinta.
Dia menatap Sawamura yang sibuk mengamati detail Kota Tokyo dengan sebuah teropong yang memang disediakan di beberapa tempat di seluruh lantai. Miyuki meresapi baik-baik seluruh ekspresi di wajah Sawamura. Begitu bebas, begitu ceria dan begitu senang. Dia tidak lagi menemukan sisa-sisa kesedihan seperti di klub malam kala itu. Apakah ekspresi itu ada karena dia bertemu Miyuki?
Apa yang akan terjadi pada mereka berdua jika saat itu Miyuki tidak mendatangi bar karena ingin menjauh dari kehebohan yang dibuat teman-temannya? Mungkin Sawamura akan tetap duduk sendiri di bar, bergumam dan membentak-bentak setiap orang yang datang karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Miyuki bersyukur di malam itu dia memutuskan untuk pergi ke bar, duduk di sebelah Sawamura dan menjawab pertanyaannya. Tidak ada satu hari pun dia menyesalinya.
Aku benar-benar telah jatuh cinta padamu, batinnya sedih.
.
Mereka memutuskan untuk mencari makanan hangat setelah selesai dari Tokyo Tower. Akhirnya, mereka memasuki sebuah kedai ramen yang ramai, tetapi masih ada tempat untuk dua orang. Selagi menunggu ramen mereka dihidangkan, mereka berbincang-bincang ringan.
"Apa olahraga favoritmu?"
Sawamura tampak berpikir. "Aku netral, suka semua olahraga. Oh, tapi kurasa aku suka semua olahraga yang memainkan strategi."
"Kau mendeskripsikan hampir semua jenis cabang olahraga," ujar Miyuki.
"Oke, aku ralat. Aku suka catur dan mungkin semua olahraga yang memakai bola."
"Kau sering bermain catur?"
"Menemani Ayahku. Aku sudah bilang kan, kalau mereka sudah tua ketika aku masih kecil? Jadi, aku ikut ke ladang dan suka menonton para petani bermain catur untuk menghabiskan waktu." Sawamura menatap Miyuki. "Bagaimana denganmu?"
"Aku suka sepakbola," kata Miyuki.
"Liga apa yang kau dukung?"
"Jangan memulai sesuatu yang tidak akan bisa kau hentikan," kata Miyuki.
Sawamura terbahak. "Oke, kau maniak ternyata. Kau ikut klub sepakbola?"
"Iya."
"Apa posisimu?"
"Center Back."
Sawamura mengangguk. Ramen mereka datang. Wangi rempah-rempah dan kaldu menguar, membuat perut Miyuki keroncongan.
"Siapa penulis favoritmu?" tanya Miyuki.
"Jane Austen."
"Itu jawaban yang cepat."
Sawamura tertawa. "Penulis anonim paling romantis sepanjang Sejarah."
"Kupikir Romeo-Juliet kisah itu."
Sawamura melotot tidak percaya. "Kau bilang Romeo-Juliet kisah paling romantis? Ada yang salah denganmu."
"Kenapa? Mereka mati akhirnya. Dunia mengakui itu."
"Jadi menurutmu kematian adalah kisah romantis? Orang tidak bisa mengungkapkan rasa cintanya setelah mati. Titanic, Romeo-Juliet, itu bukan romantis. Itu tragis."
"Setidaknya mereka mati bersama. Kecuali Titanic. Rose masih hidup sampai beberapa puluh tahun ke depan, tapi kau paham maksudku."
"Cinta itu ada karena kehidupan. Orang bisa tahu dia dicintai karena ungkapan itu dikatakan ketika masih hidup. Orang mati tidak bisa mengungkapkan perasaannya dan orang mati tidak bisa mendengar ungkapan cinta. Kematian adalah kematian."
Ada benarnya apa yang dikatakan Sawamura. Cinta ada karena kehidupan. Orang mati tidak bisa mencintai dan tidak bisa dicintai. Mereka tidak punya perasaan lagi. Dan sudah seharusnya orang hidup yang belajar untuk mencintai dan dicintai.
"Tapi Rose masih mengenang Jack," kata Miyuki.
"Dan dia menikah dengan orang lain. Artinya dia pun harus memberikan cintanya pada orang hidup. Orang mati tidak bisa menampung cintanya. Dia tahu bahwa kisahnya sudah selesai."
Kalau Miyuki memberikan cintanya pada Sawamura, maukah dia menerimanya? Sama seperti kisah Jack dan Rose dalam Titanic, orang yang sudah mati tidak bisa menerima cintanya. Pada akhirnya, dia harus memberikannya kepada orang lain.
Pada dasarnya, dunia adalah kuburan.
Aku tidak mau ada orang lain yang tinggal di atas kuburannya.
Akhirnya, Miyuki telah merelakan kuburan yang ada di hatinya. Dia telah membiarkan perasaannya untuk Sawamura tumbuh dan berkembang. Perasaan itu berbuah dengan lebat dan mengisi seluruh hati Miyuki.
.
SAWAMURA EIJUN
Setelah mereka menghangatkan perut dengan ramen dan ocha hangat, kini mereka kembali berjalan di taman kota. Lampu-lampu sudah dinyalakan lebih awal karena cuaca yang selalu kelabu dan angin musim gugur yang semakin menggigit.
"Apa cita-cita pertamamu?" tanya Sawamura.
"Kurasa aku mau berkeliling dunia," jawab Miyuki. Uap hangat keluar dari mulutnya setiap dia bicara.
"Kau mau keliling dunia?" tanya Sawamura memastikan. "Itu cita-cita yang spesifik."
"Aku selalu bermimpi untuk tinggal di sebuah tempat yang tenang dan jauh dari keramaian. Tumbuh besar di Tokyo dengan segala kemacetan dan kepadatannya membuatku selalu ingin menjauh dari keramaian."
"Tinggal di tengah hutan, memiliki 3 ekor anjing Husky, dan setiap hari kerjaanmu hanya memancing dan berburu," lanjut Sawamura.
Miyuki tergelak. "Sangat menggoda. Mungkin setiap dua minggu sekali aku akan pergi ke kota untuk membeli persediaan makanan dan kembali mengurung diri di rumahku di tengah hutan."
Sawamura tertawa mendengarnya. Dia menghirup udara Tokyo yang dingin tetapi tetap berpolusi. Miyuki berjalan di sebelahnya. Suasana sore itu sedikit ramai dan bukan hanya mereka yang berjalan-jalan di sekitar taman kota. Dia menikmati tiap detik yang dihabiskannya dengan Miyuki, meskipun jantungnya berdenyut-denyut menyakitkan. Setiap kali dia menghabiskan waktu dengan Miyuki, Sawamura merasa dia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Semua perlakuan Miyuki, tatapannya, ucapannya, semuanya begitu membuat Sawamura semakin jatuh cinta pada pria itu.
Pria yang menemaninya di kala kesepian, pria yang paling mengerti Sawamura dan pria yang selalu memberinya kehangatan. Namun, pria yang tidak bisa dia miliki.
"Kau punya anjing?" tanya Sawamura.
Miyuki menggeleng. "Pertama, Ibuku alergi dengan bulu binatang. Kedua, mereka terlalu sibuk untuk merawat anjing. Tapi kurasa suatu hari nanti aku ingin memelihara anjing."
"Husky?"
Miyuki menggeleng. "Mereka merepotkan dan manja. Aku belum siap untuk mendengar lolongan mereka setiap hari karena telat memberikan mereka makan siang."
Sawamura tertawa. "Benar, mereka memang merepotkan dan biaya hidupnya mahal. Jadi, anjing seperti apa yang ingin kau pelihara?"
"Golden Retriever sepertinya," ujar Miyuki. "Mereka besar, menggemaskan, tapi tidak merepotkan seperti Husky. Mereka juga gampang dididik."
Sawamura membayangkan Miyuki di mansion-nya, dengan seekor anjing Golden Retriever-nya. Saling bersantai di sofa sambil menonton film. Lalu anjingnya akan mengikuti Miyuki kemana pun, termasuk ke kamar mandi. Mereka akan tidur di tempat tidur Miyuki meskipun dia punya tempat tidur sendiri. Namun, Sawamura yakin bahwa Miyuki tidak keberatan. Dia akan menyayangi anjing itu.
