Kumalas balas Review karena ulah 'orang aneh itu', jangan tanya siapa... -w-/
Happy Reading! :D
Chapter 232: WeirDay
Suasana di rumah Arie hari ini agak aneh, karena...
Get down
Yubireru mawaru fureru setsunai kimochi
Futari de issho ni nemuru winter land
Anata dake mitsumete, watashi dake mitsumete
Asu wo~ chikau
Gyutto dakare moeru koigokoro
Hageshiku maichiru yuki ni tsutsumarete
Eien ni ai shiteru, kyou yori ai shiteru
Zutto~ eternal love~
Ney sedang menari diiringi lagu barusan. (Cari saja 'Get Down MMD' di Youtube.)
'Siapa yang mengajarinya tarian itu?' batin Zen yang berkeringat dingin karena dua hal.
Pertama, dia bersumpah tidak pernah mengajari adiknya tarian itu.
Kedua, dia takut Arie akan menghajarnya tanpa bertanya jika dia melihat itu saat pulang belanja nanti.
Glinea hanya tersenyum miris dan Molf berusaha menahan tawa. Sementara di belakang mereka bertiga, ada Tumma yang malah mengancungkan jempol dengan cengiran jahil (dan ternyata dia merupakan pelaku yang mengajarkan tarian itu pada Ney).
Itu aja intro-nya.
Zen meregangkan tangan di sofa. "Urgh... Setidaknya aku bisa kembali jadi cowok sebelum hari Natal."
"Maaf, Zen. Aku ingin membicarakan sesuatu." Molf muncul di sebelahnya.
Zen menengok. "Hah? Apaan tuh?"
Molf duduk di sofa. "Aku salah perhitungan tentang batas waktu mantera perubah gender, kau akan tetap seperti itu sampai Tahun Baru."
Webek webek...
"Zen?" Molf kebingungan melihat Zen yang diam saja.
Kretek kretek!
Zen tersenyum angker sambil mengertakkan tangan dan mengeluarkan aura hitam. "Begitu ya, terima kasih telah merusak kesenanganku."
Arie dan Tumma yang melihat pemandangan horror itu segera mengamankan Molf sebelum Zen sempat menghajarnya.
"Jadi, Zen, apa kau tidak ada niat untuk memakai baju perempuan? Yah, mengingat sekarang tubuhmu masih perempuan." Glinea menopang dagu di belakang Zen yang manyun di sofa.
"Tidak sudi."
Glinea berpindah ke sebelahnya. "Baiklah... Jika itu maumu, cewek jejadian yang nyolong beha padahal berdada rata."
JLEB!
"Cih!" Zen tidak punya pilihan, dia harus bisa bersabar sampai tubuhnya kembali seperti semula. "Baik, sekarang apa maumu?"
Glinea menunjukkan sebuah katalog. "Kita belanja baju, kebetulan ada banyak diskon di mall."
Zen menghela nafas. "Ya sudah."
Kemudian...
"Kau boleh memilih baju apa saja, asal jangan ada rok atau gaun!"
"Heeh? Tapi itu ciri khas perempuan lho. Setidaknya cobalah pakai satu, untuk kencan dengan Molf misalnya."
Zen sangat ingin memukuli Glinea jika saja dia tidak ingat kalau mereka sedang berada di tempat umum, jadi dia urungkan saja.
"Hmm..." Glinea memasang pose berpikir dan memperhatikan Zen dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Kurasa rok pendek dengan legging cocok untukmu."
Zen hanya angkat bahu. "Terserah."
Setelah memilih baju kemudian...
"Nanti malam kita akan pakai gaun yang kita beli, untuk triple date." ujar Glinea saat pulang dari mall.
"Aku sudah menduga kau akan merencanakan hal itu!" gerutu Zen sebal, kemudian dia mengalihkan topik. "Oh iya, tau nggak? Gue kan pernah berkunjung ke banyak event di berbagai tempat, tapi ada satu event yang keterlaluan banget."
"Apaan tuh?" tanya Glinea.
"Masa di sana harga makanan dan minuman bisa sampai dua ratus ribu? Pake 'service' kali ya?" jelas Zen bingung.
Glinea berpikir sejenak. "Kalau aku dibayar dengan uang sebanyak itu, aku akan menjilati sosis di depan Arie."
"Stop di situ! (Gue tau maksud lu!)" seru Zen risih.
Pada malamnya...
Glinea mengetuk pintu. "Zen, keluarlah."
"Nggak mau!"
Rupanya Zen mengurung diri di kamar, Glinea dan Yubi sedang berada di depan pintu kamarnya.
