Balas Review! :D

Hiba: Tidak, penjaga mereka bisa ngamuk nanti. Ini udah lanjut...

RosyMiranto18: Abangku itu 5 tahun lebih tua, bulan Agustus nanti umurnya 25.

Luthias: "Aku selalu berusaha menjelaskan sesuatu selengkap mungkin."

Salem: "Ada beberapa hal yang tidak bisa kujelaskan."

Thanks for Review.

Happy Reading! :D


Chapter 267: SuPercEntomologist


Arie yang baru bangun tidur berjalan menuju dapur dengan wajah mengantuk dan mata setengah terbuka.

"Selamat pagi." Suara gadis yang terdengar familiar menyapa Arie ketika dia tiba di depan pintu dapur.

"Kenapa kau selalu datang pagi-pagi? Tidak ada yang memintamu memasak di sini." gerutu Arie dengan suara serak.

"Memang, tapi orangtua-mu ingin memastikan ada yang memasak selama mereka pergi (karena kau tidak bisa memasak dan Molf selalu menghancurkan sesuatu di dapur saat memasak)." balas Glinea santai. "Tapi jika kau mau, aku ingin melihat bagaimana kau memasak."

"Cih, baiklah!" Arie segera mencuci wajah dan menyiapkan sesuatu untuk memasak.

Dua butir telur, dua lembar bacon, dan... Cetakan berbentuk tengkorak?

"Itu hanya salah satu barang tidak berguna yang didapat Zen dari hadiah lottery." jelas Arie sebal.

Oh, oke.


Kompor dinyalakan, minyak dipanaskan dalam wajan, cetakan di atas wajan, kuning telur di dalam mata tengkorak dan putih telur mengisi sisa ruang cetakan.

Dan hasilnya...

Glinea berusaha menahan tawa melihat hasil masakan Arie yang mengenaskan.

Ya, mengenaskan karena telur buatannya berbentuk seperti kepala monster yang minta dibunuh.

Arie yang sudah kesal beranjak pergi ketika ditahan oleh Glinea.

"Oh ayolah Arie, jangan cemberut gitu deh. Kamu kan sudah berusaha." hibur Glinea yang mengambil garpu dan membuat potongan kecil pada telur itu untuk dicicipi. "Lagipula rasanya tidak buruk kok."

Kemudian dia menyodorkan potongan telur yang lain pada Arie. "Nah, cobalah."

Arie hanya blushing dan memakan telur itu.


Setelah selesai sarapan, mereka berdua merapikan ruang makan.

"Oh iya, ada sisa di pipimu tuh." Glinea mendekati Arie dan...

Cup!

"Sampai jumpa!" Glinea langsung kabur sebelum Arie sempat menghajarnya.


Setelah itu...

'Hari Ayah Internasional selalu dirayakan setiap minggu ketiga di bulan Juni...' Arie menatap kalender (yang menunjukkan tanggal 21 bulan 6) di meja sesaat, kemudian mengambil foto keluarga di sebelahnya. 'Biasanya aku selalu membersihkan seisi rumah sepanjang hari, tapi bisa saja dia meminta hal lain.'

Dia menaruh kembali foto itu bertepatan dengan pintu depan yang dibuka.

"Cepat sekali."

"Kami pulang cepat karena tidak banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." Femuto merangkul Arie. "Ini Hari Ayah, bagaimana dengan liburan kecil hanya untuk ayah dan anak?"

Arie hanya menghela nafas. "Terserah Ayah saja..."

"Hali Ayah?"

Arie langsung kaget dan segera menengok ke belakang.

"Duco?!"

"Oh, itu anakmu?" tanya Femuto.

Arie buru-buru menyanggah dengan panik. "Bukan-bukan-bukan-bukan-bukan!"

"Paman Ari kenapa?" tanya Duco bingung.

Femuto hanya tertawa kecil. "Tenang saja, sebenarnya Ayah sudah tau tentang Duco. Molf pernah cerita kalau dia ingin mengadopsi anak, lagipula kau tidak perlu buru-buru memberiku cucu jika sudah menikah nanti."

Arie menghela nafas lega.

"Oh iya, Duco." Femuto berjongkok di depan Duco. "Hari Ayah adalah hari khusus untuk menghormati jasa seorang ayah, tapi kamu tetap bisa menyayangi ayahmu setiap hari."

"Dia ayahku dan paman Molf, namanya Femuto." Arie menjelaskan tentang pria di depan Duco. "Kau bisa memanggilnya 'Kakek' jika kau mau."

