Balas Review! :D
SR: LOL. :V Ligma itu, yah... Susah jelasinnya.
Teiron dan Thundy: =w=
Mathias, Salem, dan Ikyo: "Itu bukan gue!"
Ini udah lanjut... -w-/
RosyMiranto18: Ya ya ya... Pokoknya bola itu sangat besar, mungkin sebesar bola yang ada di Palace Futaba.
Naya: "Itu rahasia keluarga."
Jean: "Seharusnya itu 'nyan' sih, dan kami hanya mencoba drama saja."
Alpha: "Ingat kejadian 'Power Problem'?"
Arie: "Itu total nilai ujiannya. Kalau kau bagikan minus lima ribu dengan minus seratus, maka kau akan tau sendiri seberapa banyak dia dapat nilai jelek."
Salem: "Jangan tanya." =w= *trauma karena pernah melihat kepala menggelinding.*
Luthias: "Marco itu salah satu karakter Animorphs."
Garcia: *sudah merekam semua itu di dalam memory-nya.*
Marinka: "Aku tidak mengerti kenapa Tsuchi cemburu karena Harith." ._.
Bagian Belerick sudah kujelaskan di FB. -w-/ Thanks for Review.
Happy Reading! :D
Chapter 161: Deformity Interact
Di sinilah Mathias sekarang. Duduk termangu di depan teras rumah Edgar dengan mata kosong menghadap ke arah permadani hijau yang terbentang di depan mata birunya, walaupun pikirannya merambat kemana-mana.
Oh, dia hanya membayangkan Girl-chan sedang berlari mengitari pekarangan dengan baju minim, tubuh yang basah akibat pancuran air di dekatnya, dan melakukan gerakan sensual plus pandangan seduktif ke arah Mathias, dan tidak lupa senyum menggoda dengan mata hitam yang mengerling penuh hasrat.
"Thias? Bukannya itu darah yang mengalir dari hidungmu? Thias? Thias! Berhentilah tersenyum seperti itu!"
Abaikan intro itu.
Molf sedang membaca buku di kamarnya ketika mendengar suara ketukan di jendela.
"Molf~ Buka jendelanya dong!"
Dia berdiri dan membuka jendela, ternyata ada Zen yang sedang terbang di depannya.
"Kau sedang apa di sini?" tanya Molf.
Zen hanya menggaruk kepala. "Ehehe, aku hanya ingin mengajakmu keluar. Setidaknya untuk mengajarimu beberapa hal yang tidak bisa didapat hanya dengan membaca buku."
"Benarkah?" tanya Molf memastikan.
"Tentu. Aku akan menunggumu di gerbang." Zen terbang pergi.
Molf merapikan buku-bukunya dan berjalan keluar.
"Kamu mau kemana, Molf?" tanya Gluaria yang sedang bersih-bersih.
Dia menengok sebentar. "Jalan-jalan dengan Zen. Tadi dia menghampiriku dari jendela dan mengajakku pergi."
"Ooh. Ya sudah. Selamat bersenang-senang." Gluaria melambaikan tangan ketika keponakannya keluar.
Molf segera pergi ke arah gerbang dimana Zen sudah menunggunya.
"Jadi, kau mau mengajakku kemana?" tanya Molf.
"Di dekat sini ada festival. Di sana kita bisa melihat pertunjukan, mencoba beberapa permainan, atau mencicipi makanan yang enak." jelas Zen bersemangat.
"Baiklah."
Mereka berdua pun pergi ke festival tersebut.
"Nah, sudah sampai!" seru Zen ketika mereka tiba di depan gerbang festival. "Yah... Festival seperti ini selalu ramai setiap tahun, jadi jangan heran jika banyak orang seperti ini."
Molf celingukan sesaat di tengah kerumunan orang yang mereka lewati. "Begitu."
Zen memeriksa saku celananya dan sedikit terkejut. "Ups! Sepertinya aku lupa bawa uang!"
"Apa itu penting?" tanya Molf.
"Ya, kau tidak bisa membeli apa-apa jika tidak punya uang." jelas Zen. "Oh, aku akan kembali ke markas untuk mengambilnya. Apa kau tidak keberatan jalan-jalan sendiri?"
Molf angkat bahu. "Tidak apa-apa."
"Oke, aku akan kembali secepatnya. Jangan lupa pasang mata ke arah langit ya." Zen segera terbang pergi.
Molf pun memilih untuk jalan-jalan sendirian.
Ada banyak hal yang dilihatnya di sana. Orang-orang yang memancing ikan, stand menembak, stand makanan, dan pertunjukan tari.
Sebenarnya Molf ingin membeli makanan, tapi karena dia sendiri tidak punya uang dan masih harus menunggu Zen kembali, jadi dia mengurungkan niat.
Bruk!
Tiba-tiba Molf ditabrak seseorang dari belakang.
"Ma-maaf! Aku tidak sengaja!"
Molf berbalik untuk melihat orang yang menabraknya.
Anak laki-laki berambut hitam dengan kunciran pendek, mata seindah amethyst, baju kuning gambar kucing, jaket putih, celana biru, dan sepatu boot coklat.
