Chapter 18: Dokumen Penting

Ahli strategi perang dari China, Sun Tzu, pernah menuliskan sebuah buku yang berjudul 'The Art of War' atau Seni Berperang. Buku tersebut merupakan buku strategi militer yang sangat berpengaruh dan banyak memberikan perubahan dalam seni berperang di dunia militer China dan banyak diadaptasi oleh negara-negara lain. Meskipun saat ini dunia sudah tidak lagi saling berperang secara harfiah, namun strategi peperangan ini masih dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, untuk membantu memerangi perang yang tidak terlihat. Peperangan terhadap diri sendiri, dengan orang lain, atau dengan orang yang jahat dan berkuasa.

Aku memutuskan untuk mendatangi alamat dari lelaki itu. Midorima ikut menemaniku. Dia lebih terbiasa menangani kasus seperti ini dibandingkanku yang tidak tahu apa-apa. Demi mencegah terjadinya kesalahan pemula yang berakibat fatal dan merugikan semua orang, ada baiknya Midorima ikut untuk memantau. Aku masih belum tahu apa yang akan kutemui karena itu, sesuai dari strategi perang yang ditulis oleh Sun Tzu, untuk memenangkan peperangan harus melakukan penilaian pada lawan.

Aku harus tahu situasi di lapangan, kondisi kediamannya, suasana di lingkungannya, siapa lelaki itu, pekerjaannya, kegiatan sehari-harinya. Semuanya. Jika aku mau memegang rahasianya, aku harus memegang dulu kesehariannya. Kami turun di stasiun dan berjalan menuju alamatnya.

"Bagaimana kita bisa mengetahui semuanya dengan waktu satu hari? Ini sudah mirip pekerjaan stalker," kataku.

"Untuk itu ada yang namanya Dewan Harian," kata Midorima. "Mereka membantu kami dalam menyelesaikan urusan-urusan seperti ini." Dia mengirimkan sesuatu ke ponselku dan aku membukanya. "Itu adalah jadwal harian dari targetmu. Jadwal mengajarnya di bimbel, kemana dia menghabiskan waktu senggangnya, dan juga hobinya. Semua itu dikirimkan oleh Momoi."

Momoi Satsuki, sekretaris dari OSIS Belakang. "Aku tidak tahu dia mampu melakukannya." Aku membaca semua dokumen yang dikirim oleh Midorima. Momoi merangkumnya dengan sangat rapi dan mudah dipahami. Bahkan, Momoi dapat mengetahui minuman kesukaannya dan model majalah dewasa favoritnya. Rupanya, Momoi adalah sosok yang sangat hebat. "Bagaimana cara dia melakukan ini?"

Midorima membenarkan kacamatanya. "Ada hal-hal yang sebaiknya tidak perlu kau tanyakan, nanodayo. Sekarang kita fokus saja pada apa yang sebenarnya menjadi tugasmu."

Aku mengangguk tanpa memberikan pendapat. Midorima benar, tidak semua hal harus aku ketahui. Ada baiknya, beberapa di antaranya tetap tersembunyi dalam tanda tanya. Ada baiknya, beberapa hal kita telan saja bulat-bulat. Bagaimana cara Momoi mendapatkan informasi sedetail itu, lebih baik tetap aku jadikan misteri. Yang jelas, dia sudah sangat membantuku hari ini. Itu lebih dari cukup.

Alamat itu adalah alamat sebuh apartment tua yang memiliki 4 lantai tanpa lift dengan pengamanan seadanya. Apartment model seperti ini tidak memiliki CCTV di sekitar gedung, apalagi di dalam gedung. Namun, kami berdiri di seberang jalannya dan ketika aku menatap sekitar, ada beberapa CCTV kota di daerah taman.

"Midorima, apa menurutmu Momoi bisa mendapatkan rekaman CCTV itu?" tanyaku sambil menunjuk ke arah salah satu CCTV yang mengarah ke arah apartment.

"Jangan meremehkan kemampuan Dewan Harian, Akashi." Midorima mengetikkan pesan dari ponselnya dan dia memotret CCTV yang kumaksud. "Mungkin butuh agak lama."

"Tidak masalah," ujarku. Kami menuju masalah selanjutnya. "Menurut dokumen Momoi, seharusnya sebentar lagi dia akan pulang dari tempat pemancingan. Dan, kamarnya berada di lantai 3."

