Balas Review! :D

RosyMiranto18: Pengen aja pisahin, soalnya kurang sreg kalau digabungin.

Tumma: "Duco hanya makan sepotong ayam saja, jadi aku tidak keberatan."

Well, ada sih yang puasa. (Kau akan tau nanti.)

Zen: "Apa? Aku mencoba mencari tontonan yang aman untuk anak-anak."

Aku sengaja menjadikan si 'Batu Nisan' babysitter biar bisa di-bully. :p

Molf: "Maaf, aku tidak bisa menjelaskan pekerjaanku lebih lengkap."

Thanks for Review.

Hiba: Ini udah lanjut.

Happy Reading! :D


Chapter 262: DiNorMalice


"Tuan Edgar itu seperti es krim." celetuk Naya.

"Maksudnya?" tanya Salma kebingungan.

"Dingin tapi membuatku bahagia." jelas Naya. "Dan juga bisa dijilat-"

Edgar langsung menyemburkan kopi yang dia minum setelah mendengar perkataan Naya barusan.

"SANAYA!" pekik Edgar di belakang istrinya.

Salma sendiri malah sweatdrop melihat kejadian itu.

Hanya itu intro-nya.


~Pocket Dimension Problem~

Molf melihat Ney sedang murung di sofa, dia pun menghampiri anak itu.

"Ada apa, Ney?" tanya Molf sambil duduk di sebelahnya.

Ney memainkan jari. "Begini... Besok aku akan mengambil hasil tugas prakarya setelah pameran seni, tapi aku tidak tau cara membawanya karena ukurannya besar dan tidak muat di dalam tas. Apa Kak Molf punya ide?"

Molf berpikir sejenak. "Sebenarnya ada cara yang bisa membantu..."


Keesokan harinya...

Duco terheran-heran melihat sebuah tas selempang berwarna merah yang terbuka di atas kursi, kemudian dia memasukkan kepalanya ke dalam tas itu dan seluruh tubuhnya ikut masuk ke dalam.

Ney memasukkan bekalnya ke dalam tas dan menutupnya, kemudian dia memakai tas itu dan pergi dari ruang makan.


"Arie!"

Arie menengok dan mendapati Teiron menghampirinya bersama Luthias di aula sekolah yang mengadakan pameran seni.

"Oh, hay Tei. Dan Luthias juga?" tanya Arie skeptis.

"Ibu-nya Tigwild tidak bisa datang karena sakit, jadi aku menggantikannya." jelas Luthias.

Arie hanya ber-'oh' ria.

"Ngomong-ngomong, aku nggak yakin Ney bisa membawa pulang karyanya. Soalnya dia doang yang nggak bikin benda kecil." gumam Teiron ragu.

Arie mengerutkan kening. "Emang dia bikin apaan?"

"Itu." Teiron menunjuk patung setengah badan berbentuk Zen yang berada agak jauh dari tempat mereka.

Arie dan Luthias langsung sweatdrop melihat benda itu.


Sementara itu...

Duco keluar dari dalam tas Ney dan kebingungan melihat tempatnya berada sekarang, dia pun keluar dari kelas dan berjalan tanpa arah.


Setelah pameran seni berakhir, anak-anak yang memajang karyanya diperbolehkan membawa pulang karya mereka.

"Kau serius ingin membawa patung itu?" tanya Arie skeptis.

"Tentu saja. Kak Molf sudah membantuku untuk ini." balas Ney yakin. "Flore, bantuin dong."

"Okyuu!" balas Flore sambil hormat dengan tangan membentuk tanda 'ok'.

Dia pun mengangkat patung itu dan memasukkannya ke dalam tas Ney yang ajaibnya bisa masuk.

'Pocket Dimension? Pantas saja.' batin Arie sweatdrop.


Di sisi lain...

"Aku lapar nih, makan dulu yuk." ajak Teiron.

"Ya udah." balas Luthias.


Ketika kedua orang itu tiba di kantin sekolah, di sana sudah terjadi sesuatu yang heboh.

"Ada apa ya?" Mereka saling berpandangan dan segera mencari tau.