Lalu mungkin sewaktu-waktu Sawamura akan datang berkunjung dan mereka akan main bertiga. Menonton film bertiga, Sawamura menemani anjing itu bermain, sementara Miyuki memasak untuk mereka atau sekedar mengocehkan film yang sedang mereka tonton. Lalu ketika mau tidur, Sawamura akan melarang anjing itu naik ke tempat tidur karena ranjang mereka sudah tidak cukup. Miyuki akan tertawa dan tetap mengelus anjingnya, mengatakan bahwa malam itu dia tidak boleh tidur bersamanya. Sawamura akan mengatakan bahwa Miyuki terlalu memanjakannya dan Miyuki akan membungkamnya dengan ciuman.
Bayangan itu begitu sempurna sampai Sawamura hampir saja percaya bahwa itu adalah masa depan mereka. Namun, tentu saja hal seperti itu tidak akan terjadi. Tidak ada masa depan bagi mereka berdua jika Sawamura tetap jatuh cinta pada Miyuki. Masa depan yang menantinya hanyalah sendirian dalam kegelapan di apartment-nya karena Miyuki meninggalkannya. Karena perjanjian mengikat mereka dengan ketat dan Sawamura tidak bisa bernapas.
Miyuki berjalan dua langkah di depannya dan Sawamura menatap punggungnya. Dia ingin menggenggam tangan Miyuki, menyenderkan kepalanya ke bahu Miyuki dan merasakan kehangatan dari Miyuki. Sawamura telah mencicipi hal itu dan dia tahu bahwa dia ketagihan. Namun, dia mengendalikan dirinya. dia memasukkan kedua tangannya ke saku mantelnya dan melangkah menuju Miyuki.
Aku tidak boleh egois.
.
Sawamura baru saja selesai merapikan kertas-kertas hasil penyelesaiannya dan memasukkannya ke dalam sebuah map, ketika ponselnya berdering dan Miyuki meneleponnya. Dia mengangkat telepon itu sambil mengambil segelas air putih di kulkas.
"Hai."
Suara Miyuki serak di ponselnya. sawamura mengernyit. "Miyuki, kau oke?" tanyanya.
"Iya aku… cuma mau mendengar suaramu," katanya lemah. Jantung Sawamura berdebar mendengarnya. Namun, suara Miyuki masih membuatnya khawatir. Sawamura berjalan ke kursi makannya dan duduk di sana. "Apa kegiatanmu hari ini?" tanya Miyuki di seberang sana.
"Aku mengajar, lalu makan siang dengan temanku dan mengajar lagi. Kau tahu, kegiatan dosen hanya mengajar," jawab Sawamura setengah bercanda. Miyuki mengeluarkan kekehan pelan. "Apa kegiatanmu?" tanya Sawamura pelan.
"Aku bertemu klien," kata Miyuki, "lalu mereka menarik proyekku."
"Proyek Kyoto?"
"Bukan, tapi proyekku sebelum Kyoto. Diambil alih oleh firma lain."
Sawamura melirik jamnya, masih menunjukkan pukul 7 malam. "Kau baik-baik saja sekarang? Aku ikut prihatin."
Miyuki tertawa hambar. "Mau diapakan lagi, hal seperti ini sesekali terjadi. Ah, tapi aku merasa payah saat ini."
Sawamura menarik napas. "Apa kau mau aku datang?" tanya Sawamura. Dia menggigit bibirnya.
Miyuki tidak langsung menjawab. "Tapi perjanjiannya–"
"Dengar Miyuki," potong Sawamura. Dia tidak bisa mendengar kata-kata itu. Tidak sekarang, tidak setelah dia melanggar peraturan. Dia sudah hapal di luar kepala isi perjanjian itu dan dia ingin melupakan sejenak apa yang menjadi penghalang terbesar untuk perasaannya. "Aku datang sebagai teman. Kita tidak perlu bercinta. Hanya minum alcohol dan menjelek-jelekkan klienmu. Bagaimana?"
Miyuki tertawa. "Aku suka tawaranmu. Aku sudah memikirkan berbagai hinaan."
Sawamura tersenyum mendengar jawaban Miyuki. "Aku tidak akan membiarkanmu sendirian malam ini. Aku akan sampai 30 menit lagi, oke?"
"Sawamura," kata Miyuki sebelum dia menutup teleponnya. "Terima kasih."
.
Miyuki sudah berbau alcohol ketika membuka pintu mansion-nya. Wajahnya kusut dan Sawamura berusaha menyunggingkan senyum. "Hai," katanya. "Rupanya kau sudah curi start." Dia melirik dua botol wiski yang berjejer di meja makannya.
Sawamura melepaskan mantel dan membuka sepatu, lalu dia mengikuti Miyuki ke meja makan. Miyuki mengambil satu gelas untuk Sawamura dan menuangnya. Sawamura duduk di depan Miyuki. Sawamura meminum pelan wiski-nya. Dia tidak boleh mabuk, karena dia di sini untuk menghibur Miyuki.
"Terima kasih mau datang malam-malam seperti ini," kata Miyuki sambil meneguk lagi isi gelasnya.
"Kadang aku pun ingin membunuh mahasiswaku sendiri."
Miyuki tertawa. "Tahu film The Purge? Dimana kau bebas membunuh semua orang menyebalkan di dunia ini untuk satu hari. Aku punya banyak list nama yang harus kubunuh."
"Aku akan membantumu. Jadi, kau mau cerita?" tanya Sawamura.
Miyuki menghela napas. "Sebenarnya itu masalah sederhana. Seorang arsitek memegang lebih dari satu proyek itu bukan masalah. Firma itu memang sudah berkompetisi dengan firma kami sedari dulu. Kami sering bersaing untuk mendapat proyek-proyek besar. Jadi, tidak bisa dibilang hal baru." Miyuki menuang lagi gelasnya yang kosong. Sawamura tidak menghentikannya.
"Tapi tetap saja menyebalkan. Aku memegang proyek itu dari awal. Aku mendesain semuanya, aku yang mempresentasikan semuanya dan mereka merebutnya. Di sisi lain, aku bisa fokus untuk Kyoto sekarang. Setidaknya itu bisa kusyukuri, kan?" Dia menatap Sawamura meminta persetujuan. Sawamura mengangguk.
"Tetap saja! Pasti sudah beredar gossip-gossip mengenai masalah ini. Yang paling malas adalah mendengarkan gossip aneh-aneh dari orang yang tidak paham. Dunia arsitektur itu keras, kau gampang sekali tersingkir dan itu melelahkan." Miyuki menunduk dan meremas rambutnya.
Dengan pelan, Sawamura meraih tangan Miyuki yang memegang gelas wiski. Sawamura tidak mengatakan apapun, tapi itu cukup. Miyuki meresponnya dengan menggenggam tangan Sawamura. Tangan mereka kembali bertaut dan Sawamura tidak berniat melepaskannya. Miyuki tidak menepisnya saja dia sudah bersyukur. Dia tidak akan mengatakan apapun untuk penghiburan, karena Sawamura tahu persis apa yang sebenarnya dicari Miyuki. Bukan kata-kata penghiburan, melainkan keberadaan seseorang di saat terpuruk.
Sawamura pernah melewati masa-masa itu sendiri dan dia merasa terkadang mati lebih baik daripada sendirian. Miyuki pun pasti merasa seperti itu. Mabuk dan sendirian adalah kombinasi paling buruk.
Miyuki menatapnya dan dia tersenyum. "Ceritakan firma itu," kata Sawamura. Tangan mereka masih bertaut. Kehangatannya menjalar di seluruh tubuh Sawamura.
"Ada teman kuliahku yang bekerja di sana. Dan dia yang akan mengambil proyekku. Rasanya seperti dikhianati."
"Teman dekat?"
Miyuki mengangkat bahu. "Dibilang dekat, tidak juga. Dibilang bukan teman, kami sering berinteraksi. Dia seperti rival. Mungkin itu kata yang tepat."
