Balas Review! :D
Hiba: Terserah. Ini udah lanjut...
RosyMiranto18: Ya, aku memang udah lama nggak lihat jalan karena 'virus itu'.
Arie: "Meng itu cara Duco menyebut 'meong' yang merupakan suara kucing."
Lisa: "Aku sedang menghemat uang."
Arta: "Aku kelelahan karena sering membantu ibu-ku mengurus toko tanaman ketika masih sekolah, jadi aku mudah ketiduran di kelas."
Mathias: "Sepatu itu buatan Alpha, tidak heran kenapa Tei marah padanya."
Thanks for Review.
Happy Reading! :D
Chapter 273: Dragon-calypse (Attack of The Fifty Foot Dragon)
Pada tanggal 2 November, Glinea terlihat sibuk mengecek daftar yang dia pegang.
"Hmm..." Glinea berpikir sejenak. "Sepertinya aku butuh bantuan."
Kemudian datanglah Tumma dan Hamlet yang baru tiba di rumah Arie.
"Kalau kau memang butuh bantuan untuk belanja, seharusnya kau bertanya baik-baik." keluh Tumma ketika dia dan Hamlet diseret (dengan kerah baju yang ditarik) oleh Glinea sepanjang perjalanan menuju supermarket.
"Memangnya kamu tidak menyiapkan sesuatu untuk ulang tahun Arie?" tanya Glinea.
Tumma hanya memutar mata. "Tapi tetap saja..."
Hamlet mulai penasaran dengan sesuatu. "Tumma, apa itu ulang tahun?"
Glinea segera menjatuhkan kedua orang yang dia seret dan menatap Hamlet dengan wajah terkejut. "Kamu sama sekali tidak tau ulang tahun?!"
Tumma segera berdiri dan menarik Glinea menjauhi Hamlet. "Jangan mengharapkan sesuatu darinya. Maksudku, bayangkan saja."
"Selamat..." Hamlet yang sedang tepuk tangan tiba-tiba menggebrak meja dengan wajah marah. "Ulang tahun, Tumma!"
Tumma menghela nafas berat. "Wajahnya terlihat lebih mirip marah daripada bahagia."
Glinea hanya terdiam mendengar itu.
Di tempat lain, Ney dan Duco baru pulang sekolah dan berjalan bersama Zen yang menjemput mereka.
Ketika melewati toko perhiasan, Duco berhenti di depan toko itu dan menatap perhiasan yang dipajang di sana.
Zen dan Ney menyadari hal itu dan mereka menghampiri Duco.
"Ada apa, Duco?" tanya Ney.
Duco menunjuk toko di depan mereka. "Duco mau beli."
"Memangnya untuk apa? Hadiah ya?"
Zen teringat sesuatu. "Oh, kebetulan minggu depan Arie ulang tahun. Mungkin kita bisa belikan sesuatu untuknya."
Mereka pun masuk ke dalam toko.
Beberapa menit kemudian, Duco memilih tiga kalung emas dengan liontin permata berwarna merah, ungu, dan hitam.
Tapi ketika Zen berniat membayar, dia langsung shock dengan harga total barang yang dibeli.
Ternyata harganya satu juta dua ratus ribu Peso.
"Apa ini tidak salah?" tanya Zen agak ragu sambil menunjukkan struk di tangannya.
"Oh maaf, itu untuk pembeli lain." Sang kasir segera menukar kertas struk.
Tapi harga asli dari barang itu membuat Zen semakin shock.
Harganya memang lebih murah (hanya lima puluh persen harga sebelumnya), tapi tetap saja...
'HARGANYA TERLALU MAHAL!' batin Zen frustasi.
Tangannya merogoh dompet dari saku celana dan memeriksa isinya, di dalamnya hanya ada uang recehan dalam bentuk kertas dan koin.
Pada akhirnya dia mengeluarkan handphone dan menelepon seseorang. "Halo Molf, kau sudah pulang? Aku punya masalah keuangan sekarang..."
Setelah setengah jam kemudian, Duco sudah berada di rumah dengan kotak kecil berisi ketiga kalung yang dia inginkan (dan tentunya dibelikan oleh kedua ayahnya, walaupun Molf yang membayar sebagian besar harganya). Dia mengambil kalung dengan liotin permata ungu dan memberikannya pada Molf.
"Untukku?" Molf mengambil kalung itu.
Duco mengangguk. "Hadiah untuk Papa."
Molf hanya tersenyum dan mengusap kepala gadis itu. "Terima kasih, Duco."
Kemudian Duco memberikan kalung dengan liotin merah pada Zen. "Ini untuk Papa Zen."
Zen hanya menghela nafas, dia mengambil kalung itu dan memasukkannya ke saku celana. "Kau terlalu baik."
"Duco akan simpan ini untuk ulang tahun Paman Ari." Duco menutup kotak dengan satu kalung yang tersisa di dalamnya dan pergi ke kamar.
Tiga hari kemudian...
"Arie, bisa kita bicara sebentar?"
"Apa ada, Molf?"
"Besok aku akan bekerja seharian penuh, selain itu..." Molf menaruh tangannya di pundak Duco. "Apa kau bisa membuat pesta ulang tahun untuk Duco sehari sebelum ulang tahunmu?"