Tapi karena kerumunan di sana begitu ramai, mereka kesulitan untuk melihat apa yang terjadi.

"Sekarang bagaimana?" tanya Luthias.

Teiron pun memanfaatkan tubuh kecilnya untuk merangkak melewati sela-sela kaki.

Luthias yang melihat itu hanya mendoakan keselamatan temannya. "Semoga beruntung."


Ketika Teiron berhasil menyelinap keluar dari kerumunan...

Dia melihat seorang gadis kecil berambut pirang yang melahap banyak makanan.

Teiron pun menghampiri anak itu. "Hey nak."

"Hm?" Anak itu berhenti makan.

"Kamu ke sini dengan siapa?" tanya Teiron.

Anak itu menelan makanannya. "Duco tadi keluar dari dalam tas."

"Hah?" Teiron langsung kebingungan, tapi hanya sesaat. "Tasnya seperti apa?"

Duco mencoba mengingat-ingat. "Warna merah, ada kelinci merah muda."

'Kelinci merah muda?'

Kemudian Teiron teringat satu hal.

Ney memiliki gantungan kunci berbentuk boneka kelinci berwarna pink.

"Kamu kenal yang namanya Zen?" tanya Teiron memastikan.

Anak itu mengangguk. "Duco kenal Papa Zen, (k)amu kenal juga?"

'Papa?!'


"Duco hilang?!" tanya Arie kaget.

"Tadi aku terakhir kali melihatnya di ruang makan, tapi setelah itu dia sudah tidak ada!" jelas Zen panik.

"Apa yang harus kita lakukan, Arie?" tanya Molf cemas.

Kemudian terdengar nada dering dari handphone Zen, rupanya notif chat dari Teiron.

Zen pun membuka notif itu, Arie dan Molf nimbrung di sebelah untuk melihat isi chat.


Teiron: Bisa tolong datang ke kantin sekolah? Aku butuh penjelasan.

Teiron: Tadi aku bertemu gadis kecil berambut pirang. Ketika aku bertanya apa dia kenal kamu, dia memanggilmu 'Papa'.


'Bagaimana dia bisa berada di sana?' batin mereka bertiga terheran-heran.


Kemudian...

"Keluar dari tas?" tanya Arie dan Zen skeptis.

Teiron mengangguk. "Dia yang bilang begitu."

Molf langsung menyadari sesuatu. "Sepertinya aku tau apa yang terjadi."

Tapi sebelum Molf sempat menjelaskan, Duco sudah menunjukkan sebuah kotak kecil berwarna coklat.

Zen langsung terbelalak melihat kotak itu. "Bukannya itu kotak bekal Ney?"

"Dugaanku benar." Molf memegangi kening. "Duco masuk ke dalam tas Ney yang sudah kuberi sihir 'Pocket Dimension'."

"Kalau itu aku tidak kaget." komentar Arie datar.

"Tapi ada satu masalah lagi." Luthias memberikan selembar kertas.

Arie mengambil kertas itu dan Molf nimbrung di sebelah, mereka langsung shock karena ternyata isinya daftar tagihan.

"Anak itu memakan hampir semua menu di kantin." jelas Luthias. "Sebenarnya aku ingin membayar makanannya, tapi pemilik kantin tidak menerima pembayaran dengan kartu kredit."

Molf mendadak lemas karena masih shock dengan apa yang terjadi, Zen dan Teiron langsung menahan tubuhnya agar tidak jatuh menghantam tanah.

"Seharusnya aku tidak memasang 'Pocket Dimension' jika hasilnya seperti ini." (Molf)

"Itu bukan salahmu, kita hanya tidak tau apa yang akan terjadi." (Zen)

"Pokoknya kau yang harus bayar tagihannya, Molf! Duco itu anakmu!" (Arie)

"Sepertinya kau mulai mengerti betapa sulitnya menjadi seorang ayah." (Teiron)

"Kurasa kau benar, Teiron." (Molf)

"Aku akan membantumu membayarnya, Molf. Tapi tentunya setelah aku mengambil uang di bank. Kau tidak perlu mengganti uangnya." (Luthias)

"Terima kasih, Luthias. Kau terlalu baik untuk kami." (Zen)

"Ngomong-ngomong, Duco kemana ya?" (Arie)

"Tunggu!"