"Kau hanya harus membuktikan proyek Kyoto-mu sukses."
"Benar. Lalu, aku akan melempar uang ke wajahnya."
Sawamura tertawa. "Kau bisa berkeliling dunia dengan uang komisi itu."
Mereka berbincang sedikit lebih lama lagi dan Miyuki membuka satu botol lagi. Di tahap ini, Sawamura sudah setengah mabuk. Tubuhnya panas dan Miyuki terus menuang wiski ke dalam gelasnya. Dia ingin menolak, tapi dia tidak akan bisa menolak tatapan Miyuki. Jadi, dia menyesap wiski itu perlahan-lahan.
"Kau baik sekali Sawamura," kata Miyuki. Dia jelas sudah mabuk. Tatapannya tidak fokus lagi. "Kau tahu, aku memang berharap kau ada di sini malam ini." Ketika dia ingin mengambil botol wiski lagi, Sawamura menghentikannya.
"Miyuki, kau sudah minum banyak. Nanti besok kau yang repot dengan sakit kepala."
Miyuki tertawa. "Tapi takdir kita bertemu karena kita sama-sama mabuk berat. Kau lupa? Sayang sekali kau tidak ingat apapun. Itu malam yang penuh kenangan."
Sawamura memutar gelasnya. Dia memutuskan ini sudah saatnya mereka berhenti minum. "Oke, kau sudah cukup mabuk dan membuat list untuk hari pembunuhan masal." Sawamura bangkit dari kursinya dan hendak membereskan gelas-gelas dan botol-botol mereka. Namun, dia melepas genggaman Miyuki dan pria itu panik.
Dia bangkit mendadak. "Kau mau kemana? Tetap di sini," ujarnya sambil menggenggam lagi tangan Sawamura.
Jantung Sawamura hampir copot karenanya. Dia mengendalikan dirinya. "Aku hanya mau membereskan meja makanmu. Aku tidak kemana-mana."
"Jangan pergi," gumam Miyuki. Lalu, dia terduduk lagi di kursinya. Sawamura membawa semuanya ke dapur dan kembali kepada Miyuki. Dia duduk di samping Miyuki.
Sawamura menatapnya prihatin. "Kau pasti kesepian ya," bisiknya. Dia membawa kepala Miyuki ke dadanya dan memeluk pria itu. "Aku tahu malam-malam sepi itu."
Untuk kali ini saja. Buat ini jadi pengecualian.
Miyuki meresponnya dengan melingkarkan kedua lengannya di pinggang Sawamura. Pria itu bernapas teratur. Untuk sesaat, Sawamura merasa dirinya melakukan kecurangan. Dia memanfaatkan Miyuki yang mabuk untuk kepentingannya sendiri. Seharusnya hal itu tidak boleh. Seharusnya apa yang saat ini mereka lakukan itu tidak boleh terjadi. Jelas-jelas ini sudah melanggar peraturan. Dia seharusnya tidak melangkah terlalu jauh dalam hubungan mereka. Seharusnya Sawamura membatasi dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak membuka hatinya pada Miyuki. Seharusnya hubungan mereka hanya sebatas seks.
Namun, kini semuanya sudah terlambat. Sawamura sudah terjebak dalam permainan mereka berdua. Dia tidak tahu apakah dia bisa melepaskan dirinya atau dia melepaskan Miyuki. Jika ingin bertahan dalam hubungan ini, satu-satunya cara adalah menekan perasaannya, tapi semakin lama hal itu sulit dilakukan. Jika dia memilih perasaannya, maka dia harus melangkah keluar dari hubungan mereka dan dia akan kehilangan Miyuki.
Dia akan ditinggal sendirian lagi. Sawamura tidak mau sendirian. Dia takut akan kesendirian. Miyuki membuatnya menjadi lebih hidup dan menghangatkan seluruh hatinya. Miyuki membuatnya sadar bahwa dunia tidak berakhir hanya dengan kematian orang terkasih. Miyuki membuat Sawamura percaya bahwa akan ada akhir bahagia setelah semua penderitaan yang dialaminya. Jika bukan Miyuki, Sawamura tidak mau.
Pelukannya mengencang. Dia merasakan seluruh tubuh Miyuki yang ada di dalam pelukannya. Benar, Miyuki berharga dan Sawamura mencintainya dengan sepenuh hatinya. Dia akan terus memilih Miyuki.
.
Miyuki K: Kau benar, aku butuh liburan. Apa penawaranmu masih berlaku?
Sawamura tersenyum begitu lebar saat membaca pesan yang baru masuk di ponselnya. hampir dia bersorak senang dan terancam diusir dari Klub Buku yang menjunjung tinggi ketenangan.
"Wah wah, kau baru menang lotere?" tanya Haruichi sambil menaruh cerutunya dan meneguk wine putih.
"Haruo, apa aku bisa booking di penginapan keluargamu untuk bulan Desember nanti? Sekitar 1 minggu," kata Sawamura.
Haruichi mengangkat alisnya. "Kau mau liburan di sana? Ini pertama kalinya kau inisiatif mau liburan." Dia menatap Sawamura dengan tatapan tajam. "Kau mau berlibur bersama siapa?" tanyanya.
Dia baru ingat bahwa Haruichi tidak tahu menahu soal Miyuki Kazuya dan semua yang terjadi di antara mereka. Dia sudah lama tidak bicara dengan Haruichi mengenai kehidupan seks-nya. Dia sedikit merasa bersalah, hanya saja selama ini dia dibuat bingung dengan perasaannya. Sekarang, setelah dia menyadari perasaannya terhadap Miyuki, dia ingin menceritakannya. Dia ingin ada orang lain yang bisa mendengar apa yang dia rasakan. Sawamura yakin Haruichi tidak akan menghakiminya.
Jadi, Sawamura menutup buku Emma yang sedang dibacanya dan menaruhnya di sebelah wine dan cerutunya yang baru dinyalakan. Dia mengambil cerutunya dan mengisapnya. "Haruo, aku bertemu seseorang."
Dan, Sawamura menceritakannya. Semuanya. Awal mula pertemuannya, kesalahan mereka berdua, kartu identitas Sawamura yang ternyata berada di Miyuki, lalu perjanjian mereka berdua. Dia menceritakan mengapa mereka begitu mirip, dengan luka hati yang sama, kesepian dan kesendirian yang sama, semuanya. Sawamura juga menceritakan apa yang dirasakannya belakangan ini dan kebimbangannya. Namun, dia ingin melanjutkan hubungan mereka dan menyimpan perasaannya. Perasaannya untuk Miyuki yang menyakitkan tapi membuat candu. Dia hanya akan mencurahkannya pada gelapnya malam sehingga tiada orang yang mampu melihatnya.
"Kau itu… masokis ya?" tanya Haruichi setelah Sawamura selesai bercerita. Abu dari cerutunya menumpuk di asbak.
"Cuma itu komentarmu?" dengus Sawamura.
Haruichi mengisap cerutunya. "Kau menyakiti perasaanmu sendiri. Dan untuk apa? Hubungan kasual? Friends with benefits? Itu bahasanya sekarang? Kenapa kau yakin sekali bahwa itu hanya perasaan satu pihak?"
"Bukankah sudah jelas? Kami tidak bisa jatuh cinta. Hubungan ini bisa berakhir kalau aku mengungkapkan perasaanku. Dia akan pergi. Aku tidak mau sendirian lagi, Haruo."
"Tapi kau mau sampai kapan memendamnya? Dan lagi, hubungan seperti ini bisa bertahan berapa lama? Tidak ada jaminan juga, bukan?"
"Selama mungkin. Akan kupertahankan hubungan ini selama mungkin."
Sawamura menatap ke dalam iris Haruichi. Dia sudah memikirkan semuanya.
"Eijun," kata Haruichi. Dia memajukan tubuhnya dan menatap Sawamura serius. "Aku tidak mau melihatmu menderita. Lagi. Jangan menyiksa dirimu. Itu bukan cinta kalau kau terus merasa kesakitan."
