Happy Reading! :D


Chapter 196: Gli(der)nea(rby)


Setelah selesai menonjok Zen, Arie langsung menyeretnya ke ruang makan dimana terdapat Molf yang sedang memperhatikan Trio T main 'tepuk nyamuk'.

"Tolong awasi si bodoh ini, aku mau bikin teh buat tamu." Arie meninggalkan Zen di samping Molf dan pergi ke dapur.

"Ugh, aduh." Zen mengusap wajahnya yang ditonjok barusan.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya gitu deh."


"Maaf untuk yang barusan, Glinea. Saudaraku memang bodoh."

Gadis itu tertawa kecil. "Kalau dipikir-pikir lagi memang lucu sih."

"Hey, apa-apaan ini?!"

"Apa itu?" tanya Glinea penasaran.

'Mereka ngapain sih?' batin Arie yang berjalan menuju sumber suara diikuti Glinea.


Di ruang makan, tangan kanan Teiron terikat rantai.

"Maaf, Tei. Aku sudah meminta Molf untuk menghentikanmu, karena kau bisa saja menghancurkan meja jika terlalu bersemangat." Tumma menepuk kartu di meja dengan santai. "Lagipula, Arie pasti akan memarahimu jika mejanya rusak."

Teiron hanya manyun dan Molf melepaskan rantai di tangan anak itu sambil memegangi mata kanannya.

"Matamu tidak apa-apa?" tanya Thundy.

"Ya, sepertinya." Molf melepaskan tangan yang menutupi matanya.

Keempat orang lainnya langsung terdiam setelah melihat mata kanan Molf yang diselimuti bara api.

Arie yang melihat kejadian itu hanya facepalm.

"Kakak siapa ya?" tanya Ney yang entah sejak kapan sudah berada di sebelah Glinea.

Kelima orang lainnya langsung menengok ke arah tiga orang di pintu.


"Bagaimana kalian bisa saling kenal?" tanya Teiron penasaran.

"Ceritanya cukup panjang, urgh..." balas Zen risih.

"Kau tidak suka padanya, Zen?"

"Aku tidak mau menjelaskannya." Zen memasang wajah sinis ke arah Teiron untuk membuat anak itu tidak bertanya lebih lanjut.


Besoknya...

BRUK!

"Itu siapa yang nyangkut?" tanya Edward ketika melihat ada yang tersangkut di pohon bersama sebuah paralayang.

Oke, ini kayaknya deja vu sama Chapter kemunculan Monika.


Di tempat lain...

"Kau tau, Arie, aku hanya berharap Flore dan Ney tidak melakukan 'Kyutama Dancing' jika sekolah mereka melakukan pentas seni."

"Memangnya kenapa, Ron?"

"Rumit menjelaskannya." Teiron menghela nafas dan berdiri. "Aku pergi dulu."

Dia pun berjalan meninggalkan Arie yang meminum tehnya.

"Kau sudah punya pacar ya, Rie?"

Arie langsung menyemburkan minumannya setelah mendengar pertanyaan tadi.

"Ngaco! Gue nggak punya keles!" sembur Arie sewot.

Hendry menunjuk sesuatu. "Terus itu siapa?"

Arie menengok dan disambut dengan-

"Arie!"

Glinea yang melompat ke arahnya dan langsung memeluknya.

"Ngapain lu ke sini?! Lepasin nggak! Malu-maluin tau!"

"Baiklah!" Glinea segera menjauh.

Tapi kejadian tadi membuat mereka berdua mendapat tatapan mencurigakan dari beberapa orang di perpustakaan markas.

"Oh, maaf!" Gadis itu menggaruk kepala. "Namaku Glinea Vespildocior!"

(Note: Silakan tebak anagram nama belakangnya, petunjuknya 'hewan beracun'.)

"Pacarnya Arie ya?"

"BUKAN!" sahut Arie tidak terima.

"Hah? Apa itu pacar?" tanya Glinea bingung.

Mereka semua memilih untuk tidak menjawab karena keberadaan aura hitam dari Arie yang seperti ingin mengancam seisi ruangan untuk tidak menjelaskan apapun.


Setelah itu...

'Kemana gadis itu?' batin Zen kesal.

Saat ini dia sedang mengajak Glinea keliling markas, tapi gadis itu mendadak hilang.

"Meong!"