Duco ber-'oh' ria. "Duco (s)enang (t)emu (K)akek Femu!"

Femuto tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Duco. "Sepertinya kau cepat belajar ya."

"Duco, sebaiknya kamu bersama Zen. Paman dan Kakek ada urusan pribadi." pinta Arie.

"Iya, Paman." Duco segera pergi meninggalkan mereka.

"Baiklah, sebaiknya kita segera bersiap dan langsung berangkat." Femuto berjalan pergi.

"Sekarang juga?" tanya Arie skeptis sambil mengikuti ayahnya.

Mereka pun membicarakan banyak hal selama berjalan di koridor.


Sementara itu...

"Urgh... Aku tidak suka jika harus membawa Duco saat ingin jalan-jalan..." keluh Zen sambil menggandeng tangan Duco.

Duco mulai sedih setelah mendengar itu. "Papa Zen tak mau Duco jalan sama Papa?"

"Bukan begitu!" seru Zen panik karena lupa dia sedang bersama anak itu.

Dia pun menggaruk kepala sambil memutar mata. "Sebenarnya aku ingin bertemu teman nanti, hanya saja aku merasa tidak nyaman jika kamu ikut."

"Jadi tolong kamu diam dan menurut selama ikut denganku ya." pinta Zen.

"Iya, Papa." balas Duco.


Mereka pun terus berjalan sampai tiba di depan markas Reha yang sedang ramai.

"Yo Zen!" sapa seseorang di antara mereka.

"Oh, hay Lectro." balas Zen.

"Anlo." timpal Duco.

Lectro melihat keberadaan Duco. "Siapa dia? Adik barumu?"

"Umm... Sebenarnya..." Zen mulai gugup dan memelankan suara. "Duco itu anakku dengan Molf."

Lectro hanya manggut-manggut, kemudian dia baru menyadari sesuatu.

"Heeeeeh?! Sejak kapan lu punya anak?!"

Semua orang langsung menengok ke arah mereka.

"Zen punya anak?"

Mereka semua segera mengerumuni yang bersangkutan untuk menanyakan hal tersebut.

"Lu nikah sama siapa?!"

"Punya anak nggak bilang-bilang!"

"Gimana rasanya dihamilin cowok?" (Yang nanya ini 'si ratu fujo'.)

Zen yang berusaha menjawab pertanyaan mereka merasakan cengkeraman erat di jaketnya. Ketika dia menengok ke bawah, terlihat Duco yang mulai menangis ketakutan dan membuat Zen langsung menyadari satu hal: Duco takut dikerumuni banyak orang.

"Bisakah kalian diam dan tidak berkerumun?! Kalian membuat Duco takut!"

Mereka pun segera menjauh saat itu juga.

Zen berjongkok di depan Duco dan membiarkan anak itu memeluknya, kemudian dia menepuk punggung Duco untuk menenangkannya.


Setelah beberapa penjelasan kemudian...

"Jadi tolong jangan ada yang bertanya lagi, mengerti?" Zen melipat tangan dengan wajah serius. "Sekarang aku permisi dulu, karena ada seseorang yang menunggu di markas."

Zen menggendong Duco dan membawanya terbang meninggalkan markas Reha.


Ketika mereka sampai di markas Garuchan, terlihat Mathias dan Andersen di depan pintu gerbang.

"Lho, ada apa ini?" tanya Zen penasaran sambil menurunkan Duco.

"Oh, ada Zen rupanya." sapa Mathias. "Kami sedang membicarakan buku baru yang ditulis Køben."

Andersen menggaruk kepala. "Ya, aku memiliki kerja sambilan sebagai penulis buku."

Zen hanya manggut-manggut, tapi dia mulai menyadari sesuatu.

'Aneh sekali. Kenapa aura-nya terasa berbeda?'

Duco menarik jaket Zen seperti ingin memberitahu sesuatu.

"Ya, Duco?" tanya Zen sambil berjongkok untuk menyamai tinggi anak itu.

Duco mendekatkan wajahnya di dekat telinga Zen. "(W)ajahn(y)a mirip Ruti."

"Sepertinya kau benar." Zen berdiri dan menghampiri kedua orang jabrik itu. "Ada satu hal yang ingin kutanyakan."

"Ya?"

"Bagaimana cara kalian menyebut 'terima kasih' dalam bahasa ibu kalian?"

"Tak."

"Qujanaq."

