Disclaimer : Jujutsu Kaisen by Gege Akutami
A Fanfiction by Noisseggra
Pair : Gojo Satoru X Fushiguro Megumi
Genre : Drama, Supernatural, Romance
Warning : OOC (Out of Character), iya di fanfic ini sengaja OOC, nggak terlalu mirip sama Manga/Anime, demi plot.
YAOI, BL, RATED M, Semi Canon, maybe typo (s)
You have been warned !
This fic inspired from manhwa The Ordinary Lifestyle Of A Universal Guide by Kang Yoonwoo
A/N : Fanfic ini ditulis untuk kepuasan pribadi, jadi serah aing mau nulis apa :"V
.
.
Kiseki no Hiiraa
.
.
"..." Megumi terbangun karena udara dingin yang lumayan mengganggu. Saat ia membuka mata, ia melihat bahwa keadaan sudah agak temaram, menandakan hari sudah pagi. Ia mengamati sekitar, ah ya, ia ada di dalam tenda. Ia menatap ke samping kanan kiri, sudah tak ada Yuuta dan Gojo di sampingnya.
Dengan perlahan Megumi duduk, ia masih merasa lelah karena menghabiskan energi untuk heal semalam, tapi ia sudah merasa lebih baik setelah tidur dan istirahat total. Ia menatap tubuhnya di dalam sleeping bag sebelum memberanikan diri membuka benda itu. Dia sudah rapi. Sudah memakai celana, dan tubuhnya juga sudah bersih. Pasti Gojo yang membersihkannya.
Tenda terbuka dan Yuuta muncul di sana. "Ah, Sensei, kau sudah bangun," ucap Yuuta. Ia masuk ke tenda untuk mengambil katana nya. "Sarapan sudah siap, sebaiknya kau hangatkan diri dulu," ucapnya.
"Kau mau pergi kah?" tanya Megumi.
"Ya, hanya patroli sebentar bersama tim. Gojo-Sensei tetap di camp kok, jadi aman," Yuuta memasang katana nya di sabuk. "Kalau begitu sampai nanti Sensei," pamitnya kembali keluar tenda.
Sepeninggal Yuuta, Megumi ikutan keluar tenda. Udara dingin sekali. Langit sudah terang tapi sepertinya matahari belum muncul, ditambah karena di dalam hutan jadi rindangnya pepohonan membuat suasana lebih gelap. Ia melihat tim tengah bersiap, sepertinya mau patroli seperti yang Yuuta katakan.
"Sensei, ohayou," sapa medic yang merawat Megumi semalam, ia tengah duduk di dekat api unggun. "Kemarilah, hangatkan diri."
Megumi mendekat dan duduk di kursi pendek sekitar api unggun, mengusap-usap tangannya yang membeku supaya lebih hangat. "Semua pergi misi kah?" tanya Megumi melihat hanya empat orang tim di sana.
"Yang dua sedang patroli dengan Gojo-san, nanti saat mereka kembali, tim kedua akan pergi dengan Okkotsu-san," medic itu memberikan minuman hangat untuk Megumi.
"Arigatou."
Tak berapa lama tim Gojo kembali, setelahnya Yuuta pun pergi bersama dua orang anggota tim.
"Sensei~ sudah bangun," sapa Gojo dan mendekati Megumi.
"Ya, baru saja bangun," balas Megumi sembari menyeruput minuman hangatnya. "Ugh, dingin sekali."
"..." Gojo terdiam lalu menuju tenda dan mengambil selimut besar untuk Megumi, membalut tubuhnya dalam selimut itu.
"Arigatou," ucap Megumi.
"Masih merasakan efek heal nya kah?" tanya Gojo.
"He?"
"Tubuhmu dingin sekali. Ini memang udara dingin, tapi anggota tim yang lain tidak menggigil sepertimu, Sensei."
"Ah…sepertinya begitu. Aku memang gampang dingin saat energy ku low."
"Apa ada gejala hipotermia?" tanya tim medic.
"Tidak, hanya suhu tubuhku belum naik saja. Tapi sudah ada perapian, minuman hangat, selimut, jadi–...heyy…" ucapan Megumi terhenti saat Gojo tiba-tiba mengangkat tubuhnya, lalu gantian Gojo yang duduk, kemudian menurunkan Megumi di pangkuannya. Gojo menggunakan selimut tadi untuk menyelimuti tubuhnya juga Megumi, membalut tubuh mereka seperti kepompong.