Namun, kisah Sawamura selalu penuh penderitaan. Cinta bagi Sawamura adalah sakit. Dan setelah dia bertemu Miyuki, dia ingin akhir yang bahagia karena dia sudah lelah terus menderita.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," kata Sawamura. "Aku tidak tahu bagaimana caranya supaya dia bisa di sisiku sekaligus mencintainya. Aku tidak bisa melakukan keduanya."
"Apa kau sudah pernah membahas hal ini pada Miyuki?"
Sawamura menggeleng. "Tentu saja tidak! Itu hal tabu untuk dibahas."
Haruichi mengusap wajahnya sebelum menatap Sawamura lagi. "Oke. Dari semua ceritamu, aku menyimpulkan beberapa hal. Pertama, kalian memang memulainya untuk hubungan kasual. Namun, kau bilang beberapa kali kalian pergi bersama dan saling bertukar informasi mengenai masa lalu kan? Apa kau tidak sadar bahwa itu termasuk kencan? Dan kau jelas-jelas merencanakan liburan berdua dengannya. Kurasa jika kau membahasnya, Miyuki akan mengerti."
Sawamura hanya setengah mendengar penjelasan Haruichi. Dia menggeleng. "Kalau dia mengerti. Kalau dia merasa aku melanggar peraturan? Hubungan kami berakhir dan aku bagaimana? Perasaanku bagaimana?"
"Dan sampai kapan kau mau memendamnya?" Haruichi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kupikir kau seorang jenius, rupanya kau tetap saja bodoh dalam masalah ini."
Sawamura merenggut. "Itu tidak membantu."
"Jadi dia persamaan yang sampai sekarang belum kau pecahkan?"
Sawamura tidak menjawab. Dia meneguk wine-nya.
"Kau selalu bilang, setiap persamaan memiliki penyelesaian. Benar begitu? Menurutku, persamaan itu juga punya penyelesaian. Kau hanya harus melihatnya dari sudut pandang lain," ujar Haruichi sambil mengisap cerutunya.
"Tapi bagaimana jika ternyata penyelesaiannya tidak sesuai dengan harapanku?"
Haruichi mengangkat bahunya. "Itu sudah termasuk penyelesaian kan?" Haruichi kembali meneguk wine-nya. "Lagipula, kau tidak akan pernah tahu jawabannya kalau kau tidak berusaha."
Kalimat itu berputar-putar di dalam otak Sawamura.
.
MIYUKI KAZUYA
Bulan Desember adalah bulan yang penuh keajaiban. Bulan penutupan sekaligus gerbang menuju Tahun Baru. Setelah salah satu proyeknya dialihkan ke firma lain, Miyuki memutuskan bahwa dia memang butuh liburan. Sawamura mengurus keperluan semua liburan mereka. Mereka akan menginap di sebuah penginapan yang memiliki onsen dan juga bermain ski. Sungguh sempurna.
Sawamura sudah menantinya di depan stasiun kereta dengan sebuah koper ukuran sedang. Dia melambaikan tangannya ketika melihat Miyuki. Miyuki menurunkan kopernya dari bagasi taksi dan membayar biaya taksi. Barulah dia menghampiri Sawamura.
"Hai," kata Sawamura. Pipinya merona akibat suhu dingin dan dia tersenyum saat melihat Miyuki.
"Hai."
Mereka berjalan bersama masuk ke stasiun kereta. "Apa kau mendapat diskon?" tanya Miyuki.
"Begitulah. Aku tidak sabar mau berendam di onsen dan main ski. Ini semester yang berat," ujar Sawamura.
Miyuki juga tidak sabar untuk liburan bersama Sawamura. Bahkan, jika Sawamura bilang dia ingin berendam di pemandian umum, Miyuki rela mengikutinya. Asalkan dia bersama Sawamura. Asalkan mereka tidak terpisahkan.
Kereta mereka datang dan mereka duduk di tempat sesuai tiket perjalanan mereka. Sawamura memilih di sebelah jendela dan Miyuki duduk di sampingnya. Sawamura menatapnya. "Perasaanmu bagaimana hari ini?" tanyanya.
Miyuki menarik napas dan menghembuskannya. "Apa yang hilang harus direlakan. Namun, proyek Kyoto berjalan lancar. Tidak banyak pertengkaran antara arsitek dan teknik sipil, jadi itu patut dirayakan," ceritanya.
Sawamura tertawa. "Kau memang hebat," candanya.
"Dan bosku berkata akan memilih proyek baru lagi untukku. Sepertinya dia tahu aku benar-benar kesal karena proyekku direbut."
"Syukurlah bosmu pengertian."
Miyuki menunduk memandang tangan Sawamura. Dia ingin menyentuh Sawamura, bukan secara sensual, tapi secara ringan. Dengan berani, dia meraih tangan itu dan menggenggamnya. Dia sudah bersiap-siap tangannya akan ditepis, tapi Sawamura tidak bereaksi seperti itu. Dia membalas genggaman tangan Miyuki. Dia menatap Miyuki dan tersenyum.
Kadang, Miyuki merasa setiap sentuhan dari Sawamura seperti sebuah izin. Seolah Miyuki boleh memiliki perasaan ini dan mengekspresikannya. Namun, kadang Miyuki berpikir bahwa itu hanya ada di imajinasinya saja. Mungkin, dia terlalu sering membayangkan bahwa hubungannya dengan Sawamura akan berhasil dan Sawamura membalas perasaannya. Dengan begitu, dia bisa mencintai Sawamura dengan bebas. Alangkah indah jika itu benar-benar terjadi.
"Apa kau sering mengunjungi orangtuamu di Hokkaido?" tanya Sawamura.
"Sesekali, kalau aku tidak sibuk."
"Berarti kau jago bermain ski?"
Miyuki menggeleng. "Aku mendekam di rumah mereka dan tidur di kotatsu. Tidak sempat untuk olahraga ekstrem itu."
"Ski tidak seekstrem itu!" bantah Sawamura.
"Kau tidak pernah lihat berita banyaknya kecelakaan akibat bermain ski?"
Sawamura mendengus. "Oke, kau tahu. Berhenti bicara. Kita akan main ski dan aku tidak mau dengar presentasimu mengenai kecelakaan ski."
Miyuki mencium pipinya secara ringan sambil tertawa. "Maaf, maaf. Kau benar, kita akan liburan."
Dua jam perjalanan di kereta, akhirnya mereka sampai di stasiun. Dari stasiun, mereka masih harus menaiki kendaraan untuk sampai di penginapan. Penginapan tersebut memang berada di gunung, sehingga tidak mungkin jika hanya jalan kaki.
"Tenang, akan ada mobil dari penginapan yang akan menjemput kita," ujar Sawamura. Tak berselang lama, mobil elf bertuliskan Penginapan Kominato datang. Rupanya, bukan hanya mereka yang mau ke penginapan tersebut. Setelah sopir membantu para wisatawan memasukkan koper-koper mereka ke bagasi, mobil pun berangkat.
Miyuki tidak melepaskan genggaman tangannya, barang satu kali pun. Sawamura pun tampaknya menikmati kontak fisik mereka berdua. Jika Miyuki melupakan semua perjanjian mereka, mereka akan sangat sempurna sebagai pasangan. Liburan natal dan tahun baru berdua di onsen, ciuman tahun baru, seks pertama di tahun baru, semuanya sempurna. Mereka bisa jadi pasangan paling sempurna dan Miyuki bisa jadi pria paling bahagia saat ini.
Hanya saja, perjanjian mereka menjadi jangkar dari imajinasi Miyuki. Awalnya Miyuki mengusulkan perjanjian itu karena dia tahu bahwa dia tidak akan jatuh cinta pada siapapun. Dia hanya ingin melampiaskan kebutuhan biologisnya saja dan tampaknya Sawamura sempurna untuk itu. Dua orang yang tenggelam akan kesedihan dan tidak tahu harus apa. Dan Miyuki yakin Sawamura juga hanya ingin teman yang bisa membuatnya lupa akan semua penderitaannya.
