Chapter 20: Strategi dan Taktik Perang

Setelah kejadian kemarin sore, aku tidak punya kekuatan untuk menghubungi Midorima tentang apa yang baru saja kualami. Aku mandi, berganti pakaian, mencuci pakaian Aomine dan berbaring di atas tempat tidurku. Aku masih berusaha memproses kejadian mengerikan itu. Aku butuh waktu sampai siap bicara dengan Midorima. Namun, sore ini dia langsung datang ke apartment-ku untuk mengecek keadaanku, karena aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Midorima. Aku mengangguk. "Aku dengar kemarin sore ada kebakaran di Gedung Yayasan. Apa itu ada hubungannya dengan Ruang Arsip?" tanyanya lagi. Aku mengangguk lagi. "Apa kau mau menceritakannya?" tanyanya lagi.

Aku menghirup napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. "Yang terbakar kemarin adalah Ruang Arsip," kataku memulai. Aku menceritakannya dari awal. Dari pertemuanku dengan Momoi, lalu kami menuju Ruang Arsip, yaitu ruang tersembunyi di balik gudang. Aku mencari semua berkas yang berkaitan dengan Tetsuya dan konflik yang terjadi di antara mereka. Namun, aku tidak menemukan apapun. Momoi pulang dan aku dibiarkan sendiri. Lalu, aku juga menceritakan sosok yang mengurungku di dalam Ruang Arsip dan menyulut api. Aku menceritakan bagaimana aku meloncat dari lantai 2 dan bertemu dengan Aomine dan dia merawatku di UKS dan meminjamkan baju untukku. Setelah aku selesai bercerita, ekspresi Midorima tampak seperti divonis mati.

"Itu mengerikan sekali! Akashi, kenapa kau tidak berusaha menghubungiku?" tanyanya.

"Aku tidak sempat berpikir seperti itu."

"Menurutmu apa Momoi dan Aomine bekerja sama?" tanya Midorima.

Itu adalah pertanyaan yang selama ini kuhindari. Aku membayangkan wajah Momoi yang tersenyum dengan baik, tersipu ketika aku berterima kasih dan dalam banyak hal, telah membantuku. Dan aku mengingat Aomine yang terluka ketika aku menuduhnya, tapi masih mau berbaik hati merawat lukaku dan memberikanku pakaian ganti.

"Aku tidak tahu," ujarku sambil menggeleng.

Ekspresi Midorima tampak seperti orang yang sedang berdebat dengan dirinya sendiri. "Aomine dan Momoi bukan orang seperti itu," gumamnya, "tapi mereka juga adalah Dewan Harian. Perintah Ketua Dewan mutlak. Jadi, kemungkinan itu masih ada." Dia menatapku. "Dan lagi Akashi, Momoi membantumu mencari foto asli kemarin kan? Mungkin Ketua Dewan tahu apa rencanamu selanjutnya dan berniat membungkammu."

Aku merasakan sebuah perasaan di mana aku ditusuk dari belakang dengan sebuah pedang yang sangat tajam. Apakah selama ini Momoi adalah mata-mata Ketua Dewan? Semua bantuannya dan semua ucapannya tampak tidak masuk akal. Namun, kalau dipikir-pikir, Momoi terlalu hebat dalam mengerjakan pekerjaannya. Dia bisa mendapat begitu banyak detail penting yang tidak pernah kubayangkan. Dan lagi, Momoi tahu mengenai Ruang Arsip dan dengan gampangnya membawaku ke sana.

Hatiku serasa diinjak-injak oleh Momoi. Setelah semua yang dia katakan kemarin, bahwa dia mendukungku, semua itu tidak ada artinya. Dia hanya mengatakan itu untuk membuatku lengah dan menghapusnya dari daftar kecurigaan. Rasanya sangat menyakitkan jika mengingat semua bantuan yang pernah diberikannya untukku.

"Apa yang diberitakan mengenai kebakaran itu?" tanyaku.

"Konslet listrik. Ruangan itu habis terbakar tanpa ada bukti yang tersisa. Kepala Sekolah mengatakan bahwa itu hanya gudang yang terbakar. Mereka tidak menyinggung apapun mengenai siswa yang terjebak di sana."

Aku mengangguk. "Wajar saja. Akan menjadi sorotan publik kalau ada berita tentang siswa yang terjebak di sana. Ketua Dewan pasti tidak mau berita seperti itu naik ke permukaan. Tapi, bertindak ekstrem seperti ini seperti bukan dirinya."

