Chapter 19: Tragedi di Ruang Arsip
Rupanya, mengintai orang itu jauh lebih membosankan dari yang kukira. Semua kegiatan sehari-harinya benar-benar monoton dan dia tidak melakukan semua tindakan yang mencurigakan. Bahkan, sejak aku melihatnya berciuman dengan seorang anak sekolahan, dia tidak pernah lagi membawa gadis itu ke apartment-nya.
Aku menaruh Ipad Momoi di laci meja belajarku setiap kali aku berada di sekolah atau di tempat lain. Satu-satunya orang yang tahu keberadaan apartment ini hanyalah Midorima, dengan begitu aku juga mempersempit kemungkinan pencuri jika suatu saat Ipad ini hilang dari kamarku. Di sekolah, aku merasa tidak bersemangat karena rasanya seluruh adrenalinku terkuras habis akibat menjalani tugas terakhir. Aku bahkan menguap beberapa kali.
Rapat mingguan juga berjalan sama membosankannya. Menurut Midorima, aku tidak perlu tergesa-gesa mengambil kasus baru. Kebetulan, kasus yang aku tangani saat ini merupakan tangkapan besar, jadi aku tidak perlu mengotori tanganku lagi. Lagipula, aku juga tidak berniat mengambil kasus baru. Aku masih duduk di samping Nash Gold dan Jason duduk jauh di belakang, hingga tak terlihat dari sudut pandangku. Bagus, artinya dia merasakan terror yang aku berikan. Aku merasakan kepuasan sendiri melihatnya kalah seperti pecundang.
Nash Gold sendiri tidak membahas kasus yang sedang kubahas. Dia masih dingin dan berjarak seperti biasa. Jika dia tidak ada kepentingan bicara denganku, maka dia tidak akan sudi menoleh padaku. Namun, itu bukan masalah besar. Aku tidak perlu tergesa-gesa diakui olehnya saat ini. Sampai waktunya tiba, aku pasti akan membuat Nash Gold mengakui dan memperhitungkan kemampuanku. Lagipula, Sun Tzu mengatakan bahwa orang akan menang jika tahu kapan harus bertarung dan kapan tidak dibutuhkan pertarungan. Dan saat ini bukanlah saat untuk bertarung. Ini adalah saat aku mengasah kemampuan dan mengatur strategi dan taktik.
Aku dan Midorima tidak melakukan banyak kontak sebelum ada perkembangan baru. Kami memang memutuskan dari awal untuk tetap menjaga jarak. Pertemuan berdua di lingkup sekolah jelas tidak boleh terjadi. Pilihannya hanya bertemu di apartment-ku atau di sebuah restoran cepat saji yang jaraknya cukup jauh dari sekolah. Hal ini kami lakukan demi mencegah adanya yang curiga. Kita tidak akan pernah tahu Ketua Dewan menaruh mata-mata dimana.
Aku masih menghabiskan waktu istirahat dengan Ogiwara dan Kise. Belakangan ini aku merasa sedikit berjarak dengan mereka karena banyaknya pikiran yang harus kuurus. Namun, rupanya mereka masih baik-baik saja. Setidaknya, dengan adanya Kise dan Ogiwara, aku masih tetap merasa bahwa aku adalah anak SMA, bukannya seorang penjahat yang mengetahui rahasia kelam SMA Teikou atau menaruh kamera tersembunyi di apartment seorang pedofil yang berusaha memeras sekolah.
"Yo Tetsu."
Dan satu lagi. Intensitas pertemuanku dengan Aomine meningkat sejak dia menemukanku di balkon sekolah dan hampir menangis.
"Tetsu-kun," kata Momoi dari sampingnya.
Aku menyapa mereka berdua. "Bisa bicara berdua saja?" tanya Momoi.
Aku mengangguk. Aku mengikuti Momoi sampai ke tepi lapangan tenis yang sepi. "Ada apa?" tanyaku.
"Beberapa waktu lalu Midorima-kun sempat meminta tolong untuk mencari sebuah foto kan," ujarnya. Aku baru ingat, foto Gathering para Guru SMA Teikou 7 tahun yang lalu. Aku mengangguk.
"Apa kau sudah menemukan hasilnya?" tanyaku.
Momoi menggeleng. "Itulah masalahnya. Aku mencari semuanya, tapi foto itu tidak ada sama sekali. Arsip online maupun offline. Aku minta maaf," katanya sambil membungkuk.
