Balas Review! :D

SR: Gue sih nggak perduli kalau soal Hero baru, kecuali kalau buat bikin OC baru di Heroes Gakuen... ~(-w-)~

Ikyo: "Daging sih boleh aja, asal jangan 2 ton lagi. Susah ngabisinnya." =_=

Ini udah lanjut... -w-/

RosyMiranto18: Sebenarnya aku bisa saja nunjukin, cuma nggak keburu karena waktu itu nggak ada kuota... -w-/

Tartagus: "Aku memang hanya ingin menanamnya untuk mengajari Belerick memahat labu saja." 'v'a

Zen: "Sudah lama sih, sebelum kejadian di Chapter 'Our Failure'."

Teiron: "Luna nggak mungkin lakuin itu, secara dia cuma kucing." .v./

Adelia: "Kami masih punya banyak selimut sih."

Salem: "Jangan ditanya." =w=

Aku hanya pengen ada yang nebak aja... 'w'a

Alisa: "Tidak terima kasih, aku tidak berminat."

Monika: *menghela nafas.* "Aku menyembunyikannya karena masalah pribadi."

Ikyo: "Itu hanya insting." =_=

Tartagus: "Aku punya naga besar, kuberi nama Jero! Dia senang berlari-lari, sambil seruduk-seruduk!" *langsung kabur sebelum diamuk Vience.*

Vience: "Woy! Sini lu, Saus Tartar kampret!"

Thanks for Review.

Happy Reading! :D


Chapter 172: Kegalauan


Cahaya keemasan mentari pagi menerangi seisi kota Citadel, awan putih mulai terlihat di langit biru, dan burung-burung kecil pun mulai bernyanyi untuk menyambut pagi yang cerah ini.

Hal ini tentu langsung membangunkan seorang pemuda. Dia segera duduk di tepi kasur sambil menguap berkali-kali dan menggaruk sisi badannya yang tidak terlapisi atasan dengan khusyuk, kemudian pemuda berambut pirang spiky itu menarik handuk putih yang bertengger di belakang pintu kamarnya.

"Mandi dulu ah, biar ca-"

Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Chilla membanting pintu kamar dari luar.

"Salem, sarapan sudah si- Huwaaaah! Salem!"

Dan di situlah dia, Salem, jatuh terlentang dengan hidung mengeluarkan darah akibat benturan barusan.


Sehabis makan (dan mandi tentunya), Salem masuk kembali ke kamar untuk mengasah senjatanya. Dia duduk di dekat meja dan sesekali melihat pemandangan di luar dari balik jendela yang berada di depannya.

Sebenarnya alasan utama dia ingin masuk kembali ke kamar bukan untuk mengasah senjatanya, melainkan untuk memikirkan sebuah rencana agar dia dapat melamar Chilla dengan sukses.

Dia pun merenung dengan tatapan kosong. 'Bagaimana aku bisa lamar Chilla nanti ya? Apa dia akan terima? Tapi, apa kesannya tentangku? Kalau kesannya padaku ternyata buruk gimana? Aaaah! Ini membuatku sangat stress!'

Saat batinnya galau dengan hal itu, Edward masuk ke kamar pemuda itu dan menyapanya dengan lembut. "Kak Salem!"

Namun Salem hanya mengangguk saja tanpa melihat atau merespon sahutan Edward, tentu saja hal ini membuat anak itu cukup sedih.

"Kak Salem~ Lagi ngapain sih? I-ku-tan dooongg~"

Edward pun berjalan mendekati Salem, dia melihat ekspresi wajah Salem yang menatap jendela dari tempat duduknya dengan tatapan kosong sambil menggosok senjatanya dengan pelan tanpa henti.

"Umm, Kak Salem? Halo? Haloooo?" Tapi tetap saja lawan bicaranya tidak merespon.

Edward tetap tidak mau menyerah. "Kak Salem galau ya? Kalau melamun seperti itu nanti kerasukan lho!"

"Hmmm..." Hanya gumaman yang terdengar dari lawan bicara anak itu.

Edward semakin kesal dan dia pun mulai bernyanyi agar Salem mau berbicara dengannya.

"Burung kakaktuaaaa~ Hinggap di jen-de-laaaa~ Kak Salem sudah tu-aaaa, giginya tinggal du-aaaaa~"

Kedua tangan Edward dilambaikan ke atas membentuk lingkaran, wajahnya berseri-seri dan berputar-putar dengan riangnya. Sepertinya dia mulai terbawa suasana.

