Happy Reading! :D
Chapter 247: Un'Ex'pected Event
Beberapa orang sedang memainkan UNO di perpustakaan markas, hanya saja ditambah kartu khusus yang meminta kita untuk memilih di antara dua hal.
Alpha yang mendapat giliran mengambil kartu dan...
Dia mendapat kartu dengan tulisan 'Ceritakan hal paling aneh yang membuat pacarmu panik atau ambil 25 kartu'.
"Hal paling aneh yang bikin pacar panik..." Alpha berpikir sejenak. "Kalau aku ingat-ingat... Dulu waktu Wiona tidur di rumahku di saat aku ikut ayahku mengunjungi temannya, dia meneleponku sambil menjerit seperti ayam tercekik (aku serius, dia memang menjerit seperti itu). Aku sedikit panik dan bertanya ada apa, tapi jawabannya terdengar kurang jelas karena Wiona masih saja menjerit. Aku hanya bingung dan tidak tau harus apa, jadi aku meminta dia untuk mengalihkan telepon pada Lisa, dan kalian mau tau apa yang dikatakan Lisa?"
"Ternyata Wiona itu hanya menstruasi dalam tidurnya. "Alpha memasang wajah datar. "Ibu-ku menduga kalau masa pubertas Wiona mengalami keterlambatan, jadi pantas saja dia panik gara-gara ngompol darah di kasurnya."
Semua orang yang mendengar cerita tadi hanya sweatdrop.
Setelah itu...
"Rie, giliran lu tuh."
Arie pun mengambil sebuah kartu, dan yang dia dapatkan adalah...
Nikahi orang yang menyukaimu atau ambil 25 kartu.
Arie langsung merobek kartu itu dengan penuh amarah, kemudian dia mengambil 25 kartu lainnya dari deck sambil memasang tatapan tajam disertai aura hitam di tubuhnya.
'Sepertinya dia masih tidak mau mengakui perasaannya.' batin mereka yang speechless setelah melihat kejadian barusan.
"Baiklah... Sebaiknya kita abaikan saja dia..." usul Zen yang mengambil sebuah kartu.
Tapi begitu melihat kartu apa yang dia dapatkan, Zen hanya terdiam dan melempar kartu itu ke lantai, kemudian menaruh kartu miliknya.
"Aku udahan dulu." Dia berdiri dan segera pergi meninggalkan semua orang yang langsung bingung melihatnya.
Teiron mengambil kartu yang dilempar Zen tadi dan melihat isinya dengan wajah bingung.
"Emangnya dia punya mantan ya?" tanya Teiron sambil menunjukkan kartu itu.
Ceritakan tentang mantanmu (jika punya) atau ambil 25 kartu.
Molf yang sedang berjalan di koridor berpapasan dengan Zen yang sedang berlari, dia sempat melihatnya tapi tidak sempat menyapanya karena Zen sudah terlalu jauh untuk mendengar.
Dia terus berjalan dan tiba di perpustakaan bertepatan dengan pertanyaan Teiron tentang mantan.
"Apa itu mantan?"
Semua orang langsung menengok ke arahnya dengan wajah shock.
Molf hanya memiringkan kepala. "Apa ada yang salah?"
"Ti-tidak." Semua orang menggeleng serentak.
"Umm... Baiklah. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu." Molf menunjukkan foto seorang gadis. "Apa kalian mengenal gadis ini?"
Arie yang melihat foto itu langsung terbelalak. "Dari mana kau dapat foto itu?"
Zen yang berada di taman kota mulai merasa lapar dan ingin membeli es krim. Tapi ketika dia memeriksa setiap saku di pakaiannya, dia langsung panik seketika.
'Jangan bilang kalau-'
"Aku menemukannya di dalam dompet Zen, dia meninggalkan dompetnya di rumah." jelas Molf. "Dan ngomong-ngomong soal Zen, aku tadi bertemu dengannya di koridor. Aku ingin menyapa tapi dia sudah terlalu jauh, dan wajahnya terlihat gelisah. Apa ada masalah dengannya?"
Semua orang mulai merasa khawatir dengan kondisi Zen, terutama Arie yang paling tau tentang masalah pribadinya.
'Haruskah aku menjelaskan masalah itu padanya?' batin Arie was-was.
"Aku benar-benar bodoh!" Zen membenturkan kepalanya ke pohon terdekat. "Kalau Molf sampai melihat foto Meila, apa yang harus kukatakan padanya?"
"Bodoh! Bodoh! Seharusnya kau bisa melupakan Meila, Zen!" Dia meninju pohon dengan penuh amarah. "Kalian tidak bisa bersama! Dasar bodoh! Zen bodoh!"
Tinju terakhir membuat pohon yang menjadi samsaknya langsung terbakar dan berubah menjadi abu.