Kemudian datanglah Ney dan teman-temannya.

"Kak, bekalku dihabiskan anak itu!" Ney memperlihatkan kotak bekalnya yang kosong dan menunjuk Duco yang ternyata sudah bersembunyi di belakang Luthias.

"Ney, dengar. Tolong maafkan aku, sebenarnya ini salahku sejak awal." Molf mendekati Ney. "Duco memasuki tasmu saat tidak ada yang melihat, itulah yang menyebabkan semua ini terjadi."

"Begitu ya..." Kemudian Ney menyadari sesuatu. "Tunggu, Duco itu siapa?"

GUBRAK!

Teiron dan Zen langsung jatuh di tempat, sementara Arie dan Luthias hanya sweatdrop.

Duco beranjak menghampiri Ney dan Molf dengan malu-malu. "Maaf..."

"Seharusnya aku memperkenalkan kalian lebih awal." Molf mengusap kepala Duco. "Jadi Ney, Duco ini anak angkatku. Dan Duco, dia ini Ney."

"Wah Ney, berarti kau punya adik sekarang." celetuk Frans.

"Adik ya..." gumam Ney pelan.

"Adik?" tanya Duco penasaran.

"Adik adalah sebutan untuk saudara termuda." Zen (yang sejak tadi sudah bangun dari 'jatuh'-nya) mendekati mereka dan berjongkok di dekat Duco. "Biasanya Ney menjadi adik Papa, Papa Molf, Paman Arie, dan juga Glinie. Dan karena kamu akan menjadi adik Ney, Ney akan menjadi kakakmu."

Duco menatap Ney yang menunduk takut. Beberapa orang lainnya mulai tegang untuk menunggu apa yang akan dia lakukan.

Duco pun mendekati Ney dan menggenggam tangannya.

"Duco adik Ney, Ney kakak Duco."

Ney terdiam sesaat, kemudian dia mengangkat tangan untuk mengusap kepala Duco.

Mereka yang melihat kejadian itu menghela nafas lega.

"Untuk merayakan Ney dan adik barunya, ayo kita makan-makan!" seru Della senang.

"Sayangnya tidak bisa sekarang, tidak di kantin sekolah kalian." timpal Teiron. "Duco memakan hampir semua makanan yang ada di menu, jadi kurasa tidak ada yang tersisa saat ini."

"Heeeh?!" pekik teman-teman Ney kaget.

"Memangnya ada apa di dalam perutnya? Lubang hitam?" tanya Arthur.

Nigou langsung mencubit lengan Arthur karena pertanyaan ngawur barusan.

"Ah iya, sudah saatnya ke bank untuk mengambil uang dan membayar tagihan makanan Duco. Aku pergi dulu!" Luthias langsung kabur.

"Kenapa malah Paman Luthias yang bayar?" tanya Flore bingung.

"Tidak apa-apa, dia selalu seperti itu." jawab Teiron seadanya.

Setidaknya sebagian dari masalah mereka sudah terselesaikan.


~I Wanna Fly!~

Duco sedang melihat pemandangan dari jendela kamar Arie dengan tenang dan da-

WUUUSSH!

Tiba-tiba ada sesuatu yang saling mengejar dengan cepat di depannya.

"Ney, kembalikan buku itu! Kau tidak boleh mengambilnya tanpa izin!"

"Tapi aku juga ingin belajar sihir, Kak Zen!"

Oh, ternyata hanya Zen dan Ney. Tidak biasanya mereka begitu.

Duco langsung takjub melihat mereka berdua.

"Duco juga ingin terbang!"


Zen (yang sedang mengejar Ney karena mengambil buku sihir milik Molf) langsung shock ketika melihat Duco yang memanjat keluar jendela.

'Jangan bilang anak itu mau-'

Zen langsung melupakan tujuan awalnya untuk mengejar Ney dan segera melesat menuju tempat Duco.


