CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA


Ai memeluk Naruto erat, membiarkan kekasihnya tenang. Dia sedang terguncang karena sesuatu.

"maafkan aku" Naruto menenggelamkan wajahnya di pelukan Ai, dia tidak mengatakan apapun selain kata maaf.

"daripada mengucapkan sesuatu yang tidak aku mengerti, bukankah kamu mengatakannya dengan jujur, apa yang sebenarnya terjadi?" Ai tidak tahan dengan ketidakjelasaan kekasihnya yang hanya mnegucapkan kalimat yang sama berulang kali.

Naruto meregangkan sedikit pelukannya, namun dia belum berani menatap mata Ao, semuanya adalah salahnya. Dia tidak ingin melihat kekecewaan yang tercampur dimatanya.

"aku salah, aku memang bodoh" Naruto mengenggam tangannya kuat, "seharusnya aku tidak mempublish Aqua dan Ruby ke media, aku egois, aku tidak memikirkan masa depan mereka berdua. Apa yang kulakukan justru membuat mereka dalam bahaya di masa depan"

Naruto mengambil tangan Ai dan mengenggamnya dengan kuat, kepalanya bertumpu pada pamgkuan kekasihnya.

"maafkan aku Ai, aku egois, ini salahku, semuanya salahku, aku terbawa emosi dan aku malah membuat kedua anak kita dalam bahaya. kamu boleh memarahiku, memukulku, apapun itu, asalkan kamu memaafkan aku Ai. maafkan aku" untuk sekarang, Naruto siap menerima segala bentuk kemarahan kekasihnya, dia menunggu dan menunggu.

Namun, tangan Ai menariknya, memaksanya untuk menatapnya. Tatapan Naruto hanya menemukan senyuman tulus milik kekasihnya.

"Ai-"

Ai dengan cepat menaruh jari telunjuknya dibibir Naruto, membungkamnya.

"ini salahku juga tau, bukan hanya kamu yang salah di sini"

"tapi-"

kali ini Ai membungkamnya dengan kecupan.

"siapa bilang mereka tidak punya masa depan, bukankah kamu terlalu meremehkan anak-anak kita?" Ai menarik tubuh Naruto agar duduk bersamanya di atas sofa, tangannya memegangi pipinya, mengusapnya dengan lembut, "mereka adalah anak-anak yang luar biasa, masa depan cerah menunggu mereka"

"jadi tidak alasan bahwa masa depan mereka akan hancur hanya karena masalah ini" Ai tersenyum lebar, "dan sekarang tugas kita adalah bagaimana mendorong mereka untuk meraihnya, bukankah itu tugas kita sebagai orang tua?"

Air mata Naruto turun tanpa sempat dia cegah, ucapan Ai sedikit banyaknya membuat dia lega. Ai mengusap dengan lembut air matanya.

"kenapa? apa kamu menyerah sekarang?" tanya Ai dengan nada candaannya.

Naruto terkekeh pelan, sebelum dia menghapus air matanya sedikit kasar.

"apa katamu? menyerah? tidak akan pernah, untuk masa depan kita dan adik-adik mereka, benar, 'kan?"

Mereka tertawa.

"terima kasih, Ai. kau tau, aku mencintaimu, sangat"

Ai tersenyum lembut.

"aku juga sama dan jangan ragukan itu"

Naruto mencium bibirnya, tidak membiarkannya lepas, sebelum.

"Papa! kamu datang!"

Naruto hampir terjatuh karena terkejut dengan kedatangan anak-anaknya, Dengan cepat dia melompat jauh dari Ai membuat kekasihnya tertawa .

"oh, hah, gadis kesayangan papa" Naruto membuka lebar pelukannya, menunggu sang putri tercinta memeluknya.

Dengan senang hati Ruby melompat ke dalam pelukan kasih sayangnya.

"bagaimana kabar kalian hari ini?" Naruto dengan cepat menyembunyikan apa yang terjadi padanya hari ini.

"kami mendapatkan sesuatu yang bagus" Ruby menatap Naruto dengan antusias seperti biasa sebelum wajahnya mengerut melihat wajah Naruto yang memar.

"papa apa yang terjadi? kenapa papa terluka?" raut kecemasan menghiasi wajah Ruby.

