Aprilia Hidayatul present
"This Is Our Love"
a fanfiction about Halilintar and Yaya
Genre : Slice of life, romance, teenager
Disclaimer : BoBoiBoy Galaxy belong to Monsta Studio
Warning : Typo, OOC, garing, absurd, dll
•••••
Siang itu, di atas rooftop sekolah terlihat dua orang gadis tengah berdiri di dekat pagar pembatas. Melihat pemandangan yang tersaji di atas sana. Tentu saja, bukan hanya itu. Mereka sedang mengobrolkan sesuatu yang menarik. Terlebih dengan mimik muka kaget gadis bermata biru tua dibalik kacamatanya.
"Apa!? Halilintar mengatakan kalau dia suka padamu?" pekik Ying dengan sorot tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar dari sahabat merah mudanya itu. "Lalu, berhenti merona dulu!"
"Ish! Rona wajahku nggak bisa dikendalikan." Bibirnya dicebikkan kesal, lalu mengangguk. "Iya."
Jika ditanya begitu, ia kembali teringat di mana pemuda minim ekspresi itu menyatakan perasaannya. Tepat di malam hari yang cerah, seakan semesta pun turut bahagia dengan hal tersebut. Lalu, lupakan saja kalau Halilintar mengatakannya dengan tanpa nada bahkan tak ada raut wajah berarti. Namun, ia yakin kalau pemuda itu tulus padanya.
Berbeda dengan kondisi sahabatnya yang tengah berbahagia, keterkejutan di wajah Ying masih belum luntur. Ia benar-benar menolak percaya!
Ying menggeleng beberapa kali. "Ini sulit dipercaya!"
"Kenapa kamu menyebalkan sekali, sih? Biarkan kawanmu ini bahagia. Lagian menurutku cerita ini tidak berlebihan banget," ketusnya. Ia merajuk setelah mendapat tanggapan begitu dari Ying.
"Bukan begitu, Yaya. Ini karena yang kita bicarakan adalah Halilintar. Pria paling kaku dan dingin seantero SMA Galaksi. Mana ada yang bakalan langsung percaya begitu saja." Ying memperbaiki letak kacamatanya, lalu menoleh pada Yaya dan tersenyum kecil. "Meski begitu, aku sudah menduganya sih. Sejak awal, Halilintar memang menaruh perasaan padamu," ujarnya enteng.
Satu alis Yaya terangkat dan menatapnya sangsi. "Kamu sedang membual ya?" tuduhnya.
Raut wajah Ying seketika berubah datar. "Memang seharusnya kamu jangan dipuji, Ya. Kekesalanku dalam waktu singkat langsung naik level," keluhnya sebal. Sedangkan lawan bicaranya terkekeh kecil.
"Hehehe damai, damai."
Ying membuang muka ke samping. Lalu, ia teringat sesuatu dan menatap cepat pada Yaya. "Kalau begitu, kalian sudah menjalin hubungan sekarang?" Ia bertanya semangat.
Mendengar itu, Yaya tersentak. Ia segera tersadar dari lamunan sesaatnya. "Eh sebenarnya kami ..."
Lalu, cerita singkat lolos dari bibir tipisnya perihal hubungan dia dan Halilintar. Yaya ingat, usai Halilintar menyatakan perasaannya, mereka langsung sibuk dengan kegiatan masing-masing. Yaya juga kembali ke apartemennya yang bertetangga dengannya. Mereka kembali seperti biasanya. Seolah memang kejadian itu bukan hal aneh lagi. Lagi pula, Halilintar bukan tipe cowok romantis.
Selain itu, Yaya juga akan merasa canggung dan aneh kalau perubahan terjadi dalam hubungan mereka.
Setelah bercerita, Yaya mengerjapkan matanya bodoh saat sahabatnya itu malah memasang tampang melongo. Ia mengibaskan tangan di depan muka Ying. "Hoi, Ying!"
"Ha? Apa?" Ia tersadar dari kekagetannya. "Kamu belum bilang soal perasaanmu padanya, tapi kenapa?"