"Apa maksudmu?"

"Entahlah. Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, Ketua Dewan berkata bahwa 'Orang di balik layar tidak boleh terlihat mencolok'. Karena itu dia tidak pernah tampil di hadapan publik. Bahkan, dia repot-repot memakai pengubah suara agar tidak dikenali. Tapi membakar Ruang Arsip? Itu sudah terlalu mencolok, bahkan untuk ukurannya."

"Mungkin. Tapi kau juga selalu memberikan perlawanan padanya, mungkin itu juga yang membuat kesabarannya habis."

Aku masih merasa janggal. "Bukan hanya itu Midorima. Rasanya yang kali ini terlalu sempurna untuk mengeksekusiku." Midorima menatapku bingung. Aku melanjutkan, "Entah bagaimana, aku, Momoi dan Aomine tampak berada di dalam satu panggung yang sama. TKP dipersiapkan, dan aku dibimbing oleh Momoi menuju TKP. Lalu, ada Aomine yang menolongku. Semuanya terlalu kebetulan dan pikiran pertama kita berdua sama, 'Apakah mata-mata Ketua Dewan adalah Momoi dan Aomine?' Ini semua tampak terlalu mudah dan seperti gampang dibaca. Seolah-olah Ketua Dewan memang langsung menyodorkannya kepadaku untuk kubaca seperti itu."

"Membimbingmu untuk percaya bahwa Momoi dan Aomine memang melakukannya," simpul Midorima.

Aku mengangguk. "Tepat seperti itu. Meskipun kita tidak bisa menyingkirkan kemungkinan bahwa mereka berdua memang mata-mata yang dikirim Ketua Dewan, tapi aku merasa ada sesuatu yang lain. Ingat ketika kepalaku hampir tertimpa pot bunga? Metodenya sangat berbeda. Mengurungku, memakai api untuk membakarku. Itu bukanlah kematian yang cepat."

"Menurutmu si pelaku ingin menyiksamu dulu sebelum membunuhmu?"

Aku mengangguk. "Kecelakaan Takao. Kejadian itu begitu cepat dan tanpa penyiksaan. Namun, metodenya berubah drastis. Sepertinya ada yang berubah."

"Apa mungkin pelaku yang menyerangmu itu selalu berubah-ubah? Mungkin Ketua Dewan memakai beberapa pion sekaligus."

Aku menggeleng. "Kurasa tidak. Ketua Dewan tidak suka terburu-buru seperti itu. Dia lebih suka mengamati dalam diam hingga incarannya bergerak. Menggerakan beberapa pion seperti itu tidak akan menguntungkannya."

"Tapi kalau begitu, apa alasan dari tindakannya?" tanya Midorima.

Aku menghela napas. "Seseorang bisa menyembunyikan isi hatinya dengan lihai, itu salah satu kemampuan manusia. Namun, tindakan mereka lebih banyak bercerita dari ucapan mereka. Aku merasa bahwa tindakannya berusaha membakarku di Ruang Arsip, itu tampak seperti pemberian hukuman. Hukuman untuk menyiksaku. Namun, untuk apa? Ketua Dewan tidak terburu-buru dalam mengincarku. Jadi, aku berkesimpulan, pelaku lah yang memiliki dendam padaku."

"Pada Kuroko Tetsuya?"

Aku mengangguk, lalu menggeleng. "Bisa jadi. Bisa pada Kuroko Tetsuya, bisa juga pada diriku, Akashi Seijuurou. Mengetahui Ketua Dewan, kalau bisa disingkirkan dua-duanya, itu jauh lebih baik. Tapi kembali lagi ke pembakaran kemarin. Tampaknya pelaku memiliki dendam kesumat padaku. Dia ingin memastikan aku menderita sebelum mati perlahan-lahan."

"Kau sudah mencari tahu hal ini dari kemarin?" tanya Midorima.

Aku tersenyum. "Ayo, ikut ke kamarku."

Aku membawanya ke kamarku dan aku menunjukkan hasil karyaku kemarin. Aku membuat Mind Mapping mengenai semua kejadian yang telah terjadi padaku. ada foto Tetsuya yang kulabeli dengan 'Ketua OSIS/Pengkhianat', lalu semua foto-foto Dewan Harian dan jabatan mereka. Aku juga mencantumkan hubungan macam apa yang terjalin di antara masing-masing anggota.

"Ini seperti di film-film," kata Midorima. Aku hanya mengangkat bahu.