Ketika dia menengok, tak taunya...

"Ummummumm (Mencariku)?" Glinea muncul dengan Kopen di mulutnya.

Zen langsung shock melihat itu dan segera menepuk keras punggung Glinea agar memuntahkan Kopen dari mulutnya. "Muntahkan! Dia menjijikkan! Kenapa kau memakannya?!"


Meanwhile...

"Rie, entar kalau lu terus nggak suka kayak gitu malah jadi demen lho."

Arie merasa ingin membanting cangkir tehnya setelah mendengar ucapan Vivi barusan.

"Katakan itu pada sepupu pacarmu yang takut sama kakek istrinya!" sindir Arie sinis yang langsung berjalan pergi.

'Kenapa malah jadi ngomongin Arta dan Kazuma-san?' batin Vivi sweatdrop.


Bicara soal mereka...

"Mereka mana sih? Masa bawa kue aja lama amat!" keluh Arta yang tidak sabar menunggu Saphire dan Daren yang belum datang juga. "Vieny! Jemput mereka gih!"

"Iya bentar!"

Ketika Vience baru mau menaiki naga-nya, tiba-tiba ada dua orang yang datang dengan kecepatan tinggi.

"Udah dateng aja mereka."

Kemudian mereka berdua berebutan masuk ke dalam.

"Gawat!"

"Apanya yang gawat?"

Daren mencoba menjelaskan sesuatu, tapi Saphire berusaha menghalanginya, dan mereka berdua langsung gelut.

'Mereka kenapa sih?' batin kedua saudara tertua mereka sweatdrop.

"Ini darurat!" seru Daren setelah berhasil mengikat Saphire. "SI SAPHIRE BEGO NABRAK ORANG DAN KUE-NYA HANCUR KENA ORANG ITU!"

Webek webek...

Ledakan kemarahan akan muncul dalam...

Tiga...

Dua...

Satu.

"SAPHIIIIIIIIIIIRE!"

Dan kejar-kejaran pun terjadi.


Kazuma hanya geleng-geleng kepala dari kejauhan, kemudian dia tak sengaja melihat seseorang yang berjalan menuju tempat itu.

"Hey!"

Orang itu menengok dan menunjuk diri sendiri. "Aku?"

"Iya, kamu. Kamu ngapain ke sini?" tanya Kazuma sambil menghampirinya.

"Aku diundang Arta." balas orang itu. "Ah maaf, aku lupa. Namaku Tobias, tapi biasa dipanggil Toby. Aku teman baik Arta saat masih sekolah."

Kazuma hanya manggut-manggut.

Abaikan mereka.


Ada beberapa orang yang sedang berada di depan sebuah rumah tua.

"Jadi, untuk apa kita kemari?"

"Kudengar di tempat ini banyak monster di dalamnya, jadi kita akan uji nyali di sini." jelas Glinea. "Ada monster kadal, manusia berkepala rusa, monster laba-laba..."

Tiba-tiba Molf merinding sesaat.

Teiron yang berada di sebelahnya menyadari hal itu. "Kau kenapa, Molf?"

Dia menggeleng. "Ti-tidak ada apa-apa."

Teiron menengok ke bawah. "Tapi, kakimu gemetar tuh."

"Ayo masuk~" Glinea segera menyelonong ke rumah itu disusul yang lainnya.


Ketika Zen sedang berjalan di sekitar koridor depan, dia mendapati Molf yang hanya terdiam.

"Zen, boleh aku pergi denganmu?" pinta Molf pelan.

Zen hanya mengangguk, kemudian mereka berdua berjalan bersama.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan juga langkah kaki.

"A-apa itu?"

Suara langkah kaki terdengar semakin dekat.

"Aku tidak tahan lagi! Aku harus keluar dari sini!"

Tapi Molf malah jatuh terduduk sambil memegang kaki Zen.

"Ka-kakiku, tidak bisa bergerak."

Suara itu semakin mendekat dan Molf mengeratkan pegangan di kaki Zen, dan ketika dia menengok ke belakang...

Terdapat sesosok laba-laba raksasa.

Molf langsung menjerit ketakutan dan (anehnya) laba-laba itu ikut menjerit.


Tumma dan Arie yang mendengar jeritan barusan mulai khawatir.

"Apa Molf akan baik-baik saja?"