Sembari menggaruk belakang kepalanya, ia berujar dengan wajah malu. "Waktu itu aku terlalu berdebar sampai lupa bilang padanya. Bagiku, kejadian saat malam itu terasa seperti mimpi. Tidak pernah terbayang kalau Hali ternyata menyukaiku." Ia tersenyum kecil meskipun dalam hati merutuki kelakuannya saat itu.
Sedangkan Ying, apabila ini di dalam sebuah komik sudah dipastikan sebuah sweatdrop besar muncul di belakang kepalanya. Pemandangan Yaya yang tersipu malu itu benar-benar membuatnya kehilangan kata. Ying segera mengenyahkan pikiran anehnya.
"Kalau begitu, Halilintar menganggap cintanya bertepuk sebelah tangan? Wah, hebat sekali kamu." Entah itu hanya gurauan atau Ying memang berniat meledeknya, Yaya mengerucutkan bibirnya kesal.
"Ck kamu ini memang menyebalkan. Aku bukan bermaksud begitu. Lagi pula tanpa kukatakan juga dia pasti tahu kalau aku suka padanya sejak lama. Apalagi mengingat kami sudah bertetangga bertahun-tahun lamanya," bantah Yaya cepat. Satu tangannya terangkat menggaruk belakang kepalanya. Senyum malu-malu timbul di bibirnya kala teringat pada pemuda dingin dan galak itu.
Masih dengan tatapan aneh pada sahabatnya, Ying berujar sebaliknya. "Melihat sifat Halilintar yang kurang peka sama denganmu, kurasa itu tidak mungkin."
"Tidak bisakah kamu melihatku bahagia sedikit saja?"
"Maaf, kamu lucu kalau sedang merajuk."
Yaya mendengkus kesal, lalu suasana hatinya kembali riang. "Tapi, kalau untuk bilang padanya aku sudah punya rencana. Hari kasih sayang sudah dekat dan di hari itu pula aku akan mengatakannya," ujarnya semangat.
Seakan paham dan menangkap maksud perkataan itu, Ying bergumam tanpa sadar.
"Eh ternyata tidak disangka kamu bisa begitu ya."
"Ha maksudnya?"
Tak ada tanggapan dari yang bersangkutan membuat Yaya mengangkat bahunya tak acuh. Ia kembali sibuk dengan memilah cokelat apa yang akan diberikan pada Halilintar. Selain itu, Yaya kurang percaya diri sebenarnya bila membuat makanan penutup. Biskuit buatannya saja kurang peminat entah karena apa. Hal itu sering menimbulkan perasaan rendah diri dalam dirinya.
"Eh pilih cokelat apa ya? Hali benci yang manis-manis. Kalau sedikit pahit mungkin masih ditolerir," gumamnya mengabaikan tatapan lurus dari Ying.
"Hei, Yaya."
Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. "Kenapa?"
"Apakah harus ditanggal itu untuk bilang soal perasaan kita?"
Kepala Yaya ditelengkan ke kanan. "Hm?"
Seakan tahu kalau sahabatnya tidak paham perkataannya, ia berkata kembali. "Aku juga mau melakukannya."
"Eh?" Yaya mengerjapkan matanya dua kali. Ia merasa untuk sesaat dunianya berhenti dan mencerna apa yang dikatakan oleh Ying hingga akhirnya berseru kaget. "Ha?!"
Ying yang melihat reaksi itu membuang napas pelan. Tidak sengaja ia menangkap seringai licik yang jarang ditampikan Yaya.
"Siapa orangnya? Apakah masih dia? Tidak mungkin juga kamu mudah berpaling hati. Jadi, tebakanku memang dia." Yaya yang bertanya, dia juga yang menjawabnya sendiri.
Rasanya pembicaraan awal mereka adalah tentang Yaya dan Halilintar. Kenapa malah melenceng pada Ying sekarang? Meskipun begitu, ia senang jika Ying mulai berani soal hatinya.
"Kamu benar. Dia sangat memahamiku hingga tanpa sadar membuatku jatuh cinta padanya. Walaupun kelakuannya terkadang sangat menyebalkan." Ia menoleh pada Yaya yang kini menatap penuh minat pada ceritanya. "Waktu natal tahun kemarin, dia bilang suka padaku dan akan menunggu jawaban dariku hingga kelulusan nanti."