"Nah, begini akan lebih cepat hangat," ucap Gojo sembari memeluk Megumi. "Astaga tanganmu dingin sekali," ia meraih tangan Megumi dan menggosok-gosoknya.
"..." Megumi hanya bisa speechless dengan wajah memerah.
"Haha sepertinya rumor itu benar ya," ucap tim medic yang bersama mereka.
"Rumor apa?" tanya Megumi.
"Katanya Gojo-san punya hubungan dengan healer baru, Fushiguro-Sensei."
"Iya, kami sudah jadian…" Gojo tampak berpikir. "...dua minggu."
"Begitu rupanya. Wah, pasti heboh nih divisi healer besok," medic itu menyeruput minumannya.
"Hah, heboh bagaima–..." tapi ucapan Megumi terhenti karena medic itu segera bangkit dari tempatnya.
"Biar kuberikan kalian sedikit privasi. Nikmati saja api unggun nya," ucap si medic sebelum pergi.
Megumi tampak gelagapan, tapi Gojo segera memeluknya. "Pokoknya kita sudah resmi, iya kan? Sensei pacarku kan?" ia merilekskan kepalanya di pundak Megumi.
"Ugh…" Megumi hanya bisa membuang pandangan dengan wajah sedikit memerah.
Untuk kemudian keduanya diam menikmati perapian. Gojo memeluk Megumi di dalam selimut yang menyelubungi rapat tubuh mereka.
"Tubuhmu masih tetap dingin, Sensei," ucap Gojo seraya mengusap-usap lengan Megumi.
"Iya, memang lama sebelum suhunya naik kembali," balas Megumi. "Kurasa berhubungan juga dengan pemulihan energy heal ku, jadi bukan hanya karena faktor luar saja."
"Hn, begitu rupanya," Gojo kembali memeluk Megumi, kali ini menaut jemarinya yang begitu dingin, menangkupnya dengan kedua tangan berusaha memberi kehangatan.
Megumi tersenyum mendapat perlakuan manis itu. Ia beringsut mundur, menyamankan posisinya, berniat untuk bersandar ke tubuh Gojo. Tapi yang ada dia malah merasakan sesuatu, ya, sesuatu yang keras menyentuh bokongnya.
"..." Megumi tertunduk sweatdrop, Gojo juga sama.
"Percayalah…ini hanya…reaksi alami tubuhku," ucap Gojo. "Ini hanya…karena udara dingin."
"...ya, karena benda ini harusnya tegak di udara dingin," ucap Megumi sarkas.
Gojo makin sweatdrop. "Ba-baiklah, ini reaksi tubuh karena aku tengah memeluk pacarku, oke. Itu saja."
"..." Megumi hanya membuang pandangan. "Sebaiknya aku bangun–..."
"No!"
Megumi yang sudah bersiap bangkit langsung ditahan oleh Gojo. "Aku tidak akan melakukan apa-apa, jadi jangan pergi," Gojo memeluk Megumi erat, menundukkan kepala di pundak Megumi.
"Masalahnya bukan itu, kalau begini terus aku juga bisa ikut terpengaruh," ucap Megumi sweatdrop.
"He? Sensei juga?" Gojo menoleh ke arah Megumi.
"Kau pikir yang punya rasa suka dan reaksi tubuh normal cuma kau," balas Megumi sedikit kesal meski wajahnya memerah.
"Hehe," Gojo nyengir nista. "Iya juga ya, Sensei juga bilang Sensei mencintaiku," ia malah semakin memeluk Megumi, mengusap-usap lengannya.
"Y-ya karena itu, cepat lepaskan," Megumi berusaha melepaskan diri tapi Gojo tak menurutinya.
"Hmng," Gojo malah mengusap-usapkan kepalanya ke pundak Megumi dan rebah di sana dengan nyamannya.
"Ugh…Gojo-san…" keluh Megumi, tapi pada akhirnya ia pasrah. Ia diam saja di pelukan Gojo, meski lama-lama ia terganggu dengan fakta bahwa selangkangan keras Gojo berada di bawah tubuhnya. Megumi bisa merasakan suhu yang panas dari benda keras itu, menyentuh permukaan lubangnya meski terhalang celana masing-masing.