Aku menggeleng. "Tidak perlu minta maaf, Momoi. Tidak ada hasil, itu pun sudah merupakan jawaban. Terima kasih mau repot-repot membantuku," ujarku.
Momoi tersenyum. "Belakangan ini Tetsu-kun sedikit berbeda ya," komentarnya. Aku mengerjap bingung. Apa maksudnya berbeda? Aku tidak merasa mengubah apapun dari 'Kuroko Tetsuya' yang sedang aku mainkan. Sepertinya Momoi salah tangkap maksud diamku, jadi dia mengibaskan tangannya. "Bukan hal yang buruk kok, maksudku. Perubahan dari diri Tetsu-kun." Dia menatapku dengan matanya yang jernih. "Belakangan ini aku merasa Tetsu-kun lebih santai dan lebih hidup. Kau bahkan memanggilku dengan santai. Dan kau meminta bantuanku, padahal dari dulu kau selalu tertutup dan sendirian."
Aku tersenyum tipis mendengar kalimat yang tulus itu. Mungkin, sedetail apapun aku memerankan sosok 'Kuroko Tetsuya', aku tidak akan pernah bisa menjadi dirinya. Tetsuya milik dirinya sendiri dan aku milik diriku sendiri. Jika kami tidak memerankan diri kami masing-masing, kami akan kehilangan identitas.
"Mungkin karena aku merasa harus ada yang berubah," kataku. "Harus ada yang melangkah maju dan bertindak."
Momoi hanya menatapku, lalu dia mulai tersenyum. "Aku akan mengikutimu, Tetsu-kun. Apapun yang sedang kau perjuangkan."
Aku berusaha tersenyum, tapi rasanya berat. Hal yang sedang aku perjuangkan saat ini demi keegoisanku sendiri. Demi melindungi apa yang penting untukku. Jika Momoi tahu, dia tidak akan mengatakan akan mendukungku. Karena dalam peran apapun, 'Kuroko Tetsuya' tetaplah seorang pengkhianat.
"Yah, aku hanya ingin menyampaikan itu saja padamu, Tetsu-kun. Sudah ya," katanya dan dia melambai menjauh. Namun, ketika dia belum melangkah terlalu jauh, aku teringat sesuatu. Sesuatu yang nyaris saja terlewat padahal begitu penting.
"Momoi, tunggu."
Dia berhenti berjalan dan aku menghampirinya. "Tadi kau bilang bahwa kau mencari secara online dan offline. Berarti, apa kau mencari di Ruang Arsip?" tanyaku.
Momoi mengangguk. Anggukannya bagaikan sebuah sumbatan yang terlepas di sungai dengan aliran deras. Kenapa aku harus bersusah payah mencapai Nash Gold, padahal ada Momoi yang lebih gampang kuraih. Aku hampir tertawa histeris di lapangan tenis karena informasi itu.
"Momoi, tolong bawa aku ke Ruang Arsip," kataku.
Momoi mengerjap. "Sekarang?"
Aku ingin mengatakan sekarang, tapi ini masih jam istirahat. Berkeliaran di Ruang Arsip saat istirahat tampak terlalu mencurigakan. "Pulang sekolah nanti. Apa kau bisa?"
Momoi mengangguk pelan. "Bisa, tapi kenapa mendadak…"
"Ada sesuatu yang harus aku pastikan. Pulang sekolah, kau ingin kita bertemu di mana?" tanyaku.
"Di dekat koridor Yayasan saja," kata Momoi. Aku mengangguk.
"Oke, aku akan menunggumu di sana. Terima kasih banyak Momoi." Saking senangnya, aku hampir memeluknya.
.
[Momoi akan mengantarku ke Ruang Arsip pulang sekolah ini.]
Balasan dari Midorima datang tak lama setelah itu.
[Tidak apa sendiri? Aku mau ke RS menemui Takao dulu. Nanti aku akan menyusul. Beritahu saja tempatnya.]
[Oke, tidak masalah. Aku hanya akan mencari beberapa dokumen saja.]
Setelah itu, Midorima tidak membalas apapun dan aku memasukkan lagi ponselku. Aku tidak bisa fokus pada pelajaran dan berkali-kali melihat jam yang terasa berjalan dengan sangat lambat. Aku bisa merasa adrenalinku terpacu dan darahku berdesir cepat. Namun, aku tetap berusaha dengan tenang. Terlalu bersemangat tidak akan menghasilkan apapun selain rasa kecewa.
