Aprilia Hidayatul present

"This Is Our Love"

a fanfiction about Halilintar and Yaya.

Genre : Slice of Life, Romance, Teenlit

Disclaimer : BoBoiBoy Galaxy belongs to Monsta Studio

Warning! Typo, garing, gaje, OOC, abusrd etc.

•••

Gadis itu membulatkan matanya tak percaya. Berkali-kali ia mengecek ulang hasil dari ujian masuk ke perguruan tinggi. Namun, tidak ada perubahan. Namanya tak tercantum sebagai peserta yang lulus.

Ketika matanya bergulir pada teman-temannya.

"Ying, kamu lulus!" Fang berseru senang ketika nama kekasihnya tertera dan dibalas anggukan semangat oleh gadis itu. "Kamu juga," balasnya.

"Hali, aku berhasil!" Taufan berkata dramatis seraya menggaet lengan Halilintar. Tentu saja pemuda itu mendorong muka Taufan menjauh darinya.

Asli, itu sangat risi. Ingin rasanya dia menenggelamkan Taufan di bendungan pinggiran Pulau Rintis. Siapa tahu dia berhenti bersikap berlebihan begtiu.

Sedangkan Yaya masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Seingatnya ketika mengisi setiap soal dia sudah teliti. Tidak ada yang salah karena semua materi memang telah dikuasai. Tidak mungkin kalau soal tiba-tiba berubah?

Yaya menggeleng cepat. Matanya seketika berkunang-kunang dan kemudian ia terjatuh.

Gubrak!

"Aduh, sakit sekali punggungku," keluhnya meringis kecil. Tangannya mengusap bagian yang paling terasa nyeri. Ia memegang sisi kanan kepalanya. "Mim-Mimpi?"

•••

"Kamu lagi-lagi mimpi gagal masuk perguruan tinggi?" Halilintar menaikkan sebelah alisnya usai mendengar cerita Yaya. Tangannya memegang cangkir kopi buatan. "Tidak masalah apa? Sampai sekarang terus bermimpi itu, padahal sudah berlalu beberapa bulan lalu. Bahkan, kita sudah melewati masa ospek," ujarnya heran.

"Membuatku heran saja," lanjutnya.

"Kamu, kan pintar, Lin."

"Kepalamu habis terbentur di mana? Kok mendadak amnesia begini," ujar Halilintar memajukan sedikit tubuhnya, lalu tangannya terangkat dan menyentil kening Yaya agak keras. Membuat gadis itu mengaduh pelan.

"Apaan sih, kenapa keningku kena?" Bibir Yaya mencebik kesal. Perasaan tidak ada yang salah dengan ucapannya tentang kepintaran seorang Halilintar.

Meskipun sibuk dengan pekerjaan, Halilintar pasti menyempatkan diri belajar. Baginya, membaca satu halaman sehari tidak masalah. Terpenting dia sudah berusaha.

Lalu, lihat hasilnya sekarang. Halilintar termasuk siswa tercerdas di angkatannya karena hampir setiap tahun mendapat peringkat umum paralel. Selain itu, penghargaan dari berbagai olimpiade dan kejuaraan menjadi nilai tambah untuk Halilintar. Lupakan soal sifat kaku dan dinginnya, suatu saat pasti akan berubah.

Pemuda itu benar-benar sempurna.

Sebentar, kenapa jadi mengagumi Halilintar? Harusnya saat ini ia mengeluh.

Ah, sudahlah. Lagi pula sebentar lagi mereka harus pergi ke kampus.

"Oh iya, maksudmu apaan bilang aku amnesia?" tanya Yaya ketika teringat sesuatu.

"Bukan apa-apa."

He?

"Omong-omong, kau yakin di jurusanmu sekarang?"

Yaya mengangguk mantap, lalu melahap sarapannya dengan santai. Mimpi buruknya semalam dilupakan begitu saja. "Ini sudah kurencanakan sejak lama. Jadi, tidak mungkin dibuang begitu saja kesempatan yang didapat," jelasnya.

Halilintar terdiam. Mata bermanik delima itu menatapnya lekat sesaat, lalu mengangguk singkat. Tidak ada pembicaraan lain setelah itu. Mereka larut dalam kegiatan masing-masing. Sesekali Yaya melontarkan pertanyaan seperti apakah Halilintar akan menjadi populer di kampus atau dia akan tergoda dengan gadis lain.

Dan setelah pertanyaan itu lolos, kembali sentilan mampir di kening Yaya untuk ke sekian kalinya. Walaupun tidak banyak bicara, tindakan Halilintar barusan mengungkapkan bahwa dia tidak akan seperti ucapan Yaya. Jika hatinya telah menetapkan seseorang di sana dia akan jaga sepenuh hati. Selama bukan pihak perempuan yang memintanya, Halilintar tidak akan melakukan apa-apa.