"Aku punya waktu luang banyak. Jadi, kupikir ada baiknya jika kita memudahkan pikiran kita dengan Mind Mapping seperti ini. Kita bisa mengurai masalah yang ada juga. Jadi, ayo kita coba uraikan masalahnya." Kami mendekati Mind Mapping yang kubuat dan kutempel di papan tulis di dalam kamarku. "Ini kita bawa keluar saja."

Kami berdua mendorong papan tulis itu menuju depan meja makan di dapurku. Aku menyiapkan beberapa sticky notes dan lakban untuk merekatkannya di papan tulis. "Kita mulai dari Takao yang mengetahui identitasku." Aku mengetuk-ketuk foto Takao. Di bawahnya kutulis apa saja yang sudah dia lakukan untuk menyakitiku. Midorima tidak berkomentar apapun. "Sejak itu, pot bunga jatuh hampir menghantam kepalaku dan secara kebetulan, Takao mengalami kecelakaan."

"Apa menurutmu dia yang menjatuhkan pot bunga?"

"Bisa jadi. Saat itu di loker sepatu hanya ada kita berdua dan aku tidak punya bukti apapun yang bisa mematahkan hipotesisku. Jadi, dia masih masuk dalam daftar tersangka. Namun, setelah itu dia kecelakaan, sehingga tidak mungkin dia pelaku pembakaran. Pasti orang lain yang melakukannya."

"Bukan Takao yang menjatuhkan pot bunga itu," kata Midorima.

"Maaf? Apa kau mau membelanya sekarang?" aku bertanya dengan setengah sengit. Aku bisa berdebat dengan Midorima seharian, tapi aku tidak punya waktu untuk itu.

Midorima menggeleng. "Bukan. Aku hanya memberikan bukti. Ketika pot bunga itu jatuh sekitar pukul 4 sore, sementara aku dikabari bahwa Takao kecelakaan pukul 4.15 sore. Lagipula, Takao kecelakaan di jalan raya yang jaraknya jalan kaki sekitar 30 menit dari sekolah kita. Takao tidak mengendarai motor atau pun sepeda, jadi mustahil menjatuhkan pot bunga di jam 4 sore dan berlari secepat kilat hanya untuk ditabrak."

Apa yang diucapkan Midorima masuk akal. Aku sendiri tidak mengecek jam ketika kejadian itu terjadi. "Oke, kalau begitu artinya Takao tidak menjatuhkan pot bunga." Aku memberikan tanda silang dengan spidol merah di sebelah tulisanku. "Tapi itu juga membuka begitu banyak peluang lainnya. Karena siapa saja bisa menjatuhkan pot bunga itu."

"Benar juga," kata Midorima. "Tapi Akashi, kita jadi tahu satu hal. Orang yang menjatuhkan pot bunga dan orang yang mengurungmu itu pasti orang yang sama."

Aku menatapnya. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Polanya jadi masuk akal sekarang. Dia berusaha membunuhmu dan gagal. Lalu, mungkin dia geram karena kau ternyata sulit dibunuh sehingga dia ingin menyiksamu sebelum membunuhmu."

Aku mendengus. "Kau sadar bahwa sedari tadi kita membicarakan seorang tersangka pembunuhan? Aku tidak percaya bahwa anak SMA harus mengalami hal-hal seperti ini."

"Selamat datang di SMA Teikou, kurasa."

Kami tertawa kecil akan lelucon garing itu. Namun, kami langsung kembali ke papan tulis. "Berarti, ada pelaku yang harus kita cari," kata Midorima sambil mengambil sebuah sticky notes dan menggambar siluet orang dan menempelkannya di papan tulis.

"Bagaimana dengan Momoi dan Aomine?"

"Bisa kita masukkan sebagai terduga tersangka. Namun, profil mereka tidak cocok dengan kedua percobaan pembunuhan itu." Midorima menghela napas. "Dengan kemampuan Momoi, harusnya dia bisa menyingkirkanmu dengan mudah tanpa mengekspos dirinya. Tapi, untuk apa harus bersusah payah menunjukkan dirinya? Itu tidak masuk akal."

"Begitu pula dengan Aomine. Kenapa dia tidak menghabisiku tapi malah menolongku? Seharusnya itu tugas mudah karena aku sedang terluka."