Megumi melipat tangannya di atas lutut, lalu menundukkan kepala di balik tangannya itu. "Gojo-san…" panggilnya lirih.
"..." Gojo hanya melirik tanpa mengubah posisi, ia menyadari apa yang terjadi pada Megumi. Tangan Gojo beralih menyusup masuk ke balik baju Megumi, meraba dada nya, lalu meremasnya. Nipple Megumi sudah mengeras, ia memilin benda itu, lalu meremas kembali dada Megumi, dan memilin nipple nya lagi.
"Nn…" Megumi mengerang kecil. Ia menggigit bibir bawahnya merasakan sentuhan Gojo.
Satu tangan Gojo bergerak turun, meremas selangkangan Megumi, lalu menelusup masuk ke balik celananya, meremas penis Megumi secara langsung.
"Sudah basah," bisik Gojo.
"B-baka, tentu saja," balas Megumi dengan nada sama rendahnya.
"Hn," Gojo mengocok penis Megumi, mengusap lubang di ujung penisnya yang mengeluarkan cairan, lalu kembali mengocoknya. Satu tangannya masih memainkan dada Megumi, memilin nipple nya yang juga tegang.
"..." nafas Megumi mulai terengah, ia yang tertunduk di balik lengan, bisa menatap ke bawah di mana tangan Gojo bergerak di balik celananya. Di sisi lain Megumi juga bisa merasakan penis Gojo semakin membesar di bawah tubuhnya. Tangan Megumi lalu bergerak untuk menyentuh selangkangan Gojo, meremasnya pelan.
"Nnhh…" Gojo mengerang, penisnya berkedut.
Megumi menelan ludah berat mendapati reaksi Gojo. Gojo juga pasti ingin disentuh. Dengan perlahan Megumi lalu menurunkan resleting Gojo, ia menaikkan sedikit bokongnya supaya bisa menarik keluar penis Gojo dari sana sebelum duduk kembali.
Gojo juga melepas celana Megumi dan menurunkannya sepaha, membuat penisnya bisa nyaman di antara paha Megumi. Gojo kembali mengocok penis Megumi, dan kali ini Megumi juga menyentuh penis Gojo. Ia masih menunduk ke bawah, melihat penis Gojo yang menyembul di antara paha nya. Bahkan meski Gojo ada di bawahnya, penis Gojo masih bisa menyembul sampai ke atas paha Megumi.
"Besar sekali," gumam Megumi tanpa sadar, dan ia terhenyak saat penis Gojo berkedut.
"Ugh…Sensei, jangan berkata sesuatu yang menggodaku begitu," keluh Gojo. Ia yang melihat leher Megumi terbuka karena sedang tertunduk penuh, menjilat leher jenjang itu.
"Ngh–...aahh," Megumi nyaris mendesah keras, tapi ia segera memelankan suaranya.
Gojo kembali ke samping leher Megumi, menenggelamkan wajahnya di sana, tapi kali ini menggigit lehernya. Tangannya kembali memilin nipple Megumi dan mengocok penisnya, Megumi juga kembali memainkan penis Gojo.
"Ngh…ugh…" Megumi melenguh saat nipple nya ditarik keras oleh Gojo, sperma nya sampai keluar sedikit, tapi ia masih berusaha menahan diri.
"Keluarkan saja Sensei," bisik Gojo, ia mengusap sperma itu, lalu lanjut mengocok penis Megumi ditambah licinnya sperma tadi.
"Ngh…bagaimana denganmu…" tanya Megumi.
"Iya, aku juga mau klimaks," ucap Gojo. "Sudah di ujung."
Megumi mengangguk dan mempercepat mengocok penis Gojo. Gojo juga mempercepat kocokannya dan memilin kuat nipple Megumi.
"Ngh–...ahh, ahh," Megumi mendesah tertahan saat akhirnya klimaks. Sperma membanjiri tangan Gojo, ia merasa puas hasratnya mencapai puncak. Tapi ia menyadari kalau Gojo belum klimaks. "Gojo-sa…" ucapan Megumi terhenti saat tangan Gojo yang belepotan sperma, menggenggam tangan Megumi yang tengah memegang penisnya. Ia lalu membantu Megumi mengocok penisnya itu.
