"... Aku akan berusaha," sahut Solar, terdengar ragu saat melanjutkan, "Ayah."
Amato hanya merespon seadanya, "Kamu sudah makan?"
"Belum."
"Ada sedikit ayam goreng, nanti hangatkanlah dulu di microwave."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Disclaimer: BoBoiBoy © Monsta
A Luta Continua (Latin: the struggle continues) © Roux Marlet
The author gained no material profit from this work of fiction.
Alternate Universe, No Pairing, Grown-up Characters.
Genre: Friendship, Family, Angst.
Rated M (Mature) for the ADDICTIONS theme (to be explained later).
.
Important side notes: Tok Aba dan Amato di sini bukan ayah dan anak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Chapter warning: gross stuff, PTSD
.
.
.
.
.
Pagi itu, Solar sedang melotot di depan cermin, berkonsentrasi dengan pantulan bayangannya di sana dan kedua tangannya siaga di depan muka.
Sedikit lagi … sedikit lagi ….
Mendadak, pintu kamar Solar menjeblak terbuka dengan keras dan nyaris membuat soft lens di ujung telunjuk pemuda itu meleset jatuh.
Solar mengerjap karena kaget, tapi tidak menoleh karena sudah hampir selesai memasang benda tipis dan lunak itu ke depan iris matanya yang satu lagi.
"Solar. Kukira kamu belum bangun," ujar Amato. Solar tidak luput mendapati ada setitik nada lega dalam kalimatnya.
"Aku hampir siap, Ayah." Solar mengerjap lagi beberapa kali, menyamankan posisi lensa artifisial itu di bola matanya. Setelah pas, dipasangnya kacamata visor warna jingga di depan hidung. Solar mematut diri di cermin sekali lagi, memeriksa kerah kemejanya yang disetrika licin, lalu berbalik. Dia agak terkejut mendapati Amato masih bertahan di ambang pintu kamar. Dikiranya pria itu tak akan menungguinya memastikan penampilan sempurna sampai Solar puas.
"Kamu masih pakai soft lens di balik kacamata," komentar sang ayah, terdengar mencari-cari topik untuk dibicarakan. Solar menanggapinya sambil membenahi laptop,
"Gimana lagi, Yah? Mataku, 'kan, minus tujuh."
Jeda sebentar. Mungkin Amato lupa kapan terakhir kali Solar mengganti lensanya. "Secepat itu?"
"Setiap tahun, minusku bertambah setengah." Solar sudah siap dengan laptopnya di dalam ransel di punggung. Amato berbalik duluan meninggalkan kamar dengan diikuti Solar. "Apa Ayah sudah sarapan?"
"Belum. Nanti kita akan makan pagi bersama Kaizo."
"Eh?"
"Makanya dia minta bertemu pagi-pagi."
Solar sangat heran. Lagi-lagi dia mendapati Fang ada benarnya soal abang yang 'nyentrik'. Siapa klien yang bakal menjamu orang yang dipekerjakannya di pertemuan pertama?
"Kukira kita baru akan bertemu dengannya di kantor?"
Solar tidak memperoleh tanggapan atas retorikanya.
"Kenapa, Ayah? Apa ada yang berulang tahun?" lontar Solar asal, mencoba mengorek sekali lagi. Ayahnya tetap tak menjawab sampai mereka masuk ke mobil, duduk sebelah-menyebelah. "Kukira—"
"Kukira kamu akan senang makan gratis," gumam Amato singkat, sarkasmenya membungkam Solar sepenuhnya selama perjalanan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Waaaaah! Tampak sedaaap!"
Solar mengangkat alis tinggi-tinggi ketika suara cempreng itu menyambutnya di sudut restoran yang dimaksud. Di depan matanya terhampar beragam hidangan di atas meja berukuran sedang, beberapa masih mengepulkan uap, dan sisanya sedang ditata oleh pramusaji berseragam putih-hitam elegan. Dalam sekali pandang, kelihatan jelas orang bernama Kaizo ini tidak main-main menjamu mereka.
"Gempa! Aku mau makan yang ini!" Duri membungkuk dan mengendusi semangkuk besar sup krim jamur dengan mata berbinar-binar dan ditahan oleh Gempa agar jangan sampai menceburkan mukanya ke situ.