"Jujur saja, hal itu bikinku kaget. Tidak disangka kalau dia punya perasaan padaku," lanjutnya dengan rona menjalar di pipinya yang berkulit putih.
"Menarik." Yaya mengangguk paham. "Oh iya, belakangan ini dia jarang kelihatan, kan ya?" tanyanya penasaran.
Bukan bermaksud apa-apa, hanya saja Yaya sering melihat orang itu mendatangi kelas mereka dan menghampiri Ying. Sekali lihat saja ada binar ketertarikan dari pemuda itu pada Ying. Bukan obsesi atau kagum, dia memang benar-benar tulus.
Yaya merasa iri akan hal itu hingga akhirnya penantian dia terbayar sudah. Halilintar memiliki perasaan yang serupa dengannya. Itu sudah cukup baginya.
"Dia mungkin melakukan itu agar aku tidak canggung dan merasa tidak enak hati. Kamu tahu bukan setiap berhadapan dengannya, aku selalu tegang karena salah tingkah?" Yaya mengangguk. "Makanya dia melakukan itu."
Ying menatap langit biru di atasnya dan bergumam. "Fang ... dia benar-benar memahamiku lebih dari diriku sendiri."
"Kalau begitu, kamu sudah tahu harus menjawab apa nanti, kan?"
Ying mengangguk dengan wajah merona. "Ya."
"Aih kenapa tingkahmu manis begini, Ying? Tidak heran dia pasti gemas denganmu!" cetus Yaya tiba-tiba.
"Kamu, kamu kenapa bilang begitu tiba-tiba?" tanya Ying yang semakin malu.
Bukannya menjawab pertanyaan itu, Yaya justru memegang kedua tangan Ying dan berkata dengan semangat. "Mari kita berjuang bersama, Ying! Tinggal selangkah menuju musim semi yang indah!"
"HOY! YAYA!"
Teriakan itu mengalihkan atensi mereka berdua. Di sana terlihat seorang pemuda yang berjalan dari arah pintu rooftop dengan tangan melambai pada mereka. Manik biru safirnya bersinar ceria seperti biasanya.
"Taufan, kamu sedang senang, kah?" tebak Ying. Dalam hati ia menambahkan seperti 'kau sedang happy atau sedang mesum?' dikarenakan senyum aneh yang ditampilkan Taufan.
Taufan berpose keren dengan membentuk ceklis menggunakan jempol dan telunjuk di bawah dagunya. "Ya karena sudah mau dekat, kan."
"Apanya?" tanya Yaya bingung.
"Hari kasih sayang."
Kedua gadis itu menatap aneh pada Taufan. Terlebih apa-apaan kepercayaan diri yang tinggi itu? Mungkin dugaan jika Taufan mengidap narsis sindrom itu benar adanya.
Mengabaikan tatapan keduanya, Taufan tampak semakin bersemangat dengan wajah berseri-seri. Ia berkata senang. "Dulu aku hanya menerima cokelat dari keluargaku saja. Tapi, tahun ini ada Yaya yang akan memberiku cokelat."
Yaya berkedip. "Eh, tapi sepertinya tahun ini tidak. Maafkan aku, Taufan," katanya merasa tidak enak hati.
"Ha?" Taufan membeo bingung.
"Tahun ini aku akan memberikan cokelat pada Halilintar. Maafkan aku, ya?" ucap Yaya dengan tangan disatukan meminta maaf pada Taufan. Ia sedikit kasihan pada teman laki-lakinya itu.
Perkataan Yaya membuat Taufan merasa seperti disambar petir. Matanya membelalak dan mulutnya terbuka lebar. Tikus mungkin dapat dengan leluasa keluar masuk ke sana. Hush!
Taufan kemudian berjongkok di pojokkan. Aura suram tampak mengelilinginya sambil mengais-ngais menggunakan ranting yang entah didapat dari mana. Bibirnya sesekali bergumam sesuatu.
"Kenapa setiap tahun sama saja ..."
"Aku juga ingin dikasih cokelat oleh perempuan ..."
