"Jadi, Solar yang akan menggambar desain gedungnya nanti?" Mata si seniman mural berbinar-binar cemerlang. "Mohon bantuannya, Solar!"

Solar tersenyum. "Tentu saja, Duri."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Disclaimer: BoBoiBoy © Monsta

A Luta Continua (Latin: the struggle continues) © Roux Marlet

The author gained no material profit from this work of fiction.

Alternate Universe, No Pairing, Grown-up Characters.

Genre: Friendship, Family, Angst.

Rated M (Mature) for the ADDICTIONS theme (to be explained later).

.

Important side notes: Tok Aba dan Amato di sini bukan ayah dan anak.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Solar hebat!"

"Solar anak pintar!"

Solar bin Amato berumur sepuluh tahun tersenyum lebar sembari menerima usapan lembut penuh kasih sayang di kepalanya. Tubuh mungilnya dibawa ke dalam pelukan hangat.

"Anak Ayah dan Ibu memang hebat!" ulang Amato sekali lagi sambil menggendong Solar yang kembali meraih peringkat satu saat penerimaan rapor di sekolah. "Betul, 'kan, Hanna?"

Istri Amato ikut tersenyum senang dan mengangguk selagi tangannya masih mengusap-usap kepala sang anak. Wanita berhijab itu berujar lembut, "Solar sayang, kamu mau hadiah apa tahun ini?"

"Aku mau mainan lego," jawab Solar mantap. Dia sudah memikirkan ini sejak beberapa tahun sebelumnya. Solar selalu punya perhitungan yang tepat dan dia yakin dirinya akan selalu juara kelas, dia bahkan sudah merencanakan beberapa hal untuk sekian tahun ke depan.

"Lego?" ulang Hanna takjub sambil melirik kepada suaminya. Solar meminta mainan balok yang bisa disusun menjadi miniatur bangunan? "Apa Solar ingin jadi seperti Ayah?" tebak Hanna.

Solar mengangguk riang. "Ya!"

"Solar juga ingin jadi arsitek seperti Ayah?" Amato bertanya dengan antusias.

Lagi, Solar mengangguk-angguk. Dia sering melihat ayahnya menggambar sketsa berbagai gedung di atas meja lebar. Rumah-rumah bertingkat, gedung pencakar langit, villa atau pondok di tepi danau. Solar diam-diam mengamati bagaimana sang ayah bisa membuat garis lurus tanpa perlu penggaris dan seluruh tangannya dari ujung jari sampai siku seolah tidak bergetar sama sekali. Sorot mata sang ayah dan alisnya yang bertaut dalam-dalam ketika memandangi kertas lebar itu, ketekunannya menambahkan detil demi detil dalam rancangan yang sudah tampak rumit, sampai kecekatannya dalam mengasah batang granit di tangannya. Kelihatan jelas Amato mencintai pekerjaannya.

Dan Solar ikut tertarik pada hal yang sama, bahkan sudah menyusun daftar hadiah yang ingin dimintanya tahun-tahun ke depan: buku sketsa, perangkat alat gambar, meja gambar. Dia yakin semua itu akan membuat orang tuanya semakin mencintainya juga.

Solar lahir dan tumbuh di kediaman sepasang suami-istri yang akur, berkecukupan secara finansial, dan dia sendiri dianugerahi otak brilian yang diyakini punya IQ di atas 130. Prestasi akademik tertinggi di sekolah selalu disambarnya, ditambah menjuarai berbagai olimpiade matematika dan fisika. Entah sudah berapa buah piala dan piagam penghargaan menghiasi kamar belajarnya dan sampai kini juga telah memenuhi sebagian besar ruang tamu.

"Ayah, Ibu ... tahun depan, aku bisa mulai masuk akademi."

Pengumuman Solar membuat kedua orang tuanya kaget tapi semringah.

"Solar jadi ambil kelas akselerasi?" selidik Hanna.

"Iya!" sahut Solar, kembali tersenyum penuh percaya diri.

"Solar pasti mampu!" Amato menyemangati. "Yang penting …."

"Yang penting apa, Solar?" undang Hanna.

"Yang penting, Solar nggak boleh sombong!" sambut sang anak dengan senyum cerah.

"Anak pintar!"

Bukan Solar namanya kalau tidak berhasil memenuhi ekspektasi orang tua. Dia betul-betul berhasil lulus pendidikan dasar di tahun berikutnya, memulai pendidikan menengah dan kemudian lulus setahun lebih cepat juga. Solar mengambil pendidikan tinggi di bidang arsitektur seperti sang ayah. Dia akan membantu pekerjaan Amato di biro konstruksi, tapi itu saja belum cukup. Solar bercita-cita melampaui ayahnya: dia akan jadi arsitek dan insinyur sipil sekaligus!