Oh, iya. Selain pemandangan menakjubkan tentang hidangannya di mata Solar, ada juga sepasang makhluk ganjil di pinggir meja itu. Ralat, maksudnya salah satu ganjil, satunya tampak normal. Seperti Solar, Gempa juga memakai kemeja sederhana namun rapi, tapi Duri mengenakan kaos oblong longgar dan celana denim sobek-sobek untuk jamuan makan seformal ini. Setidaknya tak ada noda cat di pakaiannya kali ini.
"Paman Amato, selamat datang," ujar seseorang dari belakang dan Solar menoleh.
Sesosok pria muda berambut gelap jabrik dalam baju kaos berkerah dan juga celana denim (tapi tidak sobek) tengah menyalami ayahnya. Saat sorot mata beriris merah itu berpindah ke arahnya, Solar bisa melihat betapa miripnya orang itu dengan kawannya, Fang.
"Kamu Solar?" Kaizo ganti menyalaminya. "Selamat datang. Teman Fang, ya?"
"Ya, benar."
"Aku dengar rekomendasi tentang biro ini dari Fang. Mohon kerja samanya." Kaizo menoleh sedikit ke arah Amato, yang balas tersenyum sopan. Berikutnya, klien mereka itu menyapa si seniman dan manajernya, selagi Solar dan Amato mengambil tempat duduk.
Kaizo tampak geli ketika Duri mengguncang-guncang tangannya dengan antusias, lalu memuji seniman itu, "Aku suka semangatmu."
"Aku suka gayamu!" balas Duri sambil nyengir sepenuh hati, membuat Kaizo tertawa. Abang Fang itu pun menyalami Gempa dengan ramah dan singkat. Kemudian, mereka semua duduk. Hening kemudian.
"Well, tunggu apa lagi?" seloroh Kaizo setelah beberapa detik mereka semua saling pandang. "Selamat makan."
Undangan itu pertama kali disambut penuh semangat oleh Duri, yang entah semalam tidak makan atau memang nafsu makannya kelewat besar diiringi sikap yang agak kampungan (di mata Solar). Seniman itu mengambil potongan iga domba yang besar ke dalam piringnya dan langsung makan menggunakan tangan. Amato dan Gempa menyusulnya, mengambil porsi masing-masing dalam jumlah yang lebih wajar (menurut Solar) dan menggunakan peralatan makan yang bersih. Solar sendiri masih mengamati Kaizo yang terlihat geli melihat Duri makan dengan begitu lahap.
"Makan yang banyak," komentar Kaizo, lalu dia mengambil porsi untuknya sendiri. Dia melirik pada satu-satunya orang yang belum menyentuh hidangan. "Apa menunya kurang cocok, Solar? Bilang saja, nggak apa-apa."
Solar sungguh tidak menyangka akan sekasual ini klien mereka. Dia menggumamkan, "Maaf, bukan begitu," sambil menyendok sup asparagus ke mangkuknya. "Aku hanya … kaget?"
Kaizo tersenyum simpul. "Fang nggak pernah cerita tentangku, ya?"
Solar menggeleng, sekali lagi menatap netra beriris merah yang serupa dengan kawannya itu. Kalau mengingat cerita Amato semalam, tentu keberadaan abang yang terpisah sejak kecil karena orang tua bercerai bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dikisahkan pada teman kuliah.
"Fang itu sangat rajin belajar dan ambisius," komentar Amato, mengambil alih perhatian sang klien. "Dia bekerja di biroku dan juga mengajar di kampus almamaternya. Tahun depan akan studi magister."
Kaizo mengangkat sebelah alis. "Begitu, Paman? Dia nggak bilang padaku kalau akan kuliah lagi. Tapi aku sudah tahu dia kerja part-time sebagai dosen."
"Dia sudah sangat sibuk, aku nggak mau menambahinya kerjaan," sahut Amato dengan nada setengah bercanda, lalu mengerling sekilas ke arah putranya. "Fang nantinya akan ada di tim Solar, engineering manager kami."
Solar sudah hampir angkat bicara untuk dirinya sendiri, mau menjelaskan bahwa dia juga arsitek selain engineering manager, saat sang ayah meneruskan, "Beda dengan Fang, Solar kerja full time hanya di biro ini. Nggak ada kesibukan lainnya."
