Disclaimer : Sunrise
2.
Stay in Memory
.
"Apa? Cagalli kelihatan aneh?"
Kira mengangguk, wajahnya terlihat kebingungan. "Sebenarnya dia sudah begitu sejak hari pertama dia masuk kelas. Dia selalu berusaha terlihat biasa saja, tapi kelihatan sekali kalau dia sedang murung. Entah kenapa dia seperti kepikiran sesuatu sampai sering melamun. Setiap kali pulang sekolah dia langsung mengurung diri di kamar, waktu makan juga dia jadi sering diam. Sekarang sudah sedikit mending sih," Kira tersenyum, tapi masih terlihat bingung.
Sekarang waktu makan siang. Aku, Kira dan Flay duduk bertiga di kelas dengan menyatukan meja kami dan makan bekal makan siang—Flay membawa bekal sendiri sementara aku dan Kira makan roti yang kami beli di kantin sekolah—ketika Kira tiba-tiba bercerita tentang sikap aneh Cagalli yang baru saja masuk sekolah barunya awal minggu ini, yang juga berarti minggu pertama kami sebagai siswa kelas 2 SMA.
"Mungkin saja ada seseorang yang dia sukai," Flay menyahut sebelum mengambil sesuap nasi lagi dari kotak bekal makanannya. "Cagalli sudah besar, dan sekelilingnya juga dipenuhi orang baru. Bukan tidak mungkin ada teman sekelas laki-laki yang menarik perhatiannya kan?"
Aku ingin menyangkal kata-kata Flay itu, tapi aku tidak bisa mengatakannya terang-terangan di sini—bahwa Cagalli dan aku sekarang bisa dibilang menjalin hubungan rahasia. Sejak hari pengumuman kelulusan ujian masuk Cagalli, hari di mana aku tahu kenyataan yang sebenarnya, aku tidak bisa memandang Cagalli sebagai anak-anak lagi, dan membiarkannya begitu saja dariku.
Dan begitu tahu kalau dia ternyata masih membalas perasaanku, aku merasa semuanya akhirnya terasa lengkap. Kekosongan yang selalu dilihat orang lain dari diriku akhirnya terisi. Setelah pembicaraanku waktu itu dengan Cagalli, orang-orang kembali melihat perubahan dalam diriku. Ibu bilang aku sekarang terlihat benar-benar berbeda. Senyumku yang sekarang benar-benar senyum bahagia dari hati, begitu katanya. Bahkan Kira pun menyadari ada sesuatu yang berubah. Tentu saja aku belum bisa cerita bahwa adiknyalah penyebab perubahan yang terjadi padaku.
Namun karena jarak usia kami, kami memutuskan untuk tetap diam tentang hal ini sampai setidaknya Cagalli sudah lebih dewasa lagi—mungkin kalau dia sudah SMA. Untuk sekarang aku harus puas dengan peran sebagai kakak tambahannya selain Kira.
Tapi apa yang dikatakan Flay juga bukan tidak mungkin. Dibandingkan dulu, Cagalli sekarang punya kebebasan untuk memilih siapa orang yang ingin dia dekati, tidak seperti dulu di mana posisinya mempengaruhi setiap keputusan pribadinya. Aku percaya pada Cagalli setelah kami saling terbuka waktu itu, bahwa dia tidak akan mengingkari janjinya untuk menungguku begitu saja tanpa ada alasan yang jelas.
Tapi bayangannya Yuna Roma di masa lalu yang dengan santainya memeluknya di depan banyak orang dan menarik Cagalli menjauh dariku, juga bukan sesuatu yang ingin aku rasakan lagi di kehidupan ini.
"Hmmm, tapi… Cagalli tidak kelihatan seperti sedang kasmaran sama sekali kok. Dia malah terlihat murung… tapi aku tidak mengerti apa yang bisa membuatnya sedih ketika baru saja masuk sekolah."
"Mungkin dia belum terbiasa dengan lingkungan baru. Kau pernah bilang kan kalau Cagalli sepertinya tidak begitu suka perubahan dengan sekitarnya?" aku mencoba menerka, mengingat ucapan Kira mengenai sikap Cagalli pada Flay dulu—meskipun sekarang aku tahu alasan yang sebenarnya, bahwa dia ragu dengan Flay karena dia masih ingat dengan Lacus yang dulu bersama dengan Kira di kehidupan sebelumnya.
"Hmm mungkin juga sih… Tapi Cagalli biasanya tidak masalah untuk jadi akrab kalau dengan orang yang sebayanya."
"Bagaimana kalau aku tanyakan padanya? Aku sempat pindah dari sekolah lamaku, jadi mungkin aku bisa sedikit paham perasaan Cagalli kalau memang benar dia punya masalah untuk menyesuaikan diri di tempat barunya."