"Benar. Namun, siapa orang yang cocok dengan profil itu?" tanya Midorima. Aku juga menemui jalan buntu. "Bagaimana dengan Jason Silver?" tanya Midorima. "Ketua Dewan pasti tahu dia punya dendam pada Kuroko, mungkin dia memanfaatkan Jason."

Pikiran yang menggoda untuk menuduh Jason Silver, karena dia tidak punya alasan untuk tidak menyingkirkan Kuroko. Namun, aku menggeleng. "Aku tahu Jason Silver. Dia bukan orang yang akan menyiksa dengan cara seperti itu. Jika dia ingin membunuhku, dia pasti akan dengan bangga datang kehadapanku dan membunuhku langsung dengan kedua tangannya. Dia orang dengan harga diri tinggi dan kemarahan yang meluap. Artinya, dia akan memastikan hal terakhir yang aku lihat adalah wajahnya yang menyeringai."

"Setelah apa yang kau lakukan padanya, kita bisa menyingkirkannya dari daftar. Tapi, itu tetap tidak mengurangi pencarian kita."

Aku mengerang. "Memang." Kami berdua menatap papan tulis yang sudah penuh dengan tempelan, foto dan tulisan-tulisan itu dengan putus asa. Kami tidak berhasil menyimpulkan apapun dari kejadian pembakaran kemarin.

"Ya sudah, kita kerjakan apa yang kita bisa dulu. Bagaimana perkembangan targetmu? Apa kau sudah menemukan sesuatu yang berharga?" tanyanya.

Aku mengambil Ipad dari dalam laci kamarku dan menontonnya bersama Midorima. "Sejauh ini kegiatannya masih sama dan sama sekali tidak berubah. Dia juga tidak mengecek bahwa dokumen miliknya telah hilang."

"Oh tunggu," kata Midorima. Dia menunjuk ke layar Ipad. "Dia baru saja kembali. Tunggu, dia membawa anak kecil. Apa dia punya anak?"

Aku menggeleng. "Dia data Momoi tidak disebutkan dia pernah menikah atau punya anak. Mungkin itu anak kerabatnya."

"Tapi aneh sekali kalau kerabatnya tiba-tiba menitipkan anaknya. Ini bukan musim liburan."

Kami bersama-sama menonton. Lelaki itu mendudukan anak kecil itu di sofa sementara di menaruh tasnya. Entah kenapa, aku bisa merasakan sebuah firasat buruk. Barulah kata-kata di dokumen Momoi teringat jelas di dalam otakku. "Lelaki itu pedofil," kataku. "Midorima, aku merasa dia akan melakukan sesuatu yang buruk pada anak kecil itu!" ujarku. "Kita harus menelepon polisi!"

"Tunggu Akashi!" Midorima menahan tanganku yang hendak menelepon polisi. "Ini adalah bukti yang kau cari. Ini bukti untuk mengahancurkannya. Kalau kau menelepon polisi sekarang, tidak akan ada bukti yang bisa kau temukan. Kau tidak bisa menyelesaikan tugasmu."

"Siapa yang peduli itu sekarang! Ada seorang predator dan aku tidak akan diam saja." Aku menyentak lepas tangan Midorima.

"Lalu apa yang akan kau katakan pada polisi? Kau melihatnya melecehkan anak kecil dari kamera tersembunyi yang di pasang di apartment-nya? Begitu? Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau katakan itu? Kita juga akan diselidiki!"

Aku terdiam. Ucapan Midorima ada benarnya juga. Namun, aku tetap tidak bisa membiarkannya. Ada seorang predator anak-anak sedang melecehkan anak kecil. Perutku bergolak dalam perasaan yang sangat menjijikan. "Aku tidak bisa membiarkannya."

Midorima berjalan ke arahku. "Kita tidak akan membiarkannya. Tapi caramu terlalu gegabah. Kau harus tenang dulu, Akashi."

Aku kembali duduk di meja makan dan kubalikkan layar Ipad sehingga aku tidak bisa melihat apapun yang sedang terjadi. Midorima duduk didepanku. "Bagaimana kau mengatasinya…"

"Percayalah Akashi, ini tidak pernah mudah. Terburu-buru tidak akan membawamu kemana pun. Kita harus memikirkan langkah selanjutnya."