Arie memperhatikan Duco yang menatapnya dengan penuh harap, kemudian menghela nafas panjang. "Baiklah, setidaknya sampai kita tau hari ulang tahunnya yang asli."
Duco tersenyum senang dan memeluk pamannya.
"Halo~ Apa ada orang di rumah? Arie?" Glinea muncul di belakang pintu dan masuk ke dalam ruangan.
Arie melipat tangan. "Ada perlu apa?"
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, ini mengenai rencana ulang tahunmu." Glinea menggaruk pipi. "Apa aku boleh membuatkan kue ulang tahun untukmu?"
Arie memutar mata sesaat, kemudian mengangkat bahu. "Tentu, aku tidak keberatan."
Arie mencium pipi Glinea dan membuat gadis itu langsung terjatuh ke lantai.
"Selamat malam." Arie berjalan pergi meninggalkan ruangan.
"Grini te(r)li(h)at bahagia." komentar Duco.
"Ya." Molf tersenyum tipis. "Sepertinya dia sangat senang Arie bersikap baik padanya, hal itu memang jarang terjadi."
"Aku tidak akan membersihkan pipiku lagi..." gumam Glinea sambil memegangi pipinya yang dicium Arie dan tertawa bahagia.
Pada tanggal 10 November, Duco sedang memperhatikan Arie dan Glinea menghias ruang tengah untuk pesta ulang tahunnya.
"Apa kau sudah selesai, Glinea? Mereka akan segera kemari." tanya Arie yang baru saja menaruh nampan berisi jus dingin dalam teko dan beberapa gelas.
Glinea selesai menggantung hiasan kertas. "Nah, sempurna! Semuanya terlihat sempurna."
"Tidak semuanya." Arie memberikan kain pada Glinea.
"Kain? Aku tidak mengerti." Glinea kebingungan.
Arie memberinya tatapan tajam dan Glinea langsung menyadari sesuatu.
"Nah-uh. Aku sudah bilang aku tidak akan membersihkan pipiku dan aku serius!" Glinea memalingkan wajah dan terlihat banyak kotoran di pipinya.
Arie pun tersenyum licik, Glinea melirik sesaat dan menyadari bahaya yang akan menimpanya.
"Cukup, Glinea! Aku akan membersihkan pipi itu!" Arie mengejar Glinea yang berlari menghindarinya.
Glinea yang berusaha kabur terus di-teleport ke sebelah Arie berkali-kali.
"Hentikan!"
"Tidak akan!"
Duco hanya memperhatikan di belakang Arie ketika kejadian itu masih terus berlangsung, sampai Ney muncul di sebelah Arie menggantikan Glinea.
Ney meniup terompet kecil di mulutnya dan langsung memeluk Duco. "Happy birthday!"
Glinea yang muncul di pojokan merasa sudah aman dan berniat pergi, tapi wajahnya malah disemprot air dan dibersihkan oleh Zen.
"Waktunya pesta! Wuuhuuu!" Ney lompat-lompat kegirangan.
Kemudian teman-teman Ney datang membawa hadiah.
"Untuk Duco?" tanya Duco.
"Of course, birthday girl." Arthur memberikan hadiahnya pada Duco.
Tigwild menaruh hadiahnya di atas hadiah Arthur. "Selamat ulang tahun, Duco."
Anak-anak yang lain ikut menumpuk hadiah mereka di tangan Duco sampai dia tidak kuat mengangkat semua hadiah itu dan terjatuh dengan hadiah berserakan di lantai. Mereka saling berpandangan dengan wajah heran.
"Kau tidak tau tentang mendapat hadiah di hari ulang tahun?" tanya Frans.
Duco memasang wajah bingung dan menggaruk kepala. "Ini ulang tahun pertama Duco di sini."
"Bicara soal hadiah, Tumma satu-satunya orang yang sering memberikanku hadiah ketika aku merayakan ulang tahun di saat kami masih kecil." Arie menghela nafas dengan wajah frustasi. "Dan dia selalu memberikanku sebuah buku, hampir setiap tahun."
Tumma yang baru tiba di belakang Arie langsung menyembunyikan hadiah yang dia bawa untuk Duco di belakang punggungnya dan segera menjauh dari lokasi saat itu juga, suara domba bisa terdengar di tempat itu ketika dia melakukannya.
Beberapa menit kemudian, Duco sudah membuka hadiah dari teman-temannya dan dia sedang memegang sebuah selimut berwarna ungu dari hadiah yang baru dia buka.
"Duco (s)uka s(el)imut (b)aru (d)ari Nigu. Makasih, Nigu!" seru Duco dengan wajah senang dan memeluk Nigou yang sedang mengobrol dengan Della.
Nigou mendorong pelan Duco untuk melepaskan pelukan. "Ayolah, Duco. Kau sudah berterima kasih padaku sebanyak lima belas kali, aku jadi sedikit malu."
Duco tertawa kecil. "Duco tau Duco terlalu banyak bi(l)ang 'makasih', tapi Duco (s)angat (s)enang. Duco harap pesta ini bisa bertahan s(el)aman(y)a."
DOR!
