Balas Review! :D

Hiba: Sesukamu aja... -_-

Alexia: "Aku juga tidak mengerti kenapa dia pakai nama sekonyol itu." =_=a

Rendy: "Nggak usah, jelek banget."

Ini udah lanjut... -_-/

RosyMiranto18: Aku males masukin kartun itu.

Teiron: "Sayangnya Flore tinggal di rumahku, jadi dia sering bertemu ibuku."

Emy itu elemennya api, es, kegelapan, dan cahaya.

Zen: "Alpha bilang film robot gitu."

Liat aja nanti. 'v'/ Thanks for Review.

Happy Reading! :D


Chapter 252: A Long Trilogy


"Ney, kamu yakin dia bisa meniru 'orang itu'?" tanya Della ragu.

"Tentu saja!" balas Ney.


"Kak Glinea, kakak bisa meniru pose yang pernah kukasih liat nggak?" pinta Ney pada Glinea.

Glinea berpikir sejenak, kemudian dia teringat sesuatu. "Oooh, maksudnya pose dari Super Sentai yang kamu tonton kemarin?"

"Iya!" balas Ney membenarkan.

"Baiklah." Glinea mulai bersiap untuk berpose.

"Poison Star!" Glinea mengangkat tangan kiri dan menggerakkannya ke depan dada, tangan kanannya bergerak memegang tangan kiri. "Sasori Orange!"

"Nah, mirip kan?" tanya Ney senang.

Yah, itu saja intro-nya.


~Third Spiky~ ('New Member')

"Haaah..." Girl-chan menghela nafas frustasi. "Aku paling nggak suka kalau ortu nonton acara drama dengan sedikit balutan religi, apalagi yang tayang pagi dan sore di Ind0si4r dan tayang malam di 4ntv. Dengerinnya aja udah nyebelin banget, soalnya kamar di rumah jaraknya hanya beberapa langkah dari ruang depan. Karena nggak punya penyumbat telinga, jadinya pake earphone dan setel musik volume full."

BRAK!

"Moshi-moshi! Orang baru desu!"

Gadis itu langsung mengeluarkan aura suram dan menatap tajam orang yang mendobrak pintu kamarnya. "Tolong keluar sebentar, aku lagi PMS, jadi mudah gondok."

Pintu pun kembali ditutup oleh orang itu.


Kemudian...

"Halo, aku Son Go Kong di Garuchan. Namaku Vestur-apinn Itä-apina. Kalian bisa panggil Vestur, Itä, atau 'Hēisuì'." sapa seorang pemuda yang memiliki rambut hitam spiky, mata ungu, memakai topi koboi hitam dan membawa tongkat emas. "Usiaku 18 tahun, ulang tahunku tanggal 26 bulan 4, makanan favoritku salad bunga ("Selera makannya aneh juga ya." komentar Mathias dengan wajah menyerupai emoticon ('3').), hobiku memotret apa saja dan selfie dengan musuh yang akan kukalahkan."

"Maaf, kau ini titisan StarNinger ya?" tanya Alpha dengan senyum miris.

"Eh?" Vestur malah kebingungan.


Note: Silakan googling tentang 'StarNinger' jika kalian ingin tau maksud pertanyaan Alpha barusan.


"Selamat datang, Vestur. Karena kau merupakan anggota baru, aku hanya ingin memberitahumu beberapa hal yang penting." ujar Mathias. "Pertama, aku harap kau bisa bersabar jika beberapa dari kami memanggilmu 'Duren Hitam'."

Vestur kebingungan. "Duren?"

"Itu nama buah berduri yang berasal dari Indonesia, dan orang-orang berambut spiky sering disamakan dengan duren karena bentuk rambut mereka yang mirip buah itu." jelas Mathias sambil menunjuk sesuatu di belakangnya. "Ngomong-ngomong soal spiky, sepertinya kau akan butuh waktu lama untuk berteman dengan mereka."