"Tek-duuung! Tek-duuung! Tek-duuung la la laaaaaa~ Buruuung Kakaktuaaa~"

Tapi nasibnya malah berakhir mengenaskan, karena Salem langsung menyelengkat kakinya sampai Edward terjatuh menghantam lantai dengan keras.

"KAMU KENAPA SIH?! NGEJEK YA?! NGAJAK BERANTEM, HAH?!"

Oh, ternyata dia sudah sadar dari lamunannya.

Salem dengan kesal menusuk meja dengan pisau yang dipegangnya, tak perduli dengan kondisi anak yang masih tersungkur di dekat kakinya.

Salem pun berdiri sambil menyilangkan tangan di depan dada. Sang pemuda yang masih mempertahankan posisi telungkupnya menengadah untuk menatap iris matanya.

'Edward takut, papa! Kak Salem jadi menakutkan!'

Darah merah segar mengalir dari tepi dahi kanan Edward, kemungkinan akibat mencium lantai dengan keras barusan. Namun Edward tidak perduli dengan itu, di hadapannya masih ada masalah yang lebih besar.

"Ka-Kak Salem, aku kan tadi hanya ingin menghiburmu. Ehehehe..."

Tetapi Salem tidak menjawab apa-apa dan dia segera menarik kerah baju anak itu ke atas setinggi-tingginya.

Rendy yang tidak sengaja mendengar kegaduhan segera berlari menuju asal suara dan alangkah kagetnya dia dengan pemandangan di depannya.

"Astaga, Salem! Apa yang kau lakukan?!" seru Rendy yang secepatnya menarik Edward dari genggaman pemuda marah itu sekuat tenaga.

Setelah diamankan di depan pintu kamar, Edward pun langsung memeluk kaki kanan Rendy. "Kak Rendyyyy! Untunglah Kakak datang! Aku tadi mau diperkosa Kak Salem! Help me!"

"Cup cup cup... Edward, ayo minta bantuan Naya agar kepalamu sembuh." Rendy membantu Edward berdiri. "Dan Salem, aku tidak menyangka kalau kau sekarang nafsunya sama Edward, aku laporin Naya nanti!"

Kesal, panik, dan takut telah bercampur aduk di dalam pikiran dan hatinya. Tanpa sadar dia langsung menghantam Rendy tiga kali dengan kecepatan yang luar biasa, 'masa depan'-nya terhantam keras.

Edward langsung menjerit keras dengan suara naik seribu oktaf, sementara pemuda berambut perak itu langsung tumbang seketika sambil memegangi dan mengusap-usap 'kesucian'-nya.

Edward yang kaget kembali menjerit dengan kencang dan segera berlari ke lantai bawah, sementara sang pelaku hanya bingung sendiri setelah dengan spontan memukul bagian 'anu' teman baiknya dengan tenaga yang luar biasa.

Tak lama kemudian, sayup-sayup suara tertangkap jelas di telinganya.

"KAK NAYA! KAK SALEM PUKUL 'ITU'-NYA KAK RENDY DENGAN TENAGA MINOTAUR DAN DIA NAFSU SAMA AKU SEKARANG! AKU HARUS BAGAIMANA?! KAK RENDY HARUS KITA APAKAN?!"

Ternyata Edward mengadu pada Naya tentang kejadian ini, apalagi kepalanya masih berdarah akibat jatuh barusan.

"Sepertinya aku harus pergi dari sini..." keluh pemuda itu dengan nada pilu.


Cahaya sang raja siang segera tergantikan oleh pesona rembulan yang terang. Gemerlap cahaya bintang yang menghiasi malam membuat Naya merasa tenang dan tidur lebih malam. Dia terpesona dengan keindahan malam yang membuatnya menatap langit sampai larut di taman belakang kediaman Lammermoor.

Saat dia mulai mengantuk, Naya segera memasuki rumah dan menaiki tangga menuju tempat tidurnya yang berada di depan kamar Salem. Tapi ketika berniat ingin membuka pintu kamar, dia mendengar suara gumaman.

'Aneh. Padahal sekarang sudah tengah malam, tidak mungkin ada yang masih bangun sampai larut begini.'

Wanita berambut hitam itu menjadi lebih waspada dengan membuat indera-nya lebih peka. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan asal suara yang ternyata berasal dari kamar Salem.