Mengapa penjelasan itu seolah menikam dada Solar dengan pisau tak kasat mata? Rasanya seperti dia sedang dibandingkan dengan Fang oleh ayahnya sendiri. Kalimat Kaizo berikutnya menyelamatkan Solar dari potensi rasa malu yang lebih jauh lagi.
"Itulah untungnya satu keluarga dalam satu perusahaan. Solar pasti selalu siap membantumu."
"Ya, begitulah." Amato menjawab.
Solar mengangguk sopan tapi kaku ke arah Kaizo karena Amato meliriknya tajam. Oh, Solar sangat tidak suka pembicaraan di mana dia seolah dianggap tidak ada di sana. Bahkan Gempa dan Duri turut menyimak percakapan mereka sambil makan karena belum diajak bicara dan Duri tidak bisa makan tanpa menimbulkan berisik sehingga Gempa terus fokus kepadanya.
Amato tidak buang waktu untuk membelokkan kembali topik pembicaraan, "Kudengar, ini akan jadi gedung pencakar langit tertinggi di Malaysia."
"Di Asia Tenggara," koreksi Kaizo.
"Oh, iya, Asia Tenggara."
"Keren banget!" celetuk Duri tiba-tiba. "Akan ada berapa ruangan yang perlu kulukis nanti?"
Kaizo beralih pada si seniman mural. "Sebagian besar kamar hotel, yang itu nggak perlu dilukis. Yang kuminta adalah di sepuluh ruang meeting, lima showroom dan tembok luarnya."
"Tembok luar!" sahut Duri, masih antusias. Mata bulatnya bersinar-sinar senang. "Uuh, apa bahan cat yang harus kupakai, ya?"
"Bukannya Duri sudah sering melukis di tembok luar gedung?" Kaizo balas bertanya.
"Ya, tapi belum pernah di gedung pencakar langit!"
"Apa bahan catnya akan berbeda?"
Duri, yang duduk persis di seberang Kaizo, membungkuk mendekat dengan semangat. "Entahlah. Biasanya Duri pakai bahan kalium silikat!"
"Bukan cat dalam bentuk spray?" Kaizo agak takjub.
"Spray itu boros dan nggak ramah lingkungan, hihihi."
"Benar, kalium silikat itu bebas petroleum, jadi lebih ekologis daripada spray formaldehida," imbuh Amato yang setuju pada pilihan Duri.
"Lagian, menghirup cat spray lama-lamabisa bikin orang mabuk!"
Semua orang tertawa mendengar kelakar polos itu, tak terkecuali Solar.
"Tapi, cat kalium silikat agak mahal …." Duri meneruskan.
"Nggak masalah. Yang kumau adalah lukisannya awet," sahut Kaizo.
Ketiga orang itu masih melanjutkan diskusi seputar cat dan bahan bangunan sampai piring Solar sudah kosong dan dia diajak bicara oleh Gempa yang juga diabaikan dalam percakapan.
"Duri selalu bersemangat membahas beginian."
"Hm? Oh, ya."
Solar jelas merasa terasing dalam diskusi itu karena seluruh pekerjaannya masih ada di dalam kepala kalau belum dimulai. Tak ada yang bisa dibahas dari rancang bangun yang baru akan digambar. Lagipula, dia tidak mengerti soal material cat karena biasanya tak pernah ada seniman dilibatkan sejak proses perancangan gedung.
Gempa meneruskan, "Apalagi kalau ada yang mau mendanai pengadaan catnya."
"Apa biasanya nggak begitu?" Solar menoleh heran.
"Beberapa klien kurang membantu. Biasanya kami harus cari sendiri dan beli sendiri."
"Jadi, kamu juga paham soal bahan cat, Gempa? Kalium silikat dan apalah itu tadi?"
Gempa menggeleng, tersenyum kecil. "Aku hanya paham soal keuangan dan beberapa hal lain."
"Kalian beli cat dengan biaya sendiri?"
"Dari penghasilan proyek yang sebelumnya."
"Maksudku, dengan tabungan?"
"Duri nggak punya tabungan."
