Balas Review! :D

Hiba: Ini udah update... -w-/

Ryomalkist (nama macam apa ini?): Nggak, cuma perasaan lu doang. =_=

RosyMiranto18: *tepuk jidat.* Tebakan yang dibilang Flore itu asalnya dari episode 8 'Lupinranger vs Patranger', coba nonton aja kalau nggak percaya. Di website streaming dengan sub Indo ada kok. -_-

Arie: "Itu sudah lama sekali."

Thanks for Review.

Happy Reading! :D


Chapter 235: Twelve of New Year


Inilah beberapa hal yang terjadi menjelang tahun baru.


~1st~

"Arie~" Glinea menghampiri pemuda yang tidak mengalihkan pandangan dari kolam renang di dekat mereka. "Hey~ Arie~"

Yang bersangkutan menengok. "Apa?"

"Aku mau bilang kalau kau sangat manis hari ini."

.

.

.

.

.

BYUUUUR!

Dan gadis itu berakhir tercebur ke kolam renang.

"Ups, nggak sengaja. Kau bisa berenang kan, Glinea?"


~2nd~

Zen hanya memperhatikan kedua orang itu dari kejauhan dan menghela nafas panjang.

Sebenarnya dia bukannya cemburu dengan mereka, hanya saja dia sedang memikirkan hal lain.

Molf memang bilang kalau dia akan kembali seperti semula saat tahun baru, tapi kapan jelasnya masih belum diketahui.

Jika tubuhnya masih belum kembali setelah jam 12 malam tiba, Zen bersumpah tidak akan memaafkan Molf seumur hidup.

"Kenapa kau tidak memakai baju perempuan?" Molf sudah berada di sebelah Zen.

Zen hanya melirik sebentar dan memalingkan wajah. "Hanya untuk jaga-jaga saja."

"Maaf ya." Sepertinya Molf masih merasa bersalah.

"Aku sudah pernah bilang kalau itu bukan salahmu, jadi jangan minta maaf lagi." Zen menggenggam tangan Molf. "Kau mau kencan kan? Katakan saja kau mau kemana."

Molf tersenyum. "Baiklah."


~3rd~

Di halaman depan markas, Thundy sedang menikmati teh dengan da-

"Thun-kun~"

Thundy nyaris tersedak karena panggilan mendadak barusan.

"Emy bodoh. Jika kau ingin bernasib sama seperti Glinea, gelas ini berisi air."

Emy langsung teringat kejadian yang sempat dia lihat sebelumnya dan mundur dua langkah.

Thundy meresapi tehnya dengan kesabaran ekstra. "Kau mau apa?"

"Sebentar lagi kan tahun baru, bagaimana kalau kita mengadakan pesta di rumah Tei saja?"

"Heeeh?!" Teiron yang baru lewat menatap gadis itu dengan wajah horror.

Emy malah membalasnya dengan tatapan menantang, kemudian kembali menatap Thundy. "Bagaimana menurutmu?"

"Aku tidak tertarik." Thundy berniat pergi ketika Emy menahan tangannya.

"Oh, jangan pergi. Ayolah, kita undang semua orang, dan akan ada banyak minuman. Kita bisa pesta minum semalaman dan paginya kau bisa menginap di kamar-"

Wajah Emy langsung tersiram teh dari tekonya.

"Cobalah sebisa mungkin untuk tidak meneteskan air dari rambutmu saat kau akan keluar, cewek bego."


~4th~

Tigwild hanya menatap surat undangan dari Flore di tangannya.

Gadis itu sangat antusias dengan pesta Tahun Baru di rumah 'ayah'-nya, jadi dia memutuskan untuk mengundang beberapa teman.

Biasanya Tigwild merayakan tahun baru hanya berdua dengan ibunya, jadi dia merasa tidak nyaman jika harus berada di tengah keramaian.

Surat undangan itu sudah menghilang dari tangannya, ternyata sang ibu mengambilnya ketika dia melamun.

"Pesta tahun baru?" tanya Savanah, sang anak hanya mengangguk. "Sepertinya bukan ide yang buruk."