"Padahal dulu Cagalli selalu cerita apa saja padaku," Kira cemberut sambil menggigit lagi rotinya.
"Kalau sudah jadi remaja, perempuan punya banyak hal yang tidak bisa dia ceritakan pada orang lain, apalagi kalau tentang laki-laki. Dia butuh teman wanita," Flay menimpali.
"Tapi Athrun kan laki-laki juga," Kira membantah sambil cemberut.
"Belum tentu dia mau cerita padaku juga. Aku hanya mau mencoba saja, karena aku sempat ada di posisi yang sama dengannya ketika aku tiba-tiba pindah kemari," aku mencoba meluruskan sebelum Kira semakin cemberut padaku. Meskipun sebenarnya aku sudah terpikirkan satu hal yang mungkin jadi penyebab kemurungan Cagalli.
"Kalau pindah sekolah kami juga pernah, sudah dua kali malah!" maksud Kira pasti ketika ia naik ke SMP dan SMA dulu. Tapi kasusnya Cagalli kan sedikit berbeda-jauh berbeda sebenarnya, meskipun yang tahu mungkin cuma aku saja.
"Kau kan tidak punya masalah untuk beradaptasi dengan perubahanmu, tidak seperti Cagalli. Kalau memang dia tidak mau cerita padaku, mungkin ada bagusnya juga kalau Flay mengajaknya mengobrol, siapa tahu ini memang masalah wanita," aku menjelaskan lagi, membawa Flay ke dalam argumenku supaya situasinya terkesan adil, supaya Cagalli tidak terkesan lebih memilihku dibanding kakaknya sendiri.
Dengan wajah pasrah Kira menjawabku, "Ya sudah deh. Kau bisa datang nanti sore, tidak? Kalau kau tidak ada jadwal kerja part-time."
"Boleh. Hari ini aku libur," aku menjawab sementara Flay kelihatan sedikit tertarik pada ucapanku.
"Sejak kapan kau jadi kerja part-time, Athrun?" Flay bertanya, terlihat sedikit terkejut.
"Sejak liburan musim semi, soalnya aku terlalu luang. Jadi aku mencari sesuatu yang bisa kukerjakan selama liburan. Selain bagus untuk latihan berbaur di masyarakat, aku jadi bisa punya uang saku sendiri," aku menimpali. Meskipun sebenarnya ada sesuatu yang aku inginkan dengan uang yang kutabung sedikit demi sedikit itu.
"Wah, rajin sekali. Memangnya kau tidak pergi main atau apa dengan waktu liburanmu, Athrun?" Flay terlihat kagum.
"Athrun itu kalau tidak kuajak main, dia pasti akan terus belajar di rumahnya," Kira menukas sebelum aku semat menjawab Flay, membuatku memutar bola mataku menghadapinya.
"Dari pada kau yang tidak belajar sama sekali dan main game terus sepanjang liburan musim semi," aku membalas sebelum memakan rotiku lagi.
"Namanya juga liburan, untuk apa aku belajar?" Kira menyahut, setengah kesal. Sementara Flay di sebelah kami malah terkekeh melihat kami bertengkar mulut.
"Seperti biasa, kalian berdua selalu akrab ya. Seperti teman sejak kecil saja," Flay berkomentar sambil kembali mengambil sesuap bekal ke dalam mulutnya. Aku hanya tersenyum kering, dalam hati membatin betapa ia tidak tahu kalau itu sebuah kenyataan di masa lalu yang tidak diketahui siapapun, kecuali aku dan Cagalli.
Begitu tiba di rumah Kira, kami langsung pergi ke lantai atas. Kira langsung masuk ke kamarnya setelah berbisik, 'tolong, ya', sementara aku langsung menuju ke pintu di seberang kamar Kira. Tanpa memanggil namanya, aku mengetuk pintu kamar Cagalli. Tidak lama kemudian aku bisa mendengar suara langkah kakinya mendekati pintu.
"Ada apa, Kak Ki—" Ucapannya terhenti begitu melihatku. "Ada apa Kak?" Cagalli bertanya sambil melirik ke arah kamar Kira. Dia pasti tahu kalau aku sudah pulang kemungkinan besar Kira juga bersamaku, dan berhati-hati kalau-kalau dia mendengar pembicaraan kami.
"Sudah lama kita tidak ngobrol. Boleh kakak masuk sebentar?" Aku tersenyum, mencoba untuk tidak mengindikasikan penyebab aku mendatanginya.
"Mmm…" Cagalli terlihat ragu.
"Cuma sebentar saja. Aku akan langsung pulang nanti," aku menunduk dan menambahkan dengan suara kecil—sebab bukan tidak mungkin Kira masih mendengarkan kami bicara, "Aku juga ingin bicara berdua denganmu saja," aku menggunakan cara bicaraku yang lama, yang sedikit berbeda dengan cara bicaraku pada Cagalli kalau kami ada di depan orang.
