Balas Review! :D
RosyMiranto18: Well, aku tidak ingin memikirkan itu.
Tumma: "Hanya sepotong saja, tapi untungnya aku juga memesan telur goreng."
Ya, Sanaya itu nama depan Naya.
Luthias: "Sebaiknya jangan ditanyakan, oke?" ^^
Molf: "Hanya jalan-jalan biasa." *menggaruk pipi.* "Sihir Pocket Dimension tidak bisa digunakan pada sembarang benda, jadi kurasa tidak akan berpindah tempat semudah itu. Dan juga, Arie adalah satu-satunya hybrid di keluarga kami dan sering dikucilkan karena stigma buruk tentang para hybrid."
Zen: "Nggak, makasih."
Thanks for Review.
Happy Reading! :D
Chapter 263: Sickly Daily
Duco yang baru bangun tidur mencium aroma makanan dan dia berjalan menuju dapur dengan mata tertutup.
"Oh, selamat pagi Duco."
Dia membuka mata dan mendapati Glinea yang memakai apron ungu sedang memasak di dapur. "Grini macak? Papa (m)ana?"
"Papa-mu sudah pergi karena ada urusan, jadi dia memintaku memasak sarapan." jelas Glinea. "Tunggu sebentar ya, sarapannya akan segera siap."
Duco pun duduk di ruang makan untuk menunggu sarapan.
Beberapa menit kemudian, seseorang masuk ke ruang makan ketika sarapan disiapkan.
"Oh, selamat pagi A-" Glinea langsung kaget ketika melihat Arie sedang dalam kondisi kurang baik (wajah memerah, dahi ditempeli kompres, dan hidung disumbat tisu). "Lho?! Kamu sakit?!"
"Bacot... Kepalaku pusing..." balas Arie sedikit menggerutu.
"Kalau gitu ya jangan keluar! Nanti bisa tambah parah!" nasihat Glinea.
"Nggak mau! Hari ini ada misi penting!"
Glinea menarik tangan Arie. "Setidaknya minum obat dulu sebelum pergi!"
"Apaan sih?! Gue nggak sakit!" bantah Arie.
"Apanya yang nggak sakit?! Hidung kamu meler kan sampai disumbat tisu begitu?!"
"Enak aja, ini bulu hidung!" Arie mengancungkan jempol. "Gue kasih jempol nih biar yakin!"
"ITU TIDAK MEYAKINKAN!" pekik Glinea sebal.
"Udah ah, gue jalan dulu!" Arie pun segera pergi.
Duco mulai khawatir dengan keadaan pamannya dan ketika dia melirik Glinea...
'Asdfghjkl tidaaaaaak! Arie sakiiiiiiiiiiit!' batin Glinea panik. 'Apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau dia sampai pingsan di tengah jalan? Aku harus segera jemput dia dan beli obat! Tapi kalau nggak sembuh gimana?! Nanti malah berubah jadi zombie! Aaaaaaaaaaaaaaaah!'
Glinea merasakan sesuatu yang dingin di tangannya, rupanya Duco memegang susu kalengan yang baru diambil dari kulkas dan menempelkan benda itu di tangannya.
"Puk puk... Grini pukpuk..." Duco menepuk punggung Glinea untuk menenangkannya.
Glinea pun langsung memeluk Duco sambil nangis kejer. "Huweeeee! Bagaimana ini, Duco? Apa yang harus kukatakan pada Molf kalau Arie sampai berubah jadi zombie?"
"Bagaimana ya? Arie pasti marah kalau aku paksa pulang." keluh Glinea khawatir.
"Duco, kamu ikut aku ya seharian ini." Glinea mengangkat Duco dan mendudukkan anak itu di atas meja. "Nanti aku mau jemput Arie. Kita akan ke banyak tempat untuk belanja dan beli obat. Maaf ya kalau kamu sampai kena getahnya."
"Duco tak apa-apa." Duco menepuk kepala Glinea. "Duco mau ikut Grini. Duco juga tak (s)uka lihat Paman Ari (s)akit.'
"Duco..." Glinea mulai terharu. "Kamu baik banget..."
Kemudian...