Flore tak sengaja memecahkan balon yang dia tiup (dan mengagetkan Tigwild yang berada di belakangnya sampai membuat anak itu melompat ke atas televisi) dan menengok ke arah Duco. "Nah-uh!"
Gadis kucing itu langsung mendorong Nigou dan Della ke samping sampai mereka jatuh terjengkang ke belakang. "Pesta tidak bisa berlangsung selamanya! Kamu harus pergi ke markas Papa-ku karena dia dan Mama-ku punya kejutan spesial untuk ulang tahunmu!"
"(S)ungguh?!" Duco pun langsung pergi keluar dan tak sengaja menabrak Flore sampai terjatuh.
"Aku memang bilang pesta tidak bisa berlangsung selamanya, tapi tidak perlu diakhiri sekarang!" seru Flore ketika suara pintu dibanting terdengar.
Di markas Garuchan...
Teiron membawa nampan yang ditutupi tudung saji ke taman markas dimana Lisa sedang merapikan meja di sana.
"Tiron!" sapa Duco yang baru datang.
"Oh, itu dia sang gadis yang berulang tahun. Selamat ulang tahun, Duco." ujar Lisa.
"Makasih!" balas Duco antusias.
"Saat Flore bilang kamu ulang tahun, aku tidak bisa menahan diri untuk mencoba resep yang kupelajari dari ibuku." Teiron menaruh nampan di atas meja dan mengangkat tudung saji yang menutupi makanan yang dimaksud. "Ini dia!"
Terlihat sebuah pie labu berukuran sedang dengan taburan choco chips di atasnya.
Duco langsung terkesima dengan makanan yang tersaji di depannya.
Setelah itu...
"Terima kasih banyak!" Duco melambaikan tangan pada mereka berdua ketika dia meninggalkan markas Garuchan sambil membawa pie itu.
"Pertama Duco mendapat banyak hadiah dari teman-teman, dan sekarang Duco mendapat kue! Ihihi, hari yang luar biasa!"
BRUK!
Duco bertabrakan dengan seseorang sampai membuat gadis itu jatuh terduduk dan pie yang dibawanya terlempar, dia segera menyelamatkan pie itu sebelum jatuh ke tanah.
Seorang pria berambut coklat merasa pusing dan terlihat burung yang terbang di atas kepalanya, dia menggeleng cepat dan memegangi kepala, di depannya terlihat berapa bungkus roti dan beberapa buah buku yang berhamburan di tanah.
Duco yang mengenali orang itu merasa bersalah karena telah menabraknya dan datang menghampiri. "Umm... Maaf, Andolsen."
"Tidak apa-apa. Apa yang membuatmu begitu bersemangat?" tanya Andersen sambil memunggut barang-barangnya yang terjatuh untuk dimasukkan ke dalam kantung kertas.
Duco ingin membantu Andersen tapi tidak tau dimana harus menaruh pie yang dia pegang, pada akhirnya dia hanya mengangkat bahu dan memakan pie itu.
"Furo bilang Duco harus datang temui Tiron, jadi dia bisa beri kue karena Duco ulang tahun." jelas Duco dengan mulut penuh sambil membantu Andersen memunggut barang miliknya.
"Oh, selamat ulang tahun, Duco! Jika saja aku bisa memberimu sesuatu. Umm..." Andersen berpikir sejenak dan mendapat ide. "Oh!"
Andersen pun mencari sesuatu dari dalam kantung kertas yang dia bawa dan memakaikan sebuah topi dari kertas di kepala Duco. "Ini dia!"
Duco memegang topi itu. "Benarkah?"
"Tentu! Semua orang harus mendapatkan hadiah yang menyenangkan di hari ulang tahun mereka!" balas Andersen.
Duco pun langsung memeluk Andersen.
"Have a great birthday, Duco." ujar Andersen yang berjalan pergi.
"Duco harap setiap hari adalah hari ulang tahun Duco..."
"Furo bilang Duco ulang tahun pada Papa dan Mama-nya, dan Duco dapat kue. Duco bilang pada Andolsen, dan Duco dapat topi."
Kemudian Duco mendengar suara bola memantul dan melihat Jean sedang bermain bola, gadis itu terdiam sesaat dan tersenyum licik. "Hmm... Duco ingin tau..."
"Anlo, Jen! Bola-nya sangat imut! Apa Jen tau kalau Duco ulang tahun?"
Beberapa menit kemudian, Duco berjalan sambil memainkan bola yang dia minta dari Jean. "Ihihi! Ini lua(r) (b)iasa!"
Tidak jauh dari situ, terlihat Vilhelm yang sedang duduk di kursi taman sambil membuat miniatur kapal. Duco melihat anak itu dan terkekeh.
"Anlo, Vil! Ini ulang tahun Duco!" seru gadis itu ketika muncul di belakang Vilhelm.
"Oh. Selamat ulang tahun, Duco." Vilhelm pun berjalan pergi sambil membawa miniatur kapalnya.
Duco terdiam sesaat. "Umm... Apa Vil tidak beri Duco sesuatu? Seperti hadiah ulang tahun?"
Vilhelm menggeleng. "Aku tidak punya apa-apa."