Aku menarik napas dan menghembuskannya. Pikiranku kacau, tapi aku berusaha fokus. Aku tidak tahu bahwa melihat pelecehan pedofil begitu menjijikan dan membakar amarah di dalam diriku. "Jadi, langkah selanjutnya," kataku. Midorima mengangguk. "Aku sudah memikirkan strategi berikutnya. Dan kurasa aku bisa memanfaatkan keributan yang sedang terjadi di sekolah. Pada dasarnya, Ketua Dewan sudah tidak peduli jika terjadi keributan. Jadi, kenapa kita tidak menyambutnya dengan meriah?"

"Aku mendengarkan."

Jadi, aku mulai memberitahu rencanaku selanjutnya. Rencana itu bisa semakin sempurna jika Midorima menambahkan pendapatnya. Dia yang lebih memahami medan perang dibandingkan diriku. Strategiku pasti akan lebih sempurna jika bersama dengan Midorima.

"Kau… benar-benar gila. Apa yang kau lakukan hanya akan mengobarkan perang terbuka."

"Dia berusaha membakarku hidup-hidup. Setidaknya, ini yang bisa kulakukan untuk membalasnya."

.

Pagi itu aku masuk sekolah seperti biasa. Namun, pagi itu adalah pagi yang tidak biasa. Ada beberapa wartawan berada di depan gedung sekolahku dan aku berusaha tetap tenang sambil berjalan masuk ke kelasku. Para siswa yang telah datang juga sedang berdiskusi seru sambil menatap ponsel mereka. Aku menaruh tasku dan Ogiwara menghampiriku. "Apa kau sudah baca berita?" tanyanya.

"Ah, aku belum melihat berita apapun pagi ini. Apa ada hubungannya dengan wartawan di luar?" tanyaku.

"Berita gila! Kuroko, kau harus baca!" Ogiwara menyodorkan ponselnya padaku dan aku membaca berita yang aku sudah halap di luar kepala. Rencanaku dan Midorima sudah berjalan dan ombak yang datang tidak bisa dihentikan lagi.

MANTAN GURU SMA TEIKOU TERTANGKAP BASAH MELECEHKAN SEORANG ANAK KECIL DI APARTMENT-NYA!

Itulah judul headline berita yang kubaca. Benar, rencanaku dan Midorima adalah mengekspos kasus ini langsung ke awak media. Tidak terburu-buru seperti yang awalnya aku rencanakan, dengan langsung menelepon polisi dan menyeret kami berdua ke lubang lumpur. Namun, kami merekayasanya sedikit.

Video itu di-edit sedikit dan kami mengetik deskripsi lengkap beritanya sebelum mengirimkannya ke kantor polisi secara anonim dan juga kantor percetakan berita. Semua jejak yang dapat mengarahkan penyelidikan ke arah kami sudah dihapus. Aku meminta tolong Momoi menghapus CCTV di taman depan apartment yang menunjukkan aku dan Midorima masuk secara illegal ke dalam apartment-nya untuk menaruh kamera pengawas dan untuk mengambil kamera pengawas. Momoi melakukannya tanpa banyak tanya (meksipun aku masih menaruh curiga padanya).

Butuh waktu dua minggu sampai aku dan Midorima merampungkan rencana kami. Setidaknya, Ketua Dewan telah menyulut api terlebih dahulu. Dengan melakukan pembakaran secara sengaja di Gedung Yayasan, seharusnya dia tahu bahwa SMA ini akan menjadi sorotan. Dan dia mengorbankan hal itu hanya untuk melenyapkanku.

Memang, berita itu tidak akan bertahan lama. Apalagi statusnya adalah mantan guru. Namun, menurutku itu sudah cukup untuk menjadi batu loncatan. Selama ini citra SMA Teikou selalu bagus di mata masyarakat, bahkan tidak pernah ada gossip miring sama sekali. Dan jelas, sorotan seperti itu sesekali dibutuhkan. Setidaknya, aku menegaskan bahwa jika terjadi sesuatu di SMA ini, media akan mengendusnya. Belum lagi mengenai aksi bunuh diri Tetsuya dan OSIS Belakang. Dengan adanya media, mereka akan mulai bertindak hati-hati dan aku bisa bernapas sejenak dari banyaknya ancaman kematian dan menyusun langkah berikutnya.

"Ini… mencengangkan," kataku. Ogiwara mengambil lagi ponselnya dam memasukkannya ke saku celana.

"Iya kan? Mengerikan sekali ya. Untung saja dia sudah tidak bekerja di sini. Tapi, anak kecil? Semoga dia dihukum seberat-beratnya."