Perlahan-lahan Cagalli membuka pintunya lebih lebar, menandakan kalau aku boleh masuk. Cagalli masuk duluan sementara aku mengikuti dari belakang. "Bagaimana sekolah barumu?" Aku bertanya begitu pintu kututup; sekarang kami bisa berbicara dengan bebas. Aku bisa menjadi diriku, dan begitu pula Cagalli.
Cagalli tidak segera menjawab; ia hanya berjalan kembali ke tempat tidurnya, duduk di tepi tempat tidur dan memeluk boneka kepiting yang kuberikan sebelumnya. "Menyenangkan. Banyak orang-orang baru yang kutemui."
"Tapi Kira bilang kau malah kelihatan tidak senang."
Alis Cagalli berkedut. "Dia mengadu padamu?" mulutnya melengkung ke bawah, tidak suka. Sepertinya dia sudah memperkirakan kalau aku datang ke sini karena diminta oleh Kira.
"Bukan mengadu, tapi khawatir dan bertanya pada kami teman-temannya, apa sebaiknya yang dia lakukan." Aku mendekatinya, duduk di sampingnya. Seketika aku merasa tenang—jarang sekali aku bisa sedekat ini dengan Cagalli, apalagi di depan banyak orang. "Ada apa? Padahal harusnya kau bisa menyembunyikan perasaanmu dengan mudah kalau di depan Kira. Kalau sampai kelihatan, itu berarti ada sesuatu yang benar-benar mengganjal hatimu kan?"
Tetapi Cagalli tetap tidak menatapku dan malah memeluk bonekanya semakin erat. Begitu sadar aku sudah menariknya mendekat ke arahku, dan aku bisa merasakan tubuh Cagalli yang kaget karenanya.
"Aku senang kau suka boneka dariku, tapi aku akan lebih senang kalau kau memperhatikan orang yang memberikannya ketika dia ada di sini," aku mencoba mengalihkan perhatiannya padaku.
"Kau cemburu pada boneka?"
"Habis kau memeluknya erat sekali padahal aku sedang ada di sini," tanganku pindah ke kepalanya, membelai rambutnya untuk mencoba membuat Cagalli lebih tenang supaya dia lebih nyaman dan mau membuka diri padaku. "Kalau kau tidak bisa menceritakannya pada Kira… apa ini ada kaitannya dengan ingatan kita di masa itu?" Cagalli yang diam saja untuk beberapa waktu, sampai akhirnya dia mengangguk. "Begitukah…? Ada orang yang kau kenal di sekolah barumu?"
"Mayura… Asagi… Mereka ada di kelasku," Cagalli akhirnya bicara sambil menyembunyikan wajahnya di dadaku. "Aku melihat ada Juri juga, tapi dia di kelas yang berbeda… Aku mungkin bisa berteman lagi dengan Mayura dan Asagi. Aku juga ingin berteman dengan Juri, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya…"
Setelah Cagalli selesai menceritakan situasinya, pikiranku langsung beralih pada orang-orang yang disebutkan Cagalli. Aku memiliki kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan mereka, meskipun hanya sebentar saja. Aku melihat bagaimana Cagalli berinteraksi dengan mereka, dan aku tahu Cagalli sangat dekat dengan mereka. Sebagai putri yang dibesarkan dalam lingkungan yang ketat, Cagalli tidak memiliki banyak teman dekat. Bisa dibilang merekalah yang terdekat sebelum ada Kira dan kru Archangel yang lain.
"Meskipun Kira tidak ingat apa-apa, dia tetap jadi keluargaku di kehidupan sekarang. Aku bisa bertemu dengannya setiap hari dan justru hubungan kami lebih dekat daripada dulu. Tapi sesekali aku juga merasa kesepian karena dia tidak ingat apapun tentang kami yang dulu. Sekarang, dengan Asagi dan Mayura, aku senang karena akhirnya bisa bertemu mereka lagi. Mereka menjalani kehidupan yang damai kali ini. Tapi… melihat mereka yang tidak mengenaliku, rasanya sama seperti kesepian yang kurasakan pada Kira. Aku masih bisa berteman dengan mereka berdua, tapi Juri yang kelasnya berbeda… aku bahkan tidak punya alasan untuk bicara dengannya."
"Rasanya menyedihkan karena hanya kau yang ingat semuanya, ya. Bahkan saat terakhir mereka…" Aku bisa merasakan Cagalli mengangguk pelan di dadaku. Aku paham betul apa yang dirasakannya. Sebab sewaktu melihat teman-temanku lagi ketika masuk sekolah, aku juga berpikiran sama. Apalagi Nicol, Rusty dan Miguel yang meninggalkanku lebih dulu dibanding Dearkka dan Yzak yang hidup menua sama sepertiku. Di awal, aku merasakan senang campur sedih yang tidak bisa kugambarkan setiap bertemu mereka. Apalagi tidak ada yang bisa kuajak berbagi cerita seperti ini.