"Ngh…Sen–...sei…" Gojo mendesah tertahan. Ia bergerak semakin cepat dan kembali menggigit leher Megumi saat akhirnya ia klimaks, menumpahkan sperma ke tangannya dan juga tangan Megumi. "Fuck…ini enak sekali," gumamnya yang membuat Megumi tersipu.
Megumi juga merasa puas, tapi setelah menormalkan nafas, kini ia baru menatap kenyataan. Bagaimana mereka memberesi kekacauan ini? Mereka ada di luar tenda.
"Gojo-san…ini bagaimana," ucap Megumi datar.
Gojo tertawa kecil lalu mencium pipi Megumi sebelum teleport ke sungai, meninggalkan selimut mereka di dekat api unggun.
"Kalau bisa begini kenapa tidak teleport dari tadi," omel Megumi saat Gojo mendarat di atas sebuah batu besar.
"Ugh, aku mana tahan Sensei. Sudah sangat ingin," balas Gojo seraya menurunkan Megumi, Megumi hanya tersipu mendengar itu. Ya, dia sendiri juga terbawa suasana sih. "Hehe," Gojo nyengir nista melihat celana Megumi yang masih turun dan memperlihatkan penisnya yang basah oleh cairan putih.
"Hng?" Megumi sempat bengong, tapi lalu memerah saat mengerti apa yang Gojo lihat. "Hey, hentikan itu," omelnya.
Gojo meraih pinggang Megumi dan menariknya mendekat. "Lagi yuk? Mumpung sudah pergi dari tenda."
"..." Megumi tak menjawab karena tak punya alasan menolak. Ia menerima saja saat Gojo menciumnya, dan membawa tubuh mereka merosot turun untuk duduk di batu itu. Gojo memainkan lidah Megumi dengan lidahnya, memperdalam ciuman mereka. Tangannya mulai menyentuh penis Megumi lagi, tapi ia terhenti saat merasakan sesuatu.
Deg…!
Megumi juga merasakan itu, ia melepas ciuman, lalu menatap ke arah hutan. Ia yakin ia merasakan hawa keberadaan kutukan. Tapi…ia merasa ada yang berbeda. Kenapa insting nya sekuat itu? Dan gemuruh di dadanya terasa tak nyaman.
"Tunggu sebentar, oke," Gojo melepas dekapannya pada tubuh Megumi lalu menghadap ke arah hutan. Ia mengarahkan jarinya ke sana, dan menembakkan Aka ke arah itu. Setelah Aka itu melesat, hawa keberadaan kutukan itu pun lenyap.
"Nah, sudah," ucap Gojo dan kembali pada Megumi. "Hng?" ia sedikit heran menatap ekspresi Megumi. "Sensei…kau merasakan hawa keberadaan kutukan itu?" tanya Gojo.
Megumi mengangguk. "Ya, sepertinya."
"Wah, kau jadi sensitif atau apa ya? Kutukan itu ada sekitar 3 km dari sini loh."
"Eh?" Megumi juga terkejut.
"Mungkinkah instingmu semakin terasah?" Gojo membelai rambut Megumi yang turun ke pelipis.
"...ya, mungkin saja," jawab Megumi. Ia sendiri tak yakin. Yang jelas ia sempat merasakan perasaan tak enak tadi. Seperti sesuatu merayap di dalam tubuhnya dan merangsek ingin keluar.
"Hehe, ya sudah, ayo lanjutkan lagi," Gojo kembali mencium Megumi tapi Megumi memalingkan wajah sehingga ia hanya mencium pipi.
"Chotto–...Gojo-san, kurasa kita sudahi saja," tolak Megumi.
"Eh? Kenapa," manyun Gojo.
Belum sempat Megumi menjawab, dari kejauhan terdengar suara helikopter. "Kurasa memang sudah waktunya kita pergi," balas Megumi. "Ayo bersih-bersih dulu," ucapnya. Setelah itu mereka pun bersih-bersih dan kembali ke tenda.
Saat mereka kembali, camp sudah diberesi supaya helicopter bisa mendarat. Setelah itu mereka pun diangkut kembali ke HQ.