Nafasnya terengah-engah, tangannya bergetar hebat, dan kakinya jatuh berlutut ketika hujan mulai turun di tempat itu.
"Jadi mantan itu istilah untuk orang yang pernah menjadi sesuatu dalam hidupmu tapi memutuskan hubungan karena suatu alasan." jelas Tumma.
Arie menghela nafas panjang. "Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan masalah yang dialami Zen, tapi aku tidak punya pilihan."
"Masalah apa?" tanya Molf.
"Zen itu memang punya mantan."
Semua orang langsung terdiam.
"Gadis di foto itu, namanya Meila. Dia dan Zen sudah lama berhubungan, tapi entah kenapa mereka malah berakhir putus sekitar setahun yang lalu. Zen bilang Meila terpaksa memutuskan hubungan karena harus menikah dengan pilihan orangtua-nya dan pindah ke tempat lain." Arie memijit kening. "Aku merasa kasihan pada Zen karena dia tidak bisa melupakan gadis itu sedikitpun, dia sangat tertekan dengan dilema yang dia alami saat ini."
Mereka yang mendengar itu merasa prihatin.
"Aku... Tidak pantas... Mencintai... Siapapun..."
Tiba-tiba suara itu terdengar di telinga Molf entah dari mana asalnya, dia pun segera berlari keluar dan mereka yang melihat itu tidak berani menyusulnya.
Molf berlari menyelusuri daerah pinggir hutan di tengah derasnya hujan. Dia tidak perduli jika dia akan jatuh sakit, satu-satunya hal yang sedang dia pikirkan sekarang adalah menemukan Zen.
'Dimana... Kenapa...'
Molf terus menyelusuri hutan lebih dalam, sampai dia menemukan sebuah pohon yang telah terbakar menjadi abu dan juga sebuah cincin.
Dia mengambil cincin itu dan merasa mengenalinya.
'Ini... Tidak salah lagi...'
Molf mulai berjalan lebih jauh ke dalam hutan, dia yakin orang yang dicarinya sedang berada di suatu tempat.
"Zen, jika kau mendengarku, tolong keluarlah. Kita perlu bicara."
"Tinggalkan... Aku... Sendiri..."
Molf mencoba merasakan keberadaan Zen, kemudian dia mulai mendengar suara isakan yang samar-samar di sekitarnya.
Molf menyibak semak-semak terdekat dan matanya melihat seseorang yang menangis ketakutan di antara rumput-rumput tinggi.
"Pergi..."
"Apa kau takut aku akan marah karena masalah pribadimu?"
Zen mulai mengangkat kepalanya, sinar mata yang terlihat begitu hampa hanya memberikan tatapan kosong pada Molf ketika dia mulai berjalan menghampirinya.
"Kau sudah mengetahui semuanya... Tapi kenapa?"
Molf berlutut di depan Zen dan memegangi pundaknya. "Dengar. Aku tidak perduli dengan apa yang kau sembunyikan, lagipula..."
Molf memeluk erat tubuh pemuda di depannya, pelukan itu membuat Zen merasa lebih tenang.
"Walaupun aku bukan cinta pertamamu, kau adalah cinta pertama dan terakhirku." Molf bersenyum sambil menunjukkan cincin yang dibuang Zen sebelumnya. "Dan aku benar-benar serius untuk ini."
Zen hanya terdiam seperti tidak ingin berbicara sama sekali. Molf memakaikan kembali cincin itu di jari Zen dan mengusap lembut pipinya.
"Bagaimanapun juga, aku akan selalu ada untukmu."
Hujan mulai sedikit mereda dan mereka yang berada di markas masih menunggu kabar dari kedua orang itu.
"Apa Zen akan baik-baik saja?" tanya Teiron cemas.
"Kita hanya bisa berharap, Tei." balas Tumma seadanya.
Arie mendengar nada dering dari handphone-nya dan memeriksa pesan yang masuk, kemudian dia tersenyum.
"Mereka sudah pulang ke rumahku, jadi kita tidak perlu khawatir." Arie mengantungi kembali handphone-nya.
Kelopak mata itu mulai terbuka dan memperlihatkan manik abu-abu yang sayu.
"Ah, sudah bangun?"
Zen langsung bangun dari posisi tidur duduk di sofa, dia melihat Molf sedang mengancingi kemeja putih yang dia pakai.
"Heeeh?! Sejak kapan?! Bagaimana?!" tanya Zen panik.
"Aku tadi menidurkanmu saat kita berciuman dan membawamu pulang, lalu aku memandikanmu dan mengganti pakaianmu saat kau tertidur." jelas Molf.
Zen langsung terdiam mendengar itu. "Umm... Molf... Jadi..."
Molf tersenyum lembut. "Wajah tidurmu tadi sangat manis, bahkan aku hampir ingin 'memakan'mu."