Ketika pulang, aku langsung melesat menuju lapangan tenis dan Momoi belum datang. Gadis itu datang 10 menit setelahnya. Barulah kami berjalan bersama menuju Ruang Arsip.
"Apa ini berhubungan dengan kasusmu, Tetsu-kun?" tanya Momoi.
Aku mengangguk. "Begitulah. Ada yang ingin aku pastikan. Apalagi dia mantan guru di sini."
Kami naik ke lantai dua, melewati berbagai ruangan yang sudah familiar, termasuk Ruang Ketua Dewan yang selalu tampak tertutup dan dingin. Rasanya seperti ada aura yang berbeda yang melingkupinya. Kami masuk ke dalam Gudang dan ternyata, Momoi menggeser sebuah lemari usang yang tidak terlalu berat. Di belakangnya ada sebuah pintu besi kokoh yang tertutup. Aku yakin jika aku mencarinya sampai tua, pintu itu tidak akan pernah kutemukan sendiri.
Momoi membuka pintu itu dengan sebuah kunci dan dia mendorong pintu itu hingga terbuka. Aku mengikuti Momoi masuk ke dalam Ruang Arsip. Saklar lampu di nyalakan dan aku menatap barisan rak-rak buku yang tinggi dan berisikan tumpukan-tumpukan berkas. Debu-debu kecil berterbangan di sekeliling kami dan membuat hidungku sedikit gatal. Ada jendela yang cukup tinggi di dinding, mungkin untuk tetap menjaga kelembapan ruangan sehingga jamur tidak mudah tumbuh.
"Jadi, kau mau mencari dari bagian apa?" tanya Momoi.
Aku jelas tidak bisa bilang bahwa aku mau mencari laporan Tetsuya. Dan aku juga tidak bisa bilang kalau aku tidak tahu harus mencari darimana. Aku harus tahu tata cara mencari berkas tanpa bertanya. "Tolong tunjukkan hasil pencarianmu yang terakhir," kataku.
Momoi mengangguk. Dia menuju sebuah rak tinggi. "Aku mencarinya berdasarkan nama. Karena banyaknya kasus disimpan berdasarkan tahun, kasus 7 tahun yang lalu pasti berada di rak-rak atas." Dia menunjuk sebuah tangga dan aku mengambilnya. "Lalu, setiap kasus itu dinamai dengan nama siswa yang menyelesaikannya. Jadi, aku sedikit kerepotan karena sensei itu juga bahkan tidak pernah masuk ke dalam daftar kasus sebelumnya."
Aku mengangguk. Setidaknya, sekarang aku punya gambaran bagaimana cara mencari berkas-berkas laporan Tetsuya. "Momoi, aku tidak mau merepotkanmu," kataku.
"Eh, kau tidak mau aku bantu mencarinya?"
Aku menggeleng. "Kau sudah banyak membantu. Pulanglah, nanti pintunya aku yang kunci saja."
Momoi menimbang sejenak sebelum mengangguk. "Oke. Aku akan membuka pintunya dan jangan lupa mengunci pintu ini setelah kau selesai ya." Lalu, Momoi melambai dan keluar dari Ruang Arsip. Dia membiarkan pintunya terbuka serta kunci yang masih menggantung. Setelah dia menghilang dari sudut pandangku, barulah aku kembali fokus pada tujuanku.
Kasus Tetsuya pasti tidak lebih dari 1 tahun, tapi tahun ajaran baru itu di bulan April, sementara ini baru pertengahan bulan September. Jadi, berkas selama 6 bulan terakhir. Kalau menurut Momoi, berkas baru seperti itu tidak akan menempati tempat di atas rak. Jadi, pasti berada di bawah. Lalu, karena Tetsuya memakai nama keluarga Okaa-sama, berarti aku harus mencari di Abjad K. Semua yang berawalan K selama 6 bulan terakhir aku mengeluarkannya. Tidak sulit menemukan berkas-berkas milik Tetsuya. Setelah mengumpulkan semuanya, aku menumpuknya di lantai dan mulai membuka satu per satu.
Sudah jelas aku tidak bisa membawa semua berkas ini ke apartment, jadi satu-satunya cara hanyalah membuka satu per satu dan membacanya. Hanya saja, aku tidak tahu bahwa membuka berkas laporan Tetsuya seperti menyelami danau dengan air keruh. Aku seperti membaca rahasia tergelapnya.