Deretan prestasi yang sempurna. Keluarga yang sempurna. Hidup yang sempurna.

Sayangnya, Solar si sempurna hanya bertahan sampai umurnya masuk kepala dua. Sekitar waktu itulah, dia mengenal Bora Ra dan geng Tengkotak.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Fang menggerutu pelan ketika sekali lagi kakinya terantuk kaki kursi di ruangan kantor. Dirabainya dinding sambil mencari saklar lampu.

KLIK!

Lampu menyala terang dan seseorang mengerang. Fang terkaget-kaget ketika orang itu menggelinding jatuh dari posisinya yang berbaring di sofa. Terlambat. Badan yang bersangkutan sudah sukses menghantam lantai.

"Aduuuh."

"Solar!"

Tentu saja si dosen teknik sipil panik dan segera mendekat. Solar tadi seperti terlempar saking kagetnya lalu jatuh dengan mukanya lebih dahulu.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Hancur mukaku yang ganteng!" gerutu Solar sambil meraba dahinya dengan hati-hati, sudah mendudukkan diri di lantai.

Fang memutar bola mata. Kalau bisa bilang begitu, artinya Solar baik-baik saja. "Maaf, kirain udah nggak ada orang."

"Pintunya nggak terkunci. Mana mungkin nggak ada orang?" Solar meraih kacamata visornya yang tergeletak di meja dan memasangnya ke depan hidung, lalu menggeserkan jarinya ke sebelah. Laptop, yang layarnya gelap di atas meja itu, seketika menyala terang.

"Kamu masih latihan?" tanya Fang sambil menengok isi layar. Proyeksi gambar bangun ruang sebuah gedung. Aplikasi AutoCAD, piranti lunak rekayasa bangunan tiga dimensi, gaman adiluhung para arsitek zaman now.

"Iya, lah. Mau ada proyek baru, juga." Solar membalas sambil berkutat dengan beberapa tombol di papan ketik, setengah memicingkan mata mungkin karena cahaya layar yang terlalu silau baginya. Benar saja. Sejurus kemudian, tingkat kecerahan layar meredup.

"Gimana ketemuannya sama si seniman, tadi?" Fang membuka percakapan sembari mendudukkan diri di sofa seberang.

Solar terdiam sejenak. "Lancar."

"Kamu udah makan?" Fang bertanya lagi. "Ini udah hampir jam tujuh malem."

"Gampang. Nanti aja."

Jawaban barusan menandakan Solar belum mengisi perut malam itu. Dan, kalau menilai betapa perhatian si pemuda begitu fokus pada layar laptop, sepertinya dia bakal menunda lebih lama lagi.

"Mau aku anter pulang?" Kembali Fang berujar.

"Hmm? Nggak usah, Fang."

"Lha, kamu pulangnya naik apa nanti? Bus terakhir beroperasi jam tujuh ini, 'kan? Atau mau jalan kaki?"

Solar menjeda sejenak sebelum menjawab tanpa menoleh, "Pak Bos mau ke sini, lalu pulang bareng ke rumah."

Alis Fang terangkat sebelah, menyadari tekanan pada kata terakhir yang berbeda makna dengan tujuan yang dia sendiri maksud saat menawarkan mengantar Solar pulang tadi. "Oh," celetuknya singkat.

"Bahas proyek," imbuh Solar tanpa diminta.

Fang tidak bertanya lebih jauh. Solar tidak tinggal serumah dengan Amato beberapa tahun terakhir. Saat itu, terdengar deru mesin mobil di luar kantor dan segera dimatikan. Mereka sama-sama tahu bahwa sang bos telah sampai.

Suara bariton terdengar dari luar pintu tak lama kemudian. "Oh, kamu di sini, Fang."

"Halo, Paman Amato. Aku baru selesai dari kampus."

"Ada barang tertinggal?" selidik pria yang lebih tua sambil mengedarkan pandangan dan bertemu mata dengan putranya.

Fang menyahut, "Bukan, Paman. Aku mengecek saja. Ternyata Solar juga masih di sini."

Solar tengah mematikan laptopnya dan menoleh pada sang ayah. "Aku beres-beres sebentar, ya."

"Bagaimana di kampus?" Amato berbasa-basi dengan Fang selagi Solar merapikan barang.

"Sebentar lagi ujian tengah semester," jawab Fang. "Semuanya sibuk."

"Kamu sendiri, kapan mulai kuliah magister?"