"Baiklah, aku sudah membuat rencana untuk hari ini." Glinea menunjukkan daftar rencana pada Duco di papan yang sudah ditempeli banyak kertas catatan. "Karena hari ini orangtua Arie sedang bulan madu (dan kedua 'papa'-mu pergi sampai malam), aku yang akan mengurus pekerjaan rumah tangga."
Daftar rencananya seperti ini:
Kertas pertama
Belanja
1. Susu
2. Ayam
3. Sayur
4. Makanan kucing
Kertas kedua
Izin tidak kerja dan jemput Arie
Kertas ketiga
Sapu dan pel rumah
Kertas keempat
Cuci baju dan selimut
Kertas kelima
Ke dokter dan beli obat untuk Arie
Kertas keenam
Jaga Arie sepanjang hari
Kertas ketujuh
Membersihkan dapur dan ruang tengah
Kertas kedelapan
Memberi makan Marlie
"Jadi jika kamu butuh sesuatu, tinggal panggil saja ya."
"Tak main (s)ama Duco? Grini tak (s)akit?" tanya Duco khawatir.
Glinea terdiam sesaat.
Dua kertas baru pun ditambahkan.
Kertas kesembilan
Main sama Duco
Kertas kesepuluh
Baca buku sambil temani Duco tidur siang
Setelah itu...
"Jadi begitulah, maaf ya..." ujar Glinea setelah menjelaskan alasan kenapa dia ingin izin untuk tidak kerja.
Ilia hanya menghela nafas mendengar semua itu. "Izin ya? Kalau sudah begini apa boleh buat? (Bakalan repot nih.)"
"Kasihan Paman Ari (s)akit." timpal Duco.
"Tapi kalau bohong... Potong gaji!" ancam Ilia dengan tatapan tajam.
"Ya jangan gitu lha, Manager." balas Glinea risih.
Kemudian terdengar nada dering dari ponsel Glinea yang berada di atas meja, ternyata panggilan telepon dari Arie. Glinea langsung mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dengan panik. "Halo Arie?! Kamu masih hidup kan?! Kamu dimana?!"
"Halo, Kak Arie sedang di-"
"Asdfghjkl! Arie, kamu belum berubah jadi zombie kan?!" pekik Glinea makin panik.
"Ha-halo? Kak, tenang dulu, Kak."
"Sekarang aku mengerti kenapa Arie nggak mau ngaku sakit..." gumam Yubi sambil menopang dagu dengan senyum miris.
Ilia ikut tersenyum miris dan menepuk punggung Duco yang kebingungan. "Sabar ya, Duco."
'Untung saja letak restoran Ily dan markas nggak jauh, semoga saja tidak apa-apa.' batin Glinea yang cemas sambil menggendong Duco ketika sampai di depan gerbang markas.
Kemudian dia melihat Mira yang berada tidak jauh dari tempatnya.
"Permisi, kamu penghuni markas ini kan?" tanya Glinea.
Mira menengok. "Eh, iya Kak."
"Arie nggak apa-apa? Dia dimana sekarang?" tanya Glinea.
"Anu..." Mira menunjuk ke arah lapangan.
Ternyata di sana terlihat Arie yang diletakkan di atas tandu dan dikelilingi anak-anak lain.
"Tadi dia pingsan, lalu dimanfaatkan sebagai objek latihan P3K." jelas Mira.
"Hah?!" pekik Glinea kaget.
"Edward, coba kamu dengar denyut nadinya." perintah Paman Grayson.
"Baik!"
Edward pun menempelkan tangan Arie di telinganya.
"Wah, sudah meninggal." ujar Edward tanpa dosa.
"Gue masih hidup, bego..." gerutu Arie setengah sadar.
"ARIIIIIIII!" Glinea langsung menerobos kerumunan dengan panik.
"Lu ngapain ke sini sih?" tanya Arie sebal.
"Emangnya kenapa?!" balas Glinea sewot. "Tadi kamu pingsan, makanya aku khawatir!"
"Anu, kalian tolong bantu bawa Arie ke dokter ya." pinta Glinea.
"OKyuu!" balas Edward sambil hormat dengan tangan membentuk tanda 'ok'.