Vestur melihat apa yang ditunjuk Mathias dan ternyata...

Salem dan Saphire menatap tajam Vestur sambil mengeluarkan aura suram dari kejauhan.

"Mereka juga sering dipanggil 'Duren' ya?" tanya Vestur.

"Begitulah..." jawab Mathias dengan senyum miris. "Sebaiknya kau tidak melakukan sesuatu yang akan membuat mereka kesal, setidaknya sampai mereka menjadi lebih bersahabat.

"Heeeh..."

"Oh iya, Vestur." Alpha teringat sesuatu. "Mungkin kita bisa memberimu nama panggilan dari huruf 's', kau kan juga spiky seperti mereka berdua."

"WOY!" seru Saphire dan Salem sewot.

Vestur berpikir sejenak. "Sebenarnya aku tidak butuh sih, tapi jika kalian bersikeras..."

"Mungkin 'Sandy Stones' terdengar bagus." lanjut Vestur polos.

Suasana hening.

"Sebaiknya lupakan saja hal itu." nasihat Mathias datar.

"Oh iya, bagaimana kau bisa masuk ke squad ini?" tanya Mathias mengalihkan topik. "Kami di sini bergabung dengan cara yang berbeda-beda lho, jadi aku hanya ingin tau saja."

Vestur berpikir sejenak. "Aku tidak ingat, mungkin gadis itu masih mengingatnya."

Mathias mengangkat alis. "Kaichou?"

"Mathy, minggir bentar dong!" Si ketua squad nyempil dari belakang Mathias. "Baik, aku akan menjelaskan semuanya. Jadi..."


-Flashback-

"Reward Dungeon yang kudapat kali ini 'This Week Hero Scrolls', oh well..." Girl-chan menghela nafas. "Nggak buruk sih, setidaknya ada tambahan Peso dari penjualan Hero berdurasi."


Setelah pembukaan reward kemudian...

Gadis itu hanya speechless dengan hasil yang dia dapat. "Dari kumpulan 'Weekly Scroll' yang kubuka, ada satu hero permanen yang keluar. Terima saja deh."

BRUK!

Jangan tanya apa yang terjadi barusan.


Kemudian...

Pemuda itu menggaruk kepala ketika ditanya dari mana dia muncul. "Aku tidak tau, tiba-tiba saja sudah terpanggil ke sini."

Girl-chan menghela nafas. "Apa boleh buat. Sebaiknya kau bergabung dengan squad kami, setidaknya itu lebih baik daripada tinggal di jalanan."

"Baiklah."

-Flashback End-


"Kira-kira begitulah... Ahaha..." Girl-chan tertawa garing.

Mathias malah sweatdrop. "Begitu ya..."

Kemudian pria itu memalingkan wajah dengan tampang skeptis. "Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini, tidak satupun sama sekali."


Salem sedang makan ubi sambil jongkok di bawah pohon, di sebelahnya terdapat Saphire yang minum jus sambil bersender di pohon yang sama.

Salem berhenti makan dan menghela nafas. "Entah kenapa aku tidak senang melihat orang baru itu."

"Sama." Saphire melirik orang di sebelahnya. "Makan ubi kok sama kulitnya?"

"Setidaknya gue bukan Kaichou yang makan ubi tapi kulitnya dibuang padahal masih ada sisa ubi yang nempel." Salem memakan sisa ubi di tangannya. "Jalan-jalan yuk. Gue bete nih."

"Ya udah." Saphire melempar gelas jus yang sudah kosong ke tempat sampah. "Tapi gue boncengan sepeda lu ya."

"Bukannya lu punya skateboard?" tanya Salem skeptis.

Saphire melipat kepala di belakang kepala. "Gue lagi males pake."

"Terserah!" Salem segera pergi mengambil sepeda.


Mereka pun jalan-jalan naik sepeda, Salem mengayuh dan Saphire duduk membelakangi di bangku boncengan.