Siapa yang akan menyangka bahwa Miyuki telah mengingkari dan kalah dalam permainan yang dibuatnya sendiri. Dia telah jatuh cinta pada Sawamura. Miyuki takut selama seminggu menghabiskan waktu dengan Sawamura, dia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Miyuki akan hancur jika hubungan mereka berakhir.
Jangan dipikirkan. Aku akan mempertahankan hubungan ini. Aku tidak akan kehilangan Sawamura.
30 menit jalanan mendaki, mereka sampai di penginapan. Penginapan itu merupakan penginapan khas Jepang. Miyuki menurunkan kedua koper mereka sementara Sawamura check in atas namanya. Setelah Miyuki menyusul, Sawamura sudah membawa kunci kamar mereka. Mereka dipandu menuju kamar.
"Makan malam pukul 7 malam dan onsen bisa dipakai 24 jam," ujar pegawai di sana. "Untuk ski, kalian bisa berjalan 5 menit dari penginapan. Ada biaya sewa alat-alatnya sendiri. Selamat berlibur," ujarnya sambil membungkuk. Mereka sudah sampai di depan kamar mereka. Sawamura memutar kunci dan membuka pintu tersebut. Desain kamar yang mereka tempati lumayan luas dengan model Jepang. Ada dua futon tergelar di ruang tidur. Sawamura membuka balkon dan membiarkan udara dingin masuk.
"Miyuki, lihat! Pemandangannya bagus sekali!" seru Sawamura sambil merentangkan tangannya. Miyuki menaruh koper mereka dan berjalan menuju Sawamura. Dia berdiri di belakang Sawamura dan memeluk pinggang pria itu.
Benar-benar sempurna.
"Apa kau sedang mereka ulang adegan Titanic?" tanya Sawamura. Dia bersandar di dada Miyuki dan menutup matanya. Angin dingin menusuk kulit Miyuki, tapi keberadaan Sawamura membuat dirinya hangat.
Aku sedang menyesap baik-baik momen ini.
"Hmm," gumamnya tidak jelas.
Sawamura menoleh dan menunjuk sesuatu. "Kita bisa melihat onsen dari atas sini."
Miyuki mengikuti arah pandang jari Sawamura dan genangan air yang tenang terlihat dari kamar mereka. Uap panasnya juga terlihat. "Aku tidak sabar mau mencobanya."
Miyuki berbisik. "Mau coba bercinta di onsen?" tanyanya.
Sawamura mendengus. "Itu pemandian umum. Kau mau kita ditangkap oleh polisi karena eksibisionisme?"
"Kita bisa melakukannya setelah semua orang tidur. Tengah malam, misalnya."
"Dan setelah kita selesai, kita akan masuk rumah sakit karena radang paru-paru. Tidak terima kasih." Sawamura berbalik menghadap Miyuki. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Miyuki, hidung mereka nyaris bergesekan. "Lagipula, kita masih punya banyak waktu di sini. Aku tidak kemana-mana. Kita akan tidur bersama dan masih banyak hal yang bisa kita lakukan," katanya. Lalu, dia mencium bibir Miyuki.
Ciuman tanpa lidah. Bibirnya dingin dan Miyuki menyukai semua ciuman Sawamura.
Benar, mereka punya banyak waktu. Sawamura tidak akan kemana-mana. Mereka akan terbangun di sisi satu sama lain. Miyuki menyingkirkan semua pikiran kalutnya. Dia akan menikmati liburannya bersama Sawamura.
Mereka tidak langsung bercinta. Sawamura mengajak Miyuki main ski. Sesuai petunjuk dari pegawai tadi, mereka harus berjalan agak menanjak hingga sampai ke resort ski. Setelah menyewa peralatan ski, mereka mulai memakainya dan berjalan di atas salju.
Sudah banyak orang di resort tersebut. Ada yang sudah mengantre naik kereta gantung, tapi Miyuki tidak mengusulkan itu. Kemampuannya payah dan dia tidak mau liburan ini berakhir sebelum dimulai. Sawamura juga tampaknya tidak tertarik. Mereka hanya bermain di sekitar resort dan banyak orang.
Sawamura tertawa setiap Miyuki mencoba meluncur. Kadang dia merekam gerakan-gerakan Miyuki yang kaku.
"Ayolah, anak usia dua tahun masih lebih lincah darimu," kata Sawamura.
Miyuki ingin melemparkan salju ke wajahnya. "Dimana kau menemukan anak dua tahun yang sudah bisa salto di udara?" dengusnya.
Sawamura tertawa. "Kau sama sekali tidak bergerak lebih dari 2 senti."
"Oh, sekarang kau ahli pengukuran juga?"
Sawamura mengedipkan matanya. "Aku ahli matematika, sayang."
Miyuki menyerah. "Kita coba lihat kemampuanmu. Apakah sebesar omonganmu?" tanyanya.
Sawamura melambai. "Ya ya," katanya. Dia mulai meluncur di atas papan ski-nya. Tidak sehebat orang pro, tapi masih jauh lebih bagus dari Miyuki. Setelah itu, dia kembali ke depan Miyuki sambil menyeringai lebar. "Bagaimana anak Edo?" tanyanya.
"Kau sering main ski?" tanya Miyuki.
Sawamura mengangkat bahu, "Tidak sering, beberapa kali saat liburan. Kau tahu ini penginapan milik keluarga temanku kan? Nah, aku beberapa kali menginap di sini."
Miyuki mengangguk. "Berarti kau memakai cheat code ya."
"Artinya, aku jago. Itu saja," ujar Sawamura.
Mereka bermain-main sebentar. Sawamura mengimbangi laju Miyuki. "Temanmu itu, bekerja di Todai juga?"
Sawamura mengangguk. "Dia dosen di bagian Biologi. Kami bertemu di hari pertamaku mengajar di sana."
Miyuki mengangguk. "Temanmu ada di penginapan ini?" tanyanya.
"Kenapa? Kau ingin aku perkenalkan?" tanyanya.
Miyuki melambai. "Bukan begitu. Aku penasaran saja."
Sawamura menggeleng. "Dia lebih menyukai liburan ke laut. Jadi, sepertinya liburan ini dia akan ke Pantai."
"Pantai di tengah musim dingin?"
"Di Hawaii. Dia tidak suka cuaca dingin."
"Tapi Penginapannya berada di atas gunung bersalju."
"Percayalah, itu yang kukatakan padanya saat dia cerita dulu."
Mereka menepi dan duduk di sebuah bangku. Mereka menatap aktivitas para wisatawan yang bervariasi. Tawa anak-anak kecil melengking tinggi, serta suara jeritan penuh keseruan.
"Terima kasih telah mengajakku, Sawamura," kata Miyuki.
Sawamura menatapnya. "Ini baru 2 jam Miyuki Kazuya. Berterima kasihlah nanti di akhir."
Miyuki tertawa. "Aku tahu. Tetap saja, ini mengasyikkan. Aku sudah lama tidak liburan."
Dan aku bersyukur bertemu denganmu.
"Sama-sama," kata Sawamura.
Miyuki menatap bibir tipis yang tersenyum itu. Dia merasakan keinginan yang kuat untuk menyentuh Sawamura sekarang. Dia ingin mencium bibir itu, mengusap pipinya dan merasakan napas Sawamura di dalam mulutnya.
Hanya dengan memikirkannya saja, Miyuki bisa ereksi. Itu jelas bukan hal yang bagus. Mereka di tempat umum dan Miyuki akan tampak seperti seseorang yang tidak bisa mengontrol birahinya. Dia akan dicap orang mesum, syukur-syukur tidak dilaporkan ke polisi. Belakangan ini pengendalian dirinya buruk sekali setiap dia memikirkan Sawamura.
Setelah mereka beristirahat, Sawamura mengajaknya bermain ski lagi. Energi Miyuki sampai habis terkuras meskipun dia tidak jago. Mereka kembali ke penginapan sebelum matahari benar-benar tenggelam. Sawamura mengganti pakaiannya dengan yukata. Dia sudah bersiap untuk pergi ke onsen.