"(D)okte(r)?" tanya Duco.
"Dokter adalah orang yang bertugas menyembuhkan orang sakit." jelas Glinea.
Tiba-tiba Arie mencengkeram pundak Glinea. "Nggak mau..."
"Hah?"
"NGGAK MAU KE DOKTER! POKOKNYA NGGAK MAU!" pekik Arie.
"Jangan kayak anak kecil, Arie!"
Arie meronta-ronta ketika tubuhnya diikat di tandu dan diangkut teman-temannya ke dokter. (Note: Tolong jangan bayangkan 'Coffin Dance Meme' di sini.)
Setibanya di dokter...
"Tidak ada yang parah, hanya demam biasa dan pilek." jelas Izca.
Glinea menghela nafas lega. "Syukurlah. Kukira dia bakalan jadi zombie."
"Kenapa lu percaya banget sama zombie sih?" tanya Arie skeptis.
"Oh iya, boleh sekalian suntik nggak? Soalnya belakangan ini Arie sibuk." pinta Glinea.
"Boleh, nanti dimasukkan vitamin juga ya." balas Izca.
Arie yang mendengar itu langsung protes. "Nggak mau! Nggak mau disuntik! Mau-nya minum obat aja!"
"Nnggggg..." Duco menatap pamannya dengan wajah datar.
"Apa sih, Duco?! Jangan menatapku seperti itu!" sembur Arie tidak terima.
Arie menghela nafas dan menunduk malu. "Di dunia ini kan ada orang yang alergi jarum suntik, jadi harus dipikirkan juga..."
"Ara ara, jangan bilang kalau kamu takut disuntik ya." Izca sudah membuka celana Arie untuk menyuntik pantatnya.
"AAAAAAAAAAAARGH!"
Duco yang melihat kejadian itu langsung terdiam seketika, kemudian terdapat empat pilihan di kepalanya:
(Segitiga) Pukpuk
(Lingkaran) Kasihan
(Silang) Doubt
(Kotak) RIP Paman
Sepulang dari dokter...
"Aku kasihan sih, tapi itu demi kesehatan dia juga." Glinea hanya tersenyum miris mendengar tangisan Arie yang sedang meratapi nasib. "Ayo Duco, kita belanja untuk makan siang dan makan malam ya."
"Grini, (b)eli donat." ujar Duco.
"Donat? Buat apa, Duco?" tanya Glinea penasaran.
"Duco mau (h)ibur Paman Ari, nanti Duco dan Paman Ari makan donat sama-sama." jelas Duco.
"Hibur Arie dengan makan donat bersama ya? Wah, kamu baik banget deh, Duco. Aku yakin Arie pasti senang." Glinea mengusap kepala Duco. "Nanti kita beli setelah belanja ya."
"Baik!"
Beberapa menit kemudian...
"Nah, ayo kita beli donat buat Arie." ujar Glinea setelah belanja.
"Donat!" seru Duco senang.
Kemudian Glinea melihat penjual donat keliling bermobil yang terlihat tidak ada pelanggan. "Hmm, coba ke situ aja deh."
"Permisi, saya pesan donat selusin." pinta Glinea.
"Oh, tunggu sebentar ya."
Sang penjual menaruh sekotak donat pesanan mereka di atas meja, kemudian dia menyodorkan donat berbentuk hati yang dilumuri krim vanila dan taburan choco chips di dalam wadah kertas pada Duco. "Ini buat anaknya."
"Waaah..."
Duco mengambil donat hati itu dan berniat memakannya, tapi...
"Eh bentar!" seru si penjual donat. "Jangan dipegang."
"Hah? Kenapa? Masih panas ya?" tanya Glinea bingung.
"Bukan mbak, itu..." Si penjual menggantung sesaat. "Do nut touch."
Suasana hening.
'Pantas saja toko ini sepi.' batin Glinea skeptis.
Si penjual berkeringat dingin. 'Pelanggan ke-44 juga tidak tertawa.'
Setelah belanja...
"Nah, Arie sudah minum obat dan tidur. Sekarang aku akan bersihkan rumah. Panggil saja kalau butuh sesuatu."