"Entah kenapa aku punya firasat kalau orang itu mengikuti kita."

"Emang napa, Sal?"

"Sap, lu tau nggak kalau Son Go Kong itu bisa naik awan?"

"Terus?"

"Coba lu liat aja ke langit, kali aja ada awan kuning yang terbang ke arah kita."

Mereka tidak menyadari kalau ada awan kuning yang mengikuti di sebelah sepeda mereka sejak tadi.

Vestur yang merasa tergelitik untuk menyapa membiarkan mereka berjalan mendahuluinya, kemudian dia melambaikan tangan ketika Saphire melihatnya.

"Umm, Sal."

"Ya?"

"Sejak kapan dia di belakang kita?"

Salem segera menghentikan sepedanya.

"Halo." Vestur ikut berhenti di sebelah mereka dan turun dari awannya. "Aku mengikuti kalian karena kukira kalian ingin ke suatu tempat."

"Tidak juga. Ini hanya jalan-jalan santai saja." balas Saphire yang turun dari sepeda. "Sejak kapan kau mengikuti kami?"

"Kebetulan aku berada di atas pohon dekat garasi saat melihat kalian mengeluarkan sepeda, jadi aku mencoba mengikuti kalian tanpa ketahuan." Vestur tertawa kecil. "Lagipula, sebenarnya aku ingin berteman dengan kalian."

Kedua orang lainnya saling berpandangan, kemudian mereka pun berdiskusi.

"Boleh nggak nih?"

"Bolehin aja deh."

"Yakin? Tampangnya sih emang cukup ramah, tapi siapa tau kan?"

"Iya sih..."

Sementara mereka berdiskusi, Vestur sedang menunggu jawaban. "Bagaimana?"

Mereka pun selesai berdiskusi.

"Boleh saja."

Vestur tersenyum. "Makasih!"

Mereka pun melanjutkan jalan-jalan.


"Ngomong-ngomong, siapa di antara kalian yang tertua?" tanya Vestur.

Suasana hening.

Salem menghentikan sepedanya. "Kau benar-benar ingin tau?"

Vestur mengangguk.

"Kalau dari tanggal lahir, Saphire lebih tua. Dia 15 Maret dan aku 2 Oktober." jelas Salem.

Vestur manggut-manggut. "Begitu ya."

"Sebaiknya kita kembali ke markas sekarang, ini sudah hampir sore." Salem membelokkan sepeda untuk berputar arah.

"Baiklah."

Dan keseharian Vestur di Garuchan pun masih terus berlanjut.


~She Can't Read~ (Miyon)

"Hmm..." Miyon sedang melihat sebuah kertas di pinggir kolam renang.


Miyon 1: "F-Free..."

Miyon 2: "Ini mulai menjadi konyol."

Miyon 3: "Kita perlu guru les atau semacamnya."


Luthias muncul di sebelah Miyon. "Miyon, aku tau kau tidak bisa membaca."


Miyon 2: "DIA SEORANG PENYIHIR!"

Miyon 3: "DORONG DIA KE DALAM KOLAM!"


"Ya, aku bisa." balas Miyon datar.

"Kalau begitu apa yang dikatakan kertas ini?" tanya Luthias.

"Ini... Aturan latihan." jawab Miyon.

"Usaha yang bagus, tapi itu adalah cerita buatan Musket. Alexia sedang membaca aturan latihan." ralat Luthias.


Alexia membaca kertas yang dipegangnya. "Dan kemudian Matt memborgol Willy ke kursi, dengan kasar mengangkangi- Oke. Ayo, umm, ayo letakkan ini di loker untuk diamankan."


"Aku tidak butuh selembar kertas untuk memberitahuku cara bertarung." ujar Miyon.

Luthias melipat tangan. "Aku akan mengajarimu membaca jika kau mengajari Tigwild bela diri."

"Aku bilang aku bisa membaca dengan baik."