Duco pun melompat dari jendela dan mencoba terbang. Tapi karena sayapnya terlalu kecil dan letak sayapnya kurang mendukung untuk terbang (di atas pantat dekat pinggang), Duco mengepakkan tangan dengan sia-sia dan terjatuh. Untungnya Zen datang tepat waktu untuk menyelamatkan anak itu dan menurunkannya di tanah.

"Itu tadi berbahaya, Duco. Jangan ulangi lagi." nasihat Zen yang berlutut di depan Duco.

Duco menunduk. "Maaf... Duco hanya ingin terbang..."

Zen menghela nafas dan memegangi bahu Duco. "Dengar. Dengan sayapmu yang seperti itu, kau tidak akan bisa terbang seperti yang aku lakukan."

Duco langsung kecewa mendengar penjelasan itu. Zen merasa tidak tega melihat wajah sedih Duco, kemudian dia mendapat sebuah ide.

"Sebenarnya ada cara lain untuk membantumu, tapi tidak bisa setinggi saat terbang." Zen berdiri dan mengusap kepala anak itu.

"Benarkah?"

Zen mengangguk sambil tersenyum. "Kau bahkan tidak perlu menggunakan sayap, tapi cara ini butuh waktu lama untuk melatihnya. Kau mau kan, Duco?"

"Mau!" seru Duco senang. "Makasih, Papa Zen."

"Baiklah, ayo kita latihan." ajak Zen.

"Iya!" Duco memegangi tangan Zen dan mengikutinya.


"Arie, apa kau melihat Duco?" tanya Molf.

"Hah? Seharusnya kau memikirkan buku sihirmu yang diambil Ney." balas Arie skeptis.

"Tadi aku terakhir kali melihatnya berada di kamarmu ketika aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman, tapi dia sudah menghilang saat aku kembali dan jendela kamarmu terbuka lebar." jelas Molf. "Apa mungkin dia melom-"

"Jangan membuatku panik dengan menduga hal yang tidak-tidak!" potong Arie sewot.

"Tapi Duco itu masih kecil, dia bisa saja mencoba sesuatu tanpa mengetahui resiko yang akan terjadi."

"Aku juga tau itu!"

"Papa! Paman Ari!"

"Duco!" seru kedua orang itu bersamaan ketika Duco menghampiri mereka.

"Kau dari mana saja?" (Arie)

"Kau tidak melompat dari jendela kan, Duco?" (Molf)

"Molf!" (Arie)

"I-iya..." jawab Duco malu. "Tapi Papa Zen tangkap Duco saat Duco jatuh."

"Zen, coba jelaskan apa yang terjadi." pinta Arie pada Zen yang baru datang.

"Duco melompat dari jendela karena ingin terbang dan dia kecewa saat aku bilang sayapnya tidak mendukung untuk terbang, jadi aku mengajari Duco 'levitation' untuk menghiburnya."

"(K)alian mau lihat?"

Duco pun mempraktekkan hasil latihannya dan berhasil melayang 10 centimeter di atas tanah. Tapi anak itu mulai kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai, kemudian dia langsung menangis.

"Huwaaaa!"

Ketiga orang lainnya langsung panik melihat kejadian itu dan segera menghampiri Duco.

Arie mengangkat tubuh Duco dan membawanya ke sofa, kemudian dia mendudukkan anak itu di atas pangkuan Molf yang sudah duduk di sofa. Zen nyempil di sebelah Molf dan mengacak-acak rambut Duco.

"Kau harus lebih banyak berlatih, Duco." nasihat Arie yang berjongkok di depan Duco sambil mengusap pipi anak itu dengan lembut.

Duco pun berhenti menangis dan mulai tersenyum riang.


~Catcher~

Thundy sedang berjalan menuruni tangga dengan mata setengah terbuka karena masih mengantuk, kemudian dia tersandung kakinya sendiri dan jatuh dari tangga.

Untung saja Emy sedang berada di bawah tangga dan segera menangkap suaminya.

"Aku pikir kau baru saja..." Emy menggantung sesaat. "Jatuh untukku."

"Turunkan aku." perintah Thundy sinis.


~Small Confess~

"Urgh... Aku tidak mau melakukannya, tapi ini terpaksa..." gerutu Arie yang mengepalkan tangan dengan kesal karena mendapat Dare dari Yubi untuk confess ke Glinea.