Kasus yang ditangani oleh Tetsuya bermacam-macam, mulai dari kasus kecil seperti pencurian soal, vandalisme, bentrok antar siswa, hingga kasus-kasus yang sudah tidak ada hubungannya dengan siswa SMA. Hubungan gelap, pemerasan, sampai kabur dari rumah. Aku tidak tahan melihatnya, tapi jika aku mau memahami Tetsuya dan masalahnya degan Ketua Dewan, maka aku harus tetap membacanya. Semuanya.
Sejauh ini belum ada berkas yang memuat mengenai masalah antara Tetsuya dan Ketua Dewan. Sejujurnya, aku bahkan bingung bagaimana bentuk laporan dari masalah itu. Apakah tertulis atau tersirat dalam sebuah laporan? Namun, setiap laporan yang selesai dikerjakan Tetsuya tidak pernah ada cacat. Jadi, aku harus bagaimana?
Kulihat dari jendela bahwa langit sudah mulai sore. Kuputuskan bahwa aku tidak mendapatkan apapun dari Ruang Arsip. Namun, seluruh ruangan arsip ini adalah barang bukti untuk menjatuhkan Ketua Dewan. Jika polisi menemukan semua bukti ini, aku bisa memastikan kehancuran total dari Ketua Dewan dan OSIS Belakang. Hanya saja, bagaimana cara memberitahu orang-orang mengenai ruangan ini? Aku tidak mungkin membawa semua berkasnya. Akhirnya, aku melakukan hal yang aku bisa, yaitu memotret situasi di Ruang Arsip dan beberapa berkas yang asal aku comot untuk di foto. Setelah aku merasa cukup, aku memasukkan ponselku dan bersiap untuk pergi.
Namun, terdengar suara pintu besi itu berderit. "Momoi?" tanyaku keras. Tidak ada jawaban. Terakhir kali aku menoleh ke arah pintu, ada sesosok orang yang melemparkan korek api yang menyala ke dalam ruangan sebelum pintu ditutup. Aku berlari menuju pintu, tapi pintu telah berbunyi dan suara pintu dikunci dari luar terdengar sangat nyaring.
Korek api itu mulai membakar kertas-kertas yang ada di masing-masing rak dan menjalar dengan cepat. Seluruh tubuhku panas dingin karena saat ini aku terkunci di tempat yang paling mudah terbakar.
"TOLONG! TOLONG!" Aku berusaha menggedor-gedor pintu tebal itu dan aku tahu tidak ada harapan. Rasa takut dan panik merayap dengan cepat. Aku bisa mati di sini. Bukan percobaan pembunuhan yang bisa kuhindari. Aku akan mati di tempat rahasia ini, sendirian, karena sesak napas dan tidak akan ada yang menemukanku. Memikirkannya saja membuat airmataku mengalir turun. Air mata frustasi.
Aku tidak bisa diam saja berada di ruangan ini. Apinya menjalar semakin besar dan semakin panas, hal itu membuat suhu ruangan juga semakin panas. Asap yang terkumpul membuatku semakin kesulitan bernapas dan melihat. Oksigen semakin habis dan rasanya paru-paruku diperas dengan kuat hingga tidak bersisa.
Aku tidak mau mati di sini! Aku masih harus mengungkapkan kebenaran. Karena itu, dengan putus asa aku melihat sebuah jendela tinggi. Aku berlari menembus asap yang tebal dan membuat seluruh tubuhku perih. Aku melepaskan blazer sekolah untuk menutupi kepala dan hidungku, sementara aku berusaha untuk mencapai jendela itu. Jendela itu tinggi, tapi sepertinya cukup besar jika aku mau keluar dari sana. Hanya saja, aku membutuhkan tangga. Aku mencari tangga yang tadi kuambil untuk Momoi, tapi tangga tersebut sudah dijilat api. Tangga jelas bukan pilihan.
Aku tidak punya pilihan lain selain memanjat melalui rak-rak buku ini. Aku menginjak-injak berkas-berkas yang sudah dikumpulkan selama tahunan untuk mencapai jendela itu. Semakin aku naik, asap semakin tebal di atas. Aku praktis tidak bisa bernapas tanpa merasakan paru-paru yang seperti tertusuk ribuan jarum. Kesadaranku menipis, tapi jika aku melepaskan peganganku pada rak buku, aku sudah pasti akan mati. Jika aku mati, tidak akan ada apapun yang selesai. Tidak akan ada kebenaran yang terungkap. Jadi, aku terus memanjat.