"Oh, bagaimana dengan benda itu? Duco akan mengambil-"
"Duco!" Tiba-tiba Arie muncul dan menarik kerah baju gadis itu sebelum dia sempat mengambil miniatur kapal Vilhelm. "Maaf, Vil. Sepertinya Duco sedikit terbawa suasana dengan pesta ulang tahun yang kubuat untuknya."
"Oh, tidak masalah... Se-Selamat ulang tahun, Duco!" Vilhelm meninggalkan mereka.
"Apa yang kau lakukan? Menuntut hadiah dari orang-orang?" tanya Arie setengah marah.
Duco menjatuhkan bola yang dia sembunyikan di belakang punggungnya, kemudian dia menggeleng cepat dan memegangi pipi.
"Oh, Paman benar. Duco tak tau kenapa Duco lakukan itu." Duco melepaskan topi di kepalanya. "Terima kasih telah sadarkan Duco. Sebaiknya Duco kembalikan topi Andolsen."
Arie yang mendengar itu tersenyum kecil. "Tidak masalah. Sampai jumpa di rumah nanti?"
"Terdengar bagus! Dadah!" Duco melambaikan tangan ketika Arie pergi. Setelah pria itu terlihat sudah menjauh, Duco memakai kembali topinya sambil terkekeh jahat.
"Siapa lagi yang punya hadiah untuk Duco?" Gadis itu mendesis sambil berkedip dengan kelopak mata vertikal dan lidah bercabang yang menjulur keluar.
Keesokan paginya, Arie terbangun dari tidurnya dengan wajah suram.
"Kenapa belakangan ini aku sering bermimpi dihujani pocky? Sungguh menyebalkan!" gerutu Arie yang keluar kamar untuk pergi mandi.
Ketika dia ingin ke kamar mandi dan melewati ruang tengah...
Terdapat tumpukan barang yang entah berasal dari mana dan terdengar dengkuran dari seseorang yang dia kenal, kemudian Arie mengangkat beberapa barang dengan sihir untuk memberinya jalan mencari pemilik dengkuran itu.
"Aku tidak percaya ini. Dari mana semua barang ini bera-"
Arie yang terbelalak dan mangap lebar menjatuhkan barang-barang yang dia angkat karena shock dengan apa yang baru saja dia lihat.
Duco tertidur di atas selimut tebal dengan tangan dan kaki yang menyerupai cakar reptil, ekor berwarna hitam melingkari tubuhnya yang tumbuh seukuran gadis remaja. Dia terbangun sambil menguap dengan suara mendesis, mulutnya yang terbuka memperlihatkan gigi taring yang memanjang dan lidah yang bercabang, kelopak matanya mulai terbuka dan warna mata Duco yang semula hitam berubah menjadi kuning dengan pupil tajam.
Arie yang melihat perubahan yang dialami Duco langsung memasang wajah horror.
"Apa yang terjadi pada Duco, Paman?" tanya Duco kebingungan ketika melihat refleksi dirinya pada cermin kamar Arie.
"Aku tidak tau!" balas Arie yang tengah membaca beberapa buku di kamarnya. "Duco, coba ingat lagi! Apa yang sedang kau lakukan kemarin?"
Duco memperhatikan kaki dan tangannya yang berubah, kemudian dia melihat benda-benda di kamar Arie yang berkilauan dari sudut pandangnya.
"Duco?" Arie muncul di depan Duco. "Apa yang kau lakukan setelah aku melihatmu?"
"Umm, Duco berbicara dengan..." Perhatian Duco teralihkan oleh globe di kamar Arie.
"Duco!" Arie segera mengangkat globe itu dengan sihir.
Duco sempat linglung sesaat. "Hah?"
"Kau berbicara dengan siapa?" tanya Arie.
Duco menggaruk kepala. "Oh, umm... Duco tak ingat. Oh, boleh Duco ambil benda bulat itu? Paman tak pakai kan?"
"Hah?"
Duco mengambil globe yang melayang untuk membawanya ke tumpukan barang di depan pintu kamar Arie yang dia bawa dari ruang tengah dan menaruhnya di atas tumpukan itu, kemudian dia mengambil sebuah buku dari rak paling rendah di dekatnya. "Bagaimana dengan buku ini?"
Arie segera teleport ke belakang Duco untuk mengambil buku itu dan mencegah Duco mengambilnya kembali dengan duduk di atas tumpukan barang milik gadis itu. "Duco, aku sangat khawatir padamu! Biasanya kau tidak begitu... Panjang tangan!"
Duco berhasil mengambil kembali buku itu. "Tanganku biasanya tidak sepanjang ini juga."
Duco menutup mulut karena suaranya yang berubah menjadi lebih berat. "Apa yang terjadi padaku?"
Arie pun mengusap dagu dengan wajah serius.
Di rumah Emy, mereka berdua sedang duduk di sofa dan Arie menampar tangan Duco karena mencoba mengambil setoples biskuit dari atas meja tanpa izin.
"Baiklah, apa masalah yang membuat kalian datang kemari?" tanya Thundy.
"Ini tentang Duco!" Arie kembali menampar tangan Duco yang ingin mengambil biskuit itu lagi. "Ada yang salah dengannya! *plak!* Biasanya dia setengah ukuran ini! *plak!* Dan dia terus mencoba untuk mengambil benda yang bukan *plak!* miliknya!"