Duco memperhatikan Glinea yang mulai melakukan pekerjaan rumah, kemudian dia teringat kenangan masa lalu.
"Duco, kamu main saja ya. Papa bisa kerjakan sendiri." ujar ayah kandungnya yang sedang membersihkan halaman rumah.
"Grini, (s)abun." Duco memegang kotak berisi sabun bubuk.
"Hmm? Kenapa, Duco?" tanya Glinea.
"Duco tak mau main, Duco mau (b)antu Grini." balas Duco.
Glinea hanya terdiam mendengar itu, kemudian dia langsung memeluk Duco dengan wajah senang. "Waaah, boleh banget~ Aku sangat senang kamu mau bantuin~"
Sejam kemudian...
"Urgh, akhirnya selesai juga bersih-bersihnya..." Glinea yang duduk di sofa memeluk Duco di pangkuannya. "Tapi berkat Duco, semuanya jadi cepat selesai. Makasih ya, Duco~"
"Duco bantuin bersih-bersih? Tumben." komentar Arie yang baru datang dengan poni rambut diikat.
Duco langsung shock melihat penampilan Arie yang sedikit berubah.
"Lho, sudah bangun?" tanya Glinea.
"Dari tadi, udah jam 4 dan aku kenyang tidur." jawab Arie datar.
"Tapi syukurlah, kamu terlihat jauh lebih baik dari yang tadi pagi." komentar Glinea lega.
"Iya, berkat disuntik jadi lebih cepat pulih." balas Arie yang tidak menyadari ada botol semprotan di sebelah wajahnya dan-
PSSSHH!
"Uhuk uhuk! Duco! Kenapa Paman disemprot parfum?!" sembur Arie tidak terima.
"(Huweee!) (K)amu (s)iapa?! Paman Ari (m)ana?! (Huweee!)" pekik Duco yang memegang botol parfum dan setengah nangis.
"Duco, tenanglah! Ini Paman lho! Nih!" Arie segera melepas ikat rambut di poninya.
"Ah, Paman Ari!" seru Duco senang sambil melempar botol parfum.
Glinea malah cekikikan melihat kejadian itu.
Ketika mereka bertiga sedang makan donat bersama, ponsel Glinea berdering dan di layarnya terlihat tulisan 'Manager Ily calling'.
"Ily? Ada apa ya?" Glinea mengangkat panggilan. "Halo?"
"Glinie, kita ada masalah!" seru Ilia panik. "Barusan ada yang maksa pesan meja untuk 12 orang untuk jam 7 malam! Kita kekurangan orang nih!"
Glinea langsung kaget. "Heeh?! Kenapa nggak ditolak aja?"
"Aku udah nolak, tapi orangnya maksa banget!"
"Ya udah, nanti aku segera ke sana!" Glinea menutup panggilan.
"Pergi aja, kami nggak apa-apa di sini." usul Arie.
"Tapi masalahnya kamu masih sakit dan Duco nggak ada yang ngurusin, kalian nggak bisa ditinggalin. (Udah gitu si Molf sama Zen lama banget pulangnya.)" balas Glinea cemas.
"Ada kok yang bisa gantiin kamu buat jagain kami." Arie mengeluarkan handphone. "Aku udah kirim pesan ke orangnya, nanti juga datang ke sini."
"Hah?" Glinea malah kebingungan.
JENG JENG!
Tumma yang memakai gaun maid berwarna kuning sudah datang ke rumah Arie.
"Halo, terima kasih telah menggunakan Tomi Maid Servi-"
"Ganti baju sono." potong Glinea sinis.
Kemudian...
"Yee dia marah, padahal cuma bercanda doang." keluh Tumma setelah mengganti pakaiannya.
"Lagian ngapain juga pake crossdress?" komentar Arie skeptis.
"Ya udah, aku bawa monopoli nih biar nggak bosan."
Duco langsung berbinar-berbinar melihat perangkat monopoli yang dibawa Tumma.
"Monopoli ya? Udah lama nggak main." gumam Arie.
"Yah, lumayan untuk bersantai." balas Tumma.
Duco menaruh salah satu pion di kepalanya. "Main! Main!"