"Kita duduk saja di taman sambil menunggunya pulang."

Aku dan Midorima menunju sebuah bangku di bawah naungan pohon yang cukup rindang. Di hari yang cukup terik, tidak banyak anak-anak yang bermain di taman. Mereka lebih memilih tidur di depan kipas angin sambil memakan semangka potong. Membayangkannya saja aku sudah menjadi haus.

Aku menatap gedung apartment tua itu berkali-kali dalam kurun waktu 5 menit, hingga Midorima menegurku. "Kau akan terlihat semakin mencurigakan kalau terus menatap apartment itu," katanya.

Aku menunduk. "Aku tidak tahan jika tidak melihatnya," ujarku jujur.

Midorima menghela napas. "Bersikaplah seperti biasa."

Aku berusaha bersikap biasa. Namun, aku tidak terbiasa mendapati tugas dimana aku tampak seperti stalker seorang lelaki paruh baya yang tidak menarik. Akhirnya, aku menyandarkan punggungku ke sandaran bangku. "Bagaimana Takao?" tanyaku basa-basi. "Operasinya lancar?"

Midorima mengangguk. "Dia sudah dipindahkan ke ruang biasa."

Aku mengangguk. "Dia masih tidak ingat siapa yang menabraknya?"

Midorima menggeleng. "Entah tidak tahu, entah tidak mau bicara. Yang jelas, kondisi seperti itu menurut dokter tidak bisa dipaksa. Mungkin dia juga masih trauma karena kecelakaan itu."

Aku mengangguk lagi. Jika nanti Tetsuya terbangun, apa reaksinya akan sama seperti Takao? Tidak mampu mengingat apapun atau tidak mau mengingat apapun. Apakah jika nanti dia terbangun, aku tetap akan berada di dalam kegelapan? Apakah dia akan menyetujui dan membenarkan tindakanku yang akan menghancurkan OSIS Belakang serta Ketua Dewan, demi dirinya?

"Kuroko akan bangun," kata Midorima.

"Apa kau mengunjunginya?" tanyaku.

"Sebentar. Dia berada di ruang ICU yang berbeda, tapi perawat ICU sudah hapal dengannya."

Aku menyunggingkan sebuah senyum. "Terima kasih," ujarku pelan.

"Dan ketika itu OSIS Belakang sudah hancur."

Aku mengangguk. Dan setelah itu, dia tidak perlu lagi menderita.

Percakapan singkat itu berhenti ketika sosok laki-laki itu muncul. Dia berjalan santai dengan membawa tas pancingan. Tanganu ditahan oleh Midorima, seolah aku akan meloncat detik itu juga.

"Kau terlalu mencolok," desisnya. "Jangan perlihatkan gelagat bahwa kau menunggunya."

Aku kembali duduk dan berusaha untuk kembali santai. Namun, aku tidak bisa menahan mataku yang selalu ingin melihat kemana lelaki itu pergi, meskipun aku tahu bahwa dia akan masuk ke apartment-nya sendiri.

"Bagaimana cara kita menyelidikinya jika dia sudah di dalam apartment?" tanyaku. "Menurutmu apa ada hubungannya kasus ini dengan keluarnya dia dari SMA Teiko?"

Midorima menatapku dengan mata berkilat. "Diam dulu Akashi," desisnya. "Lihat itu," katanya sambil menunjuk dengan dagunya. Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. "Jangan terlalu kelihatan."

Aku mendengus, tapi aku pura-pura melakukan peregangan hingga aku melihat lelaki itu sedang menyapa seorang gadis muda, mungkin seusia denganku, dan menciumnya tepat di bibir. Aku hampir memuntahkan isi lambungku.

"Apa-apaan pedofil itu?" tanyaku dengan jijik. Seluruh tubuhku merinding. Aku tidak mau melihat mereka berciuman seperti itu, sehingga aku pura-pura melihat ke arah ponselku padahal tidak ada aplikasi yang kubuka. "Apa ini yang diminta Ketua Dewan? Menyelidiki pedofil?" tanyaku.

Dari sudut mataku, aku melihat pria itu mengalungkan tangannya di pinggul si gadis remaja dan mereka masuk bersama ke dalam apartment. Tampaknya mereka tidak melihat kami yang duduk dengan agak bersembunyi di bawah pepohonan rindang.