"Baiklah, mari kita lihat." Thundy pun mulai memeriksa Duco.
Pertama dia menekan pipi Duco sampai mengeluarkan bunyi mendecit, mengetuk pelan kepalanya dengan telunjuk, lalu mengayunkan jam saku di depan wajahnya. Duco tertarik dengan jam itu dan menyeringai, tapi wajahnya berubah sebal ketika gagal menangkapnya.
"Hmm..." Thundy mengusap dagu. "Sepertinya Duco adalah naga yang mulai tumbuh besar, atau setidaknya itu yang kuketahui."
"Naga yang tumbuh besar?" tanya Arie bingung, Duco menggaruk punggung sambil menjulurkan lidah di sebelahnya. "Tapi itu tidak menjelaskan kenapa dia terus mengambil barang."
Duco sempat mencoba untuk mengambil pot bunga di dekat sofa dan Arie menghentikannya dengan memindahkan pot tersebut.
"Hati naga kebanyakan rentan terhadap keserakahan, pola makan yang stabil untuk mempercepat pertumbuhan. Ukuran yang lebih besar hanya akan membuat rasa lapar mereka meningkat." Thundy membuka sebuah buku dan memproyeksikan isi buku itu dengan sihir.
"Jika sifat ini tidak diawasi dan Duco terus mengambil barang..." Terlihat siluet naga kecil yang menyatu dengan benda-benda dan membentuk wajah makhluk yang mengerikan. "Maka dia akan terus tumbuh dan berubah menjadi monster."
Arie langsung terkejut mendengar itu. "Jadi maksudmu, semakin banyak benda yang dikumpulkan naga akan membuatnya semakin besar dan serakah? Tapi bagaimana kita bisa menghentikannya sebelum dia benar-benar lepas kendali?"
Thundy mengusap dagu. "Jika kau ingin menghindari kemungkinan terburuk itu, kau harus mencegahnya untuk menjadi semakin serakah."
Tapi tanpa diduga, Duco sudah mengambil semua barang di rumah Emy selagi mereka berdua berbicara. Thundy hanya memasang tatapan sinis kepada Arie yang malah tertawa canggung.
Arie pun mengelilingi kota untuk mencari Duco.
"Menjauhlah darinya, makhluk kasar!" Suara Edgar terdengar di taman kota.
Arie langsung menatap ngeri pemandangan di depannya.
"Duco ingin!" Duco (yang tubuhnya sudah tumbuh melebihi orang dewasa) mencoba merebut sepeda dari Edward yang dibantu oleh Edgar dan Salem.
"Kau tidak akan pernah mendapatkan sepedaku!" seru Edward.
"Duco ingin!"
Arie berusaha mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian Duco dan melihat sebuah sapu yang berada tidak jauh dari tempatnya.
"Hey, Duco! Lihatlah sapu yang luar biasa ini!" seru Arie yang menunjukkan sapu itu di depan wajah Duco dengan sihir.
Duco segera melepaskan sepeda tersebut sampai membuat ketiga orang yang berusaha mempertahankannya terpental saat itu juga.
"Duco ingin!" Gadis itu mendesis selagi tubuhnya bertambah besar dan segera mengejar benda itu dengan empat kaki sambil meraung.
Arie segera memancingnya sampai ke rumah Emy. "Come on, big girl! Look at this incredible broom~"
Tubuh Duco sempat tersangkut di pintu pagar dan pada akhirnya berhasil melepaskan diri.
"Duco ingin!" Sang gadis naga langsung mengikuti sapu itu memasuki gudang yang terbuka.
Thundy segera menutup pintu dan Arie menahan pintu dengan tubuhnya ketika Duco berusaha membuka pintu.
"Berontaklah sesukamu, aku tidak akan membiarkanmu keluar!" seru Arie.
Kemudian mereka menyadari sesuatu dan membuka pintu untuk melihat ke dalam gudang, Duco terlihat sedang menduduki barang-barang dari gudang yang dia tumpuk.
"Urgh, aku baru saja merapikan gudang itu!" keluh Thundy yang menggunakan sihir untuk mengangkat barang-barang (sampai menjatuhkan Duco di atasnya) dan memindahkan semua barang keluar gudang.
Arie kembali menutup pintu dan menghela nafas lega.
KRAK!
"Urgh, sekarang apa?" erang Arie frustasi.
Dan ternyata terdapat lubang besar berbentuk naga berambut panjang di tembok gudang.
Thundy menatap prihatin Arie yang menggigiti kuku dengan wajah takut karena tidak bisa membayangkan kerusakan seperti apa yang akan terjadi akibat perbuatan Duco.
Wilayah kebun markas Garuchan terlihat kacau karena banyaknya lubang dari bekas tanaman yang dicabut sampai ke akar dan pepohonan yang kehilangan daunnya.
"Makhluk macam apa yang mencabuti bunga dari tanah? Selain itu, siapa juga yang mengambil daun dari pohonnya?" tanya Tumma penasaran.
Arie langsung muncul di sebelah Tumma dengan panik. "Tumma, tolong! Duco semakin liar dan aku ingin kau membantuku mengikatnya!"
Tumma malah tertawa mendengar itu dan menepuk punggung Arie. "Oh, lucu sekali, Arie. Duco kecil yang manis, menjadi liar. Haha, lelucon yang bagus."