"M-Molf?"
"Tumma?"
Salahkah jika mereka saling kenal?
"Kau sedang apa di sini?" tanya Tumma.
"Melihat-lihat dan menunggu Zen." jawab Molf.
Tumma mengangkat alis. "Zen?"
"Tadi dia mengajakku ke sini, tapi pergi lagi karena uangnya ketinggalan." jelas Molf.
"O-oh." Tumma mulai canggung. "Umm, kau tidak beli sesuatu?"
Molf menggeleng. "Aku tidak punya uang."
"Ba-baiklah." Tumma menggaruk pipi. "Aku akan mentraktirmu. Nanti akan kujelaskan pada Zen."
Molf hanya mengangguk setuju.
Molf mengamati kumpulan makanan di depannya dengan seksama. Semua makanan itu terlihat enak, tapi dia hanya bisa memilih satu.
"Kalau kau bingung untuk memilih, aku akan pilihkan untukmu." usul Tumma.
"Silakan." balas Molf singkat.
Dan pada akhirnya, mereka berdua membeli dango.
Sementara itu, Zen yang sedang terbang mencari Molf mendapati yang bersangkutan asik makan berdua dengan Tumma. Dia pun terbang menghampiri mereka.
"Haaah, enak sekali kau ini! Ditraktir teman lama di saat aku kelabakan mencari uangku yang ketinggalan!" gerutu Zen sebal.
Tumma mengangkat alis. "Bagaimana kau bisa tau? Memangnya kau itu cenayang?"
Molf bingung mengenai maksud dari 'cenayang' barusan, tapi dia memilih untuk tidak bertanya. Dan selagi kedua orang itu sibuk berdebat, dia hanya melanjutkan makannya.
"Hey Molf, ngomong sesuatu dong!"
Yang bersangkutan langsung tersedak.
"Ma-maaf." Zen merasa bersalah. "Aku akan belikan minuman."
Setelah Zen pergi membeli minuman, suasana di antara Molf dan Tumma mulai hening sesaat.
"Ehmm..." Tumma merasa canggung untuk memulai pembicaraan.
"Lama tidak jumpa." ujar Molf.
"Ah ya! Sudah lama sekali, sejak kejadian itu. Yah..." Tumma tidak tau harus bagaimana melanjutkannya.
"Banyak hal yang berubah di antara kita." Molf menatap langit. "Aku diselamatkan dan dikembalikan pada keluargaku. Memulihkan diri dari trauma dengan belajar tentang dunia ini, walaupun sebagian besar hanya melalui buku."
"Terkadang ada hal yang lebih baik dijelaskan dengan praktek daripada hanya memahami teori." Tumma mengayunkan kakinya. "Pelajaran kehidupan selalu lebih baik dengan praktek, bahkan untuk hal yang kecil dan sederhana."
Molf mengalihkan pandangan ke jalanan. "Mungkin aku memang harus belajar lebih banyak lagi."
Sesuatu yang dingin menempel di pipinya, rupanya Zen sudah kembali dengan tiga minuman kaleng.
Dia memberikan minuman yang dipegangnya pada Molf dan melemparkan minuman lainnya pada Tumma, kemudian Zen duduk di sebelah Molf dan mempraktekkan cara membuka kaleng agar Molf tidak kebingungan.
"Apa semua minuman selalu dijual dalam bentuk kaleng?" tanya Molf penasaran.
"Tidak juga. Ada yang dijual dalam botol kaca atau plastik, kotak karton, dan juga gelas plastik." jelas Tumma.
Molf hanya manggut-manggut dan mencoba minumannya.
Setelah itu suasana kembali hening karena tidak ada yang memulai pembicaraan.
"Umm, rasanya sedikit aneh."
Atau mungkin tidak.
Zen terkekeh ria. "Kau kan baru pertama kali mencoba soda."
"Memang, tapi..." Molf mulai merasa mual dan wajahnya memucat.
"Oh My Gord (Kemudian ada yang bersin di markas Reha.), itu tidak bagus." celetuk Tumma was-was. "Kita harus cepat bawa dia ke rumah Emy, kebetulan hari ini kakak iparnya sedang tidak bekerja dan dia seorang dokter."
"Dari mana kau tau?" tanya Zen sambil merangkul Molf untuk membantunya berdiri.
Tumma ikut membantu merangkul Molf. "Aku sempat mampir ke sana tadi."
Mereka berdua segera membawa Molf ke rumah Emy.
Setelah itu...
"Bagaimana?" tanya Tumma.
Izca melepas stetoskop-nya setelah selesai memeriksa kondisi Molf. "Ini sedikit aneh, tapi..."
"Ada yang salah?" tanya Molf.
"Aku belum pernah menemukan pasien seorang Incubus yang alergi soda."
Suasana langsung hening.
"Maaf mengecewakan kalian, tapi aku tidak tau bagaimana cara mengobati alergi ini." Izca menghela nafas. "Mungkin lebih baik kalian harus menunggu sampai gelaja-nya hilang."
'Kalau Arie sampai tau ini, dia bisa membunuhku nanti.' Zen menelan ludah. "Sebaiknya kita kembali ke markas selagi memikirkan cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini."
