Happy Reading! :D
Chapter 155: Drabble Collections (Phobia Part 2)
Well, aku pertama kali bikin konten tentang phobia (kalau tidak salah) di Chapter 30 dan sekarang sudah sangat jauh.
Yah, part dua ini hanya setengah part pertamanya karena aku nggak mau ambil pusing menjelaskan panjang lebar... -w-/
1. Giro: Ligyrophobia (Takut suara keras)
Luthias sering was-was setiap kali Giro lupa membawa MP3 Player-nya ketika ikut jalan-jalan naik mobil dan terjebak kemacetan. Pasalnya, dia tidak tahan dengan suara klakson.
'Kapan ini akan berakhir?' batin Mathias sambil menghela nafas panjang di kursi supir.
Sekarang mereka bertiga sedang terjebak kemacetan ketika baru pulang dari sebuah event.
Giro menutupi telinganya agar suara klakson di sekitarnya tidak terdengar (walaupun dia tau itu percuma), sementara Luthias hanya bisa diam karena tidak tau harus bagaimana untuk menolongnya.
Setelah terjebak kemacetan selama hampir tiga jam, akhirnya mereka bisa pulang ke markas. Tapi...
"Biarkan saja, dia sedang stress..." pinta Luthias pada beberapa temannya yang terheran-heran ketika melihat Giro langsung kabur ke kamarnya.
2. Wiona: Achluophobia (Takut gelap)
Menurut kalian ironis nggak jika seseorang yang memiliki kekuatan gelap tapi malah takut gelap?
Saat itu Wiona diajak Emy menginap di rumahnya. Awalnya semuanya berjalan lancar dan semua gadis yang ikut menginap menikmati acara mereka, tapi ketika mereka ingin tidur dan mematikan lampu...
"Ja-jangan! Jangan matikan lampunya! Tolong!"
Lampu dinyalakan kembali dan mereka melihat Wiona meringkuk ketakutan di tempat tidurnya.
"Ada apa, Wiona?" tanya mereka semua.
Gadis itu masih gemetar. "Se-setiap kali lampu dimatikan, a-ada monster yang mengintai di kegelapan. A-aku ta-kut."
Monika mengangkat alis. "Hah? Nggak usah paranoid deh!"
"Jangan begitu. Dia hanya takut gelap." Lisa mendekati Wiona dan berusaha menenangkannya. "Sudahlah, tidak apa-apa."
Keesokan harinya...
Alpha hanya menghela nafas panjang setelah mendengar cerita Lisa. "Sebenarnya aku sudah tau dari awal, hanya saja aku tidak bisa memberitahumu soal itu..."
3. Zen: Ophidiophobia/Snakephobia (Takut ular)
"Rie, kayaknya si Zen nggak ada rasa takutnya deh dayo!" celetuk Musket.
"Siapa bilang? Dia punya kok!" bantah Arie.
Kemudian dia menghampiri Zen dan menunjukkan sesuatu di handphone-nya. "Oy Zen, coba lihat foto ini! Piton-nya bagus nggak?"
Setelah melihat foto itu, Zen langsung pingsan di tempat.
"Dia tuh takut ular!"
'Pantesan dia nggak mau megang salah satu figure Furious Five milikku...' batin Musket risih. (Tau Furious Five dari Kung Fu Panda? Zen takut sama karakter ularnya, kalau nggak salah namanya si Viper.)
Untuk mengobati phobia-nya pada ular, Tumma dan Yubi mengajak Zen menonton film 'Snakes on the Plane' di mini theater lantai empat.
"Kyaaaaaa!"
"Emangnya tuh film serem ya? Biasa aja keles!" protes Elwa yang sempat kaget mendengar teriakan barusan.
"Iya~" balas Yubi.
Padahal sebenarnya Zen yang teriak tadi.
4. Arie: Ranidaphobia/Bufonophobia (Takut katak/kodok)
Lain Zen, lain pula Arie.
"Dulu ada kodok beracun masuk ke mulutnya hidup-hidup dan hampir ditelan sama dia, setelah itu dia langsung trauma!"
Masih ingat dengan kalimat itu?