Naruto menyadarinya dengan cepat, "oh ini, papa tidak sengaja terjatuh, tidak apa-apa sayang, ini akan sembuh dalam beberapa hari" kilahnya cepat, berharap anak-anaknya tidak cemas lagi.

"berhati-hatilah papa, kamu bisa terluka lebih parah" Ruby mengusap lembut luka Naruto dan mengecupnya.

Naruto sedikit tersenyum lega, tidak ingin anak-anaknya tahu. sayangnya, dia tidak bisa mengelabui Aqua.

Anak kecil itu tau bahwa ayahnya dipukul oleh seseorang yang dia tidak tau.

"baiklah putriku, aku akan mendengarkanmu"

Naruto merasa hatinya membaik melihat mereka. Rupanya memang benar, mereka adalah obatnya.

"bukankah ini tidak adil, kamu lebih mendengarkan Ruby dibandingkan denganku?" Ai memasang wajah berpura-pura sedih. Dia dengan cepat menarik Aqua dan memeluknya.

"kalau begitu, Aqua dengarkan mama"

Wajah Aqua tampak apatis tapi dia senang dengan keharmonisan keduanya.

Ruby turun dari pelukan Naruto dan berlari ke arah Ai.

"mama, aku juga ingin bergabung" Ruby memeluk Ai dan Aqua.

Wajah protes terpampang di wajah Naruto.

"hey, itu curang, tidak ada yang ingin bersamaku" Naruto merentangkan tangannya berharap mereka berlari padanya namun sayangnya tidak ada.

"aku menang, wleee" Ai memeletkan lidahnya pada kekasihnya yang cemberut. dia tertawa melihatnya.

Naruto menyeringai, "kalau begitu aku akan-"

Naruto dengan cepat meraih mereka dan menggelitiknya.

"papa, hentikan, hahahahah" Ruby tertawa senang dan bercampur geli.

"Naruto, hentikan.. itu geli" Ai berusaha menjauh berlari dari Naruto.

"mama tolong aku!" Ruby berusaha berlindung di belakang Ai.

"jangan libatkan aku" Aqua turut menjadi korban namun dia senang dengan hal ini. keluarganya benar-benar harmonis.

Benar-benar hari yang damai.

-o0o-

Emma menunggu dengan rasa cemas, dia menunggu putranya pulang dan menanyakannya secara langsung.

Emma merasa gelisah menunggu dan terus menunggu, namun tidak lama pintu apartemen berbunyi, menandakan bahwa orang yang dia tunggu telah kembali.

"aku pulang!" Naruto berteriak, dia belum sadar kalau seseorang menunggunya dengan cemas.

"kamu dari mana Naruel?"

Naruto terkejut mendengar suara itu dan sosoknya yang kini berada di depannya.

"Ma-mama?!"

Emma tidak bisa menampik rasa cemas dan juga rindu pada putranya karena tidak pernah melihatnya lagi secara langsung setelah sekian tahun lamanya.

"bagaimana keadaanmu, nak? apa kamu baik-baik saja?" Emma memperhatikan wajahnya, matanya berkaca-kaca, betapa dia merindukannya. "ada apa dengan wajahmu?" Emma hendak menyentuh wajahnya sebelum merasakan tangannya di tepis pelan.

Naruto yang awalnya terkejut dengan cepat memasang wajah datarnya, dia tidak tau mengapa ibunya berada di sini.

"saya tidak apa-apa, terima kasih atas perhatian anda, tapi saya tidak butuh" Naruto berujar dengan formal, dia berusaha untuk tidak berbicara lebih lama dengan ibunya.

Bukan bermaksud kurang ajar, tetapi setelah sekian lama. kenapa dia baru bertanya sekarang.

Naruto hendak berjalan melewatinya, namun Emma menahannya lebih cepat.

"sayang, ku mohon dengarkan mama, mama ingin berbicara padamu" Emma tidak bisa menahan air matanya ketika melihat putranya memperlakukannya seperti orang asing.

"maaf tapi saya sedang lelah, anda bisa berbicara dengan saya lain kali" Naruto ingin berlalu namun kali ini Emma memeluknya kuat.

Emma menyadari betapa menyedihkannya dirinya sekarang, dia sedang memeluk putranya lagi setelah sekian tahun lamanya, rasanya kemarin Emma masih menggendongnya namun sekarang dia terasa lebih besar dan sebentar lagi tidak memerlukannya.