"Wah wah, ada yang nggak mau keluar ya?" tanya Tumma yang datang bersama Edward.
Yubi kebingungan melihat Edward. "Lho, nggak sama Eris?"
"Katanya dia sibuk, jadi kubawa Edward saja." Tumma menepuk punggung Edward. "Lagipula dia sudah terlatih kok."
"Iya, tadi saja aku bisa mengantar Kak Edgar dan Kak Naya ke rumah sakit." jelas Edward.
Glinea mengangkat alis. "Ngapain ke sana?"
"Kak Naya hamil, jadi dia harus melakukan pemeriksaan rutin."
Kedua gadis itu hanya manggut-manggut.
"Jadi, aku harus apa?" tanya Edward.
"Coba bantu kami seret Zen ke restoran Yamagi."
"Oke!" Edward segera membuat portal di depan pintu kamar dan masuk ke dalam.
"Halo, Kak Zen!" sapa Edward yang nongol dari dalam portal di sebelah Zen.
"Hiiiiih!" Zen langsung kaget. "Masuk dari mana kamu?!"
Ketiga orang lainnya keluar dari portal dan menahan Zen agar tidak kabur, kemudian Edward membuat portal baru yang menuju bagian depan restoran Yamagi.
"Ayo pergi!"
Mereka berlima segera masuk ke dalam portal diiringi jeritan dari Zen.
Sementara itu...
"Kenapa mereka lama sekali?"
"Kau tidak tau saja seberapa susahnya menyeret Zen jika dia sudah merajuk dan mengurung diri di kamar."
"Kami sudah datang!"
Molf dan Arie menengok, kemudian mata Molf terbelalak ketika melihat...
Gadis berambut hitam yang diseret Yubi dan Glinea memakai gaun abu-abu dengan pita putih dan berenda di atas lutut, memperlihatkan betis mulus dengan high heels hitam.
"Z-Zen..."
Zen hanya memalingkan wajahnya yang memerah. "Aku tidak punya pilihan, jadi jangan berpikir yang aneh-aneh."
Arie segera menyodorkan sekotak tisu pada Molf. "Jangan sampai darah di hidungmu menodai jas yang kau pakai, itu baju sewaan."
Molf mengambil selembar tisu dan mengelap hidungnya yang hampir mimisan.
Tumma malah terkikik melihat kejadian itu.
Selama kencan mereka berlangsung, Zen hanya murung saja. Molf menyadari hal itu, tapi dia tidak tau bagaimana mengatasinya. Tiba-tiba Zen berdiri dan langsung pergi.
Suasana hening sesaat.
Arie menatap Molf seolah mengatakan 'kejarlah dia'. Molf mengangguk dan segera menyusul Zen.
Molf menemukan Zen sedang memeluk lutut di bawah pohon.
"Zen..."
Dia hanya menengok sesaat dan berpaling lagi.
"Kau masih marah padaku?"
"Aku tidak marah, aku hanya kesal."
Molf menghampiri Zen dan duduk di sebelahnya. "Kalau memang seperti itu, aku minta maaf karena membuatmu kesal."
"Tidak perlu."
"Tapi, apa yang kukatakan tadi siang-"
"Ya, itu memang menyebalkan."
"Jadi?"
Zen menghela nafas panjang. "Seharusnya aku tidak menyukaimu sejak awal..."
Molf menunduk sedih. "Begitu ya..."
Dia menarik tangan Zen dan menyelipkan cincin di salah satu jari, kemudian menciumi punggung tangannya.
"Molf..."
"Karena perasaan sukamu padaku, aku mulai memahami arti cinta yang tulus. Karena itu..."
Molf tersenyum dan mengangkat wajah Zen untuk memberinya ciuman.
"Seperti apapun dirimu, aku tetap mencintaimu."
"Kau ini, selalu saja melakukan sesuatu tanpa berpikir." Zen menunduk malu. "Tapi, terima kasih."
Mereka berdua berdiri dan berjalan kembali ke restoran.
Selama di perjalanan, Zen sedang memikirkan sesuatu.
'Pertama kali kita bertemu, kau adalah orang yang tidak bisa berekspresi.'
"Sudah lama tidak bertemu, Arie." sapa pria itu datar.
"Ya, aku juga sudah lama tidak melihatmu, bahkan hampir lupa tampang." Arie menggaruk kepala dengan canggung.
Pria itu mengalihkan pandangan pada Zen dan yang bersangkutan langsung gugup.
"A-ah, kita belum pernah bertemu ya? Ehehe..." Zen cengengesan. "A-aku Zen, ehmm..."
Pria itu merasa kebingungan dengan tingkah Zen, tapi wajahnya tetap datar. "Apa kalian itu, partner?"