"Miyon, ketika Mundo mengajakmu pergi makan malam di sebuah restoran, kau hanya melihat menu dan menunjuk apa yang kau inginkan."

"Jadi?"

"Kau memesan 'The Flyin' Hawaiian'!"

"Ya?"

"Miyon, kau alergi pada nanas! Kau sampai harus pergi ke rumah sakit!"


Miyon 2: "Dia menangkap kita, pura-pura bodoh!"

Miyon 3: "Tidak, lari!"


"Aku tidak tau apa yang kau bicarakan."

"Miyon!" seru Luthias sebal.


Miyon 2: "Rencana B! Rencana B!"


"Ya, kenapa kau tidak meminta orang lain untuk membantu? Mereka bisa bertarung DAN membaca." usul Miyon.

Luthias menghela nafas. "Aku bisa saja menganggap mereka membantu jika apa yang mereka lakukan tidak mencemari kewarasan orang lain."


~Desperate Heart and Little Propose~ (AriexGlinea)

Zen berlutut di depan Arie sambil membuka sebuah kotak kecil. "Apa kau bersedia dengan penuh hormat untuk menikahi Glinea?"

Suasana hening.

"Apa kau serius melamar Arie untuk Glinea?" tanya Molf bingung.

"Di-diam!" balas Zen yang hampir menangis.


Arie masih mengingat kejadian sebelumnya dan sedang memikirkan hal itu dengan serius.

'Aku tidak menyangka kalau Zen akan mendukungku berhubungan dengan gadis itu, padahal dia dan Glinea sering mengerjai satu sama lain dan selalu bertengkar setiap hari.'


Zen mengeluarkan pedang miliknya disertai senyum angker dan aura hitam di tubuhnya. "Tetap diam ya."

"Tunggu-tunggu-tunggu-tunggu-tunggu!" pekik Glinea panik sambil menahan Zen. "Setelah kupikirkan lagi, biarkan saja seperti ini!"


"Serius banget malah." Glinea menunjukkan sebuah rompi yang ditempeli beberapa dinamit.

"LU PENGEN BIKIN GUE MATI ATAU APA?!" sembur Zen kesal.


Arie menghela nafas. 'Sebenarnya... Ada alasan kenapa aku tidak ingin menerima gadis itu...'

Seseorang menempati bangku lain di mejanya. Arie menyadari itu dan melihat siapa yang sedang duduk di depannya. "Kau mau apa, Glinea?"

"Apa yang kau pikirkan?"

"Tidak ada."

"Oh iya, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."

"Aku tidak akan dengar jika itu tidak penting."

"Ini penting kok." Glinea menghela nafas. Kau tau... "Aku ingin kita menjalani hubungan yang berbeda."

Arie mengangkat alis. "Apa maksudmu?"

"Yah..." Glinea menggaruk pipi. "Mungkin yang lebih dari teman?"

Tiba-tiba Arie langsung berdiri dan segera pergi dari situ.

"Arie, tung-" Glinea teringat sesuatu dan menghampiri Ilia yang berada di meja kasir. "Ily, aku bolos sebentar ya. Nanti aku bayar makanan Arie."

"Sudahlah, kejar saja dia."

Glinea menengok dan melihat...

"Henlo." sapa seorang wanita berambut ungu dengan mata merah, kulit keabu-abuan, telinga runcing, dan memakai gaun berwarna biru.

Glinea hanya terdiam saat mereka saling bertatapan, kemudian dia menyadari sesuatu ketika melihat tanduk domba di kepala wanita itu.

"M-Molf?! Bagaimana kau bisa berubah jadi wanita? (Pantas saja penampilannya terasa familiar.)" tanya Glinea kaget.

"Aku akan menjelaskannya nanti. Sebaiknya kau kejar saja Arie, aku akan membayar makanannya."

"Terima kasih, aku berhutang padamu." Glinea segera pergi.

"Semoga beruntung." Molf mengancungkan jempol.


"Arie, tunggu!"

