Balas Review! :D

RosyMiranto18: Hmm...

Luthias: "Sepertinya begitu..."

Molf: "Aku, tidak ingat..."

Ney: "Bukan, Kak Molf itu... Mematahkan semua kerangka tenda."

Thanks for Review.

Happy Reading! :D


Chapter 212: LetTerRaCenTry


"Aku belajar menggambar dari Teiron, jadi aku mencoba membuat potret dirimu. Bagaimana menurutmu?"

Alpha hanya terdiam melihat hasil gambar Wiona.

"Eh? Itu gambar Paman Alpha? Kukira gambar gunung coklat dengan tunas raksasa!" celetuk Flore tanpa dosa (yang sayangnya merupakan kenyataan pahit).

Itu saja intro-nya.


~Spider~

"Molf, buka matamu."

Jemari itu mencengkeram jaket hitam itu semakin erat, bahunya tak berhenti gemetar.

"Molf, tenanglah. Sudah aman."

Alih-alih dilepaskan, Zen malah mendapat sebuah gelengan. Dia menghela nafas dan mengangkat tangannya untuk menepuk pelan punggung pria yang tengah merengkuhnya dalam sebuah pelukan awkward.

"Laba-labanya udah mati. Badannya udah remuk, isi perutnya udah berhamburan, kakinya udah putus semua."

Garcia sulit memastikan apa Zen memang sejak lahir tidak pernah menyensor ucapannya atau sengaja mengucapkan itu agar Molf semakin erat memeluknya.

Molf trauma berat setelah dihinggapi laba-laba di atas kepala ketika sedang membersihkan gudang markas.

Garcia mulai memperkirakan apa yang akan terjadi jika seandainya dia melepaskan puluhan laba-laba di depan Molf ketika Zen seruangan dengannya. Mungkin Alexia akan menghadiahkannya oli ekstra begitu melihat hasil rekamannya.


~Drink~

Ada empat pemuda berkacamata yang sedang berada di hutan.

"Ah, aku mulai haus. Ada yang bawa minuman?" tanya Maurice.

Luthias menunjukkan sebuah botol minuman. "Mau apa yang kubawa? Ini hanya air putih sih, tapi aku tidak keberatan jika kau mau."

Teiron menopang dagu ketika melihat Maurice meminum air yang dibawa Luthias. "Hey, kau baru saja membagi botol minumanmu dengan Maurice. Itu seperti indirect-"

"Ah!" Luthias menyadari sesuatu. "Maafkan aku, Giro. Kau juga mau?"

"HELL NO!" sembur Giro tidak terima.

Maurice hanya kebingungan dan Teiron malah nyengir tanpa dosa.


~Shortie Adult Girl~

Salma, Iris, dan Elwa sedang berada di depan markas sebelah.

"Hey Elwa, berapa usiamu?" tanya Salma.

"Hah? Umurku dua puluh." balas Elwa datar.

"Dua puluh?!" pekik Salma dan Iris kaget.

Elwa melihat seseorang dan menyapanya. "Oh, hay Cullen."

"Aku kira dia itu empat belas tahun!" (Salma)

"Kok bisa?" (Iris)

"Bagaimana harimu, Elwa?" tanya Cullen.

"Biasa saja." balas Elwa.


"Tapi setidaknya aku lebih 'berisi' darimu!" celetuk Iris setengah mengejek.

"Apa?!" balas Salma yang mulai emosi.

(Referensi: Fancomic Persona berjudul 'Tall Kid'.)


~Tei the Wingman~

Alpha dan Wiona sedang berada di atas sebuah perahu.

Jarak wajah mereka semakin dekat, semakin dekat, semakin de-

"BERHENTI DI SITU!"

Rupanya di seberang sana ada Teiron yang berniat melukis mereka berdua.

"Terus seperti itu! Aku harus mengabadikan momen ini dengan sempurna. Tampilan hebat dari gairah intim antara dua kekasih muda! Ini akan menjadi mahakaryaku selanjutnya!"

"Aaaah..."

"Kenapa?!"

Kedua orang itu langsung menutupi wajah mereka yang memerah.

(Referensi: Fancomic Persona 5 berjudul 'Yusuke the Wingman'. Entah kenapa lucu aja bikin si Tei jadi Yusuke kedua... :v a)


Bonus:

Kembali ke bawah tanah...

Suara getaran masih terdengar. Edgar sudah pindah tempat ke dalam lemari. Salem pindah ke atas meja. Vience, Saphire, dan Mathias masih di atas kasur sambil selimutan.

Tanah-tanah yang berjatuhan semakin banyak dan membuat perabotan kamar Edgar kotor. Sungguh malang nasib mereka.


Tanah-tanah masih berjatuhan dan malah membesar.

Edgar masih selamat tanpa bekas. Selimut yang dipakai Duo Andreas dan Mathias untuk berlindung mulai terasa berat, mereka tak bisa keluar karena terkurung oleh tanah. Salem lebih tragis lagi, tubuhnya hampir tak terlihat karena ditutupi pasir.


Lima belas menit kemudian, kamar Edgar sudah penuh dengan tanah.

Edgar yang terkurung di lemari hampir kehabisan nafas karena tanah menghambat pintu lemari. Duo Andreas dan Mathias juga demikian, bedanya hanya di tempat perlindungan. Salem... Jadi lumut. *ditebas.*

"Uhuk!" Edgar batuk karena hampir kehabisan nafas.

"Minna... Sepertinya ini akhir dari hidup kita..." gumam Saphire.

Vience mengusap pundak adiknya. "Sungguh bencana alam yang luar biasa..."

"Hiks... Mari kita menyampaikan wasiat kita..." ajak Salem dengan suara yang sangat berantakan karena terkurung pasir.

"Ah... Oke... Aku duluan." ujar Edgar. "Sal... Terima kasih untuk segalanya... Kau dan kakakmu, sudah menjadi bagian penting dalam hidupku..."

Salem yang mendengarnya terharu. "Makasih, Edgar..."

"Mathias... Tolong maafkan aku karena sering membuatmu membayar ganti rugi kerusakan di rumahku... Bahkan sampai berutang banyak dimana-mana..."

"Jangan bahas itu deh! Tapi... Terima kasih... Hidupku selama ini denganmu... Sangat menyenangkan." gumam Mathias.

"Yang terakhir... Vience..." Edgar menarik nafas perlahan-lahan dan mulai bernyanyi. "Jabat tanganku... Panggil aku, 'Edganjiiiing'..."

"EDGANJIIING! HIKS!" pekik Vience sambil mengatur nafas. "Etto... Mathias, aku minta maaf karena telah mengolesi tanganmu dengan salep dingin itu... Aku tak tau kalau akan seperti ini."

Mathias langsung memeluk erat Vience sambil menangis.

Tiba-tiba Saphire ikut menangis. "AKU TIDAK INGIN MENINGGALKAN KALIAN SEMUA! AKU MASIH INGIN HIDUP DI DUNIA INI, DENGAN TEMAN-TEMANKU YANG LAIN! HIKS..."

"Aku juga tidak mau... Tapi ini takdir..."

Edgar mengusap air matanya dan berusaha mengatur nafas, kemudian dia menyelimuti diri dengan kain di dalam lemari. Dia merasa hidupnya akan berakhir setelah ini.


To Be Continue, bukan Tom Boris Connie (?)...


Well, just don't ask... -w-/

Review! :D