"Ya udah, mending kita main aja. Kalau tidur lagi malah nggak bisa tidur." ujar Arie sambil mengambil pion lain.
"Main! Main!" seru Duco antusias.
"Aku cukup percaya diri bisa menang, karena aku selalu menang." (Tumma)
"Jangan terlalu yakin deh, ayo adu hoki sini." (Arie)
Setelah itu...
Dan hasilnya adalah:
Tumma
Utang: Banyak
Uang: Orang miskin mendadak
Arie
Utang: Nggak ada
Uang: Udah kayak 'Sultan'
Tumma langsung pundung di tempat dan di-'pukpuk' oleh Duco.
"Kami pulang." sapa Molf dengan wajah memerah, kepala berasap, dan hidung disumbat tisu.
"Oh, selamat da-" Arie langsung kaget melihat kondisi sepupunya. "Molf, kenapa wajahmu merah begitu?!"
Molf memegangi kepalanya yang pusing. "Benarkah? Mungkin hanya kelelahan saja."
"Kelelahan? Jelas-jelas kau sakit, Molf." ralat Tumma risih.
"Papa (s)akit?" tanya Duco yang memegangi baju Molf.
"Sakit?" Molf terdiam sesaat.
Tiba-tiba dia langsung protes. "Aku tidak sakit! Ini hanya kelelahan!"
"Nggak usah mengelak! Tisu di hidung itu artinya kau sedang pilek, bodoh!" sembur Zen di belakang Molf.
"Bukan! Ini bulu hidung! Bulu hidung!" (Molf)
"Itu jelas-jelas tisu! Tiduran aja sono!" (Arie dan Zen)
'Mbek! Aku tidak sakit! Mbek!'
'Moo! Bulu hidung! Moo!'
Duco malah membayangkan Molf dan Arie menjadi domba dan banteng yang saling membantah satu sama lain.
Molf pun dipaksa berbaring di tempat tidur dengan tangan terikat dan kepala dikompres, tapi dia masih nggak mau tidur sampai tengah malam.
Zen melipat tangan. "Tidur, Molf. Jangan sampai aku melakban mulutmu lagi."
"Aku benar-benar tidak apa-apa!" seru Molf.
"Ya ampun. Orang lain mah senang disuruh istirahat, kamu malah nggak mau." komentar Glinea yang baru pulang kerja.
"Ta-tapi..." Molf langsung bangun. "Kalau aku sakit... Aku takut tidak ada yang mengurus Duco dan Arie..."
Mereka yang mendengar itu hanya terdiam.
Arie mengurut kening. "Sebenarnya aku senang kau perduli padaku, tapi kalau sakit tetap harus istirahat. Kalau kau masih ngotot nggak mau istirahat, kami akan memaksamu."
"Zen, tabok saja wajah Molf kalau dia ngeyel. (Besok kukasih cabe sebungkus.)" perintah Arie.
"Oke." balas Zen datar.
Molf langsung berkeringat dingin mendengar itu.
"Nah, karena Molf sudah selesai diurus, sekarang tinggal mengurus Arie." Tumma mendorong Arie keluar dari kamar Molf.
Glinea juga ikut membantu Tumma dengan menarik tangan Arie. "Memangnya kamu pikir kami bakalan lupa sama kamu? Kamu itu masih belum sembuh, jadi sebaiknya tidur juga ya."
"Urgh..." Arie hanya pasrah.
Zen mulai menabok wajah Molf dan mereka berdua diperhatikan Duco yang masih berada di kamar.
"Hentikan! Hidungku bisa bengkak nanti!" pekik Molf.
"Papa tolong tidur. Duco tak (s)uka lihat Papa (s)akit." pinta Duco dengan wajah sedih di samping tempat tidur.
Molf pun hanya terdiam mendengar itu dan mulai pasrah. "Baiklah, Papa menyerah. Papa akan istirahat agar nanti kita bisa bermain lagi."
"Dan Zen, tolong jangan pukul wajahku lagi."
"Nggak." Zen kembali menabok wajah Molf.
To Be Continue, bukan Tie Bleed Cavy (?)...
Itu aja deh... ._./
Review! :D