Zen menyahuti dengan cepat. "Ya! Seperti itulah! Partner!"
Pria itu hanya manggut-manggut. "Namaku Molf, Molf Chaindelier. Senang bertemu denganmu."
"Ya, aku juga. Ahahaha..." Zen tertawa canggung.
'Aku menyukaimu karena sebuah persamaan.'
"Sebenarnya kau tidak perlu takut dengan cacatmu itu, karena aku juga punya." Zen menurunkan tudung jubahnya.
Molf sedikit terkejut melihatnya. "Tandukmu itu..."
"Yap, patah karena sebuah kecelakaan." Zen mengusap tanduknya. "Yah, walaupun itu aib, tapi tetap saja merupakan bagian dari hidup."
'Ketika aku mengatakan perasaanku padamu, awalnya kau tidak mengerti sama sekali.'
"Zen."
"Ya?"
Sekarang mereka sedang berada di atas sebuah bukit dekat taman bermain.
"Aku senang bisa menghabiskan waktu denganmu."
"Oh, baguslah."
Hening sesaat.
"Ehmm..." Zen merasa canggung. "Hey Molf."
Yang bersangkutan menengok ke arahnya. "Ya?"
"Kau tau, aku merasa kita ini seperti sedang kencan." Zen menggaruk kepala. "Sebenarnya agak aneh karena kita ini sesama pria."
"Lalu?"
"Apa kau tidak merasa risih jika aku, err..." Zen memainkan jari. "Menganggapmu lebih dari teman?"
"Maksudmu?"
Zen merasa ngenes, dia sudah menduga Molf tidak tau apa-apa tentang masalah cinta.
"Lupakan saja, aku hanya asal bicara." Zen memalingkan wajah.
'Tapi, aku melupakan satu hal.'
"Itu bukan salahnya, Arie."
Perkataan Molf tadi sukses mengejutkan mereka berdua, apalagi ketika mendapati senyuman tulus di wajahnya.
"Aku masih perlu belajar banyak tentang dunia ini, jadi aku menghargai usaha kalian untuk melindungiku dari masalah."
"Molf..." Arie terdiam sesaat. "Aku tidak menduga kau akan mengatakan hal setulus itu..."
Zen hanya menggaruk kepala dengan senyum canggung.
'Bahwa sebenarnya kau sedang belajar memahami.'
"Kalau memang seperti itu, aku minta maaf karena membuatmu kesal."
'Sampai akhirnya kau memiliki perasaan yang sama.'
"Seperti apapun dirimu, aku tetap mencintaimu."
Zen tersenyum tipis dan menggenggam erat tangan pemuda di sebelahnya.
'Aku juga mencintaimu, Molf.'
Di suatu tempat...
"Kenapa kita harus merekam mereka?" tanya Alexia yang tergencet di bawah kedua temannya.
Rupanya ketiga cowok fudan itu bersembunyi di semak-semak dekat pohon tempat Zen dan Molf sebelumnya.
"Setidaknya kita dibayar." balas Federic seadanya.
Oh, sepertinya aku lupa bilang kalau mereka sudah dibayar Glinea untuk merekam momen romantis barusan.
"Sudah!" Musket mematikan handycam setelah merekam semua kejadian itu. "Ayo kembali, dayo!"
"Sebaiknya kalian berdua menyingkir dulu dari tubuhku!" sembur Alexia kesal.
Bonus:
"Hey, Alpha."
"Ya?" tanya Alpha yang berada di belakang Luthias.
"Kemarin Flore menanyakan hal yang aneh padaku."
"Paman mau jadi Zamigo ya?"
Luthias langsung tersedak mendengar itu. "A-apa maksudmu?"
Flore tidak menjawab dan langsung pergi.
"Sampai sekarang aku masih tidak mengerti dengan apa yang dia tanyakan." Luthias mengunyah es batu dengan wajah datar.
'Sepertinya aku mengerti kenapa Flore menanyakan itu.' batin Alpha sweatdrop.
Note: Zamigo adalah salah satu antagonis dari serial Super Sentai 'Lupinranger vs Patranger'. Dia merupakan Gangler dengan wujud manusia yang memakai baju koboi ala Spanyol dan suka makan es batu (sebenarnya wajar sih, karena kekuatannya pistol es). (Mumpung serial itu sedang tayang di RTV, jadi kuselipkan saja bagian ini.)
To Be Continue, bukan Tortie Black Chocolate (?)...
Yaaah, entah kenapa pengen aja bikin scene fluff yang ujung-ujungnya malah jadi aneh. Terserah mau bilang apa... -w-/
Review! :D