Glinea berhasil mengejar Arie sampai mereka berdua berhenti di sebuah jalan yang sepi.

Arie melirik gadis itu sebentar. "Kau sudah membaca surat itu kan? Aku akan menjelaskan sesuatu padamu."

"Aku pernah kehilangan sepupu dan teman baikku, hal itu membuatku trauma dan sering menyalahkan diri sendiri. Aku tidak ingin kehilangan orang lain lagi, dan kau tidak akan mengerti sama sekali."

Glinea mulai merasakan kesedihan pada nada bicara Arie.

"Jadi tolong, jika kau memang mencintaiku, sebaiknya menjauhlah dariku."

Suasana hening.

Glinea mendekati pemuda itu dan memeluknya dari belakang.

"Kenapa?"

"Aku tidak bisa membiarkanmu terus menderita. Aku tidak ingin melihatmu menyalahkan diri atas kejadian yang bukan merupakan kesalahanmu dan menyembunyikan rasa sakit itu sendiri."

Glinea melepaskan pelukan dan mengenggam tangan Arie, dia merasakan dingin di telapak tangannya.

"Mungkin aku tidak tau banyak tentang dirimu, tapi bukan berarti aku tidak boleh membantumu. Aku ingin bisa melakukan apa yang pernah kau lakukan pada mereka, dengan begitu kau tidak merasa sendirian."

Glinea menghadapkan wajah Arie ke arahnya dan mengusap air mata yang baru mengalir di pipi pemuda itu.

"Semua itu akan kulakukan untukmu... Karena aku mencintaimu dengan tulus."

Air mata terus mengalir di wajah Arie.

"Tidak apa-apa. Keluarkan saja jika itu membuatmu merasa lebih baik."

Tiba-tiba Arie langsung memeluk Glinea dan menangis tanpa suara.


Hujan pun mulai turun di tempat itu dan mereka memutuskan untuk berteduh di toko terdekat.

"Kau tau, mungkin tidak ada salahnya untuk jatuh cinta." Arie menyender di dinding. "Tapi jika aku tidak bisa melindungi orang yang kucintai, aku sama sekali tidak berguna."

"Jangan berpikir seperti itu." Glinea menggengam tangan Arie dan ikut bersender di sebelahnya. "Kau tidak boleh menyerah setelah sebuah kegagalan, masih ada kesempatan untuk memulai dari awal."

"Ngomong-ngomong, soal perkataanmu tadi tentang hubungan yang berbeda dan lebih dari teman... Sebenarnya aku tau maksudmu." Arie menghela nafas. "Aku sudah lama memikirkan hal itu, tapi aku takut mengatakannya karena masih trauma dengan kejadian yang kualami."

"Jadi?"

"Kurasa sekarang waktu yang tepat untuk mengatakannya." Arie berlutut di depan Glinea dan memegang tangannya. "Menikahlah denganku."

Glinea tersenyum manis. "Tentu."

"Tapi ada satu hal yang perlu kukatakan."

Glinea terheran-heran. "Apa itu?"

"Sebaiknya kita rahasiakan ini dari yang lain." Arie menggaruk pipi dengan wajah canggung. "Aku ingin melayanimu seperti seorang putri jika kita hanya berdua saja."

Glinea tertawa kecil. "Baiklah. Jika itu keinginanmu, Pangeranku."

Arie tersenyum tipis dan mencium punggung tangan gadis itu.

"Kalian yakin bisa merahasiakannya setelah dilihat banyak orang?"

Mereka berdua segera menengok dan mendapati...

Tumma yang sudah berada di depan mereka bersama paparazzi gadungan di belakangnya.

"Oh, ada kalian." sapa Glinea seolah tidak terjadi apa-apa.

"Cie pasangan baru, uhuk." goda Tumma.

Wajah Arie langsung memerah seketika.

"Sejak kapan kalian di sini?! Dan siapa itu yang bawa kamera?! Nggak usah foto-foto!" omel Arie emosi.