Suhu semakin panas dan kemejaku sudah menempel di badan. Blazerku tetap tidak bisa menahan asap yang terus-menerus masuk ke dalam paru-paruku. Hingga aku sampai di rak paling atas. Aku memukul-mukul kaca yang memanas tapi tidak bergeming. Jika mau memecahkannya, maka kekuatanku harus lebih besar. Jadi, aku melepaskan blazer dari kepalaku dan melilitkannya di sekitar tangan kananku. Aku belum pernah mencoba teknik ini sebelumnya, karena tidak ada kaca yang harus kubobol. Namun dalam situasi di ambang kematian, orang mampu melakukan apapun.
Hantaman pertama, kaca sama sekali tidak bergeming. Hantaman kedua, aku menambah tenaga dan kaca tampak bergetar. Aku mencoba lagi beberapa kali hingga akhirnya kaca itu pecah. Aku menutup mata hingga pecahan kaca itu tidak lagi bertebaran. Seketika, udara segar mampu aku hirup. Aku menghirupnya banyak-banyak sebelum aku sadar bahwa perjalananku masih panjang. Aku membersihkan sisa-sisa pecahan kaca yang tajam sebelum melongok ke bawah.
Ruangan ini berada di lantai dua, sehingga jarak terjunnya lumayan jauh. Namun, di bawah gedung itu ada kumpulan semak-semak. Mungkin jika aku loncat ke semak-semak, benturannya tidak akan terlalu menyakitkan. Lagipula, aku tidak punya pilihan saat ini. Pilihan jatuh ke semak-semak tampaknya lebih menyenangkan dan lebih manusiawi dibandingkan mati terbakar di Ruang Arsip. Aku menarik napas dan menghitung sampai tiga sebelum meloncat tanpa ragu.
Jatuh tetap terasa menyakitkan. Sekujur tubuhku sakit, seolah semua tulang mencuat dari tubuhku. Namun, aku tidak mati terbakar. Aku terbatuk-batuk hingga tenggorokanku sakit, tapi aku menghirup udara bebas. Dari posisiku, asap hitam membumbung tinggi ke langit lewat jendela yang aku pecahkan. Aku mampu melihat kobaran api yang merah dan menjilati semua isi Ruang Arsip. Aku belum berdiri dari posisiku. Untuk sejenak, aku masih menikmati setiap rasa sakitnya dan semua yang tampak tidak nyata. Dua menit yang lalu aku bisa mati karena terbakar atau mati karena otakku pecah.
"Tetsu!"
Aku bahkan tidak bergerak ketika nama itu diteriakkan. Rasanya aku tidak mengerti kenapa nama Tetsuya yang diteriakkan, padahal dia sedang ada di ICU. Aku tetap berbaring di atas semak-semak yang sudah rusak, sampai wajah Aomine yang panik berada di atasku.
"Tetsu, kau tidak apa?" tanyanya. Lalu, dia mendongak ke atas untuk melihat asap hitam dari Ruang Arsip yang terbakar. "Kau loncat dari atas?"
Aku bahkan tidak mampu menjawabnya. Tenggorokanku sakit sekali. Menelan ludah pun tidak bisa. Tubuhku sakit ketika aku berusaha menggerakkannya. Mungkin ada patah tulang, aku tidak tahu. Semuanya terasa sakit dan aku tidak bisa mencegah airmataku yang keluar.
Aomine membantuku bangun dengan sangat perlahan. Aku ingin bertanya kenapa dia ada di sini, kenapa dia tahu aku ada di sini? Apakah ada peringatan kebakaran di Gedung Yayasan? Apakah dia yang membakar Ruang Arsip? Pertanyaan itu berputar-putar di otakku tanpa aku bisa mencegahnya.
"Aku akan membawamu ke Rumah Sakit," katanya sambil memapahku.
Mendengar kata rumah sakit seolah menyuntikkan doping adrenalin ke sekujur tubuhku. Aku langsung bisa bergerak dan melepaskan diri darinya. Aku menggeleng. Kalau ke Rumah Sakit, dia akan tahu siapa aku. Aku memaksakan suara keluar dari tenggorokanku meskipun rasanya seperti disayat puluhan beling. "Aku baik-baik saja."
"Oi, kau kepayahan begitu. Ayo ke RS." Dia masih berusaha menarikku. Aku menyentak lepas tangannya. Ada yang lebih penting dari sekedar ke rumah sakit.