"Aku juga khawatir pada Molf, tapi kuharap Zen bisa menenangkannya nanti."

Mereka berdua sedang menyelusuri perkarangan rumah itu, tapi...

Mereka tak sengaja bertemu sesosok pria berkepala rusa.

Suasana mulai hening, dan...

Entah kenapa, Tumma malah mengeluarkan aura hitam di tubuhnya.

"Kau..."

Dia mendekati si kepala rusa dengan wajah penuh amarah.

"Bisa-bisanya kau muncul lagi di hadapanku setelah meremukkan tanganku dalam adu panco dan membuat teman-temanmu dangdutan di atas penderitaanku! Dengar ya, Bane Perez! Sekali lagi kau muncul di depanku, aku akan membuatmu menjadi rusa panggang!"

Arie malah sweatdrop melihat apa yang terjadi.


Di sisi lain...

"Kenapa aku harus pergi denganmu?"

Saat ini Thundy sedang stress karena bersama orang paling bodoh yang pernah dia kenal.

Sekarang mereka berdua sedang berada di sebuah ruangan yang hampir tidak ada penerangan.

"Kau tidak menggunakan sihirmu? Mungkin saja bisa berguna." usul Teiron. "Tempat ini rada gelap."

"Untuk apa? Aku tidak akan menggunakan petirku untuk hal sepe-"

Perkataannya terpotong ketika dia melihat sebuah tangan bercakar tajam di pundak Teiron (dan anehnya, yang bersangkutan tidak merasakannya sama sekali).

"Tei, apapun yang terjadi, jangan menengok ke belakang."

Entah karena Teiron yang kelewat bodoh untuk mencerna larangan atau Thundy yang lupa dengan prinsip 'psikologi terbalik', manik kehijauan itu mulai melirik ke belakang dan mendapati...

Kilatan petir yang menyambar di luar jendela memperjelas wajah sang pemilik tangan yang rupanya adalah sesosok makhluk tinggi dengan perawakan layaknya reptil raksasa.

Teriakan bernada seriosa langsung keluar dari mulut Teiron.


Molf masih memeluk kaki Zen karena ketakutan, padahal laba-laba itu sudah pergi setelah saling teriak barusan.

Zen hanya menghela nafas dan menepuk pelan kepalanya. "Bangunlah. Laba-laba itu sudah pergi."

Molf melepaskan pelukan dan melihat sekitar, kemudian langsung menunduk malu. "Maaf."

"Sudahlah, semua orang pernah takut pada sesuatu. Itu hal yang wajar." Zen berlutut di depan Molf, kemudian dia membantunya berdiri dan memegangi tangannya. "Ayo kita keluar dari sini."


Setelah keluar dari rumah itu...

"Kau itu takut dengan apa, Zen?"

Zen tertawa canggung mendengar pertanyaan Molf tadi. "Sebenarnya aku takut pada ular. Yah, itu masih mending sih. Daripada Arie yang takut kodok karena pernah hampir menelan kodok beracun."


"Kenapa, Rie?" tanya Tumma bingung ketika melihat Arie terdiam sesaat.

"Entah kenapa, aku ingin menghajar Zen saat pulang nanti."


Keesokan harinya...

"Jadi kalian melihat monster laba-laba itu?"

Zen mengangguk. "Kalian bagaimana?"

"Si Tei bodoh itu langsung teriak setelah melihat monster kadal yang memegangi pundaknya, pake nada seriosa pula. Terus dia malah kabur duluan." Thundy mijit kening.

"Masih mending itu." Arie melirik Tumma yang merenggut tak jauh dari mereka bertiga. "Tumma marah-marah di depan pria berkepala rusa, kayaknya dia dendam banget sama pria itu."

Thundy dan Zen hanya sweatdrop mendengarnya.

Ketika Teiron muncul sambil membawa kumpulan cokelat (curian), keempat temannya langsung memasang wajah horror karena sesuatu dan segera pergi meninggalkannya.

"Lho, kok pergi?"

Dia bahkan tidak menyadari kalau kalungnya hilang.

Penyebabnya silakan lihat fic Reha. *plak!*


To Be Continue, bukan Temperature Barometer Celcius (?)...


Yah, begitulah... -w-/

Glinea belum bisa jadi anggota squad sampai aku menemukan hero yang cocok untuknya, jadi tunggu saja. 'v'/

Review! :D