Ketika mereka sudah masuk ke kamar di pria, aku masih tidak percaya dan masih merasa jijik dengan apa yang baru saja aku lihat. Namun, kami juga tidak bisa melakukan apapun. "Kita pulang," kata Midorima. Dia bangkit dari tempatnya.

"Sekarang? Tapi, bagaimana dengan mereka?" tanyaku sambil menunjuk ke arah apartment.

Midorima mulai berjalan tanpa menungguku. Aku mengikuti langkahnya yang lebar. "Midorima, tunggu!" ujarku sambil mengejarnya. Namun, Midorima tidak mengatakan apapun selama di perjalanan atau pun di kereta. Kami hanya diam sambil tenggelam di dalam pikiran masing-masing.

Ketika aku sudah menutup pintu apartment-ku dan kami duduk berhadapan di meja makan, barulah Midorima buka suara. "Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan di sana hari ini," ujarnya. "Sekarang kita harus menyusun strategi. Di dalam apartment biasanya tidak akan ada CCTV. Seorang lelaki paruh baya, tinggal sendiri, bekerja hanya sebagai guru les. Tidak akan ada perampok yang mau membobol rumahnya. CCTV tidak dibutuhkan."

Aku mengangguk paham. "Kita tidak bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar itu," kataku kesal. Meskipun aku sepertinya tidak mau tahu juga apa yang terjadi di dalam. "Setidaknya, aku harus tahu dulu apa alasan dia berhenti bekerja di SMA Teikou."

"Aku sudah meminta tolong Momoi," ujar Midorima lagi. Aku menatapnya dengn takjub karena dia begitu cepat bertindak, sementara aku masih seerti belajar berjalan di jalanan batu. "Nanti lama-lama terbiasa," katanya ketika melihat ekspresi wajahku. "Ini pekerjaan pertamamu. Wajar saja kau banyak melakukan kesalahan."

Aku meringis. "Aku tidak berniat menjadikan ini pekerjaanku terus."

Dia mengirimkan sebuah dokumen lagi ke ponselku. aku membukanya dan membacanya. Seperti biasa, tulisan Momoi gampang dibaca. Kalau menurut laporan dari Momoi, lelaki itu sudah berhenti dari SMA Teikou sejak 5 tahun yang lalu. Dia berhenti karena konflik internal para guru, tapi sepertinya karena dia juga seorang pedofil dan beberapa kali tertangkap berkencan dengan siswi.

"Aku tidak mengerti. Seharusnya masalahnya sudah selesai kan? Dia sudah berhenti bekerja, tidak lagi ada hubungan dengan Teikou dan siswi yang tadi juga bukan SMA Teikou. Kenapa Ketua Dewan menyuruhku membereskannya?" tanyaku sambil menaruh ponselku.

"Yang pasti, ada sesuatu dari lelaki itu dan Ketua Dewan resah. Kalau hanya masalah pedofil seperti itu, biasanya Ketua Dewan tidak akan repot-repot. Jangan lupakan, Ketua Dewan memiliki rencana berlapis."

Kalimat Midorima masuk akal. Jika ini hanya masalah sepele, tidak mungkin berkas ini diberikan terakhir. Pasti ada sesuatu di dalamnya. Namun, aku tidak tahu harus menyelidiki dari mana. Satu-satunya cara adalah menyelidiki dari dalam apartment-nya. Memeriksa semua yang mencurigakan.

Hanya saja… "Midorima, apakah menurutmu ada cara untuk kita agar bisa menyelidiki isi apartment-nya?"

Senyum Midorima mengembang. "Kupikir kau tidak akan pernah bertanya, nanodayo."

.

"Tetsu-kun, Midorima-kun, maaf lama!" Momoi berlari-lari kecil menghampiri kami berdua. Kami menemuinya di restoran cepat saji yang agak jauh dari sekolah. Aku masih merasa tidak bermoral jika membahas ini di sekolah.

"Momoi," sapa Midorima ketika gadis itu duduk di depan kami berdua. "Apa kau sudah melakukan apa yang kami minta?"

"Maksudnya, kami minta tolong," ralatku.

Momoi tersenyum manis. "Tentu saja sudah. Aku sedikit bersemangat karena jarang-jarang Tetsu-kun minta tolong padaku."