.
~OoooOoooO~
.
Toji berdiri menunggu dengan tak tenang, berulang kali ia menatap ke angkasa, lalu kembali melangkah tak nyaman di sana.
"Fushiguro-san, sebaiknya Anda menemui medic dulu. Kami akan langsung mengabari begitu mereka tiba," ucap seseorang.
"Uruse, bukankah aku sudah mendapatkan perawatan medis," ia melirik seseorang berpakaian medis di dekatnya.
"Saya hanya melakukan pertolongan pertama. Beberapa luka di tubuh Anda bahkan belum ditangani. Anda harus ke kantor medis," ucap orang tersebut.
"Tck! Iya iya, sebentar lagi," kesal Toji dan lanjut menunggu.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya ia mendengar suara helikopter di kejauhan. Ia segera ke tepi landasan dan melihat ke atas, tak berapa lama benar saja muncullah helikopter tersebut. Ia menanti benda itu mendarat di landasan pacu, lalu menunggu para penumpangnya keluar.
"Megumi–..." ucapnya saat orang yang ditunggunya muncul dari sana. Megumi memakai selimut tebal untuk membalut tubuhnya, wajahnya tampak lelah dan pucat. Meski begitu Megumi mampu berjalan sendiri tanpa perlu bantuan.
Megumi cukup terkejut saat melihat ayahnya berada di sana begitu ia mendarat. Ia pun segera menghampiri, masih dengan selimut membalut tubuhnya, Toji juga mendekat.
"Bagaimana keadaanmu? Kau pucat sekali? Apa kau terluka?," Toji memegang wajah Megumi, lalu lengannya, seolah memeriksa kondisi Megumi.
"Geez, aku baik-baik saja. Hanya saja suhu tubuhku masih rendah karena habis melakukan heal. Aku tidak terluka sama sekali, cukup istirahat saja," balas Megumi. "Tou-san, kau sedang apa di sini?" Megumi balik melihat kondisi ayahnya, tampak beberapa luka kecil masih basah. "Hey, kau yang seharusnya ke kantor healer. Lihatlah, kau terluka!"
"Kau seriusan tak apa?" Toji seolah tak mendengarkan, ia meraih wajah Megumi dan mendongakkannya, masih memeriksa keadaannya. "Kalau suhu tubuhmu drop bukankah artinya kau habis melakukan heal secara berlebihan?"
Glek…!
Megumi bungkam dengan sweatdrop bercucuran. "Ng–...nggak kok, aku melakukannya seperti biasa," balas Megumi.
"Ditambah, kau pergi ke misi level S kan? Apa kau tidak terluka? Ada after effect setelah dari medan pertempuran?" Toji memberondongnya dengan pertanyaan tambahan.
"Tidak kok, aku ditemani dua jujutsushi special grade, jadi tak masalah," tunjuk Megumi dengan ibu jarinya pada Gojo dan Yuuta yang juga sudah turun dari helikopter.
"After effect nya? Apa mau merasa sesuatu yang berbeda?"
"..." Megumi terdiam. After effect seperti apa yang Toji maksudkan? Apakah perasaan tak nyaman yang Megumi rasakan sebelum ini juga termasuk? Ia bisa merasakan hawa keberadaan kutukan yang jaraknya cukup jauh, juga perasaan tak nyaman di dalam dirinya saat ia berada di zona pertempuran itu. Tapi itu semua Megumi pikir karena ini pertama kali dia betulan terjun ke misi kelas S dan melakukan heal juga. Ia pasti akan terbiasa nantinya.
"Tidak ada, sungguh. Ini hanya kelelahan seperti biasa setelah aku melakukan heal, istirahat saja sudah cukup," balas Megumi.
"Untuk jaga-jaga bagaimana kalau kau menemui healer yang waktu itu? Siapa…err…yang rambut pink itu."
"Jin-Sensei?"
"Ya, pokoknya itu. Ayo ke sana, untuk cek saja."
"..." Megumi sempat terdiam. Ia merasa baik-baik saja, tapi ia juga penasaran dengan kondisinya sebelum ini, saat masih di area misi. Jadi ia rasa tak ada buruknya juga ia coba periksa. "Ya, tapi setelah itu kau juga harus menemui medis ok?" balas Megumi.