Dia pun menghampiri Glinea yang sedang menyisir rambut Duco di halaman depan markas.

"Hey, Glinea."

Glinea menghentikan kegiatannya dan menengok. "Ya?"

"Umm... Kau tau kan kalau aku, menyukaimu?" tanya Arie sambil menggaruk pipi dengan wajah canggung.

Glinea tersenyum. "Kamu tau nama merek tisu bayi?"

"Hah? Kenapa nanya itu?" Arie berpikir sejenak. "Maksudmu... Mitu?"

"Yap. Me too~"

JLEB!

Panah cupid langsung menusuk dada Arie.

"Makasih." Arie langsung pergi dengan wajah merah padam.

"Grini, (k)enapa wajah Paman Ari merah?" tanya Duco.

Glinea kembali menyisir rambut Duco sambil tersenyum miris. "Tidak apa-apa, Duco. Dia hanya sedang malu."


~Some Talk~

"Hey Molf."

"Hm?"

"Kamu kan Incubus, apa kamu pernah menggoda gadis sebelumnya?" tanya Yubi penasaran.

Molf menggaruk pipi. "Kurasa tidak."

"Heeh? Tapi setidaknya kau pernah berkenalan dengan banyak gadis kan?"

"Ya. Aku punya banyak sepupu Succubus di keluargaku. Dulu ketika ada reuni keluarga besar, mereka semua datang melamarku."

"Lalu, kamu menolak mereka karena apa?"

"Ada dua alasan."

Satu jari. "Saat itu aku ingin fokus mempelajari sihir."

Dua jari. "Dan juga, mereka menghina Arie tepat di depanku dan aku tidak menyukainya, jadi aku mengatakan pada mereka 'gadis yang berani menghina Arie tidak pantas menjadi pasanganku'. Sejak saat itu mereka tidak melamarku lagi."

Yubi hanya terdiam mendengar itu. 'Dia benar-benar perduli pada sepupunya...'


~Eye Drop~

Siang itu Musket mendatangi klub fujodan dengan mata memerah.

"Matamu kenapa sih?" tanya Hikari sedikit risih.

"Semalam abis begadang ngurus deadline doujin, jadinya begini..." jelas Musket lesu.

"Sebaiknya pakai obat tetes mata. Kebetulan aku dikasih Nii-san tadi pagi, buat jaga-jaga katanya." Alexia mengambil tas yang dia bawa dan mencari sesuatu di dalamnya.

Tapi ketika Alexia baru mengeluarkan benda yang dimaksud, Musket sudah menghilang dari tempatnya.

'Dia takut obat mata atau apa?' batin anggota lainnya sweatdrop.


Musket sudah diikat di kursi agar tidak kabur setelah ditemukan bersembunyi di dalam loker, dan jangan tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.


~Candle with Noodles Smell~

Salem yang baru pulang dari misi mencium sesuatu yang menggiurkan. "Siapa nih yang lagi masak mie?"

Sebenarnya dia sedang puasa, tapi karena lapar dan lelah, akal sehatnya langsung jatuh.

Tapi ketika dia mengikuti sumber bau itu...

Rupanya itu hanya Vestur yang sedang menyalakan sebuah lilin (yang berasal dari Australia).


"Sap, lu liat Vestur nggak?" tanya Alexia.

"Dia lagi kabur dari Salem gara-gara lilin beraroma mie goreng." jelas Saphire risih.

Dan di belakang mereka terlihat kejar-kejaran antara kedua orang yang dimaksud.


~Dirty French~

Vience sedang berkonsentrasi dengan sesuatu, tapi wajahnya memerah dan semakin memerah ketika mendengar suara-suara yang berasal dari...


"Apa kau mengatakan hal kotor dalam French ke comm kalian? Vieny benar-benar memerah." tanya Arta yang memperhatikan Vience dari tadi.

"Oh, mau dengar?" balas Vivi. "Omelette du fromage."

Arta langsung kebingungan. "Itu lewd?"


~Susu~

Terlihat susu dalam botol kecil di konter dapur.