Penjelasan Gempa membuat Solar semakin merasa tak jelas. Apa maksudnya Duri betul-betul hanya bergantung dari penghasilannya melukis dinding? Pantas saja dia senang sekali ditraktir makan oleh Kaizo. Solar sendiri suka barang gratis. Tentu saja, karena dia perlu menghemat biaya hidup. Untuk koneksi internet saja, dia sering menumpang berlaptop ria di kantor Surya Gamma Sentosa karena ada wifi di situ. Dan, Amato tadi benar soal dirinya juga senang dapat makan gratis. Solar tak perlu memikirkan biaya makan setidaknya untuk pagi ini. Namun, selagi pikiran-pikiran ini muncul, timbul sedikit rasa melilit di dalam perut Solar yang awalnya tidak mengganggu.
Sebuah pekikan kencang di meja itu memecah pengembaraan di dalam benak Solar. Duri berdiri dan memutari meja untuk memeluk Kaizo erat-erat.
"Terima kasih!"
Gempa, juga tampak bingung seperti Solar, memandangi si seniman dengan sorot bertanya.
"Gempa, kita boleh tinggal di penginapan milik Abang Kaizo di dekat lokasi proyek!"
"Benarkah?" balas Gempa, ikut antusias tapi tetap sopan.
Kaizo sendiri bangkit berdiri untuk balas merangkul Duri sambil tertawa canggung. Saking semangatnya Duri, ujung kaosnya yang memang pendek sampai tertarik ke atas tapi pemiliknya tak terlalu peduli. Dia baru melepaskan Kaizo selepas beberapa detik dan si pengusaha telah balas menepuk-nepuk punggungnya.
"Oh … memangnya, sebelum ini, kalian menginap di mana?" Amato bertanya, dan dia telah mewakili Solar yang memikirkan hal yang sama karena kemarin belum menanyakannya.
"Rumahku sekitar sepuluh kilometer dari sini," Gempa yang menjawab. "Duri sudah seperti keluargaku sendiri."
"Duri sebetulnya suka jalan-jalan naik bus, tapi takut tersasar … hehehe."
Rasa melilit perih dalam perut Solar menjadi-jadi. Dia berdiri dan berujar, "Maaf, aku ke toilet dulu."
Amato mengangguk, Kaizo menunjukkan arahnya. Solar bergegas ke sana sambil merutuk dalam hati. Organ pencernaannya ternyata kampungan sekali, tak cocok dengan menu semahal tempat ini. Dia menyelesaikan urusannya di dalam toilet tak sampai lima menit dan sedang mencuci tangan di wastafel ketika Duri dan Gempa masuk.
"Oh, Solar! Kamu juga sakit perut seperti Gempa?" tanya Duri.
"Eh-oh, iya. Gempa juga sakit perut?" balas Solar. Si arsitek mengangkat alis ketika melihat Gempa meringis kecil, buru-buru masuk ke bilik kloset dan menutup pintu tanpa menjawabnya. Duri pergi ke bilik kencing yang berderet di ujung barisan wastafel.
"Tadi Gempa makan apa?" tanya Solar pada Duri yang berdiri membelakanginya di seberang ruangan. "Beda dengan yang kamu makan?"
"Mmm, kayaknya sup asparagus?" gumam Duri sambil menggulung sedikit ujung kaosnya dan menurunkan celana.
Oh, ya. Tadi Solar juga makan sup yang satu itu. Apa mungkin sayurnya memang kurang baik? Sambil menduga-duga, mata Solar menangkap sesuatu yang menarik. Rupanya dia tidak salah lihat saat tadi Duri merangkul Kaizo erat-erat dan kaosnya jadi tersingkap sedikit. Di bagian pinggang Duri, agak ke belakang punggung sebelah kiri, ada noda hitam luas yang Solar cukup yakin sekarang adalah tato. Solar berjalan mendekat untuk mengambil tisu sambil mencermati gambar di atas kulit itu. Menilik betapa bebasnya sikap dan cara berpakaian Duri sehari-hari, harusnya Solar tidak heran kalau seniman itu punya tato di badannya. Mereka … artistik dalam banyak hal, bukan?
Hanya saja, rasanya ada sesuatu yang menggelisahkan Solar ketika melihat Duri punya tato seperti itu, di bagian badan sebelah situ pula. Tato itu berbentuk tengkorak … mengingatkan Solar akan sesuatu, meski tengkorak adalah gambar yang umum dipakai oleh siapa saja. Pikiran-pikiran melejit dalam benak Solar sambil kini matanya mengawasi Duri.