Aku mengangguk setuju. Rencanaku memang sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Aku menjebloskan di pedofil ke penjara serta mengancam Ketua Dewan. Dan aku yakin bahwa Ketua Dewan sudah pasti akan mendapati pesan tersembunyiku. Pesanku yang sesungguhnya.

Ponselku berbunyi dan Midorima mengirimiku pesan.

[Nash Gold mengadakan rapat darurat Dewan Harian. Berhati-hatilah nanti.]

Setiap tindakan memang akan selalu ada konsekuensinya, termasuk ini. Meskipun aku merasa satu langkah di depan Ketua Dewan, konsekuensi pasti akan mendatangiku. Dan, rapat hanya khusus Dewan Harian, artinya aku bebas membela diri selama itu diperlukan. Seluruh Dewan Harian adalah musuhku, aku terus menanamkan kata-kata itu. Tiga di antara mereka masih menjadi kandidat pelaku percobaan pembunuhan dan Nash Gold tidak bisa kubaca pikirannya. Tapi aku punya kartu unggulan yang membuatku bisa bertahan. Aku pasti bisa melawan mereka semua. Meskipun begitu, aku tetap sedikit merasa cemas.

"Pagi Kurokocchi, Ogiwaracchi." Kise baru saja datang dan duduk di sebelahku.

"Kau kurang tidur, Kise-kun?" tanyaku. Dia mengusap matanya dan kantung matanya Nampak lebih jelas hari ini.

"Begitulah. Banyak yang harus aku urus beberapa hari belakangan ini."

"Kau dimanfaatkan oleh agensimu sepertinya," kata Ogiwara sambil tertawa.

"Mungkin. Mereka memang suka memanfaatkanku."

"Yah, pelajaran hari ini lumayan membosankan. Kau izin saja supaya bisa tidur di UKS," usul Ogiwara.

"Kau sadar bahwa kau baru saja memberikan ide untuk bolos, ssu?"

Ogiwara hanya terbahak. Berbicara dengan mereka berdua memang sedikit meredakan keteganganku. Aku membayangkan akan semarah apa Nash Gold padaku nanti. Aku baru saja bilang padanya bahwa aku ingin memperbaiki keadaan, tapi aku malah mendatangkan masalah baru. Membayangkan wajah dinginnya yang seperti gunung es membuatku sedikit tidak sabar. Aku ingin melihat gunung es itu perlahan-lahan pecah dan hancur.

Jam pulang sekolah terasa sangat lama sekali. Pelajaran demi pelajaran terasa berlangsung selamanya. Aku masih mencatat materi pelajaran, tapi Kise dan Ogiwara berkali-kali ketiduran di kelas. Kise bahkan sudah terlelap sejak pelajaran Sejarah dimulai. Setidaknya, aku tahu bahwa masih ada teman-teman Tetsuya yang baik untuk menjalani hari-harinya.

"Kurokocchi, tidak pulang?" tanya Kise.

"Aku mau ke perpustakaan dulu," jawabku. "Ada yang ingin kupinjam. Pulanglah duluan."

Kise memutuskan untuk pulang duluan dan Ogiwara pergi untuk kegiatan klub. Setelah suasana kelas sepi, barulah aku merasakan kepanikan merayap ke sela-sela tubuhku. Rasanya kini begitu nyata dan aku akan menghadapi Nash Gold. Aku merapikan buku-bukuku dan menyandang tasku. Lalu, aku pergi ke lab bahasa sendirian. Suasana cukup mencekam tapi aku tidak boleh gentar. Dari depan, pintu lab bahasa terlihat tenang tanpa ada tanda-tanda keberadaan manusia di dalamnya. Aku bisa saja kabur detik itu juga, tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Konsekuensi apapun, harus aku terima.

Dengan pelan, kubuka pintu lab bahasa dan udara AC yang dingin langsung menusuk kulitku. Dewan Harian telah lengkap dan duduk di masing-masing kursi mereka. Sisi kanan Nash Gold kosong, karena itu adalah kursiku. Hebatnya, Jason Silver tidak ada di ruangan ini. Bagus, aku sedang tidak ingin berurusan dengannya. Kalau bisa, dia tidak perlu menampilkan wajahnya di hadapanku.