Aku menatapnya tajam. "Kenapa kau bisa tahu aku di sini? Kenapa kau bisa tahu bahwa ada kebakaran di sini?"
Aomine menampilkan wajahnya yang bingung, lalu tersinggung. "Kau menuduhku? Kau menuduhku yang melakukan pembakaran?" Dia mendengus. "Aku bahkan tidak tahu itu kau sampai kau melompat."
"Jawab saja!" bentakku, tapi rupanya itu tidak bagus untuk paru-paruku karena aku langsung terbatuk-batuk. Aomine melingkarkan lengannya di seluruh bahuku dan aku tidak punya tenaga untuk menepisnya.
"Setidaknya kau minumlah sesuatu dulu," ujarnya. Dia membawaku ke tempat yang lebih ramai dan lebih banyak manusia. Dari vending machine, dia membeli sebotol minuman, sementara aku masih duduk lemas. Aku mengamati kedua tangan dan kakiku. Tampaknya tidak ada masalah dan tidak ada patah tulang. Aku bisa berjalan dengan baik, hanya saja terdapat banyak luka lecet. Seluruh tanganku penuh jelaga dan blazer-ku sudah hitam dan ada bagian yang terbakar. Aku rasa kemejaku juga sudah hitam akibat jelaga dan pasti ada beberapa bagian yang sobek. Namun, terlepas dari itu, aku selamat dan masih hidup.
Aomine kembali dengan sebuah air mineral dingin. Aku langsung mereguknya. Barulah aku bisa sedikit lega. Beberapa tetes menetes ke kemejaku, tapi aku tidak peduli. Aku ingin bisa merasakan semua hal sekaligus. "Gantilah pakaianmu di UKS. Dan obati dulu luka-lukamu."
Aku menatapnya. "Jawab dulu pertanyaanku!"
Aomine menghela napas. "Jangan keras kepala Tetsu. Aku tidak akan pernah menyakitimu."
Iris gelapnya berkilat dan aku tidak bisa membaca emosi di dalamnya. Dia meraih tanganku dan menuntunku dengan pelan ke UKS. Lagi-lagi, aku tidak menolaknya.
Sekolah sudah sepi, bahkan kegiatan eskul pun sudah selesai. Aomine membuka pintu UKS dan kami berdua masuk. Dia mendudukanku di sebuah bangku dan aku duduk diam bagai boneka. Langit sudah menjadi ungu dan lampu-lampu sudah dinyalakan. Aomine sibuk sendiri dan aku tidak peduli.
"Buka bajumu," ujarnya. Dia sudah berdiri di sampingku sambil membawa peralatan P3K.
"Jawab dulu pertanyaanku. Apa kau yang membakar Ruang Arsip?" tanyaku. Aku tidak akan menyerah begitu saja.
Kotak P3K itu diletakkan di meja perawat dan dia duduk bersandar sambil menatapku. "Kalau aku yang membakar Ruang Arsip, apa aku akan menyelamatkanmu?" tanyanya.
"Mungkin. Persembunyian terbaik adalah bersembunyi di antara orang banyak. Bisa saja kau sengaja mengunciku, membakar Ruang Arsip, lalu pura-pura menolongku. Untuk apa sore-sore seperti ini kau ada di dekat Gedung Yayasan?"
Aomine hanya mendengus sinis. "Tidak bisa kupercaya. Hanya karena aku ada di sekitar gedung, kau menuduhku membakarmu? Kau..!" Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Jadi kenapa kau ada di sini? Kenapa timing-mu sangat pas? JAWAB!" jeritku di akhir.
"Karena aku sedang ada di lapangan basket, oke!" bentaknya. Aku tersentak. "Aku sedang one-on-one bersama Kise, tapi dia pulang duluan. Saat aku selesai ganti baju, aku melihat ada jendela yang tertutup asap. Aku mencoba mengecek, tapi saat aku mau masuk ke Gedung Yayasan, jendelanya pecah dan kau sudah meloncat dari sana. Puas kau?"
Aku menelan ludah. Penjelasannya diliputi emosi dan aku bisa melihat dia terluka. Entah mengapa, aku sedikit merasa bersalah.
"Maaf kalau aku menolongmu!" Lalu dia berbalik pergi, tapi tanganku refleks menahannya. "Apa lagi? Kau butuh bukti konkret?" tanyanya sinis.