"Solar juga makan sup asparagus?" Duri bertanya, menoleh sedikit sambil membenahi celana. Dia mestinya sadar Solar sedang menatapnya lekat-lekat, tapi tidak bertanya.
"Iya. Duri nggak makan yang itu?" balas Solar, masih berdiri di ujung wastafel.
"Mmm, belum, sup krim jamurnya terlalu enak~" Duri terkekeh kecil sambil berjalan melewati Solar untuk mencuci tangannya. "Gempa! Kamu sudah selesai, atau belum?"
Sahutan Gempa agak menggema, menyatakan urusannya belum selesai.
"Aku dan Solar tunggu di luar, ya!" Duri berseru lagi, yang dibalas oleh Gempa.
Solar menghela napas, untung tidak ada orang lain di dalam toilet. Mereka berdua keluar dan menunggu di lorong. Duri bernyanyi-nyanyi kecil sejenak, lalu bertanya pada Solar,
"Habis buang air, berarti Solar masih lapar, dong? Kamu harus coba sup krim jamurnya! Kalau belum habis, hihihi."
Solar menampilkan senyumnya lagi sambil masih mencermati wajah Duri dari dekat. "Yah, perutku memang rasanya jadi kosong sekarang."
Tidak ada kepalsuan sama sekali di bola mata yang berbinar-binar itu. Seperti menatap ke dalam mata anak-anak … sulit dipercaya orang polos dan kekanakan begini bisa punya tato, tapi demikianlah faktanya. Barangkali dulu, mungkin waktu masih kecil, Duri hanya salah pergaulan.
Dalam detik yang sama saat pemikiran itu muncul dalam benak Solar, timbul pula rasa bersalah memalukan yang telah lama terpendam. Siapa Solar, apa dia berhak menghakimi orang lain yang baru dikenalnya kemarin, seperti itu?
Bukannya Solar sendiri pernah salah pergaulan?
Ukh, mengingatnya lagi membuat dada Solar dilanda nyeri seperti tadi. Dia menoleh dan menatap Duri, yang ternyata juga sedang mengamati wajahnya.
"Apa?!" salak Solar agak terlalu cepat dan dia menyesal seketika. Dia harus jaga image di depan orang ini dan mengambil jarak sedikit. "Maaf, kamu terlalu dekat, Duri."
"Solar masih sakit perut? Kok diam saja?"
"Sudah nggak apa-apa. Oh, aku jadi ingat … apa aku bisa minta nomormu?"
"Nomorku?" Kepala Duri terteleng sedikit.
"Nomor telepon."
"Gempa nggak punya telepon di rumah."
"Maksudku, nomor ponsel." Solar agak tak sabar. Selain polos dan kekanakan, tampaknya intelektual Duri juga kurang memadai.
"Solar sudah punya nomor ponselnya Gempa, 'kan?"
"Iya, sudah punya. Tapi aku minta nomormu. Nomor pribadimu. Supaya mudah menghubungimu. Masa Gempa akan bersamamu sepanjang hari selama proyek yang mungkin bakal setahun lamanya ini?"
Duri mengerjap beberapa kali. "Tapi, itu memang tugasnya Gempa."
Logika Solar tidak sejalan dengan percakapan ini. Sebaik-baiknya atau seloyal-loyalnya seorang manajer, masa dia tidak akan ambil cuti atau libur sama sekali selama setahun? Manusia macam apa sebetulnya si Gempa? Dan seberapa besar dia digaji oleh Duri, kalau dapat makan dan tumpangan gratis saja si seniman tampak begitu senangnya?
"Intinya, kamu nggak punya ponsel, Duri?"
Duri menggeleng. "Nggak punya."
"Bukan mesti smartphone. Telepon genggam yang buat telepon dan SMS saja, punya?"
Lagi, Duri menggeleng. "Nggak."
"Tapi kamu tahu, ponsel itu seperti apa, 'kan?"
Duri mengangguk. "Gempa punya ponsel, jadi aku tahu."
Solar tak habis pikir. Orang macam apa di masa kini yang bisa-bisanya tidak punya ponsel?! Apa Duri tinggal di dalam gua?!