Walaupun ibunya mengatakan itu, Tigwild masih saja merasa ragu.

Savanah mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Kita akan pergi bersama ke pesta itu, jadi jangan takut."

Setidaknya Tigwild akan merasa lebih nyaman jika bersama sang ibu.


~5th~

Garu yang baru saja tiba di Denmark setelah terbang dari Austria berniat menghubungi adiknya.

"Halo?"

"Hay Giro, bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-baik saja di sini."

"Baguslah."

"Maaf ya, Schwester. Aku tidak bisa menemanimu."

"Tidak apa-apa. Lagipula aku sudah sampai di Denmark, mungkin aku bisa bertemu keluarga Luthias di sana."

Ketika menyadari adiknya hanya terdiam, Garu mulai merasa khawatir. "Giro? Ada apa? Kau punya masalah?"

"Nein. Tidak ada apa-apa."

"Baiklah. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Sampai jumpa."

"Ja. Sampai jumpa."

Garu menutup telepon dan menghela nafas. "Anak itu... Selalu saja tidak berubah."


Di sisi lain, Giro sedang merenung di depan jendela kamarnya ketika mendengar ketukan pintu.

"Buka saja, tidak dikunci."

Pintu kamar terbuka dan Luthias masuk ke dalam.

"Ada kabar dari kakakmu?"

Giro duduk di kasur. "Schwester sedang di Denmark, mungkin sekarang dia sudah menemui mereka."

"Begitu ya." Luthias ikut duduk dan menepuk pundaknya. "Jangan sedih, semuanya akan baik-baik saja."

Giro hanya mengangguk.

"Ah iya, aku harus membantu Aniki. Nanti kita bicara lagi ya." Luthias berdiri dan berjalan pergi.


Ketika dia baru sampai di tempat Mathias yang sedang menyiapkan pesta, Luthias mendapat panggilan dari seseorang. "Halo?"

"Greeny, bagaimana keadaanmu di sana?" Ternyata dari Margie.

"Aku baik-baik saja, Zea-san. Aniki juga begitu, dia sedang membantu menyiapkan pesta tahun baru." Luthias melirik kakaknya yang sedang mengobrol dengan beberapa temannya, kemudian dia menghela nafas panjang. "Maaf kami tidak bisa kembali saat Natal kemarin, sekarang pun juga tidak bisa."

"Tidak apa-apa, lagipula aku senang kalian berdua baik-baik saja. Kami di sini juga baik-baik saja, walaupun Bornholm sedikit babak belur." Margie tertawa kecil.

Luthias mengerutkan kening. "Biar kutebak, apa dia mencoba mengacau di sana?"

"Begitulah. Dia melakukan tarian konyol di depan pohon natal dan berakhir ditendang Køben-kun."

"Dasar Bornlock..." Luthias hanya sweatdrop mendengar itu. "Apa yang akan kalian lakukan saat tahun baru nanti?"

"Kami akan pergi ke Taman Tivoli, aku janji akan mengirim foto nanti."

"Aku tutup dulu ya, kami sangat sibuk sekarang."

"Baiklah, sampai jumpa."

Setelah menutup telepon, Luthias segera menghampiri kakaknya untuk ikut membantu.


~6th~

"Ada rencana untuk tahun baru?"

Maurice tidak mengalihkan pandangan dari piring yang sedang dia bersihkan ketika Monika menanyakan itu. "Aku dan Paman Grayson ingin ziarah, mungkin setelah itu hanya jalan-jalan saja."

Monika hanya manggut-manggut. "Apa kau bisa ikut tahun baruan di rumahku setelah ziarah?"

Maurice tersenyum tipis. "Boleh saja."


"Jadi, Elwa, nggak tahun baruan sama pacar?" tanya Salma yang berkunjung.

Elwa tidak mengalihkan perhatian dari buku yang dibacanya. "Gue lagi males, lagian juga si Cullen pasti tahun baruan sama kakak-kakaknya."

Salma hanya ber-'oh' ria.