'Seharusnya aku tidak melakukan ini, tapi aku punya firasat kalau aku harus mendengarnya.'

Dia dengan perlahan membuka pintu kamarnya sedikit demi sedikit agar tidak mengganggu dan tertangkap basah oleh sang pemilik kamar, telinganya pun dibuka lebar-lebar.

"Oh Tuhan, sebenarnya dosa saya selama ini apa? Kenapa juga saya harus bersama mereka yang ternyata dapat membuat saya gila? Kumohon, HANCURKAN MEREKA! MEREKA ADALAH KUTUKAN YANG AKAN MENGHANCURKAN MENTAL ORANG-ORANG TAK BERDOSA YANG JAUH LEBIH KEREN DARI MEREKA, SALAH SATUNYA SAYA! BANTULAH SAYA! Terima kasih."

Setelah Salem selesai dengan doa-nya, Naya langsung menutup pintu kamar. Entah apa dia harus prihatin dan sedih mendengar lirihan Salem, atau harus tertawa karena doa yang diteriakkan Salem barusan sangatlah menggemaskan.


Keesokan paginya, Naya menceritakan apa yang didengarnya tadi malam pada Rendy dan Edward sesudah sarapan.

"Dan kurang lebih seperti itulah doa-nya. Rendy, Edward, kalian kalau bisa segera minta maaf pada Salem ya. Sepertinya dia benar-benar tidak tahan dengan kalian berdua."

Setelah mendengar perkataan Naya barusan, Rendy dan Edward akhirnya setuju dan memikirkan untuk membuat sebuah kejutan kecil sambil meminta maaf pada Salem saat dia pulang dari latihannya nanti.


Sore hari pun telah tiba, matahari senja akan segera tenggelam di ufuk barat. Cahaya jingga kelamnya memberikan sinyal pada Salem untuk segera pulang.


Hanya dengan berjalan kaki lima belas menit, dia telah tiba di depan pintu kediaman Lammermoor.

"Aku pulang."

Dia pun disambut oleh Chilla yang tersenyum manis dan tengah menyiapkan makan malam. "Hay Salem! Bagaimana latihannya?"

Ah, melihat senyuman gadis itu saja sudah membuat rasa lelahnya lenyap begitu saja.

"Latihan? Umm... Baik-baik saja kok, tidak ada hal buruk yang terjadi tadi."

Gadis itu kembali tersenyum. "Ah iya, makan malam akan segera siap! Tunggu sebentar ya!"

"Baiklah."


Setelah makan malam, Salem menawarkan diri untuk membantu kakaknya membersihkan piring-piring kotor. Ya, walaupun Edgar masih ada di ruang makan sambil minum kopi, Naya dan Salem tau kalau mengajak Edgar untuk membantu mereka sepertinya merupakan hal yang sia-sia saja nanti.

Untungnya Chilla datang membantu dan pekerjaan mereka dapat selesai dengan cepat. Chilla membawa piring dan gelas kotor menuju dapur untuk dicuci, Naya membersihkannya, sementara Salem mengelap piring dan gelas-gelas tersebut.

"Salem."

Si pemuda yang merasa terpanggil mengalihkan pandangan pada sang pemilik suara dan menatap wajah wanita di sebelah kirinya. "Ada apa, Kak?"

"Entah kenapa, aku merasa kita semua sudah seperti sebuah keluarga. Apa kau juga berpikir seperti itu, Salem?"

Pemuda itu langsung menghentikan pekerjaannya, kemudian menatap kembali kakaknya dengan senyuman kecil di wajahnya.

"Aku terkadang juga berpikir begi-"

Tapi naas-nya, suasana manis itu terganggu oleh...

"(Kak) Salem!"

Kedatangan sang adik ipar dan teman baiknya yang langsung bersujud di hadapannya.

"MAAFKAN SEMUA KESALAHAN KAMI!"

Irisnya segera lepas dari pandangan Naya dan langsung menghadap kedua orang di belakangnya. "Hah?"

Rendy-lah yang pertama angkat suara. "Maafkan semua kesalahan kami! Kami tidak sadar kalau sikap kami sangatlah keterlaluan! Ooh, Salem! Maafkan akuuuuu! Maafkan juga kesalahanku karena telah merobek salah satu jaketmu saat aku membantu Chilla mencuci kemarin lusaaaaaaaa!"