Kemudian Tumma langsung terbelalak kaget ketika melihat Duco yang wujudnya mulai menyerupai naga besar berambut pirang panjang sedang berjalan dengan langkah menghentak sambil membawa tumpukan daun, buah, dan bunga di depan mereka berdua. Beberapa daun berterbangan dan dua buah daun menempel di rambut Tumma yang membuatnya terlihat seperti memiliki antena.
"Arie, ambil tali di gudang." perintah Tumma datar.
Tumma dan Arie memegang tali di masing-masing ujungnya untuk mengikat Duco.
Duco menunduk untuk memunggut buah yang tergeletak di tanah, dan kedua orang yang mencoba mengikatnya malah mengikat diri mereka sendiri pada pohon di depannya. Duco yang melihat mereka berdua langsung meraung di depan wajah mereka dan pergi dari tempat itu.
"HEEEELP!" teriak Arie dan Tumma meminta bantuan.
Zen yang sedang terbang mendengar teriakan itu dan segera menuju sumbernya.
"Hah?" Zen berhenti di depan pohon tempat Arie dan Tumma terikat, dia malah tertawa sambil menjatuhkan diri ke tanah. "Jangan beritahu aku kalau kalian, mengikat diri kalian sendiri?"
"Lepaskan kami dari ikatan ini sekarang juga!" bentak Arie kesal.
Kemudian terdengar suara teriakan gadis kecil yang membuat mereka kaget.
"Apa itu?" tanya Tumma.
Zen menyadari sesuatu. "Kedengarannya seperti Ney bagiku!"
Mereka pun menuju hutan tempat suara itu berasal.
"Ney? Ney?!" panggil Zen khawatir.
"Aku di atas sini!"
Mereka mendongak ke atas dan mendapati Ney berada di dahan pohon yang tinggi.
"Apa yang terjadi?" tanya Tumma.
"A-aku sedang memberi makan merpati, dan tiba-tiba, se-seekor na-naga be-besar yang mengamuk m-muncul!" jelas Ney terbata-bata.
"Itu Duco!" seru Arie.
Ney terkejut mendengar itu. "Duco? Tapi kenapa Duco mencuri sebuah gubuk? Dia baru saja mengambil gubuk dari perternakan terdekat dan mengisinya dengan kumpulan daun beserta barang-barang lainnya!"
Kemudian terdengar jeritan seorang wanita.
Arie langsung mengenali suara itu "Kedengarannya seperti Glinea!"
"Come on, guys!" seru Tumma.
"Pergi! Pergi!" Glinea melempari Duco dengan makanan dari cafe terdekat.
Gadis naga itu mendesis selagi dilempari makanan, dia menangkap salah satu makanan yang dilemparkan dan memasukkannya ke dalam gubuk yang dia bawa.
Mereka berempat pun tiba di tempat itu.
"Glinea! Berhenti memberinya makanan!" seru Arie.
"Aku tidak memberinya makanan, aku MENYERANGNYA dengan makanan!" balas Glinea yang kembali melemparkan makanan.
Tangan naga itu mengambil semua makanan di dalam lemari tempat Glinea berdiri di atasnya sampai membuat wanita itu terjatuh ke lantai dengan wajah mendarat duluan.
"Berani-beraninya kau mengambil makanan itu!" pekik Glinea marah.
Mereka semua terbelalak kaget ketika raungan terdengar.
Duco berubah menjadi naga raksasa berwarna kuning yang menghancurkan cafe tempat mereka berada, kemudian dia berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah menghentak.
"Dia benar-benar di luar kendali! Siapa yang tau kemana dia akan pergi selanjutnya!" Arie segera berlari mengejar naga itu diikuti Zen dan Ney, meninggalkan Tumma yang harus menyeret Glinea karena gadis itu hanya duduk terdiam setelah shock dengan kejadian barusan.
"Baiklah, tidak ada gangguan. Hari ini sangat penting." Molf yang baru pulang kerja tersenyum miring di depan rak buku. "Hari menata ulang."
Molf mengambil semua buku dari rak untuk mengelilingi dirinya dengan menggunakan sihir dan memperhatikan buku-buku yang akan dirapikan kembali. "Hmm... 'Penemuan yang Mengubah Dunia', ini masuk ke bagian sejarah manusia. 'Mantera Sihir Modern', bagian klasik."
Dia tidak menyadari kalau ada mata besar yang mengawasinya di luar jendela.
Sebuah buku yang baru diletakkan diambil kembali dari tempatnya.
"Hm? 'Seni dari Daftar yang Harus Dilakukan'?" Molf memperhatikan buku itu. "Sebenarnya aku ingin membacanya lagi."
KRAK!
Konsentrasi Molf langsung buyar ketika mendengar suara itu.
BRUK!
Semua buku yang masih belum diletakkan langsung terjatuh menimpa tubuhnya.
Ketika kepalanya muncul dari tumpukan buku dan menengok ke arah sumber suara tadi...
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!"
Molf langsung berteriak kencang ketika sebuah tangan naga keluar dari jendela kamar yang rusak dan ingin meraih dirinya.
Tiang yang membunyikan alarm bahaya di kota dicabut dengan kasar sampai sebagian tanah di sekitarnya ikut tercabut.