Salah satu dari mereka langsung menutup mulut dan berbalik dengan wajah panik.

'Ketauan!'

"Greeny, kamu ngapain nyamar jadi Aniki?" tanya Andersen bingung.

"Aku sudah menduganya." komentar Zen sinis.

"Ruti men(y)ama(r)?" timpal Duco.

'Sial... Tidak kusangka anak itu bisa tau.' Luthias hanya tersenyum canggung dan menggaruk pipi dengan gugup. "Belakangan ini Aniki sibuk, jadi aku ingin menggantikannya sebentar."

"Aku menghargai usahamu." Mathias yang asli muncul di belakang Luthias dan membuatnya semakin gugup. "Tapi pastikan kau mencuci bajuku setelah memakainya."

"Ruti (p)un(y)a dua kakak?" tanya Duco.

"Sebenarnya saudaraku lebih dari dua." ralat Luthias.


Sekarang Duco dan Zen sedang berada di kamar Luthias untuk mendengarkan cerita tentang 'Danish Family' dari ketiga orang jabrik itu.

"Yah..." Luthias (yang sudah ganti baju) menaikkan kacamata. "Keluarga kami ada sebelas, dan Ani- Mathias yang tertua."

"Yap." Mathias mengangguk dan mendekatkan wajahnya di depan Duco. "Dan kau bisa memanggilku Mathy jika kau mau."

"Moti?"

Mathias dan Zen langsung sweatdrop mendengarnya.

"Lebih terdengar seperti Monty." Luthias berusaha menahan tawa.

"Setidaknya dia tidak memanggilmu 'Mati' atau 'Matic', Aniki." komentar Andersen ikutan sweatdrop. "Oh iya, namaku Andersen Søløve."

Zen mengerutkan kening. "Rasanya aku pernah mendengar nama itu sebelumnya."

"Itu juga nama pena yang kugunakan pada buku karyaku, aku sudah pernah bilang kalau aku penulis buku." Andersen menggaruk kepala. "Sebenarnya nama depanku berasal dari nama belakang penulis buku terkenal asal Denmark, Hans Christian Andersen."

Zen manggut-manggut. "Pantas saja..."

Duco berdiri dari pangkuan Zen dan mendekati Andersen dengan antusias. "Duco juga mau jadi (pen)ulis (se)pe(r)ti Andolsen!"

Andersen tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Duco. "Kamu bisa kok, asalkan kamu belajar dengan rajin."

"Hey Zen, Duco itu umurnya berapa tahun sih?" bisik Mathias risih.

"Sekitar delapan tahun, mungkin." jawab Zen seadanya.

"Oh iya, kebetulan aku membawa buku baru yang sudah selesai kutulis." Andersen membuka tas selempang yang dibawanya dan mengeluarkan buku bersampul belang harimau.

"Nah, ini untukmu. Kamu bisa membacanya di rumah." Andersen memberikan buku itu pada Duco.

Duco mengambil buku itu dengan wajah kagum, kemudian dia tersenyum riang. "Makasih, Andolsen!"

Jleb!

Panah imajiner 'the cuteness is over nine thousand' menusuk dada Andersen.

"Boleh kujadikan Duco adik ba-"

"Nej." potong Mathias dan Luthias dengan wajah suram.

"Molf bisa saja membunuhmu jika dia mendengar itu." timpal Zen datar.

"Baiklah, aku berubah pikiran."

Duco hanya kebingungan dengan percakapan keempat orang dewasa itu.


Kemudian...

"(K)alian tak mau main sama Duco?"

Luthias mengusap kepala Duco. "Sebenarnya kami mau, tapi kami cukup sibuk sekarang. Kami akan usahakan lain kali."

"Baiklah, saatnya pulang." Zen mengangkat Duco dan menggendong anak itu di pundaknya.

"Dadah!" Duco melambaikan tangan ketika Zen mulai bersiap untuk terbang.

"Sampai jumpa."

Mereka pun pergi meninggalkan markas Garuchan.

"Ngomong-ngomong, Køben." Luthias melirik Andersen dengan senyum 'manis'. "Nanti akan kuberitahu Zea-san kalau kau mau mengadopsi adik baru."

"Beritahu saja, Greeny. Aku yakin Zealand akan memukulnya saat mendengar itu nanti." timpal Mathias.

Andersen langsung tersenyum canggung mendengar perkataan mereka tadi.


To Be Continue, bukan Therapy Beat Craft (?)...


Udah, aku capek...

Review! :D