"Lu sendiri mau ngapain? Ngerecokin si Salem sama Chilla?" Elwa mengambil teh dari atas meja di sebelah dan meminumnya.

"Ya nggak lha!" bantah Salma. "Aku cuma ingin tahun baruan dengan Alfred doang."

Elwa hanya memutar mata dan kembali membaca. "Terserah."


~7th~

Teiron sedang stress.

Dia bukannya tidak senang dengan pesta tahun baru, hanya saja...

Seharusnya Emy tidak menyarankan untuk merayakan pesta tahun baru di rumahnya.

Rumah Teiron tidak terlalu luas, apalagi sekarang ibunya sudah membuat rumah mereka menjadi 'panti asuhan' untuk anak-anak kucing terlantar.

Sepertinya seluruh keluarga Chairone adalah pencinta kucing sejati.

Baiklah, sebaiknya kita kembali ke masalah Teiron sebelum dia melempar batu bata ke sini.

Dia bisa saja membatalkannya. Tapi masalahnya, Flore sudah menyebarkan undangan untuk beberapa temannya. Mereka akan kecewa nanti.

Ketika dia sedang frustasi karena hal itu, terdapat sebuah notif pesan di handphone-nya.


Thundy: Abaikan saja apa yang dikatakan si bodoh itu.

Thundy: Kita akan tetap membuat pesta tahun baru di markas.

Thundy: Kalau soal anak-anak yang diundang Flore, kau bisa membiarkan mereka di rumahmu.

Thundy: Aku hanya mencoba membantumu, oke?


Teiron tersenyum tipis membaca pesan itu.


Teiron: Terima kasih.


Pemuda merah itu melirik Flore yang sedang menonton acara favoritnya ditemani beberapa anak kucing yang sering berkeliaran di dalam rumah.

Setidaknya dia bisa membuat kebahagiaan tahun baru untuk orang lain.


~8th~

Neo menatap lukisan yang dipajang di kamar ibunya dengan wajah penasaran.

"Itu lukisan dirimu, sayang." Adelia menggendong anaknya.

"Dari mana kau dapat lukisan itu?" tanya Ikyo yang baru datang ke kamar dan melihat lukisan itu.

"Aku meminta Teiron yang membuatnya." jelas Adelia.

"Tei-on?" Neo mengulangi nama yang diucapkan ibunya.

"Kau akan bertemu dengannya nanti." Adelia mengusap kepala Neo dan mencium keningnya, kemudian dia berjalan menghampiri Ikyo. "Ayo berangkat."

Keluarga kecil itu pun pergi menuju markas.


"Kenapa kau tidak mengundang si 'Kepala Merah' saja? Dia kan pacar adikmu." tanya Alexia skeptis.

Alpha membuat pesta tahun baru di rumahnya dan dia mengundang Alexia beserta kedua kakaknya, Hikari-Federic, Garcia, dan juga Profesor Qinary.

Alpha hanya mijit kening. "Tei sendiri juga membuat pesta tahun baru di rumahnya (yang dateng sih cuma temennya Flore doang), jadi aku mengundang kalian. Lagipula, ayahku dan Profesor Qinary kan teman baik."

Alexia hanya memutar mata. "Baiklah, apa boleh buat."


~9th~

Langit sudah berubah menjadi malam, tapi suasana kota mulai meriah karena persiapan dari mereka yang ingin merayakan tahun baru.

Kebanyakan orang menghabiskan malam di taman hiburan atau tempat wisata untuk menunggu detik-detik tahun baru.

Sebenarnya itu tidak buruk, setidaknya bagi Zen.

Berkeliling taman hiburan bersama Molf mengingatkannya ketika mereka pertama kali melakukannya, walaupun saat itu kesannya lebih mirip kencan orang homo.

Baiklah, Zen. Tolong singkirkan pedangmu, oke? Pembunuhan pada akhir tahun itu dilarang.

"Hey, bagaimana kalau kita naik itu?" Molf menunjuk kincir ria di kejauhan.