Aku menggeleng. Sebagian besar karena aku tidak mau Aomine marah. Sebagian lagi karena aku baru saja mengalami kejadian traumatis dan aku tidak bisa sendirian saat ini. "Maaf," kataku pelan. "Tolong tetap di sini." Kata-kata itu tidak lebih dari sekedar bisikan. Namun, aku yakin Aomine mendengarnya.
Aku setengah berpikir bahwa dia akan menepis tanganku dan pergi. Namun, dia kembali mengambil kotak P3K dan duduk di depanku. Dia tidak membiarkanku sendiri. "Buka bajumu. Aku akan membersihkan luka-lukanya."
Aku menurut. Kubuka kemejaku yang ternyata sudah sangat kotor dan robek-robek di bagian punggung dan membiarkan Aomine mengurusku. Dia mengusap semua luka-luka di punggungku dengan cairan antiseptic. Setiap kali cairan dingin itu mengenai kulitku yang terluka, rasanya perih. Namun, itu semua tidak ada apa-apanya dibandingkan fakta bahwa aku bisa saja mati dalam cara paling mengenaskan dan paling menyakitkan.
Aomine tidak bicara apapun dan aku bersyukur dia tidak melakukannya. Jika dia mulai bicara, dia akan tahu bahwa aku masih ketakutan setengah mati. Mungkin, suaraku akan bergetar. Setelah dia membersihkan semua luka-lukaku dan menutupnya dengan kassa, aku berdiri.
"Terima kasih," kataku. Dia menyerahkan satu setel pakaian olahraga.
"Pakai ini," katanya. "Kau tidak mungkin pulang dengan baju yang penuh jelaga seperti itu."
Aku menatap blazer dan juga kemejaku yang sudah tidak layak pakai lagi. Aku juga tidak mungkin pulang dengan bertelanjang dada. Akhirnya, aku menerimanya. Dia tetap menungguku hingga akhirnya aku selesai mengganti pakaian. Baju olahraganya kebesaran, sehingga aku harus menggulung ujung celananya. Namun, terlepas dari itu, memakai baju bersih tidak terlalu buruk.
"Apa kau mau kuantar pulang?" tanyanya.
Sebenarnya aku mau. Setidaknya, aku tidak akan berjalan pulang sendirian ke apartment-ku yang kosong dan tampak menyedihkan. Setidaknya aku punya rekan di sampingku. Namun, aku juga harus membatasi tembok seperti ini. Tidak ada yang tahu aku adalah Akashi Seijuurou dan jika Aomine mengantarku, maka itu sama saja dengan membongkar identitasku.
Aku menggeleng. "Tidak perlu. Aku akan pulang sendiri. Tapi, terima kasih untuk bantuannya dan juga bajunya. Besok akan aku kembalikan," kataku.
Aomine menggeleng. "Kau yakin bisa pulang sendiri dengan kondisimu?" tanyanya sekali lagi.
Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja."
Aomine tidak berusaha membujukku pulang bersama lagi. Namun, kami berjalan bersama sampai ke depan gerbang sekolah. Suara sirine dari pemadam kebakaran terasa sangat dekat. "Kau menelepon pemadam kebakaran?" tanyaku.
Aomine menggeleng. "Aku belum sempat memanggilnya."
Mungkin orang lain yang memanggil. Mungkin masih ada orang yang tinggal di sekolah, melihat kebakaran dan akhirnya menelepon pemadam kebakaran. Aku berharap api lebih dulu membakar Ruang Ketua Dewan sebelum dipadamkan. Meskipun aku tahu bahwa dia tidak pernah ada di ruangan itu, tapi membayangkannya cukup memuaskan untuk saat ini.
"Sampai jumpa Tetsu," kata Aomine. Dia berjalan ke arah stasiun. Aku berjalan ke arah sebaliknya. Perjalanan yang hening dan penuh beban. Ada yang membakar Ruang Arsip karena tahu aku ada di sana. Dan, tersangka utamaku yaitu Ketua Dewan. Mungkin dia sudah bisa mengendus apa yang akan kulakukan, sehingga dia berpikir lebih baik mengorbankan satu ruangan daripada aku menemukan kebenaran. Jika memang seperti itu, dia tidak tanggung-tanggung dalam membuat pengorbanan.
Orang yang sangat mengerikan. Dia bisa dengan mudahnya membuang nyawa orang lain seperti membuang sampah. Dan orang seperti itu adalah musuh terbesarku. Karena itu pula, aku tidak akan menyerah. Orang mengerikan seperti itu harus dihancurkan supaya tidak ada lagi korban lainnya. Untuk itulah aku masih harus terus berjuang.