"Mukaku juga tidak jelek-jelek banget ..."
Sedangkan Yaya, gadis itu hanya bisa melongo dengan tingkah absurd Taufan. Apalagi gumaman yang masih dapat dia dengar itu semakin membuatnya ingin mengirimkan Taufan ke tempat psikiater.
Taufan menoleh ke belakang. Kini pandangannya beralih pada Ying dengan air mata dan hidung yang mengeluarkan ingus. Penampilannya benar-benar membuat orang merasa kasihan.
"Kalau begitu Ying saja yang memberiku cokelat."
"Kenapa aku harus? Aku tidak berhutang apa pun padamu," ujar Ying ketus.
Taufan kembali murung. Yaya yang melihat itu membuang napas lelah. "Baiklah. Aku akan memberikan cokelat padamu," ujarnya sabar.
"Benarkah?" Seketika Taufan menatap padanya dengan senang.
Yaya hanya dapat tersenyum miris. Entah berapa gadis yang telah menolak temannya itu sampai dia sesenang ini karena diberikan cokelat oleh perempuan. Itu salahnya sendiri juga. Karena dia termasuk pemuda yang sering mempermainkan perasaan perempuan tanpa disadari.
Salahkan saja kenapa Taufan begitu ramah pada setiap perempuan yang dia temui? Para mantannya saja sudah lelah dengan sikapnya itu. Namun, satu hal pasti Taufan adalah pemuda yang baik. Hanya saja memang belum bertemu gadis yang cocok untuknya.
Taufan menyodorkan jari kelingkingnya pada Yaya. "Janji ya?"
Yaya menerima dan mengaitkan kelingkingnya dengan Taufan. "Iya, janji."
Setelah itu, Taufan pergi meninggalkan mereka. Tentu saja ia berpamitan pada keduanya dengan lambaian tangan.
Ketika Taufan menghilang di balik pintu rooftop, keduanya kembali bicara.
"Ternyata Taufan belum pernah mendapat cokelat—"
"Itu karena kebiasaan dia bilang suka pada setiap gadis yang dia sukai," potong Yaya cepat.
"Jika diberi, nanti dia salah paham lagi," ujar Ying datar.
"Begitulah." Kemudian tanpa sengaja bayangan Halilintar yang cemas karena dia memberikan cokelat pada Taufan muncul di kepalanya. Lalu, kepalanya menggeleng cepat. "Hali pasti dapat banyak cokelat. Dia populer soalnya."
"Tidak!"
Yaya menoleh pada Ying yang berseru barusan. "Ha?"
"Aku rasa sejak dua tahun lalu, Halilintar tidak menerima cokelat dari siapa pun. Aku pernah bilang, menurut kode etik 'tiga idola', Halilintar itu milik bersama. Jadi, tidak mungkin menerima cokelat," tuturnya serius walaupun isi perkataannya merupakan omong kosong.
Tidak mendapatkan cokelat? Penipuan publik.
Namun, jika membayangkan dua tahun lalu di mana Halilintar sedang berada di puncak popularitas ( sekarang juga masih sama ), ia merinding untuk sesaat.
"Kalau teringat itu, aku merinding. Mereka kumpulan orang-orang ganas." Yaya bergidik ngeri membayangkan para gadis selalu meributkan pemudanya itu.
"Tapi, kalau di rumah menurutku tidak apa-apa. Lagi pula, kebetulan itu ditanggal merah. Sekolah pastinya libur," ujar Ying sambil menutup buku tentang para pemuda populer di SMA Galaksi. Ia tersenyum kecil pada Yaya. "Nah, kita bikin cokelatnya di rumahku ya?"
"Baiklah."
••••
To be continued
Hello, bertemu kembali dengan aku di fanfic baruku.
Sebenarnya, aku sudah jarang menulis akhir-akhir ini. Selain karena kesibukan lain, juga memang udah nggak ada ide hehe.
Oh iya, cerita ini adaptasi dari salah satu manga jepang yang udah jadul banget. Aku lupa judulnya. Tapi, karena ceritanya seru. Terus karakternya cowoknya bikin keinget sama Halilintar hahahaha
Sudah ya, see you!