Aku berusaha tersenyum. Momoi mengeluarkan sebuah Ipad dan sebuah kotak yang isinya adalah kamera tersembunyi. "Kalau kalian mau melihat apa kegiatannya di dalam apartment, maka tentu saja kalian harus punya kamera tersembunyi. Tempat paling strategis untuk melihat rahasia orang di dalam kamar tidur atau kamar mandi. Jadi, aku membawa dua." Dia menepuk-nepuk kotak berisi kamera itu. Aku yakin harganya pasti mahal. "Untuk pemasangannya sendiri mudah, hanya tinggal direkatkan dan dan dia akan otomatis menyala jika di tekan tombol on-nya. Dan, kita bisa dengan mudah menginstal dan melihat semuanya dari Ipad."

"Wow, Momoi terima kasih banyak," kataku terpana.

Momoi tersipu mendengarnya. "Tetsu-kun, kau manis sekali kalau sedang berterima kasih padaku."

"Lalu, apa lagi yang kau bawa?" tanya Midorima.

"Ipad ini kalian pegang dan aku sudah menginstal aplikasi di dalamnya, jadi nanti akan langsung tersambung setelah kamera kalian taruh. Lalu, aku sudah mencari model apartment seperti itu, dan membobol masuk ke dalam tidak terlalu sulit. Tapi aku tahu bahwa Tetsu-kun tidak akan cocok dengan pembobolan, jadi aku membawakan kunci cadangan." Momoi menyerahkan sebuah Ipad dan sebuah kunci cadangan ke depanku. Aku tidak tahu harus berterimakasih dengan cara seperti apa lagi. Gadis ini terlalu hebat dalam pekerjaannya.

"Terima kasih banyak," kataku.

"Tetsu-kun mengucapkan kata terima kasih sebanyak dua kali dan meminta bantuanku saja aku sudah senang," katanya. "Semoga berhasil kalian berdua." Lalu, setelah itu dia pergi dari restoran cepat saji.

Aku menatap Ipad dan kunci cadangan yang ada di depanku.

"Berubah pikiran?" tanya Midorima setelah sesaat yang hening.

"Apa aku punya pilihan?"

"Tidak. Kau sudah terlanjur masuk."

"Benar. Sekalian saja aku berenang."

.

Kami datang lagi ke apartment-nya ketika pria itu sedang mengajar di bimbel. Degup jantungku terasa sangat keras sampai aku merasa bisa copot dari jantungku. Kakiku terasa gemetar, tapi aku memaksakan diri untuk bersikap biasa saja. Midorima masih dengan ekspresinya yang biasa, seolah ini adalah pekerjaan biasa. Namun, dia memang sudah biasa melakukan pekerjaan ini. Setiap hari, selama setahun. Begitu pula dengan Tetsuya.

Aku ingin sekali berlari dari tempat itu bagaikan anak yang takut akan suara Guntur dan petir. Aku ingin kembali ke apartment dan mengunci pintu rapat-rapat. Aku tidak mau melakukan hal yang jelas-jelas illegal seperti ini. Namun, kakiku terus melangkah maju sampai mendekati pintu. Tidak apa, bisikku. Aku tidak benar-benar sendirian. Ada Midorima di sisiku. Dia akan menjagaku dan kami berdua akan baik-baik saja.

"Kuncinya," kata Midorima. Aku menyerahkan kunci duplikat itu pada Midorima. Lalu, Midorima memutar kunci itu di dalam lubang kunci hingga berbunyi nyaring. Itu terasa seperti bunyi paling nyaring yang pernah kudengar. Jantungku berdetak gila-gilaan.

Pintunya terbuka. Namun, ketika aku hendak meraih gagakng pintu, Midorima melarangku. "Pakai dulu sarung tanganmu. Kau tidak akan mau ada jejakmu tertinggal."

Tapi kita bukan pelaku kejahatan, itu adalah hal yang ingin kukatakan. Namun, jelas saja aku tidak mengatakan karena saat ini kami berdua terlihat seperti penjahat. Aku memakai sarung tangan kain tipis dan membuka pintu. Barulah kami masuk ke dalam apartment.

Suasana di dalam gelap and gorden tidak dibuka. Apartment itu kecil, di belakang pintu masuk adalah dapur dan mesin cuci. Di depan langsung pintu menuju kamar tidur dan kamar mandi. midorima mengecek arlojinya. "Seharusnya kita punya waktu 3 jam sampai dia kembali. Aku akan memasang kamera-kamera ini dan kau mulai mencari berkas-berkas penting," perintahnya.