Sawamura dengan yukata adalah sebuah pengalaman baru bagi Miyuki. Yukata yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, diikat secara longgar tapi tetap menutupi seluruh tubuh Sawamura membuat kesan sensualnya bertambah. Kaki jenjangnya yang selama ini selalu terbalut celana panjang terekspos dengan bebas. Miyuki membayangkan dirinya mencumbu Sawamura balam balutan yukata yang longgar. Itu adalah fantasi yang bisa saja menjadi kenyataan.
Sawamura melempar sebuah handuk kecil tepat di wajah Miyuki. "Berhenti menatapku seperti predator," katanya.
Miyuki mengambil handuk yang ada di wajahnya. Seringai tidak lepas dari wajahnya. "Kau suka pada predator ini."
Sawamura mengernyit. "Tolong jangan katakan hal itu keras-keras. Tamu lain bisa melaporkanmu ke polisi."
"Kalimat itu terdengar lebih keren di dalam otakku." Miyuki berjalan menuju lemari di kamar mereka dan mengganti pakaiannya dengan yukata yang sewarna dengan Sawamura. Ketika dia berbalik, Sawamura sedang menatapnya seperti seorang pembeli yang sedang menilai daging steak. Miyuki mendengus. "Sekarang siapa yang seperti predator?" tanyanya.
Mereka menuju onsen yang berada di lantai bawah penginapan. Di dalam onsen sudah banyak orang yang berendam. Miyuki sedikit kecewa karena dia tidak akan bisa bermesraan dengan Sawamura di onsen tanpa ada orang lain. Namun, Sawamura tampak menikmati semuanya, jadi Miyuki mengikutinya. Setelah mereka membuka yukata, mengambil handuk dan disampirkan ke bahu, mereka bergabung dengan orang-orang yang sedang berendam. Miyuki bersandar di sebelah Sawamura.
Seluruh tubuhnya tampak rileks karena air panas. "Kau tahu apa yang bisa membuat semua ini semakin sempurna?" tanya Sawamura sambil mencuci wajahnya. "Seandainya kita boleh membawa sake."
Miyuki mendengus. "Kau tinggal selangkah lagi menjadi pecandu alcohol."
"Aku ini klasik. Klasik."
Miyuki menciprati wajah Sawamura dengan air. "Iya. Alkoholik juga klasik."
Sawamura tertawa. "Tapi aku benar-benar ingin sake hangat setelah ini. Apa kita minta dibawakan ke dalam kamar? Hm?"
"Ini masih terlalu siang untuk mabuk, Sawamura."
Sawamura terkekeh. "Benar juga." Sawamura menatap Miyuki. "Apa kau tidak bisa tidak memakai kacamatamu?" tanyanya.
"Aku tidak mau terpeleset di onsen karena mataku. Kudengar rumah sakit jauh dari sini."
"Aku tinggal membuang mayatmu di hutan."
Miyuki menyenggol bahunya. "Kau tahu bahwa kau adalah tersangka pertama nanti."
"Aku tinggal mengelak."
"Ha ha."
Sawamura mengamati wajah Miyuki. "Sejak kapan kau memakai kacamata?"
"Sejak aku kelas 3 SD."
"Seburuk itu?"
"Aku hanya bisa melihat jarak 5 meter. Dokter bilang karena bola mataku terlalu besar."
"Tidak kepikiran di laser? Bukankah sedang tren?"
Miyuki menggeleng. "Aku tidak mau mengubah struktur mataku. Kacamata sudah cukup."
Sawamura berbisik. "Tapi kacamatamu sakit setiap kita berciuman."
Miyuki tergelak. Hampir dia kelepasan tertawa. "Kau tahu bahwa sebenarnya kau lebih mesum dariku, eh?"
Sawamura tidak menjawab. Dia hanya menyeringai. Miyuki jadi ingin membuktikan teori itu, tapi tentu saja dia tidak melakukannya. Jika dia mencium seorang laki-laki di onsen pria, dia benar-benar akan dilaporkan ke polisi dan di penjara sampai Sawamura mau membayar uang tebusan.
"Bagaimana dengan kontak lensa? Kalau kau bermain sepak bola, kacamata akan sulit digunakan, bukan?" tanya Sawamura mengalihkan topik.
"Aku memakai kacamata khusus setiap olahraga. Yang ada karetnya, jadi tidak akan lepas-lepas."
Onsen mulai ramai, para bapak yang membawa anak lelaki mereka dan beberapa kali Miyuki harus menghindari bocah-bocah yang berlarian di dalam onsen karena tidak mau menggosok punggung mereka. Atau mendengar Ayah mereka yang berseru supaya mereka tidak melarikan diri.
"Mau kembali nanti malam?" bisik Sawamura. "Setelah onsen sepi dan hanya ada kita berdua."
Miyuki menyeringai. "Kau bilang tidak mau terkena radang paru-paru."
Sawamura mengangkat bahunya. "Rumah sakit di Jepang punya antibiotik yang ampuh untuk radang paru-paru."
"Benar-benar," dengus Miyuki. Namun, dia setuju dengan Sawamura. Onsen terlalu ramai. Mereka tidak bisa menikmati waktu untuk mereka berdua. Lagipula, mereka menginap selama 1 minggu di sini, tidak perlu terburu-buru.
Setelah mereka selesai berendam dan menghangatkan tubuh, mereka memakai yukata dan menuju ruang makan. Dimana-mana sudah penuh, tapi ini memang sedang musim liburan dan semua orang juga ingin liburan untuk melepaskan penat. Sawamura menarik tangan Miyuki dari ruang makan. Miyuki mengikutinya dengan sepenuh hati.
Pintu geser belum tertutup sempurna ketika Sawamura langsung mencium bibir Miyuki dengan penuh semangat dan gairah. Lidahnya masuk ke seluruh rongga mulut Miyuki, menuntut ciuman balasan yang sama bergairahnya. Tangan Sawamura mengusap punggung Miyuki dan meremas rambutnya. Miyuki tertawa di sela ciuman mereka.
"Aku sudah tidak bisa menunggu lagi," kata Sawamura pelan. Dia mencengkram bagian depan yukata Miyuki. "Kau seksi sekali memakai yukata."
"Terangsang, eh?" Miyuki menjahilinya. Miyuki suka sekali melihat Sawamura setiap kali pria itu berubah menjadi orang lain setiap dia terangsang. Dia akan meninggalkan semua kekakuannya dan menyerang Miyuki bagai binatang buas. Dia tidak akan berbasa-basi jika mengenai seks dengan Miyuki.
Sawamura mengangguk tanpa tahu malu. "Sangat. Jadi, diam oke. Sedikit bicara dan banyak bekerja."
Miyuki melepaskan kacamatanya dan masih sempat menaruhnya di meja kecil tempat pena dan note. Miyuki menidurkan Sawamura di futon yang tebal dan lembut. Dia membelai seluruh wajah Sawamura dan meraba seluruh bagian dada Sawamura. "Kau juga seksi," ujar Miyuki. Penis mereka yang ereksi tidak bisa disembunyikan dari yukata.
Sawamura meremas lembut penis Miyuki dan dia mengerang. Sawamura bangkit dan merangkak ke arah selangkangan Miyuki. Kini, penis Miyuki tepat berada di depan wajah Sawamura, sementara wajah Miyuki berhadapan langsung dengan penis Sawamura yang sama ereksinya. Posisi baru ini mengantarkan impuls-impuls endorphin yang terlalu membuai.
Sawamura mulai mengulum penis Miyuki, bersamaan dengan Miyuki yang mengulum penis Sawamura. Rasa yang sudah tidak asing lagi memenuhi seluruh rongga mulut Miyuki. Penisnya berkedut di dalam mulut Sawamura. Tangan Miyuki menahan kedua paha Sawamura sehingga dia bisa memasukkan penis Sawamura lebih dalam lagi di mulutnya. Kedua skrotum Sawamura dielusnya dengan lembut sehingga Sawamura tanpa sadar menggerakan pinggulnya.
Penis Miyuki sendiri berada dalam mulut Sawamura dan diperlakukan dengan sangat baik. Lidah Sawamura yang menjilati seluruh permukaannya, menciumi seluruh vena yang berdenyut dan hisapan Sawamura yang bisa membuat Miyuki menggila. Suara erangan Sawamura yang tertahan dan suara Miyuki bersahut-sahutan. Dari kejauhan, Miyuki bisa mendengar suara orang-orang yang masih berendam di onsen. Suara itu terasa sangat jauh, seperti berada di dunia lain.