Karena itu aku berharap keberadaanku di sini bisa sedikit meringankan rasa sedihnya.
"Kalau Athrun, apa yang kau lakukan dulu?" Cagalli duduk sedikit lebih tegak, menatap ke arahku.
"Yah… karena tidak ada orang yang bisa kuajak mendengar ceritaku, aku tidak bisa apa-apa. Memang untuk beberapa waktu aku masih sedikit terbawa perasaan kesepian itu. Tapi semakin mengenal mereka, aku bisa merasakan kalau aku bersyukur mereka terlahir kembali di dunia ini, sehat tanpa kekurangan sesuatu pun. Kalau mereka bisa hidup damai seperti ini, biarlah meskipun mereka tidak bisa mengingatku."
"Padahal kau pasti lebih berat karena menyimpan semuanya sendirian. Aku terlalu bermanja padamu ya," tangan Cagalli terangkat, aku bisa merasakannya membelai pipiku. "Seandainya saja aku juga ada bersamamu waktu itu. Meskipun aku juga tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untukmu, aku bahkan mungkin belum ada waktu itu." Ia tertawa pelan.
"Cagalli tidak manja sama sekali. Itu sesuatu yang aku rasakan juga, jadi perasaanmu itu tidak salah. Aku justru merasa lega karena kau tidak perlu menghadapinya sendirian dan bisa bersamamu di saat seperti ini," aku menangkup tangannya yang masih ada di pipiku. Matanya yang begitu dalam sama seperti dulu, terlihat begitu kontras dengan wajahnya yang begitu muda. "Tidak apa-apa. Kalau kau, pasti bisa berteman lagi dengan mereka dengan mudah. Seperti dulu ketika membuatku menyebutkan namaku tanpa ragu padamu, waktu kita berpisah," Cagalli yang bersifat periang, peduli pada orang lain dan berhati lembut pasti bisa dengan mudah mengambil hati mereka, dan membuat siapa saja ingin berteman dengannya. Jadi aku tidak khawatir, dalam waktu dekat mereka pasti bisa menjadi sahabat lagi seperti dulu.
Setelah itu aku membuat Cagalli menceritakan padaku orang seperti apa Mayura, Asagi dan Juri. Aku mengenal mereka sekali lagi, membagi kenangan yang Cagalli miliki denganku. Di dalam ingatan kami, kenangan mereka bertiga akan selalu ada, meskipun di kehidupan sekarang mereka sendiri sudah melupakannya. Setelah menceritakan semuanya, aku bisa merasakan kalau Cagalli sudah lebih tenang dan nyaman dibanding ketika aku baru saja tiba di sini.
"Padahal aku hanya bertemu teman lamaku. Entah bagaimana kalau ayahku sebelumnya juga ada di sini…" Cagalli bergumam.
"Panggil saja aku kapan pun, aku akan mendengarkan ceritamu, meskipun mungkin itu tidak akan cukup," aku cukup yakin kalau Cagalli bertemu lagi dengan tuan Uzumi ceritanya akan beda dengan sekarang. Apalagi kali ini mereka bukan lagi keluarga, tapi benar-benar orang lain. "Setidaknya kau tidak perlu merasakan semuanya sendiri."
"Terima kasih, Athrun," senyum Cagalli sekarang terlihat lebih rileks dan ringan dibanding sebelumnya.
"Tidak, aku senang bisa membantumu. Aku juga jadi punya alasan untuk bersamamu seperti ini. Sekarang aku hanya perlu mencari alasan untuk Kira kenapa kau mau cerita padaku sedangkan padanya tidak." Kami tertawa bersama membayangkan wajah Kira ketika nanti aku memberitahunya kalau Cagalli sekarang sudah tidak apa-apa.
Sambil mereka-reka alasan yang bisa kuberikan, kami terus mengobrol sampai akhirnya Kira memanggil kami berdua.
Dipublishnya harus hari ini karena buat kenang-kenangan keluar di hari yang sama dengan tema every day SEED hari ini, waktu Cagalli-Athrun nyebut nama pertama kali, salah satu referensi scene yang ada di chapter kali ini meski cuma sekilas.
Guest san, hayuk kalau mau nobar movie-nya, mau online offline dijabanin, biar kalau misalnya mengecewakan ga kecewa sendirian (udah prepare for the worst duluan Shinku. Kalau ternyata bagus ya syukurlah. Kalau ternyata ngga ya sudah siap-siap dari awal hahaha)
Cheers~