Benda yang dilihat manik abu-abu itu membuatnya teringat sesuatu yang seharusnya dia lupakan.

"Tidak. Jangan pernah ke sana." Zen menarik tangan Molf yang kebingungan.

Kincir itu hanya mengingatkan Zen pada seorang gadis yang sampai sekarang masih tidak bisa dia lupakan.


~10th~

"Kemana Arta? Apa dia tidak datang?" tanya Isabelle (ibu dari Andreas Trio) yang membawa sekotak pizza.

"Katanya dia tahun baruan di rumah Iris." balas Vience yang sedang menonton TV.

Di sisi lain, Saphire mengganggu Daren yang sedang menyusun kartu dan Daren sibuk menahannya dengan menggunakan kaki.

"Begitu ya..." Isabelle meletakkan kotak itu di atas meja. "Nah, kalian makan duluan ya. Ibu mau beres-beres."

Setelah ibu mereka pergi, kotak pizza pun dibuka dan mereka bertiga mengambil potongan masing-masing.

Entah kenapa, Vience hanya terdiam melihat pizza di tangannya.

"Apa itu mengingatkanmu pada sesuatu?" tanya Daren.

Dia tidak menjawab dan memakan pizza-nya, tapi pikirannya mulai memutar kenangan masa lalu.

Saat mereka masih kecil, Arta pernah memakan potongan pizza terakhir Vience. Hal itu membuatnya marah dan mendorong Arta sampai dia menjatuhkan pizza yang baru setengah dimakan.

Daren juga teringat sesuatu.

Setelah Vience memarahi Arta dan pergi, Arta memunggut pizza itu dan tetap memakannya sambil menangis.

'Apa Arta akan baik-baik saja di sana?' batin Daren khawatir selagi memakan bagiannya.


Sementara itu, Arta berniat membuat pizza karena ingin menghemat pengeluaran.

Tapi karena terlalu banyak pikiran, pizza-nya malah jadi kacau balau.

Dia malah membuat pizza dengan bagian kulit yang gosong serta berlumuran mayones dan ditaburi beberapa acar di atasnya.

Jika ditambah dengan suasana dapur yang hancur layaknya kapal pecah, itu sudah cukup untuk membuat Arta semakin frustasi.

"Urgh... Kenapa aku mengacaukannya?" Arta menaruh kepala di meja dengan tubuh berbalut tepung di beberapa sisi.

Genbu yang melihat itu merasa kasihan padanya, dia menghampiri Arta dan mengusap kepalanya agar pemuda itu merasa lebih baik.

Setelah merasa lebih tenang, Arta meminta Genbu membantunya membersihkan dapur karena dia tidak mau dihukum oleh kakeknya.


Di luar rumah, ada sesosok makhluk pohon raksasa yang melihat sesuatu di tempat sampah. Dia memunggut sebuah acar dari pizza yang dibuang Arta dan memakannya.


~11th~

Ashley sedang jalan-jalan di pemakaman. Ketika dia melihat sesuatu, gadis itu segera bersembunyi di balik pohon.

Terlihat seorang pemuda yang menghampiri sebuah makam.

"Sudah lama sekali ya..."

Pemuda itu berbicara sendiri di depan makam selama beberapa menit. Setelah merasa puas, dia pun pergi meninggalkan pemakaman.

Ashley sempat menguping apa yang dibicarakan pemuda itu dan air mata mulai mengalir di wajahnya.

"Maaf..."

Gadis itu pun langsung pergi.


Di sisi lain, Maurice dan Paman Grayson sedang berada di depan makam keluarga mereka.

'Ayah, Ibu, aku janji akan tetap hidup untuk kalian. Bibi Aria, aku akan melindungi Paman Grayson untukmu.'

'Aria, maafkan aku karena tidak bisa melindungimu. James, Clarisa, aku janji akan menjaga Maurice sebaik mungkin.'

"Oh iya." Maurice teringat sesuatu dan melirik pamannya. "Paman, Monika mengundang kita merayakan tahun baru di rumahnya."

Mereka berdua pun pergi meninggalkan ketiga makam itu.