Aku mengangguk. Midorima masuk ke dalam kamarnya dengan suara pelan dan aku mulai menelusuri isi ruang tamu yang sempit. Meskipun aku mengangguk, aku tidak tahu apa yang harus aku cari. Dokumen kah? Video? Foto? Atau hal lainnya? Namun, aku tidak mau banyak bertanya pada Midorima, karena sejauh ini rencanaku bisa berjalan lancar karena aku dibantu olehnya. Setidaknya, aku tidak boleh merepotkannya.

Aku kembali mengingat dokumen yang diberikan oleh Momoi. Dia bilang bahwa lelaki itu terlibat konflik dengan guru sehingga dia berhenti bekerja dan juga karena ketahuan berkencan dengan para siswi. Aku mulai mencari di lemari buku kecilnya, setiap buku, sela-sela halaman, lalu menuju di laci-laci berdebunya. Sertifikat gedung, tumpukan tagihan kartu kredit, album-album foto, semuanya aku sisir. Namun, aku tidak menemukan sebuah dokumen penting ataupun foto-foto yang kontroversional.

Aku kembali menyisir di bagian meja televisinya. Di sana, ada sebuah figura foto sekelompok orang berfoto di sebuah kuil. Ada tulisan Gathering Guru-Guru SMA Teiko, diambil sekitar 7 tahun sebelum tahun ini. Artinya, lelaki itu masih menjadi bagian dari SMA Teiko. Ada sekitar 20 guru berjajar sambil memakai kemeja formal. Aku bisa melihat lelaki itu berdiri di ujung barisan. Tidak ada yang janggal dari foto itu, hanya saja ada seseorang yang berdiri di tengah-tengah. Seharusnya ada yang berdiri di sana, tapi seluruh tubuh orang itu dicoret-coret dengan tinta hitam sehingga aku tidak bisa tahu siapa yang ada di foto itu.

"Sudah menemukan apa yang kau cari?" tanya Midorima. Aku terlonjak kaget dan hampir menjatuhkan figura foto tersebut. "Apa yang kau pegang?" tanyanya.

Aku menyerahkan foto tersebut. "Gathering para guru 7 tahun yang lalu. Ini target kita," kataku sambil menunjuk wajahnya. "Dan ada wajah yang dicoret di tengah ini."

"Mungkin dia berkonflik dengan orang ini," kata Midorima.

Aku menggeleng. "Menurutku sudah bukan konflik lagi. Biasanya, ketidaksukaan terhadap orang, mereka tidak akan pernah mencoret wajah orang di dalam foto. Kecuali jika mereka sudah mendendam. Kurasa konflik itu bukan konflik biasa di antara mereka. Mungkin itulah yang harus kita cari." Aku mengeluarkan ponsel dan memotret figura itu. Aku baru sadar bahwa aku tidak punya nomor Momoi. "Boleh tolong kau kirimkan ke Momoi untuk dicari foto aslinya?" tanyaku sambil mengirimkan foto tadi ke nomor Midorima.

Midorima mengangguk. Lalu, dia meletakkan lagi figura itu. "Waktu kita tidak banyak, Akashi. Kita harus menemukan dokumen yang memberatkan lelaki itu."

Aku mengangguk dan kami bekerja dalam diam. Aku membuka buku-buku latihan soal, membuka buku pelajaran, semuanya. Mataku sampai kelilipan keringat karena aku sama sekali tidak tahu apa yang seharusnya kami cari. Rasanya seperti mencari jarum di antara tumpukan Jerami. Aku ingin berhenti. Ini buang-buang waktu.

"Apa orang akan menaruh dokumen penting di rumahnya begitu saja?" tanyaku.

"Dia tinggal sendiri dan tampaknya tidak punya musuh. Dokumen seperti apapun bisa ditaruh dimana saja. Kalau dia saja memajang foto yang dicoret itu dengan bangga, artinya dia tidak berniat menyembunyikan dendamnya. Aku sudah menyisir kamarnya, tapi tidak ada apapun. Semuanya bersih."

Aku beralih menuju pintu lemari kaca terakhir, di paling bawah, tempatnya menaruh berbagai jenis cangkir teh. Di paling belakang, ada sebuah amplop coklat yang agak tebal. Aku mengjangkaunya dan mengambil amplop yang berdebu.