"Dia marah, guys! Ayo pergi!" Tumma langsung kabur diikuti yang lainnya.

"Woy! Kembali kalian!" Arie segera mengejar mereka.


Zen yang melihat kejadian itu dari kejauhan tersenyum tipis. "Sepertinya rencana kita berhasil."

Kemudian dia memalingkan pandangan pada Molf yang sedang memegangi dada dengan wajah meringis di belakangnya. "Kau kenapa?"

"Dadaku terasa sakit saat berlari tadi." gumam Molf merasa tidak nyaman.

"Sepertinya berlari dengan dada besar dan memakai beha ketat membuatmu kesakitan." komentar Zen dengan senyum miris. "Tapi mau bagaimana lagi? Soalnya beha Glinie terlalu kecil untuk ukuran dadamu, kalau nggak dipakai nanti malah terjadi hal yang tidak diinginkan."

Molf menghela nafas. "Kenapa wanita harus selalu memakai bra di dalam pakaiannya?"

"Umm... Aku tidak bisa menjelaskan itu, hanya para wanita yang lebih mengerti." balas Zen seadanya. "Sebaiknya kita segera ke rumah Emy dan meminta Thundy memberikan penawarnya agar kau bisa kembali seperti semula."

"Oh iya, Zen."

"Hm?"

"Apa kau menyukaiku sebagai laki-laki, atau sebagai perempuan?" tanya Molf penasaran.

"Heeeh?!" Wajah Zen langsung memerah seketika. "Ke-kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?! A-aku tidak siap!"

Molf hanya memiringkan kepala karena menunggu jawaban.

Zen memalingkan wajahnya yang masih memerah. "Kalau aku boleh jujur... Aku tidak bisa memilih... Kau terlalu tampan sebagai laki-laki dan terlalu cantik sebagai perempuan..."

"Tidak apa-apa." Molf tersenyum tipis. "Sejujurnya aku juga tidak bisa memilih jika aku di posisimu."

"Begitu ya..."

Mereka terus berjalan di bawah langit sore dengan latar matahari yang akan terbenam.


Special Bonus: Two Epilogue

~Small Incident~ (Timeline: Sebelum Molf berubah jadi perempuan.)

"Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini, tapi ini demi keberhasilan misiku untuk membuat Arie melamar Glinie." ujar Zen yang memegang sebuah botol kecil berisi ramuan pengubah gender dari Emy.

Dia meletakkan botol itu di atas meja dan segera pergi ke kamarnya. "Sebaiknya aku menyiapkan penyamaran."

Molf yang baru pulang tak sengaja melihat botol itu dan karena merasa kehausan, dia pun meminum cairan di dalamnya tanpa bertanya sama sekali.


Zen yang baru kembali setelah mengambil perangkat penyamaran langsung speechless dengan apa yang dilihatnya.

"A-aku bisa jelaskan..."

'Seharusnya aku memasang penanda agar tidak ada yang meminumnya.' batin Zen setelah mendapati Molf sudah berubah menjadi perempuan karena ramuan itu.


~Tiga 'Duren'~

Vestur itu di luarnya emang ramah, tapi ternyata...

"Huwooooh! SSR lima biji!" teriak Saphire senang.

"DUREN KAMPRET BRENGSEK! ASDFGHJKL!" sembur Vestur kesal.

"Sesama 'duren' dilarang nyebut!" seru Salem (yang sebenarnya berusaha menahan amarah karena dia juga kesal dengan ucapan Saphire tadi).

Vestur bisa berkata kasar jika dia digaremin orang.


To Be Continue, bukan To Be Confidant (?)...


Vestur-apinn Itä-apina (Son Go Kong): Pemuda yang masuk squad karena sebuah 'insiden aneh' yang dialami ketuanya.


Ada alasan kenapa sengaja update bertepatan dengan ultah orang baru, tapi jangan ditanya ya... 'v'/

Review! :D