Ah, Yaya terkadang merasa kehangatan mengalir di dalam hatinya. Betapa beruntungnya menjadi pemilik tempat tersendiri di dalam hati seorang Halilintar Satriantar.

"Lin, menurutmu bagaimana penampilanku?" tanya Yaya ketika mereka akan berangkat kuliah.

Halilintar memerhatikannya dalam diam. Matanya menelaah dari atas ke bawah, lalu kembali lagi ke atas. Begitu selama beberapa saat hingga Yaya dibuat berdebar karena ulahnya. Oh tentu siapa yang tidak merasa canggung ketika diperhatikan pemuda tampan seperti Halilintar? Kalau ada, ia salut dengan orang itu.

Lalu, satu kalimat lolos dari bibirnya di mana itu membuat Yaya melongo tak percaya.

"Penampilanmu tidak ada bedanya. Hanya sekarang berpakaian bebas saja." Setelah mengatakan itu, Halilintar memasuki mobil hitam miliknya untuk di keluarkan dari parkiran.

"Kamu berharap apa, Yaya? Dia itu kaku dan payah," gumamnya nelangsa. Ia kira Halilintar akan memujinya. Setidaknya sekali saja, tapi pemuda itu bilang dia tampak sama saja dengan saat sekolah SMA.

"Hoy, Aya! Ayo cepat!"

"Iya, iya! Bawel!"

•••

Jarak kampus dengan kediaman mereka terbilang jauh. Jika ditempuh dengan kereta bisa memakan waktu sekitar setengah jam dengan kecepatan sedang. Setelah itu, ia harus kembali menaiki kendaraan umum untuk tiba di kampus selama lima belas menit. Tidak heran gerbong kereta setiap harinya selain terisi para pekerja kantoran, juga para mahasiswa yang siap berangkat kuliah.

Jika ditanya kenapa Yaya bisa tahu, tentu saja jawabannya dia pernah mengalaminya sendiri. Itu bermula saat hari terakhir mereka membereskan berkas-berkas pendaftaran ulang. Gadis itu ingin pulang sendiri menggunakan kendaraan umum. Padahal, Halilintar sudah berkali-kali mengajaknya pulang bersama. Alasannya pemuda itu takut kalau terjadi apa-apa dengan Yaya, maka kedua orang tua gadis itu mengadilinya. Bahkan, Halilintar yakin kedua orang tuanya juga akan ikut menyalahkannya.

Namun, bukan Yaya Yah namanya kalau menuruti perkataan tersebut. Ia terus saja memelas pada Halilintar agar dibiarkan pulang sendiri. Berbagai kalimat bujukan terlontar dari bibirnya. Hingga ketika Yaya berbisik sesuatu di telinga Halilintar, pemuda itu akhirnya mengizinkan. Entah apa yang dibisikkan, tetapi menimbulkan rona merah di ujung telinga Halilintar. Izin tersebut diberikan dengan jaminan Yaya harus baik-baik saja.

Lalu, perjalanan itu pun terjadi. Semua lancar dan aman tanpa hambatan apa pun. Kecuali saat tiba di apartemen, Halilintar menagih apa yang dijanjikan Yaya padanya.

Ketika mengingat itu, helaan napas panjang lolos dari bibirnya. Halilintar di sebelahnya menoleh dengan satu alis terangkat. "Kenapa?"

"Hanya teringat kejadian konyol saja.".

"Kejadian apa?" Halilintar mendesak, bertanya cepat.

"Saat aku pulang sendiri."

Ketika jawaban itu dikatakan, tatapan tajam dan dingin seseorang tertuju padanya. "Jangan diulangi."

Yaya melotot sebal. "Heh memangnya kenapa? Aku bukan anak kecil lagi sekarang," protesnya.

"Pokoknya jangan," ujar Halilintar keukeuh.

"Tidak mau!"

"Menurutlah, Aya. Jangan membantah terus, itu juga demi dirimu sendiri." Nadanya berubah lembut, tersirat kelelahan di dalamnya. Berharap gadis di sebelahnya lulus dan tidak keras kepala lagi. "Kalau kamu protes lagi, hal yang waktu itu akan kuulangi," lanjutnya mengancam saat Yaya akan membantah.

Bibir Yaya seketika terkatup rapat. Jangan sampai kejadian itu terulang atau Yaya akan semakin malu seumur hidupnya. Terlebih lagi, kelihatannya Halilintar enggan lupa soal itu. Justru semangat dan antusias walaupun mukanya tidak berekspresi lebih.

Untuk sesaat, penyesalan kenapa dia mengajukan itu sebagai imbalan jika Halilintar memberi izin padanya.

Astaga.

•••

To be continued

Eh apaan tuh sampai gak mau diinget lagi? Terima kasih yang sudah mampir.

See you!

RnR juseyo!