Aku menatap satu per satu wajah yang sedang memandangku. Midorima yang memasang wajah kaku dan datar, tapi aku bisa melihat keringat menetes dari pelipisnya. Aomine dan Momoi yang memandangku dengan berbagai ekspresi. Momoi tampak khawatir dan Aomine tampaknya sedikit tertarik. Namun, bisa jadi itu tipuan mereka. Bisa jadi mereka telah memprediksi ini. Murasakibara yang melihatku dengan matanya yang malas tapi aku tahu dia tegang. Dia tidak ada mengunyah makanan sedari tadi. tidak tampak snack-snack yang biasa mengelilinginya. Aku tahu bahwa kami dikumpulkan di sini karena masalah serius. Dan, di tengah semuanya, ada Nash Gold. Matanya berkilat menatapku, seolah dia sedang menimbang apakah harus melemparku dari lantai 3 ini atau membiarkanku mati kedinginan di sini. Aku sudah mengantisipasi bahwa Nash Gold akan terkena dampaknya yang paling besar dari rencanaku.

"Maaf terlambat," kataku membuka percakapan.

Aku hendak menuju tempat dudukku, tapi Nash Gold berbicara, "Berhenti di situ, Kuroko Tetsuya."

Aku berhenti berjalan. Posisiku di tengah-tengah mereka dan aku sadar, bahwa ini bukanlah rapat darurat. Aku sedang disidang oleh Dewan Harian. Aku berusaha tetap tegar dan tampak tidak terganggu. "Apa sekarang kau punya Wakil Baru, sehingga aku tidak boleh duduk ditempatku?" tanyaku.

"Kalau kau terus bicara, mungkin aku akan punya wakil baru. Jadi, berhenti bicara sekarang."

Meskipun kesal, aku tetap menutup mulutku rapat-rapat. Aku tidak perlu terburu-buru. Aku menantikan kalimat Nash Gold. Dia mengeluarkan beberapa lembar artikel online yang sudah di print. Aku tahu artikel apa itu, karena berita itu sudah menyebar.

"Apa yang kau lakukan, Kuroko?" tanyanya.

Aku memutuskan untuk pura-pura tidak tahu. "Aku berdiri di depan kalian semua, seperti penjahat yang akan disidang. Itu maksud pertanyaanmu?"

Jawaban yang salah karena Nash Gold menggebrak meja dengan kuat. Momoi sampai berjengit dan Murasakibara mengalihkan pandangannya. Midorima melotot ke arahku, seolah berkata 'jangan konyol Akashi!', tapi Aomine berusaha menyembunyikan seringaiannya. Melihatnya seperti itu membuat semangatku sedikit membara. Seolah dia mengirimkan kata-kata penyemangat yang hanya bisa diterjemahkan oleh kami berdua.

"Jangan main-main denganku, Kuroko." Dia bangkit dari kursinya. Tubuhnya menjulang tinggi, tapi dia tidak berusaha meraihku. Aku lebih memilih mengikuti saran Midorima, meskipun aku tergoda untuk menyeringai seperti Aomine. Namun, akal sehat memutuskan untuk memenangi pertarungan batin.

"Aku menyelesaikan kasus, seperti harapanmu. Aku pernah bilang bahwa aku ingin mengubah keadaan."

Dia melempar kertas-kertas itu kearahku dan mereka berjatuhan di sekelilingku bagaikan daun di musim gugur. "Ini yang kau sebut menyelesaikan kasus! Kau tahu apa dampaknya pada sekolah ini?" bentaknya.

"Aku tidak tahu dimana masalahnya," ujarku. "Ada seorang predator anak yang tertangkap basah. Aku memasukkan berita itu secara anonim dan kepolisian tidak banyak bertanya dan aku jelas-jelas tidak meninggalkan jejak sama sekali. Jadi, dimana permasalahannya?"

"KAU–"

"Cukup Nash Gold," ujar sebuah suara mekanik. Suara itu sudah lama tidak kudengar, tapi setiap aku mendengarnya, aku merinding. Ketua Dewan mengikuti rapat ini dan aliran listrik mengaliri seluruh kepalaku. Ternyata dia mampu membaca pesan tersirat yang kuberikan khusus untuknya.

Nash Gold tidak jadi mengamuk padaku. Dia duduk lagi di tempatnya. Sekarang, aku tidak peduli lagi berapa banyak orang di sekitarku. Aku hanya peduli pada Ketua Dewan yang sedang bicara padaku.

"Kuroko Tetsuya tersayang," ujarnya, "pertama, aku harus katakan bahwa penyelesaianmu kali ini cukup unik."

"Sama-sama Ketua Dewan. Kita harus menghukum penjahat, benar?"

Suara tawa mekanik itu menggema di seluruh ruangan. "Semuanya, tinggalkan kami. Aku mau bicara sendiri dengan Kuroko Tetsuya."