Aku membuka isinya dan terdapat beberapa dokumen dan sebuah kaset CD dengan model lama. Aku membacanya sekilas dan jantungku mencelus.

"Ketemu… Midorima, aku menemukan dokumen yang kita cari."

Aku memasukkan dokumen itu lagi ke dalam amplop dan kumasukkan ke dalam tasku.

"Bagus, ayo kita keluar sekarang."

Setelah memastikan semua benda ditaruh di tempat yang sama, kami menutup pelan pintu apartment dan menguncinya lagi. Jantungku masih bertalu-talu, bahkan setelah Midorima mengunci lagi pintunya. Dia mengantongi kunci tersebut dan melepaskan sarung tangannya. Aku pun melepas sarungtanganku dan menaruhnya di saku celanaku. Akan aneh jika tiba-tiba dua orang pemuda membuang sarung tangan di tong sampah di siang bolong.

Midorima berjalan duluan menuruni tangga apartment, namun ketika sampai di lantai satu, dia mengurangi langkahnya dan berbisik padaku, "Bersikaplah biasa saja, Akashi."

Awalnya aku tidak mengerti maksudnya, tapi ternyata target kami sudah pulang dari bimbel. Perutku melilit dan asam lambungku lagi-lagi naik ke kerongkongan. Jantungku bertalu-talu sampai aku tidak bisa mendengar apapun selain desiran darahku sendiri. Aku bisa merasakan kedua tanganku mulai berkeringat dengan cepat dan tasku terasa sangat berat, seolah diisi oleh semen basah.

Namun, aku tidak boleh panik. Midorima bilang harus bersikap biasa saja. Maka, aku harus bersikap biasa saja. Ekspresi wajahku harus diatur sedemikian rupa hingga tampak santai. Jangan sampai aku tertangkap basah sedang panik dan banjir keringat.

Lalu, momen itu datang. Kami berpapasan dengan target. Lelaki berusia 40 tahun, pedofil dan diberhentikan dari SMA Teikou. Dia memegang rahasia SMA Teikou untuk kepentingan dirinya sendiri. Dokumen yang ada di dalam ranselku. Momen itu hanya sesaat, dia bahkan tidak melihatku atau Midorima ketika melewati kami. Namun, aku terus membayangkan dia mencengkram bahuku dari belakang dan mengambil dokumen yang kami curi.

Tanpa sadar, kami sudah berjalan ke arah stasiun kereta api. Tidak ada dia yang mengejar kami. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan muncul. Bahkan, ketika kami berdua naik kereta dan pintu kereta tertutup, lelaki itu tidak muncul.

Kami telah berhasil mencuri dokumen dan juga memasang kamera di apartment-nya.

.

Aku baru menyadari bahwa tubuhku gemetar ketika aku berusaha membuka pintu apartment-ku. Karena aku terus-menerus salah memasukkan password, akhirnya Midorima yang menekan kata sandinya. Kami masuk ke dalam apartment dan aku langsung mengunci pintunya. Aku masih dibayangi rasa takut lelaki itu mengikuti kami sampai di sini. Namun, aku tahu bahwa kami tidak tersentuh lagi.

Midorima mengeluarkan Ipad-nya dan mulai membuka aplikasi tersebut. Sesuai kata Momoi, begitu kamera dipasang, langsung tersambung dengan Ipad. Kami bisa melihat kegiatan lelaki itu di apartment-nya sendiri. Bukan kegiatan yang menyenangkan. Karena itu, aku tidak terlalu lama melihatnya. Ada hal yang lebih penting dibandingkan melihat lelaki paruh baya pedofil yang sedang memasak makan malam untuk dirinya sendiri.

"Dokumen yang aku ambil tadi," kataku sambil mengeluarkannya dari dalam tasku. Midorima mengambilnya dan dia menatapku, seolah meminta izin. Aku mengangguk. Ekspresinya tidak datar seperti biasanya. Matanya membelalak di balik kacamata perseginya dan aku yakin seperti itulah ekspresiku tadi.

"Mengejutkan bukan," kataku ketika dia menyimpan lagi dokumen itu. "Siapa yang menyangka SMA ini punya Sejarah seperti itu?"

Midorima tertawa serak. "Benar benar. Apa kau punya Dewa Keberuntungan di sisimu?" tanyanya.