"maafkan mama, maafkan mama" Emma menangis di pelukan putranya.

Naruto tidak menanggapinya, dia sudah terbiasa tanpa kehadiran ibunya tapi sekarang tanpa dia duga, Emma datang padanya dan meminta maaf.

"kenapa baru sekarang? kemana anda ketika saya membutuhkan anda? lalu, bagaimana pekerjaan anda, bukankah anda seharusnya bekerja? saya tidak ingin anda kehilangan pekerjaan gara-gara saya"

Ucapan Naruto terasa begitu menusuk, tapi itu benar adanya.

Emma sudah salah atas sikapnya sendiri, bagaimana mungkin dia meninggal putranya yang masih muda tanpa pengawasan seorang ibu.

"tolong, kali ini saja, biarkan mama menebus semuanya"

Pertama-tama, Emma ingin memperbaiki hubungannya dengan putranya yang rusak.

"mama tidak akan membiarkan kamu sendirian"

Mendengar itu, Naruto tersenyum getir, dia melepaskan pelukan Emma.

"maaf tapi saya tidak merasa sendirian lagi, saya sudah berkeluarga, jadi saya rasa anda tidak perlu repot-repot untuk melakukan hal yang membuat anda terbebani"

Pernyataan Naruto sukses membuat Emma semakin merasa bersalah, dia baru teringat bahwa putranya sudah memiliki anak.

Tapi, Emma tidak menyerah, bagaimanapun dia juga seorang ibu, membiarkan semuanya berlalu tanpa dia perbaiki, semuanya akan menjadi lebih rumit.

Emma menarik leher Naruto dan membiarkan putranya bersandar padanya.

"tidak, kamu belum siap akan hal itu , biarkan mama yang melakukannya untukmu" Emma memeluk erat Naruto, pipinya disandarkan di kepala putranya.

"dan tolong, jangan bersikap formal pada mama, aku ibumu bukan orang lain"

Naruto hanya diam, sejujurnya dia juga merindukan pelukan ibunya setelah sekian lama.

-o0o-

Beberapa hari kemudian...

Sudah sejak pagi tadi, Ai merasa tidak enak pada perutnya, dia merasa mual dan perutnya terasa kram.

"ada apa denganku?" tanyanya dalam hati, sebelum dia dengan cepat berlari ke kamar mandi dan hendak ingin muntah lagi.

Ai sudah terasa lemas di kamar mandi. tenaganya seakan terkuras habis.

"Ai, apa kamu mau- Ai!" Naruto melihat kekasihnya terkulai lemah di kamar mandi, buru-buru menghampirinya.

"bertahanlah" Naruto dengan cepat mengangkatnya dan membaringkannya di kasur.

"kenapa? kamu sakit?!" Naruto mengecek suhu tubuhnya namun tidak menemukan indikasi bahwa dia sedang demam.

"aku tidak tau, akhir-akhir ini aku merasa mual dan tidak bertenaga" Ai merasa lebih cepat lelah dari biasanya.

Naruto jadi bingung sebelum dia mengingat sesuatu. matanya melebar.

"Ai, bagaimana dengan jadwal menstruasimu?"

Ai sedikit bingung.

"aku sudah telat dua minggu- tunggu" Ai menyadari sesuatu. matanya ikut membulat. dia dengan cepat menyentuh perutnya.

Keduanya saling berpandangan.

"kita harus mengeceknya, aku sudah membelikan alatnya untuk berjaga-jaga" Naruto memberikan testpack pada Ai, "apa perlu aku menemanimu?"

Ai menggelengkan kepalanya.

"aku masih bisa"

"kamu yakin?"

Ai tersenyum lemah, dia mengecup bibir kekasihnya.

"percaya padaku"

Naruto mengalah, "jangan kunci pintunya, aku akan bersiap-siap jika terjadi sesuatu"

Ai hanya mengangguk, dia berjalan dibantu Naruto masuk ke dalam kamar mandi.

Sementara Naruto menunggu diluar dengan harap-harap cemas.

Ai menunggu hingga tidak lama hasilnya keluar.

Matanya berkaca-kaca melihat testpack itu bergaris dua, yang artinya...

"aku hamil lagi"

Kabar yang mengejutkan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.