Tanpa banyak bicara, masing-masing orang mulai meninggalkan tempat duduk mereka dan keluar dari lab bahasa. Aku mengangguk kecil pada Midorima yang sudah hampir pingsan dan Aomine sempat menepuk pundakku ringan, seolah memberikan semangat. Setelah semua anggota keluar, pintu ditutup, barulah aku merasakan hawa dingin yang tidak wajar di dalam ruangan ini.

"Akashi Seijuurou," katanya memanggil nama asliku, "mau sampai kapan kau terus menguji batas kesabaranku?" tanyanya.

"Seharusnya aku yang bicara seperti itu. Terima kasih untuk serangannya di Ruang Arsip," ujarku dingin.

"Hi hi hi. Kau tahu, aku sudah tahu bahwa kau tidak akan mati semudah itu. Sejujurnya, aku senang kau tidak mati di sana. Aku tahu kau punya pertahanan lebih kuat dari kecoak. Namun, disitulah keseruannya. Kau juga merasakan hal yang sama, bukan?"

Aku mendengus muak. "Orang macam apa kau, memanipulasi siswa untuk melakukan kejahatan? Kau hanya penjahat!"

"Ah Akashi, aku suka sekali dengan jiwa keadilanmu. Namun, kau harus tahu bahwa bukan aku yang menyuruh mereka untuk menghabisimu. Mereka sendiri yang datang padaku dengan dendam mereka. Kau mungkin harus intropseksi diri."

"Setidaknya aku lebih baik darimu!" semburku.

"Bagaimana dengan Tetsuya? Hm? Apa kau masih melihat semua ini hanya hitam dan putih? Apa kau masih menganggapnya anak baik dan manis?"

Tanganku terkepal. "Aku tahu kau memanipulasi Tetsuya."

"Ada alasan mengapa aku menggantinya. Kau tahu kenapa? Tetsuya terlalu kejam. Itulah alasannya."

Aku menggeleng. "Aku tidak perlu mendengar bualanmu tentang Tetsuya. Aku percaya pada Tetsuya terlepas dari apapun yang kau katakan."

"Kau tahu, aku lebih mengenal Tetsuya lebih baik darimu. Aku tahu hasrat terdalamnya dan dosa terbesarnya. Apa kau tidak penasaran Akashi? Kalau kau tahu, apa kau masih akan ada di sisinya?"

"CUKUP! Aku tidak mau mendengar bualanmu. Siapa Tetsuya, apa saja dosanya, biar aku semua yang akan menilai! Dan ikatan kami tidak selemah itu!"

"Hi hi hi. Ya sudah, aku akan menantikan hari itu. Nah, aku mau membahas hal lain denganmu. Kau selalu tahu bagaimana cara membalasku dan membuatku kesal. Dan aku tidak pernah sekesal ini."

"Bagus. Aku tidak berniat membuatmu hidup tenang. Tidak setelah aku tahu tentang semua kebusukanmu dan OSIS Belakang ini!"

"Harus aku akui, kau benar-benar membuatku kewalahan. Mungkin, memang harus seperti ini. Kau benar-benar tahu cara membuatku bersenang-senang."

Aku tidak datang kemari hanya untuk menjadi badutnya. Namun, aku mengatakan hal lain. "Tenang saja, aku akan terus membuatmu kewalahan. Dan aku tidak akan hancur berapa banyaknya kau menyuruh siswa-siswa untuk mencelalakanku."

"Hi hi hi. Akashi, Akashi. Rupanya aku sedikit meremehkanmu. Tapi aku tidak akan melakukannya lagi. Aku pasti akan menghancurkanmu sampai tidak ada yang tersisa darimu."

"Aku juga pasti akan menghancurkanmu dan OSIS Belakang tersayangmu ini. Tunggu saja!"

"Oh, Aku menunggu. Tapi jangan harap aku akan diam saja dan menyaksikanmu menghancurkan apa yang sudah kubangun bertahun-tahun."

Lalu, sambungan suara itu terputus. Aku dilanda keheningan dia lab bahasa. Hanya terdengar suara dengungan AC dan suara detak jantungku sendiri. Aku mengambil tasku dan keluar dari lab bahasa karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Benar, Ketua Dewan sudah mendapat pesanku, kini yang harus aku lakukan adalah kembali berjuang. Aku akan menyusun strategi berikutnya.

.

To Be Continued