Sawamura menggunakan kedua tangannya untuk memijat pelan penis Miyuki, membantu mulutnya yang masih nyaman mengulum alat kelamin panjang itu. Penis Sawamura di dalam mulutnya berdenyut-denyut dan Miyuki tahu bahwa Sawamura akan keluar sebentar lagi. Dia bisa merasakan tubuh Sawamura bereaksi dengan sentuhannya.
Sawamura mengulumnya semakin cepat, seolah memohon pada Miyuki supaya mereka bisa keluar bersama. Tak lama dari itu, Miyuki mengeluarkan seluruh cairannya di dalam mulut Sawamura. Begitu pula dengan Sawamura yang membasahi mulut Miyuki dengan cairan spermanya. Miyuki menelan semuanya. Rasanya sudah tidak asing lagi. Dia merasakan perlahan-lahan penis Sawamura kembali seperti semula.
Dia melepaskan diri dari penis Sawamura dan sebelum benar-benar beristirahat, dia masih sempat mengecup paha dalam Sawamura dan menggigitnya. Dia tersenyum saat tanda kemerahan tercetak di paha dalam Sawamura.
Miyuki mengubah posisinya menjadi terlentang dan Sawamura juga sudah kembali tidur di samping Miyuki. "Hai," katanya.
Miyuki mencium bibirnya dengan mesra. Merasakan sisa-sisa cairannya sendiri di dalam mulut Sawamura. Dia yakin Sawamura juga bisa merasakan cairannya yang tersisa di dalam mulut Miyuki. Setelah ciuman itu terlepas, Sawamura melingkarkan lengannya di seluruh dada Miyuki. Dia merebahkan kepalanya di bantal Miyuki. Mereka persis tidur di dalam satu futon yang sama.
Miyuki menyukai kegiatan mereka setelah seks. Saling memeluk satu sama lain, mendengarkan detak jantung masing-masing dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Miyuki mencium ringan puncak kepala Sawamura, favoritnya setelah bibir dan penis Sawamura. Sawamura bernapas dengan teratur dan dia tertidur dalam dekapan Miyuki. Untuk kedua kalinya sejak mereka pertama bertemu, mereka tidur bersama.
.
SAWAMURA EIJUN
Wajah Miyuki yang tertidur dengan pulas adalah hal pertama yang Sawamura lihat di kala dia terbangun pagi itu. Tidak seperti pertama kali mereka bertemu, kali ini Sawamura tidak melarikan diri. Dia menatap wajah Miyuki yang masih terlelap sambil memeluknya. Rupanya, tangan Sawamura juga melingkari pinggang Miyuki. Yukata mereka kusut dan selimut menyelimuti mereka berdua.
Wajah Miyuki damai. Kerutannya menghilang dalam tidurnya. Mereka terlalu lelah akibat bermain ski seharian, sehingga setelah meng-oral masing-masing, mereka tertidur. Namun, itu tidak jadi masalah. Mereka punya satu minggu. Satu minggu untuk berpura-pura semuanya baik-baik saja. Satu minggu untuk bisa memiliki satu sama lain. Satu minggu untuk melupakan tujuan awal hubungan mereka.
Dilihat dari manapun, Sawamura tidak akan pernah bosan melihat ketampanan Miyuki Kazuya. Miyuki tampaknya masih tertidur dan Sawamura tergoda untuk mengucapkan kalimat yang selalu berada di ujung lidahnya. Jika dia berbisik, mungkin Miyuki tidak akan pernah tahu dan tidak akan pernah sadar bahwa Sawamura sudah pernah mengatakannya. Ucapan itu akan langung menguap bersama embun di pagi hari. Dan perasaan Sawamura akan kembali menjadi rahasia.
Mata Miyuki terbuka perlahan dan dia mulai terbangun.
"Selamat pagi," kata Sawamura pelan.
Miyuki menatap ke arahnya dan dia tersenyum malas. "Pagi," ujarnya dan dia mengecup bibir Sawamura. Perasaan Sawamura semakin melayang-layang di udara. "Jam berapa sekarang?" tanyanya sambil mengusap wajahnya, berusaha mengusir kantuk.
Dengan berat hati, Sawamura melepaskan pelukannya. Dia meraih ponselnya dan melihat jam. "Pukul 6 pagi."
"Masih pagi sekali," kata Miyuki sambil menguap. Dia mengambil kacamatanya dan memakainya. Rambut Miyuki acak-acakan, tapi Sawamura merasa itu seksi sekali dan dia ingin menyisir rambut itu dengan tangannya dan menciumi tiap helainya.
"Sarapan masih pukul 8 pagi," kata Sawamura. Dia kembali menatap Miyuki. "Apa yang harus kita lakukan di pagi hari ini?" bisiknya sambil mengecup bibir Miyuki ringan.
Miyuki tertawa sengau khas bangun tidur. "Seks di pagi hari, tentu saja."
Sawamura tidak akan menolak ajakan itu.
.
Mereka menghabiskan sepanjang pagi dengan saling menyentuh satu sama lain, bercinta sampai futon mereka kusut dan setelahnya bermalas-malasan. Jam sarapan sudah lewat, tapi mereka masih berpelukan di dalam futon.
"Kita harus sarapan," kata Miyuki sambil menciumi seluruh leher Sawamura.
"Kupikir kau sudah sarapan tadi."
Dia menggigit leher Sawamura sebagai responnya. "Makan sesuatu yang biasa di makan manusia, Sawamura."
Sawamura tertawa. "Kita bisa cari di sekitar penginapan atau minta di bawakan ke kamar."
Miyuki mengangguk. Dia masih belum puas menciumi leher Sawamura. "Apa kita harus bermain ski lagi?" tanyanya.
"Kau lebih suka kita di kamar? Yang mana pun aku tidak keberatan."
Sawamura mengusap-usap punggung Miyuki. Apapun keinginan Miyuki, dia akan menurutinya. Selama mereka bersama, itu bukan masalah.
"Kita berjalan-jalan di sekitaran kota saja," kata Miyuki. Dia bangkit dari futon dan Sawamura mengikutinya. "Mandi bersama?" tawarnya dengan cengiran jahil. Sawamura mengikutinya ke kamar mandi tanpa banyak bantahan.
Setelah membuka yukata masing-masing, mereka tidak bisa berhenti menyentuh satu sama lain, berciuman di bawah guyuran shower dan memijat penis masing-masing. Sawamura mengambil shampoo hotel dan mengusapnya lembut ke kepala Miyuki. Miyuki melakukan hal yang sama.
"Jangan terlalu banyak tertawa," kata Sawamura. "Nanti masuk ke dalam matamu."
Shower mengguyur sisa-sisa sabun dari tubuh mereka dan shampoo dari kepala mereka. Mereka saling mengeringkan rambut satu sama lain sebelum memutuskan untuk berpakaian dan berjalan-jalan di kota.
Suasana kota juga sudah ramai dengan para wisatawan domestic maupun mancanegara. Mereka sarapan di sebuah kedai lokal, lalu lanjut melihat-lihat pasar. Mereka melihat-lihat barang-barang yang dijual oleh para pedagang, membeli camilan setempat dan bergandeng tangan menyusuri jalan. Mereka saling melontarkan lelucon, Miyuki menggoda Sawamura dan Sawamura balas menggodanya. Tangan mereka bertaut dan untuk sesaat Sawamura merasa mereka akan baik-baik saja.
Mereka kembali ke penginapan setelah agak siang, matahari bersinar terik di tengah hawa musim dingin. Mereka kembali bermalas-malasan di kamar mereka, saling menyentuh, membelai dan membuai satu sama lain. Sampai akhirnya Sawamura memutuskan untuk merokok di balkon sambil menikmati langit sore yang penuh dengan semburat jingga.
Miyuki bergabung dengannya dan menciumi seluruh leher Sawamura dari belakang. "Kau bau rokok," kata Miyuki teredam. Dia menghirup seluruh aroma Sawamura.