Beberapa orang berlarian dengan panik dan ada dua orang yang saling bertabrakkan satu sama lain.
Si naga yang merasa gubuk di tangannya tidak cukup untuk menampung lebih banyak barang mencopot tangki dari menara air terdekat. Air di dalamnya sempat mempertahankan bentuk tangki sebelum akhirnya jatuh dan membanjiri daerah sekitar.
"Turunkan aku, naga besar!" seru Molf yang menjadi sandera di ekor naga itu.
Naga itu meraung di depan wajah Molf sampai rambutnya berubah menjadi afro.
"Jangan khawatir Kak Molf, kami akan menyelamatkanmu!" seru Ney ketika dia dan Zen terbang menghampiri.
"Put him down, right now!" (Zen)
"Ji-Jika kamu tidak keberatan, itu saja..." (Ney)
"I meant it, dragon girl!" (Zen)
"Kami akan sangat berterima kasih jika kamu berbaik hati mempertimbangkannya..." (Ney)
"Drop him, scaly!" (Zen)
Naga itu langsung mengayunkan ekornya (yang masih memegang Molf) untuk memukul Ney dan Zen.
"Hey! Aku- bukan semacam- pemukul lalaaaaaa-!"
BRUK!
"HUWAAAAAAH!"
Mereka berdua terkena pukulan dan langsung terhempas ke daerah terdekat. Ney terjatuh di atas semak-semak, sementara Zen...
Buk!
Kepalanya tersangkut di lubang pohon.
"Zen!" seru Molf panik dan melihat pakaiannya. "Seragamku..."
Kemudian terlihat sekumpulan makhluk yang terbang di langit.
"Ah, lihat! 'Para Penerbang'!" seru Ney yang melihat mereka.
'Para Penerbang' terbang di sekitar naga itu diiringi suara pesawat terbang. Mata kuning si naga melihat gunung curam di dekatnya, dia pun mendaki gunung itu dengan tangki menara air di mulut dan Molf yang masih berada di ekornya sepanjang pendakian.
'Para Penerbang' terbang lebih dekat dan salah satu dari mereka mencukur tanduk si naga dengan kecepatan tinggi disertai suara bilah pemoles.
Naga itu melihat gua di atasnya, kemudian dia mengosongkan tangki menara air yang dia bawa dengan memindahkan isinya ke dalam gua itu dan bersender untuk menutupi gua. Mata kuning si naga menyipit selagi menunggu mereka terbang ke arahnya, dia pun menggunakan tangki itu untuk menangkap 'Para Penerbang' dan menancapkannya ke sisi gunung untuk menjebak mereka di dalamnya. Setelahnya dia meraung keras.
"Oh diamlah! Kau tidak punya apapun untuk dibanggakan!" seru Molf kesal. "Kau mencuri barang dari semua orang, menghancurkan seluruh kota, dan menggunakan diriku sebagai senjata untuk melawan keluargaku sendiri! Yang, seburuk apapun itu, masih bisa kumengerti karena kau seekor naga! Tapi yang terburuk dari semua itu-"
Molf menggunakan sihirnya untuk melepaskan pakaian yang dia kenakan. "Kau telah mengotori seragam bartender-ku!" ("Dan aku heran kenapa dia memakainya sejak awal..." gumam Arie risih.)
Si naga terus menatap Molf sampai dia melihat kalung dengan permata ungu di leher pria itu, mulut naga itu mulai menganga mengeluarkan air liur. Molf menyadari hal itu dan segera menutupi kalung yang dia pakai. "Oh tidak, kau tidak akan pernah mendapatkan benda ini!"
Naga itu menatapnya dengan wajah heran.
"Ini diberikan oleh putriku Duco, gadis yang paling baik, paling manis, dan paling dermawan. Dan benda ini terlalu berharga bagiku untuk diberikan kepada binatang serakah sepertimu!"
Naga itu mendengus sesaat, kemudian pupil dari mata kuning yang menatap kalung itu mulai melebar ketika dia teringat sesuatu.
"Ini untuk Papa." Tangan Duco memberikan kalung itu pada Molf. "Hadiah dari Duco."
Molf merasa terharu dengan hadiah yang dia terima. "Aku tidak tau harus berkata apa, ini adalah hal paling dermawan yang pernah kudapatkan."
Naga itu menggelengkan kepala dan memasang wajah sedih.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Memakanku atau semacamnya?"
Tiba-tiba naga itu berubah ke wujud semula secara tiba-tiba.
Molf langsung kaget melihat itu. "Duco?! Kau naga yang mengamuk tadi?!"
Mereka berdua langsung berteriak ketika terjatuh dari ketinggian.
Glinea melihat semua kejadian itu dari atas jembatan dengan teropong binocular, sementara Ney menutup mata karena takut untuk melihat apa yang akan terjadi.
"Siapapun lakukan sesuatu!" jerit Glinea histeris dan menjatuhkan tubuhnya yang ditahan oleh Tumma.
"On it!" Zen langsung menarik Arie bersamanya, kemudian mereka segera terbang dan mengambil kain hammock dari rumah terdekat.