"Ini semua salahmu, bodoh!"
PLETAK!
Zen langsung ditabok Arie dengan buku tebal karena menceritakan phobia-nya pada Flore setelah mereka pulang ke markas.
"Ya ampun, kalian berdua kenapa sih?" tanya Mathias yang melerai mereka.
"Dia marah gara-gara aku cerita pada Flore soal phobia-nya." jelas Zen risih.
"Phobia apa?"
"Nggak usah tau!" Arie langsung meninggalkan mereka.
"Maaf, aku nggak bisa cerita! Arie kalau marah itu seram!" Zen ikut pergi ke arah lain.
Zen menghela nafas panjang dan bersender di tembok koridor lantai lima. Entah kenapa dia mulai memutar kembali ingatan masa lalu.
-Flashback-
"Arie, sepertinya berbahaya jika kita lewat sini."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Yah, hanya firasatku saja..."
Saat itu mereka berdua sedang menjelajahi sebuah hutan hujan.
"Haaah... Melelahkan sekali... Ayo istirahat dulu."
Zen mengangguk dan keduanya memutuskan untuk duduk di bawah pohon terdekat. Setelah beberapa menit berselang, mereka pun tertidur.
Tanpa diduga, seekor kodok berwarna cerah mendekati mereka dan melompat ke arah mulut Arie yang terbuka.
Ketika Zen terbangun dan mendapati sesuatu yang salah pada Arie, dia pun segera menolongnya dengan pukulan keras di bagian perut sampai kodok itu berhasil keluar.
Menyadari Arie butuh perawatan medis, Zen segera membawanya pulang secepat mungkin.
"Uhuk uhuk!" Arie terbangun dengan terbatuk-batuk.
"Kau baik-baik saja?" tanya Zen khawatir.
"Apa yang terjadi?"
"Tadi ada kodok yang melompat masuk ke mulutmu saat kau tidur, dan itu kodok beracun. Untung saja tidak tertelan."
'Tunggu! Kodok beracun, melompat masuk ke mulutku?'
Arie langsung muntah saat itu juga.
"Maaf..." gumam Zen seadanya.
-Flashback End-
Sampai sekarang Zen masih tak abis pikir kenapa Arie tidak mau cerita tentang phobia-nya.
5. Lisa: Ornithophobia (Takut burung)
Sebenarnya untuk kasus ini lebih spesifik ke burung hantu sih... Tapi karena nggak ada istilah khusus-nya, jadi pake istilah umum saja.
"Ada satu hal yang membuatku kepikiran!" celetuk Diggie suatu hari.
Nana dan Cyclops menengok ke arahnya.
"Memangnya apa itu?" tanya Nana penasaran.
Diggie menengadah sesaat. "Setiap kali aku mendekati seorang gadis, dia selalu menjauhiku!"
"Kau suka padanya?" tanya Cyclops curiga.
"Bukan! Bukan itu!" Diggie mengibaskan sayap kanannya. "Aku hanya penasaran kenapa dia terlihat seperti takut padaku!"
Di tempat lain...
"Al, gue pengen nanya. Kenapa sih adek lu suka jaga jarak tiap kali ketemu Diggie?" tanya Saphire penasaran.
Alpha menghela nafas. "Dia takut burung hantu."
"Hah? Masa sih?"
"Iya, tapi aku tidak bisa cerita. Ini rahasia keluarga soalnya."
Special Bonus: The Unappreciated Birthday
Ikyo mengerti kenapa pria itu tidak perduli ada yang tau ulang tahunnya atau tidak, karena kebanyakan anggota squad lebih mementingkan ulang tahunnya sendiri.
Tapi dia tau kalau Tartagus butuh perhatian lebih.
"Kau selalu begini hampir setiap tahun?" tanya si rubah yang sedang bersender di pohon sambil melipat tangan.
Tartagus hanya tersenyum miris selagi duduk di kursi taman sambil mengayunkan kakinya. "Yah, mau bagaimana lagi? Hanya orang tua angkatku yang mengingat ultahku, itu pun hanya lewat email."
Ikyo menghela nafas. "Sebenarnya aku tidak suka mereka lebih memperhatikanku... Karena hari ini bukan ulang tahunku..."