"Heeh? Punya siapa ini?"

Orang yang menemukannya mulai celingukan sebentar, kemudian dia mengambil susu itu dan segera pergi.


Glinea kebingungan mencari sesuatu di dapur, dia pun pergi ke ruang tengah untuk bertanya kepada teman-teman Ney yang sedang bermain kartu.

"Ada yang liat botol kecil berisi susu nggak? Itu mau kubuang karena sudah basi gara-gara ditinggalin Emy di kulkas selama berminggu-minggu."


(Note: Sebenarnya ini kejadian nyata sih. Sebotol susu bayi untuk keponakan yang ketiga ditinggalkan di kulkas rumahku selama berminggu-minggu dan pemiliknya nggak datang-datang karena 'Corona'. Pada akhirnya susu itu dibuang emak karena sudah basi.)


Setelah itu...

"Si Harith kenapa lama-lama di toilet?" tanya Cyclops.

"Mencret karena minum susu basi." balas Diggie datar.


~(Not) A Poem~

"Mawar itu merah, violet itu biru... Bunga matahari itu kuning... Tulip itu punya banyak warna... Daffodil juga kuning..."

"Seharusnya itu puisi kan?" tanya Frans bingung.

"Tidak, aku hanya suka bunga." jawab Flore polos.


~Free Food~

Tigwild pulang sendirian karena teman-temannya harus melakukan sesuatu yang penting di sekolah.

Ketika melewati sebuah restoran, dia memilih untuk berhenti sejenak dan memperhatikan pemandangan sekitar.

Ilia sedang melayani pelanggan di meja kasir, kemudian matanya melihat seseorang yang berdiri di depan restoran. Dia pun berjalan keluar untuk mendatanginya.

"Hey..."

Tigwild menengok dan mendapati Ilia yang sudah berada di sebelahnya.

"Sedang apa di sini?"

Anak itu tidak menjawab, kemudian perutnya berbunyi.

"Kamu lapar? Tunggu sebentar ya."

Tigwild pun menunggu selagi Ilia kembali masuk ke restoran.


Beberapa menit kemudian, Ilia membawa kotak kardus kecil berisi makanan dan memberikannya pada Tigwild.

"Ini, kamu bisa memakannya di rumah."

Tigwild mengambil kotak itu dan mengucapkan 'terima kasih' tanpa suara, kemudian dia berlari pulang.


Note: Ini kejadian nyata waktu masih SMP. Saat itu kakak ipar pernah kerja jadi pelayan di restoran ayam (sekarang mah udah beda kerjaan) dan dia pernah ngasih ayam gratis.


Bonus:

Hari itu Glinea datang pagi-pagi sekali.

"Lho? Tumben dateng sepagi ini." celetuk Zen yang menyambutnya di depan pintu.

"Kemarin Molf menghubungiku, dia memintaku untuk menjaga Duco dan Arie." jelas Glinea.

"Hey Molf, kau serius meminta bantuan dia?" tanya Zen pada Molf yang baru datang.

"Setidaknya dia lebih dipercaya daripada 'orang itu' (walaupun apa yang terjadi waktu itu hanya salah paham, tapi tetap saja aku masih merasa tidak tenang karena hal itu)." balas Molf datar.

Zen masih ragu. "Iya sih, tapi urusan makanannya gimana? Orangtua Arie tidak meninggalkan makanan dan aku bahkan nggak yakin Glinie bisa masak."

"Oh, kau mau merasakan 'jus itu' lagi? Akan kutambahkan racun ekorku sebagai bonus." Glinea tersenyum 'manis' dan mengeluarkan aura hitam. (Note: Ingat Chapter 'TwinkLens' bagian 'Summer Disaster'?)

Zen langsung bergidik ngeri. "Nggak, makasih..."

Kemudian Glinea teringat sesuatu. "Tapi ngomong-ngomong, kalian mau kemana memangnya?"

"Aku tidak bisa menjelaskan, tapi nanti kami akan pulang malam." jawab Molf.

Glinea hanya speechless. "Baiklah..."


To Be Continue, bukan Track Boar Camper (?)...


Ya, hanya itu saja... ._./

Review! :D