Zen hanya menutupi wajahnya yang memerah.
Molf menepuk punggungnya. "Sudahlah, sebaiknya kita ke ruang makan sekarang, sebentar lagi makan malam."
"Jadi Zen." Femuto menopang dagu. "Apa kau siap menikah besok?"
"Hah?!" Zen langsung kaget bersamaan dengan Arie yang menyemburkan minumannya.
Suasana ruang makan langsung hening seketika.
Zen dan Arie langsung melirik Molf yang terlihat menyembunyikan sesuatu.
"Jangan bilang kalau kau yang mengusulkan itu!" pekik Zen tidak terima.
"Tidak juga." balas Molf yang sedikit tersipu.
"Molf Chaindelier! Jangan coba-coba berbohong di sini!" sembur Arie kesal.
"Hey hey, sudahlah..." Femuto menenangkan kedua orang itu. "Lagipula ini pernikahan pribadi, jadi tidak akan ada yang tau."
"Walaupun begitu, tapi tetap saja..." Zen merasa tidak nyaman dengan hal itu.
Molf menopang dagu sambil tersenyum manis. "Tidak apa-apa. Aku bisa membiarkanmu jadi Seme jika kau mau."
"Bukan itu masalahnya!" seru Zen kesal.
Dia pun langsung marah-marah pada Molf selama setengah jam lebih.
"Untungnya Glinea dan Ney sedang tidak berada di sini sekarang... (Karena aku tidak ingin melayani pertanyaan yang aneh-aneh dari mereka.)" gumam Arie risih.
Pada malam berikutnya... (Bagian pernikahan di-skip untuk kenyamanan otak kalian.)
"Umm..." Zen merasa canggung untuk membuka pembicaraan ketika dia dan Molf berada di kamar yang sama. "Kau benar-benar serius dengan ini? Walaupun kita sudah menikah, tapi tetap saja aku-"
"Kau masih tidak terima?" potong Molf bingung.
"Bu-bukan begitu!" bantah Zen gelagapan.
Dia menggaruk pipi dengan wajah ragu. "Sebenarnya aku tidak berharap akan secepat ini, tapi tidakkah kau berpikir kalau hubungan kita ini... Sedikit aneh?"
"Aneh?"
"Yaaah... Kita ini kan sesama laki-laki dan juga beda ras, kau tidak memikirkan apa yang akan dikatakan orang-orang di sana tentang itu?"
Zen melipat tangan dengan wajah risih. "Tapi sudahlah, aku yakin kau tidak akan perduli."
"Umhmhm..." Molf tertawa kecil.
"Apanya yang lucu?" tanya Zen sebal.
"Tidak apa-apa, hanya saja kau cukup lucu saat mengeluh."
Zen hanya manyun. "Terserah kau saja."
Molf memeluk Zen dari belakang dan tanpa diduga memberikan sebuah kejutan.
"He-hey! Jangan tiba-tiba menggigit leherku!"
"Ternyata menggodamu cukup mudah ya."
"Molf Chaindelier! Itu tidak lucu!"
Arie yang mendengar pertengkaran pasangan baru itu dari luar kamar hanya memasang wajah risih.
Zen melipat tangan dengan wajah sebal. "Serius deh! Sejak kapan kau jadi seduktif begitu? Siapa sih yang mengajarimu?"
"Umm..." Molf menggaruk pipi dan memutar mata ke atas. "Ada tiga pria kembar yang datang ke bar saat aku baru seminggu bekerja."
'Tiga pria kembar? Kok kayak kenal ya?' batin Zen.
"Mereka memesan misuari (maksudnya Mizuwari, lidah Molf tidak fasih mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jepang), lalu mereka mengajakku mengobrol. Aku menjawab semua hal yang mereka tanyakan, bahkan ketika mereka bertanya tentang orang yang kusukai. Mereka pun menyarankanku menjadi seduktif di depan pasangan, salah satu dari mereka bilang dia sudah sering melakukan itu dengan pasangannya yang merupakan seorang laki-laki."
Zen hanya speechless mendengar itu. "Kenapa kau mau saja menerima saran mereka? (Kayaknya gue perlu kasih tau Revan nih.)"
Keesokan paginya...
"Hey Zen, apa itu hickey?" tanya Tumma ketika melihat tanda merah pada leher iblis bertanduk patah di sebelahnya.
"Nggak, ini gigitan nyamuk." bantah Zen.
"Selamat pagi." sapa Molf yang baru datang.
"Selamat pagi, 'Nyamuk'." balas Tumma dengan senyuman jahil, perkataannya barusan sukses membuat Zen langsung menyemburkan minumannya.
To Be Continue, bukan Track Big Cruel (?)...
Sorry guys, gue emang gitu orangnya... ._./
Review! :D