"Karena aku sedang merokok." Miyuki mengambil rokok di tangan Sawamura dan mematikannya di asbak. Lalu, dia mencium bibir Sawamura. Sawamura yakin mulutnya terasa pahit dan asam akibat rokok. Namun, Miyuki tidak melepaskannya. Dia mendekap Sawamura dan memeluknya erat.
"Kau tahu," kata Miyuki sambil memeluk Sawamura, "aku suka terbangun di sampingmu."
Sawamura tertawa kecil. Dia memeluk Miyuki sama eratnya. Dia ingin Miyuki sepenuhnya. Perasaannya tidak bisa lagi dibendung. Dia sudah sepenuhnya jatuh cinta pada Miyuki. Miyuki telah memiliki hatinya tanpa sepengetahuannya. Perasaannya membuat dadanya sakit dan sesak. Dia ingin mencintai Miyuki dengan bebas, mengutarakan perasaannya dengan lantang. Dia ingin hidup di dunia utopia itu.
Setiap persamaan selalu memiliki penyelesaian, itu adalah kepercayaan Sawamura. Namun, meskipun Miyuki bagaikan sebuah persamaan, dia terlalu takut untuk menyelesaikannya. Dia ingin selamanya menjadi misteri. Selamanya menutup mata.
"Kalau kau mau, kita bisa kembali lagi," kata Sawamura. "Lebih lama. Kita akan menghabiskan banyak waktu bersama. Aku ingin bersamamu."
Dan Sawamura baru menyadari kesalahannya setelah dia mengucapkannya. Miyuki melepas pelukan mereka tiba-tiba dan hati Sawamura serasa dihempaskan ke dalam jurang yang paling dalam. Dia mengepalkan kedua tangannya supaya Miyuki tidak melihatnya gemetar.
Ekspresi Miyuki tidak terbaca. Sinar mentari sore memantulkan cahanyanya di kacamata Miyuki. Sawamura terlalu takut untuk membacanya. Untuk pertama kalinya, Sawamura tidak mau menyelesaikan sebuah persamaan. "Miyuki… Aku…" dia kehilangan kata-katanya. Kini, semuanya sudah berantakan. Miyuki tahu perasaannya dan hubungan mereka berakhir. Sawamura akan ditinggalkan. Sawamura akan kembali sendiri. Seluruh perasaan Sawamura kebas saat ini.
"Sawamura," panggil Miyuki pelan. Sawamura tidak mau menilai apapun dari cara bicara Miyuki. Miyuki memegang kedua bahunya. "Apa kau serius mengatakan hal itu?" tanyanya. Tatapannya tajam dan berkilat.
Mulut Sawamura kering. Pikirannya sudah tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Apa dia harus mengatakan lelucon? Mengatakan bahwa tadi dia salah bicara? Lalu, mengajak Miyuki pergi ke onsen? Namun, mulutnya malah mengkhianatinya. Semua pertahanannya runtuh. Dia tidak bisa lagi berpura-pura menutupi perasaannya.
"Maaf Miyuki," katanya gemetar. "Aku jatuh cinta padamu." Sawamura menelan ludahnya yang terasa seperti menelan batu. "Aku mengacaukan perjanjian kita. Aku–"
Kalimat Sawamura terpotong karena bibir Miyuki membungkamnya. Sawamura terlalu terkejut untuk merespon, jadi dia hanya membuka mulutnya begitu saja tanpa melakukan apapun. Otaknya masih tidak mengerti apa yang terjadi. Bukankah Miyuki marah? Bukankah Sawamura baru saja mengacaukan hubungan mereka? Namun, kenapa Miyuki menciumnya? Apa ini ciuman perpisahan?
Miyuki melepaskan ciumannya. Ekspresinya berubah, lebih lembut, lebih lega, dan lebih bebas. "Aku juga jatuh cinta padamu, Sawamura."
Apa? Sawamura mengerjap. Apa otaknya baru saja mempermainkannya? Apa dia berhalusinasi? Miyuki bilang apa? "Aku juga ingin bersamamu."
Rasanya seperti mimpi. Apa Miyuki baru saja mengutarakan perasaannya? Apa itu benar-benar terjadi? "Hei," panggil Miyuki lembut dan kesadaran Sawamura berangsur-angsur kembali ke bumi. Tatapan Sawamura menjadi lebih fokus dan dia melihat Miyuki dengan jelas. Matanya yang berbinar-binar dan berkaca-kaca, senyumannya yang lembut dan ekspresinya yang penuh kelegaan.
Semua itu bukan mimpi dan bukan permainan otaknya. Miyuki benar-benar mengatakan hal itu. Sawamura mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Miyuki. Lalu, dia memangkas jarak di antara mereka berdua. Miyuki menyambut ciumannya dengan lembut. Bibir mereka beradu, lidah mereka saling menyentuh dan Sawamura bisa merasakan setetes airmatanya mengalir di pipi. Air mata kelegaan.
Dia tertawa dan setengah menangis di tengah ciuman. Miyuki menghapus jejak basah di pipinya. Mereka saling bertatapan. "Kenapa… kenapa bisa jadi seperti ini?" tanya Sawamura tidak mengerti. Miyuki menggeleng. Entah dimana kesalahan mereka.
"Bagaimana… hubungan ini selanjutnya?" tanya Sawamura. Mereka sudah agak tenang. Kedua tangan mereka bertaut. Miyuki menciumi seluruh jari-jari Sawamura.
"Kita akhiri hubungan itu," kata Miyuki. "Lalu kita mulai hubungan tanpa perjanjian yang baru. Yang ini. Yang kita butuhkan."
Sawamura mengangguk.
Aku telah menemukan penyelesaiannya, batinnya.
.
Malamnya, setelah mereka puas bercumbu dengan penuh gairah dan saling membisikkan kata-kata penuh cinta, mereka bergelung di dalam hangatnya futon. Miyuki tidak henti-hentinya menciumi seluruh wajah Sawamura sambil membisikkan betapa dia mencintai Sawamura. Sawamura tidak pernah melepaskan tautan tangan mereka. Dia tertawa geli setiap kali Miyuki menciumi titik sensitifnya.
"Aku mau meralat kata-kataku," kata Miyuki.
Sawamura menatapnya bingung. "Kata-kata yang mana?"
Dia menatap Sawamura. "Dia planetarium. Kau bilang jika kau punya mesin waktu, apa aku akan kembali ke masa lalu. Dan aku bilang aku ingin kembali."
Sawamura bahkan sudah lupa percakapan itu. Rasanya percakapan itu sudah terjadi ratusan juta tahun yang lalu. Namun, dia mendengarkan Miyuki. "Kalau kau punya mesin waktu, aku tidak mau kembali ke masa lalu. Aku tidak ingin mengubah apapun di masa lalu. Karena dengan begitu, aku tahu aku akan bertemu denganmu. Aku akan terus memilihmu, Sawamura."
Sawamura mengeluarkan tawa pelan bercampur rasa haru. Inilah perasaan dari seseorang yang dicintai. Sawamura sudah terlalu lama tidak merasakannya dan Miyuki memberikannya lagi padanya. Miyuki memberikan Sawamura kesempatan untuk merasa dicintai. Miyuki mencintainya dan memilihnya.
Sawamura menatap wajah Miyuki. Wajah yang sampai 3 bulan lalu, masih menjadi orang asing di hidupnya. Jika dia tidak pergi mabuk malam hari itu, dia tidak akan bertemu Miyuki. Jika dia tidak berduka saat itu, dia tidak akan tidur dengan Miyuki. Dia masih tidak percaya bahwa di malam pertama mereka tidur bersama, Sawamura mencoba melupakan semuanya. Kini Miyuki adalah orang terpenting di hidupnya.
"Aku juga akan terus memilihmu, Miyuki."
.
SELESAI
A/N: Tepar. Akhirnya selesai juga cerita panjang ini. Komentar, kritik, saran terbuka tanpa syarat dan ketentuan
Salam,
Sigung-chan
.
P.S: Adegan apa yang paling kalian suka?