Arie sempat kesulitan untuk mengimbangi kecepatan terbang Zen ketika mereka membawa kain hammock itu untuk menyelamatkan Duco dan Molf.
"Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf-"
Zen dan Arie berusaha untuk terbang lebih cepat.
"Maaf, maaf, maaf, ma-"
Molf menutup mulut Duco yang masih terus meminta maaf dengan telunjuk, pria itu memasang senyuman tipis dan air mata terlihat muncul di ujung matanya. Duco mulai ikut mengeluarkan air mata.
Ketika kedua orang itu sudah hampir mencapai sungai di bawah mereka, Zen dan Arie berhasil menyelamatkan keduanya dan menurunkan mereka di jembatan tempat Tumma, Glinea, dan Ney menunggu.
Arie menghela nafas lega sambil mengusap keringat di dahinya.
"Kita berhasil!" Zen langsung memeluk Arie. "Bagaimana kalau aku membelikan energy drink untukmu? Mungkin, sebagai hadiah ulang tahun?"
Arie memutar mata dan tersenyum. "Aku tidak keberatan."
"Yah, keberhasilan kalian memang patut diberi hadiah." komentar Tumma sambil melipat tangan.
Molf mencari Duco yang sempat menghilang dan menemukan gadis itu sedang duduk di pinggir jembatan sambil merenung sedih dengan apa yang baru saja dia lakukan ketika berubah menjadi naga.
"Duco, aku ingin mengatakan kalau aku bangga padamu." Molf menghampiri anak itu.
"Bangga?" tanya gadis itu.
Molf mengangguk dengan senyum tipis. "Kaulah yang menghentikan... Ya, dirimu sendiri, dari menghancurkan kota."
Kemudian dia mengusap kepala Duco dan memberinya pelukan.
Pada malamnya, mereka merayakan pesta kecil untuk ulang tahun Arie.
Glinea membawa nampan yang ditutupi tudung saji ke ruang tengah, kemudian dia menaruh nampan dan mengangkat tudung saji untuk memperlihatkan kue red velvet yang terdapat beberapa pocky menancap di atasnya.
Arie yang melihat itu langsung menatap kesal Glinea. "Apa menaruh pocky di atas kue ini idemu?"
"Bukan aku, tanya mereka!" Glinea segera menunjuk Tumma dan Zen di belakangnya, mereka berdua malah menunjuk satu sama lain.
"Kak Molf." Ney menoel pundak Molf yang duduk di sofa. "Aku merasa seperti ada yang kurang..."
Molf mulai menyadari sesuatu. "Sepertinya anak itu masih sedih."
Suasana langsung hening dan mereka hanya saling berpandangan.
Arie hanya menghela nafas. "Aku akan bicara dengannya."
Arie membawa potongan kue untuk Duco dan menemukan gadis itu sedang duduk di depan jendela kamar Molf yang rusak.
"Duco, Paman mau bicara denganmu." Arie menghampiri gadis itu.
Duco hanya menengok sesaat dan menunduk sedih.
Arie duduk di sebelah Duco. "Dengar, mungkin aku bukan orang yang pandai memberikan nasihat, tapi aku ingin kau bisa belajar dari apa yang sudah terjadi. Ada pepatah yang mengatakan 'tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah'. Menerima sesuatu memang menyenangkan, tapi memberikan sesuatu yang berharga untuk orang-orang yang kau sayangi jauh lebih baik daripada menerima."
Kemudian dia meletakkan kue di sebelah gadis itu. "Kau mengerti kan, Duco?"
Gadis itu hanya terdiam sesaat dan menatap kue yang diberikan pamannya.
"Terima kasih..." Duco mengambil kue itu dan memakannya sampai habis.
Kemudian dia berdiri dan pergi mengambil sesuatu di bawah tempat tidur, setelah itu dia memberikan kotak yang dia bawa pada Arie. "Selamat, ulang tahun, Paman Ari."
Arie membuka kotak itu dan melihat kalung dengan liotin permata hitam di dalamnya, dia tersenyum lembut dan mengusap kepala gadis itu. "Terima kasih, Duco. Ini hadiah paling indah yang pernah kudapat."
Ada empat orang yang terlihat memperhatikan kejadian itu dari balik pintu.
"Hey, aku juga mau kalung yang seperti itu." celetuk Glinea.
"Kau benar-benar menginginkannya?" tanya Zen skeptis.
"Apa kau mengatakan hal itu karena masalah harga atau yang lainnya?" timpal Tumma datar.
"Soal itu..." Molf membisikkan sesuatu pada Tumma.
Tumma terlihat sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Molf. "Yah, mau semahal apapaun itu, selama dia punya kebaikan, itu jauh lebih berharga."
Zen hanya menghela nafas panjang. "Yah, kau benar."
"Dan itulah akhir bahagia untuk mereka hari ini." ujar Glinea.
To Be Continue, bukan Tranquil Boil Coop (?)...
Ya, referensi fic ini sebagian besar berasal dari episode 'Secret of My Excess' di 'MLP: FiM' (kecuali bagian Tumma bayangin Hamlet bilang ulang tahun padanya dengan wajah marah, itu berasal dari episode 7 'Uchuu Sentai Kyuuranger'). Aku bersusah payah menyelesaikan ini, oke? ._./
Review! :D