Saat itu, serombongan anak-anak berlari di lorong sambil memainkan ponsel yang senternya menyala. Pikiran Solar segera membentuk kalimat, Tuh, di zaman sekarang, anak kecil saja sudah punya ponsel!
Salah satu anak itu tertarik melihat penampilan Duri, yang balas tersenyum sambil berjongkok. "Halo!" sapa si seniman. Anak itu balas nyengir dan melambaikan tangannya yang memegang ponsel. Cahaya dari senter berkeliaran dan jatuh di wajah Solar.
"Wah, ternyata ponsel ada senternya, ya! Aku baru tahu!" seru Duri, sementara anak-anak itu terkikik mendengarnya. "Solar, aku ketinggalan zaman! Hihihi!"
Solar rupanya sudah tidak mendengarkan atau merespon. Dalam satu-dua detik cahaya silau itu tersorot ke arahnya, Solar bisa merasakan detak jantungnya meningkat. Tarikan napasnya melaju, kepalanya terasa berputar karena hiperventilasi. Saat organ pencernaannya mulai bergolak lagi, kali ini ke arah atas, sebelah tangan Solar otomatis menutupi mulut.
"Solar …?" seloroh Duri, yang mendongak ke arahnya karena tak ada tanggapan.
Solar terhuyung sambil meraih gagang pintu kamar mandi, nyaris menabrak Gempa yang akan keluar, lalu hampir meleset menumpahkan isi perutnya di wastafel.
Ada suara-suara yang mulanya terdengar jauh di telinga Solar, makin lama makin keras.
"Mata Empat sepertimu, mana bisa mengalahkan geng kami."
"Matamu minus enam, berani ikut balapan?"
"Mereka itu juara bertahan, tahu?"
"Hei. Kamu tahu mereka siapa, 'kan, Solar?"
"Mereka Geng Tengkotak …."
Di antara semuanya, ada suara dari sahabatnya, Fang,
"Kamu sudah berhasil diterima di geng mereka. Apa lagi yang kamu mau?! Sejak kapan kamu nggak bisa lepas dari taruhan bodoh ini, Solar?!"
Berikutnya, banyak cahaya menyerbu penglihatannya. Lampu-lampu dari mobil di depannya. Ada bunyi decit ban mobil yang beradu dengan karet rem, hantaman keras aspal dan pembatas jalan, lalu gelap. Kecelakaan lalu lintas itu bagai rekaman yang masih segar di ingatan Solar.
"Solar … Solar!"
"Ayah … Ibu … maafkan Solar …."
Terakhir adalah raut kecewa Amato yang begitu mendalam, terarah kepada dirinya, sang putra tunggal yang cemerlang dan terjerumus candu yang nyaris menewaskannya.
"Solar!"
Si pemilik nama berpegangan ke pinggir wastafel dengan gemetar. Gempa ada di sampingnya dan sedang memeganginya.
"Kamu perlu duduk?" Gempa bertanya dengan cemas. "Akan kupanggilkan Pak Amato …."
"Nggak … jangan," sengal Solar kepayahan. Dia menarik diri dari Gempa yang terlihat siap menggotongnya kalau dia sampai jatuh pingsan. Dari sudut mata, bisa dilihatnya Duri berdiri di ambang pintu, entah bagaimana ekspresinya. Solar membuka keran air untuk membasuh area mulutnya yang kotor. Pandangannya terasa buram oleh air mata. Dilepasnya kacamata visor itu sambil berpikir betapa memalukannya kondisi ini.
Dua menit berlalu dengan kondisi toilet itu sunyi, hanya ada bunyi air mengalir dan napas tersengal dari Solar. Gempa mengambilkan tisu dengan gesit.
"Maaf," ucap Solar pada kedua orang yang menyaksikannya muntah barusan, tapi lebih kepada Gempa. Gejala PTSD-nya tadi terlalu jelas, setidaknya bagi orang yang cukup normal seperti Gempa. "Tolong jangan bilang apa-apa pada yang lain."
Gempa mengangguk dan tidak bertanya lebih jauh, meski wajahnya tampak prihatin sekaligus penasaran.
Duri, alih-alih, bertanya, "Solar masih mau makan sup krim jamur?"
.
.
.
.
.
to be continued.
.
.
.
.
.
17.09.2023