Toji mengangguk. Ia pun membawa Megumi ke gedung healer untuk menemui Jin.
.
"Maaf, aku baru buka setengah jam la–..." tapi ucapan Jin terhenti saat melihat siapa yang datang. "Oh, Fushiguro-san, silahkan silahkan," Jin langsung menghampiri sofa dan mempersilahkan mereka duduk.
"Maaf mengganggu pagi-pagi begini, aku baru tiba di HQ," ucap Megumi.
"Iya tak masalah. Ah, kudengar kau barusan pergi misi level S ya."
"Ya, tolong pastikan dia baik-baik saja," tambah Toji.
"Tentu tentu, kemarilah," ia menepuk sofa di sebelahnya. Megumi pun menghampiri dan menurunkan selimutnya.
"Tidak perlu, pakai saja selimutnya, keluarkan tanganmu saja," ucap Jin. Megumi pun melakukan apa yang Jin katakan. "Tiap healer memiliki reaksi berbeda saat menggunakan kekuatan mereka berlebihan, sepertinya Megumi-Sensei suhu tubuhnya turun ya," ucap Jin seraya meraih pergelangan tangan Megumi.
"Ya. Tapi aku merasa ini wajar. Aku hanya ingin memastikan apa aku baik saja, ini misi S pertamaku," balas Megumi.
"..." Jin terdiam lalu melirik Megumi tajam. "Apa ada keluhan?"
"..." Megumi tak langsung menjawab, ia melirik Toji diam-diam lalu kembali pada Jin. "...tidak ada," balas Megumi kemudian.
Jin hanya tersenyum kecil, memahami itu. Sepertinya Megumi tak ingin mengatakan itu di depan Toji. "Ya sudah, kumulai ya," ucap Jin kemudian. Ia pun memulai sesi heal nya.
"Hmmm…sepertinya baik-baik saja," ucap Jin setelah heal nya selesai. "Aku tidak menemukan ada energy lain yang mengganggu energy mu atau semacam itu. Semua terlihat bagus. Kurasa kau hanya kelelahan, istirahat yang cukup dan makan teratur, maka kau akan kembali bugar."
"Baik, terimakasih Sensei," ucap Megumi. "Ah, untuk tagihannya…"
"Oh, ya. Kali ini aku sudah menerima tagihan ya, haha. Ayo, laptopku ada di ruangan sebelah," ucap Jin seraya bangkit. "Toji-san, tunggu di sini ya."
Megumi mengikuti langkah Jin ke ruangan heal, ia sedikit heran karena laptop biasanya berada di meja kerja. Setelah Megumi masuk, Jin juga tampak hanya memainkan tab kerja nya saja. Jin mengisyaratkan untuk menutup pintu, dan Megumi menurut.
"Tagihannya sudah kukirimkan padamu," ucap Jin menutup tab nya.
"Terimakasih banyak," balas Megumi.
"Jadi…ada yang tak bisa kau katakan pada ayahmu?"
"..." Megumi sedikit terbelalak tapi akhirnya ia mengerti, Jin ingin ia berbicara padanya. Megumi pun mendekat. "Sebenarnya ada. Saat aku baru pertama turun ke misi, aku merasakan dada ku berdetak keras sekali, seperti…entahlah aku sendiri tak bisa menggambarkannya. Tapi seperti ada perasaan yang aneh begitu.
Kupikir itu karena shock energy, itu pertama kalinya aku turun ke misi level S dengan tekanan energy tinggi. Tapi hal itu terjadi lagi selama misi, dan setelah misi juga. Tingkat sensitivitas ku meningkat, aku bisa merasakan kehadiran kutukan yang begitu jauh, Gojo-san bilang sekitar jarak 3km. Sebelumnya itu tak pernah terjadi," jelas Megumi.
"Hmm…naruhodo. Jadi seperti ada insting lain yang bangkit dalam dirimu begitu ya," Jin tampak berpikir. "Ya, kalau dari heal tadi aku betulan tak menemukan ada yang salah dengan energy heal mu. Tapi di luar itu aku tidak tahu."
"Di luar…itu?"