"Masih tahun depan, Paman."

"Semoga lancar."

"Terima kasih." Fang meringis, canggung terhadap diamnya Solar yang sudah selesai berberes. "Aku pulang dulu, Paman, Solar."

"Hati-hati di jalan," sahut Amato.

"Bye, Fang," sambung Solar.

Sepeninggal Fang dari ruangan, Amato juga bergerak keluar. Solar mengikuti dalam diam, tak lupa mematikan lampu. Pemuda itu mengunci pintu selagi sang ayah menyalakan mesin mobil. Fang berpamitan sekali lagi sambil memacu sepeda motornya.

Sejurus kemudian, ayah dan anak itu melaju dengan mobil.

"Solar," Amato memulai, "apa kamu tahu, Fang itu dari keluarga broken home?"

Solar menoleh heran. "Nggak tahu," jawabnya setengah tertegun, padahal dia kuliah bersama Fang selama tiga setengah tahun. "Dia nggak pernah cerita."

Amato tak langsung bicara lagi. "Orang tuanya bercerai saat Fang masih balita, sedangkan abangnya, Kaizo, usia remaja. Kaizo adalah klien kita kali ini."

Ya, dia sudah dengar dari Fang bahwa klien ini adalah abang kandungnya. Solar masih menunggu ayahnya meneruskan.

"Kaizo ikut ibu, Fang ikut ayah. Kaizo bekerja keras untuk membantu ibunya dan sudah sukses jadi pengusaha di luar negeri, sedangkan Fang … kukira dia belum cukup mandiri ketika ayahnya meninggal karena sakit."

Solar mengiyakan dalam hati. Bekerja di Surya Gamma Sentosa dan masih mati-matian menyambi mengajar di kampus serta mengejar beasiswa, juga ditilik dari gaya hidup Fang sehari-hari yang minimalis. Kawan Solar itu punya kendala finansial.

"Sebelum ayah mereka meninggal karena sakit, dia menyesal telah bercerai karena ternyata dia ditipu fitnah tentang istrinya. Dia berpesan pada Fang, kalau suatu saat bisa bertemu Kaizo dan ibunya lagi, dia mau minta maaf. Di sisi lain, ibu mereka juga meninggal karena sakit. Kaizo punya keinginan membangun sebuah gedung pencakar langit untuk … mengenang … orang tua mereka, terutama sang ibu, yang pecinta bunga lili. Kaizo pun baru-baru ini juga berkontak kembali dengan Fang."

Lawan bicara Amato masih membisu setelah cerita itu selesai.

Amato berkomentar, "Tiap keluarga punya masalah masing-masing."

Solar hanya diam dan tidak balas berkomentar. Kemudian Amato meliriknya dan bertanya, "Bagaimana rehab-mu?"

Yang ditanya agak tertegun. "Begitulah. Lancar."

"Besok ada jadwal ke rumah sakit?"

"Nggak ada." Jeda sebentar. Solar menambahkan, "Belakangan ini, hanya seminggu sekali di hari Sabtu."

"Oh?" gumam Amato, terdengar seperti hal baru baginya.

Kemudian keduanya sama-sama diam, memandangi jalanan yang masih cukup ramai.

"Berarti, besok kamu bisa ikut ketemu klien kita, ya," pungkas Amato.

Solar berpikir sejenak. "Apa Fang juga akan ikut?"

Amato menggeleng. "Kamu arsitek dan engineering manager-nya. Fang ikut nanti saja di rapat internal tim engineer. Menurutku, Kaizo akan kurang suka kalau adiknya ikut rapat besok."

"Aku double?" ulang Solar, setengah tak percaya. Secercah perasaan ganjil berdesir di dadanya. Ganjil, tapi pernah familier dalam dirinya.

"Kamu bisa, 'kan?" balas Amato, setengah melirik ke arahnya.

"... Aku akan berusaha," sahut Solar, memertimbangkan baik-baik untuk melanjutkannya, "Ayah."

Amato masih tidak tersenyum. "Kamu sudah makan?"

Ini kali kedua pertanyaan itu dilontarkan pada Solar. "Belum."

"Ada sedikit ayam goreng, nanti hangatkanlah dulu di microwave."

Solar mengangguk dan memejamkan mata, menahan keluhannya di dalam hati. Harusnya dia tahu, di titik ini mustahil dia mengharapkan makan malam bersama penuh kehangatan.

Pulang ke rumah sendiri tak pernah sedingin ini sejak Ibu tiada.

.

.

.

.

.

to be continued.

.

.

.

.

.

28.01.2023