'Jadi jaketku terbelah karena orang ini?!'

Edward pun mulai berbicara. "Maafkan aku juga, Kak Salem! Aku juga tidak tau kalau sikapku kadang menyebalkan di mata Kakak, dan maafkan aku juga karena berkali-kali menggunakan pisau Kakak tanpa izin dan tak sengaja kurusak! Maaaaaaff!"

'Kau bilang pisauku dipatahkan Jean. Jadi selama ini kau bohong padaku, EDWARD?! Kau harus tau kalau pisau itu TIDAK MURAH, aku sudah beli LIMA PISAU, dan ternyata RUSAK SEMUA karena KAU?!'

"Iya iya... Aku maafkan..." balas pemuda itu dengan senyum tipis.

Miris nasibnya setelah mendengar kenyataan dan pernyataan sedih dari mulut kedua orang yang berada di hadapannya sekarang.

Rendy dan Edward menghela nafas lega.

"Syukurlaaaah!" seru Edward. "Oh iya! Agar Kak Salem senang, aku dan Kak Rendy sudah menyiapkan sebuah kejutan untuk Kakak!"

"Hah? Kejutan apa?"

Rendy dan Edward langsung berdiri dan segera mengangkat kedua tangan mereka ke atas sambil bernyanyi.

"Burung kakaktuaaaa~ Hinggap di jendelaaaa~ (Kak) Salem sudah tuaaaa, giginya tinggal duaaaaa~ Tek-duuung! Tek-duuung! Tek-duuung la la laaaaaa~ Buruuung Kakaktuaaa~"

Setelah mereka berdua selesai menyanyi, Naya yang melihat itu langsung menutup mulut untuk menahan tawa. Chilla yang menaruh piring tertawa kecil. Edgar yang tidak tertarik langsung menaruh cangkir kopinya dan segera berjalan menuju kamarnya.

Sementara Salem? Dia tidak bereaksi apa-apa. Tapi entah kenapa, tiba-tiba dia merasa ingin melompat dari atap markas nanti malam.


Keesokan harinya, seorang pemuda berambut pirang spiky ditemukan tergeletak di halaman belakang markas. Tubuhnya pun dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa apakah masih selamat atau sudah tewas karena keputus asaan dan kegalauan yang amat sangat dalam.


Special Bonus: 'Rengginang dan mayones'

"Ren, gue masih penasaran sama Hendry. Dia punya aib yang memalukan nggak sih?" tanya Alpha suatu hari.

Rendy berpikir sejenak. "Aib yang memalukan ya?"

Tiba-tiba Hendry muncul di belakang kembarannya. "Rendy... Jika kau berani menceritakan aibku, aku akan membuatmu menyesal... Ingat insiden 'rengginang dan mayones'?"

"Tidak ada sama sekali!" ujar Rendy tegas karena masih 'sayang nyawa'.

Alpha hanya kebingungan.

Ashley yang kebetulan mendengarnya terheran-heran. 'Rengginang dan mayones?'


Seminggu kemudian...

"Hay Rendinang!" sapa Zen dan Hibatur yang bertemu Rendy yang jalan-jalan sendirian di tempat arcade.


"Yo Rendinang!" seru Eris yang kebetulan satu cafè dengan Rendy saat sedang makan siang dengan Alfred.


"Rendiiinaaang~" Kali ini giliran Emy yang menyapa saat Rendy lewat di depan rumahnya.


"Lu yang nyebarin insiden 'rengginang dan mayones'?!" tanya Rendy emosi.

"Itu kan salahmu juga yang hampir menceritakan aibku." balas Hendry tanpa dosa.


Rendy: "Jadi insiden yang dimaksud itu berawal ketika aku sedang menuang mayones di dapur dan tumpah ke seluruh bagian depan baju dan celanaku setelah dikagetin Hendry dari belakang, tapi sialnya dia malah mengira aku sedang 'main sendiri' (alias f4p-f4p atau 0n4n1 atau m4sturb4s1 atau sebangsanya). Dan hubungannya dengan rengginang itu karena kejadiannya setelah Chapter QnA kemarin."

Hendry: ^^' (batin: "Entah kenapa aku jadi merasa bersalah pada Rendy.")


To Be Continue, bukan This Big Conner (?)...


Aku ora urus, capek banget pokoknya... -w-/

Review! :D