"Hah?" Tartagus menengok ke arahnya dengan wajah bingung. "Apa maksudmu?"
"Aku ini Gumiho. Gumiho tidak mengenal sistem kalender, jadi aku tidak tau tanggal berapa hari kelahiranku." Ikyo menggaruk kepala. "Tapi yang kuingat hanya satu: Aku lahir di musim semi, dan 10 Agustus jelas-jelas bukan musim semi."
"Lalu, kenapa kau menggunakan tanggal itu?" tanya Tartagus penasaran.
"Itu gara-gara Kaichou menyuruhku mengambil tanggal random untuk pengisian formulir anggota (mengingat itu membuatku sangat malu)..." gumam Ikyo dengan wajah memerah karena teringat kejadian pada awal squad ini terbentuk. ("Bagaimana aku harus mengisi bagian tanggal lahir di sini?! Aku tidak tau sistem kalender!" tanya Ikyo panik sambil memegang kertas formulir-nya. "Ambil saja tanggal berapapun di kalender, yang penting semuanya harus diisi!" balas Girl-chan sewot.)
Kemudian mereka berdua terdiam sesaat.
Kring!
Tartagus memeriksa pesan yang masuk. "Aku harus pergi, Iris memintaku datang ke tempatnya."
"Ya, aku juga harus pergi. Aku tidak bisa lama-lama di sini karena Adel bisa ngambek nanti." Ikyo yang baru ingin pergi teringat sesuatu. "Oh, dan jangan beritahu siapapun soal pembicaraan kita tadi. Itu rahasia."
Dia mengangguk dan mereka berdua pergi ke arah yang berbeda.
Begitu Tartagus sampai di tempat yang dimaksud, ada seseorang yang mengintai di belakangnya dan...
SEEET!
Dia berhasil menahan pukulan dari Kazuma.
"Refleks-mu cukup bagus kali ini, tingkatkan."
"Selamat ulang tahun, Tarta-kun!" ujar Iris sambil membawa kue ulang tahun untuknya.
"Semoga tetap bahagia ya!" seru Kim.
Kazuma menepuk pundaknya. "Teruslah berjuang, Arta. Kami mendukungmu."
Pria itu hanya tersenyum dengan sambutan hangat yang didapatnya.
Malamnya...
"Aku tidak mau!"
"Ayolah! Katakan saja! Kau perduli padanya kan?"
"Frère, hargailah Arta sekali ini saja. Dia juga punya perasaan."
Tartagus yang baru pulang mendengar pembicaraan ketiga 'sepupu'-nya dan masuk ke kamar.
"Oh, baru pulang? Dari mana saja?" tanya Daren.
"Dari tempat Iris. Yah, untungnya aku tidak digebukin kakeknya hari ini." jawab Tartagus seadanya.
Saphire menyikut lengan Vience. "Ssst, Vie-nii! Lakukan saja!"
Vience menghela nafas frustasi. "Hey, Arta."
"Ya?"
"Selamat ulang tahun."
Tartagus langsung kebingungan. "Heeeh? Kukira kau tidak mau mengatakannya."
"Mereka memaksaku, sebenarnya aku juga tidak ingin melakukannya!" balas Vience sebal.
"Yah, sepertinya kami akan tinggalkan kalian sebentar! Kami akan kembali untuk membawakan roti melon untukmu, Sepupu!" Saphire mendorong Daren meninggalkan kedua saudara mereka.
Setelah mereka pergi, suasana kamar itu mulai hening.
Vience kembali menghela nafas. "Sebenarnya masih ada lagi yang ingin kukatakan."
"Oh ya? Apa itu?" tanya Tartagus.
"Jadilah lebih kuat, demi semua orang." Vience berjalan ke pintu kamar. "Sekarang aku harus pergi, ada yang harus kuselesaikan."
Walaupun ditinggal sendirian, dia kembali tersenyum.
'Setidaknya tahun ini membuatku merasa lebih dihargai...'
To Be Continue, bukan Tier Bronze Cycle (?)...
Double update karena benar-benar pusing, ugh... =w=a
Review! :D