Jin mengangguk. "Aku spesialis heal energy, aku hanya mengecek dan melakukan heal pada energy mu sebagai healer. Tidak ada masalah dengan energy heal mu. Tapi jika itu energy lain, yang sama sekali tak bersentuhan dengan energy heal mu, kurasa kau harus menemui orang lain. Mungkin ketua divisi healer fisik, atau Ieiri-san, atau mungkin…jujutsushi."
Alis Megumi berkerut mendengar kata terakhir. "Jujutsushi…?"
Jin mengangguk. "Sudah kubilang aku tidak tahu gangguan energy seperti apa yang kau alami. Jadi aku juga tak tahu pada siapa harus merekomendasikanmu. Mungkin temuilah tiap-tiap dari mereka itu. Orang yang bisa heal fisik, orang yang bisa keduanya, juga seorang jujutsushi."
Megumi mengangguk. "Arigatou," balas Megumi. Setelah itu mereka pun keluar dari ruangan itu. Tampak Toji sudah berada tak jauh dari depan pintu.
"Kalian tidak membicarakan hal lain tanpa sepengetahuanku kan?" ucap Toji.
"Sama sekali tidak, kami hanya bernegosiasi soal harga. Ya kan, Megumi-Sensei," ucap Jin.
"Ya, lagi-lagi Jin-Sensei memberikan diskon. Beliau baik sekali," balas Megumi. Ia melipat selimut dan menatanya di tangan. "Ya sudah, ayo pergi," ajak Megumi.
"Kalau Toji-san mau heal aku tidak keberatan, haha," goda Jin sambil bersandar ke tembok dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Diskon yang waktu itu masih berlaku."
"..." Toji hanya melirik. "Ayo," Toji merangkul pundak Megumi dan berjalan menuju pintu keluar. Saat pintu terbuka, tampak Gojo menunggu di ruang tunggu depan kantor Jin, ia berdiri begitu melihat Megumi keluar bersama Toji.
"Ah…umm, hanya ingin memastikan Sensei baik-baik saja," ucap Gojo.
"..." Toji terdiam dan mematung di tempat, apalagi saat Megumi melepaskan diri dari dekapannya demi menghampiri Gojo.
"Hey, aku bilang tak apa. Harusnya kau pulang dan istirahat saja. Kau lebih lelah dariku," ucap Megumi.
"Habisnya aku khawatir. Kalau terjadi sesuatu padamu bagaimana," balas Gojo.
Obrolan keduanya tak begitu Toji perhatikan, hanya seperti background noise di telinganya. Kepala Toji sedikit tertunduk. Ia hanya merasa…Megumi menjadi cukup jauh darinya kini. Bukan seperti dulu lagi. Dan Toji tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan hal itu.
"...san, Tou-san…!"
Panggilan Megumi membawa Toji kembali ke dunia nyata. Sebisa mungkin ia mencoba tersenyum. "...ya?"
"Ayo, sekarang kita ke medis. Luka-luka mu harus diobati," Megumi meraih tangan Toji, menautnya.
"..." tatapan Toji tak fokus. Yang ada di fokus pandangannya justru Gojo yang ada di belakang Megumi. Mata Toji menyipit, lagi, ia mencoba tersenyum. Ia melepaskan tangan Megumi lalu berganti menepuk kepalanya, mengusapnya lembut.
"Ya, Tou-san akan ke medis, mumpung sudah di sini. Kau kembali saja ke paviliun, kau pasti lelah setelah misi," ucap Toji.
"Tak apa, aku temani kau ke medis dulu. Lagipula kau bisa kabur nantinya," balas Megumi.
"Haha, mana ada," Toji menunjuk ke belakang dengan ibu jari nya, ke arah Jin. "Akan kupastikan ada saksi yang melihat kalau aku betulan pergi ke medis. Lagipula nanti ada laporan hasil check up juga, kau bisa memeriksa itu kalau masih tak percaya."
"..." Megumi masih terdiam sesaat.
"Sudahlah, hanya ke medis saja, aku pasti ke sana kok. Kau harus istirahat, Megumi," Toji mendorong Megumi ke arah Gojo. Ia menatap tajam jujutsushi itu. "Kau akan mengantarnya sampai ke paviliun kan?"