~12th~

Semua orang memiliki harapan masing-masing untuk tahun baru.

"Apa harapan kalian untuk tahun baru?" tanya Savanah pada anaknya beserta kedua gadis 'kucing' di dekatnya.

"Aku berharap bisa memakan semua ikan di dunia, lalu melihat Papa dan Mama menikah." Flore sempat mendengar suara ribut dari kejauhan (yang sebenarnya berasal dari Tsuchi yang marah-marah karena Frans mengagetkannya dengan petasan). "Aku juga ingin agar Kak Tsuchi tidak marah lagi, kasihan Papa kalau harus menenangkannya terus."

Savanah tertawa kecil mendengar harapan polos itu.

"Aku berharap bisa membalas budi orang yang telah menyelamatkanku dulu." gumam Marinka.

Tigwild hanya diam, dia tidak ingin menjelaskan harapannya walaupun sebenarnya itu sangat sederhana.

'Aku hanya ingin Flore cepat mengerti perasaan cintaku.'

Savanah mengusap kepala anaknya. "Apapun harapanmu, kamu harus bisa mengubahnya menjadi kenyataan."

Tigwild mengangguk.


'Harapanku hanyalah menghindari masa lalu.'

Pemuda perak itu mengurung diri di kamar karena suatu alasan.

Dia kehilangan saudaranya tepat sehari sebelum tahun baru. Setelah mengetahui kematian saudaranya sebulan kemudian, dia memilih kabur dari rumah dan menjadi pengembara.


Hendry sedang menggendong Miss Mist keliling markas.

Sejak kecil dia sangat menyukai kucing, tapi tidak diizinkan memelihara kucing karena orangtua-nya alergi.

'Apa mereka baik-baik saja?'

Hendry memeluk erat kucingnya dengan perasaan gelisah. Miss Mist merasakan sedikit kesedihan pada pelukan pemiliknya, jadi dia menenangkan Hendry dengan dengkuran kecil.

Hendry mulai merasa lebih tenang dan mengelus kepala kucingnya. "Terima kasih."

Dia hanya berharap bisa membantu saudaranya agar tidak terpuruk karena masa lalu.


Di sisi lain, seorang wanita sedang berdiri di depan markas dengan tujuan untuk mencari seseorang. Ketika melihat sesosok roh yang menggendong kucing, dia mengenali roh itu dan mengikutinya.


Pemuda itu terbelalak kaget ketika melihat seorang wanita di belakang saudaranya ketika dia membuka pintu.


Zen hanya menghela nafas pasrah selagi menyenderkan diri pada pohon di kebun markas, karena...

Saat ini Molf sedang berbaring di pangkuannya dengan manja.

Kerasukan apa ya?

Sebenarnya Zen bisa saja membiarkannya seperti itu, tapi dia juga punya masalah sendiri: Dia ingin pergi ke toilet.

"Jika tubuhku tidak kembali seperti semula, kau akan tau akibatnya."

Molf langsung bangun dari pangkuan Zen dan memalingkan wajah karena merasa bersalah. "Maaf..."

Jika sudah seperti itu, Zen mulai merasa tidak tega. "Sudahlah..."

Kemudian dia mengusap pipi Molf dan menciumnya di hidung.

"Aku mau ke toilet dulu." Zen berdiri dan pergi meninggalkan Molf.

Molf hanya tersenyum.

"Sebentar lagi, manteranya akan berakhir..."


Zen keluar dari toilet dengan tubuh yang kembali seperti semula tepat sepuluh menit sebelum jam dua belas.

Tapi...

"Zen, lu ngapain di toilet cewek?"

"Ya maaf, Glinie." Zen mijit kening. "Kalau gue di toilet cowok dengan badan cewek, entar gue diusir sama Paman Grayson."

Glinea hanya memutar mata. "Emang sih."


"Dia sudah kembali seperti semula?"

Glinea mengangguk. "Oh iya. Arie, mau kencan?"

Arie hanya angkat bahu. "Terserah."