"Dengan resiko Arie akan memarahimu?" tanya Tumma ragu.
"Bahkan bisa lebih buruk dari itu." balas Zen was-was.
Mereka berdua pun kembali ke markas dan membawa Molf ikut bersama mereka karena dia tidak bisa pulang sendiri ke rumah orangtua Arie.
Sementara itu, ada tiga orang yang sedang minum-minum.
"Nell'Echézeaux, Ornellaia, Amontillado Musa, Sainte Neige Rela, La Granja." Raimundo menyebutkan nama minuman di depan mereka.
"Ja? Ha. Ha-ha. Ha ha ha. Ha ha ha ha ha." timpal Tartagus watados.
"Hahaha saja? Memangnya itu lucu?" tanya Mathias skeptis.
"Apa salahnya melucu?" Tartagus mengambil sebotol wine dan meminum setengah isinya. "Aaaaa~"
"Memangnya kau siapa? Antonio?" balas Mathias sinis.
Back to Molf...
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Yubi cemas
Sekarang Molf sedang terduduk lemas di sofa, terlihat ngos-ngosan dan batuk-batuk.
"Aku ragu soal itu..." gumam Zen khawatir.
"Oy Zen, Arie nyariin tuh!" seru Thundy yang baru datang sambil membawa bir kalengan.
Zen langsung menelan ludah dan segera pergi.
"Ehmm... Aku harus pergi, ada janji sama Momo-tan." Yubi meninggalkan mereka.
"Thun, kau enak banget ya. Minum bir di saat istri lagi hamil." sindir Tumma risih.
"Apa masalahmu? Itu tidak apa-apa bagiku, selama bukan si bodoh itu yang minum." Thundy meminum bir-nya dan baru menyadari kondisi Molf. "Apa yang terjadi padanya?"
"Hanya gejala yang tidak perlu kau tau." jawab Tumma datar, kemudian teringat sesuatu. "Ah ya, aku harus memeriksa Miorin. Yubi pasti lupa memberinya makan. Jagain Molf bentar ya."
Setelah Tumma pergi, suasana pun mulai hening.
"Boleh aku meminta minumanmu?" pinta Molf.
Thundy mengangkat alis. "Untuk apa?"
"Aku ingin mencobanya."
"Tunggu sebentar." Thundy berjalan pergi.
Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan sekotak bir kalengan dan menaruhnya di atas meja. Molf pun mengambil salah satu kaleng.
Zen dan Arie sedang membicarakan hal serius ketika mendapati sesuatu yang mengejutkan.
Mereka melihat Molf sedang meminum bir kalengan dan terlihat beberapa kaleng yang terguling di atas meja. Thundy yang berada di dekatnya hanya memasang tampang yang sulit dijelaskan, entah antara shock atau bingung atau mungkin keduanya.
"Thun?" panggil Zen.
Yang bersangkutan menengok. "J-ja?"
"Apa yang terjadi?" tanya Arie.
"Tadi dia meminta minumanku dan aku memberinya sekotak penuh, dan... Aku tidak menyangka dia punya toleransi alkohol yang sangat kuat seperti Arta." jelas Thundy yang segera pergi.
Arie langsung menatap tajam Zen seolah mengatakan 'kau harus menjelaskan semuanya atau aku akan membunuhmu!', sementara yang bersangkutan hanya pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya nanti.
"Itu bukan salahnya, Arie."
Perkataan Molf tadi sukses mengejutkan mereka berdua, apalagi ketika mendapati senyuman tulus di wajahnya.
"Aku masih perlu belajar banyak tentang dunia ini, jadi aku menghargai usaha kalian untuk melindungiku dari masalah."
"Molf..." Arie terdiam sesaat. "Aku tidak menduga kau akan mengatakan hal setulus itu..."
Zen hanya menggaruk kepala dengan senyum canggung.
"Oh iya, lain kali cobalah lebih sering tersenyum! Yang tadi itu natural banget lho!"
"Benarkah?"
"Yah, kurasa dia benar. Tidak ada salahnya kau terus tersenyum seperti itu."
"Aku akan mengusahakannya untuk kalian."
"Bagaimana harimu, Molf?" tanya Gluaria ketika menyambut keponakannya yang baru pulang.
"Menyenangkan." Molf tersenyum manis. "Aku ingin tidur. Selamat malam."
"Se-selamat malam." balas Gluaria gugup.
Suasana pun hening.
"K-kau lihat itu, Marlie? Molf tersenyum lho. Bukankah dia sangat manis?" tanya Gluaria dengan wajah memerah pada Scottish Fold peliharaan Arie.
"Meong?" Marlie hanya kebingungan.
To Be Continue, bukan Twinkle Blinker Curtain (?)...
Yah, aku bingung harus bagaimana... -w-a
Kalian nyadar nggak kalau tadi Molf sehat lagi setelah minum bir kaleng dari Thundy? Nggak? Ya udah, ngasih tau doang. *plak!*
Spoiler Chapter depan: Kumpulan 'drabble'.
Review! :D