Aku menggeleng. Barulah, rasanya semua ketegangan mulai memudar. Aku bisa mengeluarkan tawa. "Yang benar saja. Mana ada namanya Dewa di dunia ini?" Lalu, aku beranjak ke kulkas dan mengambil dua botol soda. Aku memberikannya satu pada Midorima dan satu untuk kuminum sendiri.

"Sepertinya ini akan jadi diskusi panjang," ujar Midorima sambil mengambil soda itu dan meminumnya.

"Memang," jawabku. "Sudah siap?"

Midorima mendengarkanku dengan ekspresi serius.

"Aku tahu permasalahan ini. SMA Teikou punya Sejarah seperti itu dan lelaki itu menyimpannya. Kurasa, dulu dia diberhentikan dari SMA Teikou karena masalah ini. Namun, kenapa dia diam selama 5 tahun dan Ketua Dewan baru bertindak saat ini? Kenapa tidak dibereskan saat itu juga? Mungkin karena 5 tahun lalu dia mendapatkan uang kompensasi dari SMA Teikou dan akhirnya setuju untuk berhenti dan hidup menepi. Namun, kita tahu sendiri bahwa Ketua Dewan bukanlah orang yang akan memulai pertengkaran. Lelaki itu pasti menyulut Ketua Dewan."

"Jangan-jangan…"

"Iya. Uang kompensasinya sudah habis. Karena itu, dia membuat kontak dengan Ketua Dewan dengan mengancam bahwa dia memiliki dokumen ini. Mungkin dia berpikir bahwa ini akan sama mudahnya dengan 5 tahun lalu, hanya saja dia tidak tahu betapa berbahayanya membangunkan macan tidur. Dan, alih-alih memberikan uang kompensasi, Ketua Dewan mengutus para OSIS Belakang untuk menyelesaikannya."

"Itu teori yang sempurna. Tapi sebenarnya masalah kita menjadi bertambah di sini."

Aku menatap dokumen yang kudapatkan dari apartement lelaki itu, Ipad dari Momoi untuk melihat kegiatan sehari-hari lelaki itu dan berkas kasus dari Nash Gold. Midorima benar, ini akan menambah masalah, tapi memang itulah yang aku cari.

"Yang jelas, aku harus mendapatkan bukti yang memberatkan target kita dulu. Untuk dokumen ini akan kupikirkan nanti."

"Apa kau akan menyerahkannya pada Ketua Dewan?" tanya Midorima.

"Itu sama seperti memberikan taring baru pada macan. Untuk apa aku memperkuat pertahanan Ketua Dewan. Lagipula, Ketua Dewan tidak akan tahu bahwa kita memegang dokumen penting ini."

"Bagaimana kalau lelaki itu yang bilang?"

"Tidak mungkin. Dia juga butuh uang. Dia akan terus mengancam Ketua Dewan. Seperti kata Zun Tzu, berpura-puralah lemah saat kau kuat dan berpura-puralah kuat saat kau lemah."

Aku mengangkat botol sodaku dan mengajak Midorima bersulang. Setidaknya, ini tangkapan besar dan patut dirayakan. "Untuk kita dan kejatuhan ketua Dewan. Bersulang."

.

Malam harinya, aku masih duduk di depan meja belajarku sambil menatap rekaman si lelaki tersebut. Sejauh ini tidak ada hal yang dapat membebaninya sebagai pedofil, kecuali ketika aku melihatnya berciuman dengan seorang gadis SMA beberapa waktu lalu. Dan lagi, melihat kegiatan orang lain begitu membosankan dan membuang waktu. Aku tidak tahu apakah Ketua Dewan sebosan itu melihat kegiatanku atau Tetsuya di ICU, tapi tampaknya dia cukup menyukainya.

Aku mematikan Ipad tersebut dan mengambil dokumen yang kutemukan di apartment-nya. Rasanya seperti menemukan sebuah Mutiara hitam di dasar Samudra. Dokumen yang bisa menggulingkan Ketua Dewan dan menghancurkan semuanya. Dokumen yang sangat berharga dan aku yakin, Ketua Dewan akan melakukan apapun untuk mendapatkan dokumen ini kembali. Aku harus berhati-hati. Kini, rencanaku sudah masuk ke tahap selanjutnya. Sekarang, permainan akan semakin berbahaya. Jika aku salah melangkah sedikit, maka aku akan langsung jatuh ke jurang.

.

To Be Continued


A/N: Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Salam,

Sigung-chan