Sekarang mereka berdua sedang berada di atap markas.

"Arie, apa harapanmu untuk tahun baru?"

"Hanya yang biasa-biasa saja. Kau sendiri?"

"Yaaah... Aku berharap kita bisa menikah dalam waktu dekat."

"Apapun asal jangan yang itu." Arie langsung meninggalkan Glinea.

Glinea kebingungan. "Heeeh? Kenapa? Arie benci aku ya?"


'Sebenarnya, aku tidak membencimu.'

Arie menggigit bibir bawahnya.

'Lebih tepatnya, aku tidak bisa mencintaimu.'

Tangannya terkepal erat dan tubuhnya bergetar.

'Karena jika itu sampai terjadi...'

Arie memukuli tembok terdekat dengan air mata yang mulai menetes.

'Aku akan kehilangan orang yang kusayangi lagi...'


Alexia sedang menatap foto mendiang ibunya sambil bersender di pohon.

"Apa kau merindukannya?"

Alexia segera menyembunyikan foto itu dan mendapati Wiona yang sudah berada di dekatnya. Dia hanya diam karena tidak ingin menjawab pertanyaan gadis itu.

"Tidak apa-apa. Aku juga tidak pernah melihat wajah ibuku sebelumnya." Wiona bersender di sebelah Alexia dan sedikit menjaga jarak. "Sejak kecil aku hanya diasuh ayahku. Walaupun dia lebih sibuk dengan pekerjaannya, dia sering menyempatkan waktu untukku."

Wiona mulai murung ketika mengingat ayahnya. "Tapi sayangnya, dia sudah tiada."

Alexia mulai penasaran dengan asal usul Wiona. "Ayahmu itu, seperti apa?"

"Dia mirip Alpha dengan rambut hijau dan kacamata." jelas Wiona seadanya.

Alexia mengerutkan kening. "Jadi itu sebabnya kau menyukai si 'Pucuk' itu?"

Wiona tertawa kecil. "Begitulah."

Kumpulan kembang api mulai terlihat pada langit malam.

"Apa harapanmu untuk tahun baru?" tanya Wiona.

"Aku hanya ingin tetap hidup." Kedua tangan pemuda pirang itu ditempelkan di dadanya. "Sebenarnya aku memiliki penyakit jantung, aku tidak tau sampai kapan aku bisa bertahan."

"Begitu ya." Wiona menghela nafas. "Aku berharap ayahku tenang di alam sana. Dan juga, aku ingin bisa terus bersama Alpha sampai akhir."

"Kau begitu mengkhawatirkannya?"

"Karena aku tidak mau dia mati kelelahan seperti ayahku."

Alexia hanya terdiam mendengar itu, sementara Wiona menatap langit malam yang masih dihiasi kembang api.

"Aku tidak mau dituduh yang aneh-aneh jika kita tetap di sini, jadi aku pergi dulu." Alexia berjalan meninggalkan Wiona.

Wiona hanya membiarkan Alexia pergi, dia masih menatap kembang api sampai seseorang menepuk pundaknya.

Lisa memberi tanda agar mereka masuk ke dalam dan berjalan menuju rumah, Wiona hanya mengangguk dan mengikutinya.


Naya dan Edgar sedang menatap pemandangan langit malam di depan rumah sambil menikmati teh madu. Hanya berdua, karena Salem dan Edward merayakan tahun baru di markas agar tidak mengganggu kakak mereka.

"Sudah sekitar tiga tahun kita merayakan tahun baru sebagai pasangan."

"Ya, dan juga yang terakhir."

"Hah?"

"Tahun depan kita akan merayakan semuanya sebagai orang tua. Bertiga. Aku, kau, dan anak di perutmu itu."

Wanita itu tersenyum tipis. "Kau benar, Tuan Edgar."

Pada tahun depan, anggota lain akan menambah suasana perayaan mereka berdua.


To Be Continue, bukan Trial Best Come (?)...


Aku bersusah payah menyelesaikan ini, jadi maaf saja kalau hasilnya begitu... -w-/

Review! :D