.
To Be Continued
A/N: Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Salam,
Sigung-chan
OMAKE
"Kau gagal."
Orang itu diam di depan laptop yang menyala. Suara mekanik itu bergema di seluruh ruangan.
"Aku sudah melakukan semua yang kau suruh."
"Dan tetap saja kau gagal. Menyingkirkan satu masalah saja kau tidak bisa, dan kau berani membuang waktuku yang berharga?"
Orang itu tahu, tapi dia tetap diam. Suara mekanik milik Ketua Dewan menusuknya bagaikan pedang. Dia tidak takut pada Ketua Dewan, tapi dia juga tidak mampu menentang keinginan Ketua Dewan.
"Sudahlah, kau membuang waktuku."
Lalu, layar di laptop itu mati. Orang itu hanya bisa melihat bayangan dirinya sendiri. Dia menutup laptop itu dan menghembuskan napas. Suara monitor EKG di ICU bergema di ruangan sekitarnya. Kuroko Tetsuya terlelap dalam tidur tanpa mimpi. Dia memandang wajah damai Kuroko. Benarkah ada orang yang bisa membuat wajah damai seperti ini? Apakah Kuroko menderita dalam tidurnya? Atau dia memilih untuk terus mengabaikan dunia luar?
"Kau terus mengabaikanku. Kenapa kau biarkan aku sendiri?"
Orang itu tertawa serak. Tawa penuh keputusasaan dan juga dendam. "Saudaramu itu benar-benar sulit untuk disingkirkan. Dia menggagalkan rencanaku berkali-kali. Dia berhasil selamat berkali-kali dari semua upayaku menyingkirkannya. Persis seperti kecoak."
Dia meremas rambutnya frustasi. Kuroko tidak terbangun juga karena kebenciannya. Kuroko tidak terbangun karena apapun. Seolah-olah dalam tidurnya, Kuroko ingin menghapus keberadaannya sendiri. Seolah-olah kegelapan telah menyiapkan tempat untuknya.
"Tapi tidak apa. Aku akan menyingkirkan Akashi Seijuurou. Rencanaku kali ini tidak akan gagal. Siapa peduli jika dia berhasil menghindari pot bunga dan juga berhasil lolos dari kebarakan? Rencanaku telah sempurna. Kau tahu itu dan aku tahu itu. Kita singkirkan saudara kembarmu yang jahat itu, oke?"
Orang itu menatap wajah Kuroko untuk terakhir kalinya. "Aku akan datang lagi." Lalu, dia membereskan laptop-nya dan keluar dari ruang ICU tersebut. Langkahnya stabil seolah tidak ada beban apapun. Dia tetap menjaga ketenangannya, meskipun hatinya berkobar karena amarah yang meluap-luap dan dendam.
Di dalam ruang ICU yang sepi itu, Kuroko Tetsuya perlahan-lahan membuka matanya. Dia memandang langit-langit ICU yang putih dan terang. Seluruh tubuhnya serasa lemas saat digerakkan, tapi dia tidak merasakan sakit apapun. Dia mengangkat tangannya dan menatap jari-jarinya yang pucat dan kurus. Terdapat selang infus terpasang di punggung tangannya.
"Kuroko-kun, kau sudah bangun."
Kuroko menoleh ke arah pintu masuk. Seorang perawat yang sedang bertugas masuk dengan troli obat.
"Kau tahu, saudara kembarmu selalu datang untuk menjengukmu," katanya. Dia mengambil sebuah obat anti-nyeri dan menyuntiknya ke dalam selang infus Kuroko. "Dia pasti senang mendengar kabarmu sudah sadar."
Namun, Kuroko telah sadar sedari awal. Dia selalu tahu bahwa Seijuurou selalu datang dan menjenguknya. Dia sadar di dalam ketidaksadarannya, karena orang selalu bicara lebih banyak kepada orang yang tidak sadar. Orang mengungkapkan segalanya lebih mudah pada orang yang tidak bisa merespon, termasuk rahasia.
"Dia memang seperti itu," kata Kuroko. Seijuurou sedari dulu memang selalu mengkhawatirkannya. Seijuurou selalu menjaganya dan sekarang dia terluka dan babak belur karena berusaha menjaganya.
Kuroko membaca label nama pada perawat tersebut. "Sakura-san, apa saya boleh minta tolong?" tanyanya.