Gojo mengangguk. "Iya, akan kupastikan dia baik-baik saja," balas Gojo, meraih pundak Megumi.
"Bagus," balas Toji, dia pun melepas Megumi. "Ya sudah Megumi, istirahat, makan juga. Tou-san akan ke medis dulu, mungkin akan menyempatkan mampir nanti."
Megumi pun mengangguk. Ia akhirnya pergi bersama Gojo, meski sempat menoleh sesaat ke arah Tou-san nya yang masih berdiri di sana, di depan ruangan Jin yang terbuka.
Toji masih mematung setelah Megumi tak terlihat lagi.
"Jadi…mau menerima tawaranku?" ucap Jin yang masih berada di posisi yang sama.
Toji menoleh lewat pundaknya. "Kau bisa melakukan penanganan medis sederhana?"
Jin tersenyum mendengar itu.
.
.
"Sshh…" Toji meringis perih saat alcohol menyapu lukanya.
"Tahan sebentar…dan, selesai," Jin menempelkan plester ke kapas yang menutupi luka Toji. "Oke, sudah semua?" Jin memeriksa kembali tubuh Toji yang topless kini. Di perutnya terlilit perban melingkar yang baru Jin pasang, juga beberapa kapas dan plester menempel di bagian tubuh lainnya.
"Ya, kurasa sudah," ucap Toji seraya menggerak-gerakkan lengannya. "Kau jago juga. Perbannya rapi."
"Hey, begini-begini aku bagian dari tim medis. Perawatan basic begini harus ada dalam ekspertise ku," tawa Jin sambil membereskan peralatan medis nya. "Putra mu pasti juga bisa melakukannya."
"…" Toji menghela nafas lelah saat nama itu disebut. Ia duduk di tepi ranjang ruang kedap suara healer yang ada di kantor Jin. Ia menatap sekeliling. "Jadi di semua kantor healer ada tempat seperti ini?"
"Ya. Fasilitas dari kantor. Kau tahu kan, healer dengan jujutsushi ada yang memerlukan kontak fisik lebih dalam," Jin menaruh kotak medis nya kembali ke tempat.
Toji memutar bola mata jengah. "Sex maksudnya?"
Jin tertawa mendengar itu. "Kau frontal juga," ucapnya sambil menghampiri laci meja. Ia mengeluarkan sebuah gelang dari sana. "Kau jadi mau heal?" ia menunjukkan gelang itu. Ada semacam lampu indikator berwarna hijau berbentuk persegi panjang di bagian depan gelangnya.
"..." Toji terdiam sesaat sebelum mengulurkan tangannya. "Asal jangan memberikan harga di luar nalar."
Jin tertawa mendengar itu. "Tenang saja, yang ini gratis kan kubilang, anggap aja pelayanan pertama," Jin melingkarkan gelang itu di pergelangan tangan Toji. Secara otomatis, gelang itu menempel sempurna mengikuti bentuk lengan Toji, dan Toji merasa seperti ada jarum yang menusuk kulitnya.
"Kuh…hey?" ucapnya terkejut.
"Tak apa, memang begitu cara kerja nya. Benda itu sedang menginjeksi energy kutukan ke dalam tubuhmu."
"..." Toji mengamati sesaat benda itu, perlahan indikator berwarna hijau nya menurun berganti dengan warna merah. "Jadi ini indikator–..." ucapan Toji terhenti saat Jin mendekat dan naik ke pangkuannya.
"Aku juga harus dapat bayaran dengan cara lain kan," ucap Jin dengan sebuah seringaian tipis.
"Apa kau selalu begini pada pasien-pasien mu, Jin-Sensei," balas Toji sambil melepas kacamata Jin.
"Tidak juga. Hanya pada orang yang wajah atau tubuhnya kusukai saja."
Toji menyeringai. "Kalau denganku, apa yang kau sukai?"
Jin tersenyum. "Keduanya. Anggap saja cinta pada pandangan pertama saat aku melihat wajah dan tubuhmu ini."
"Ya, aku bisa merasakan tatapanmu saat pertama kali melihatku itu."
Jin tertawa. "Kau yakin? Kupikir kau begitu tak peka."
"Aku menyadarinya. Hanya saja aku biasa mendapat tatapan itu dari wanita. Baru kali ini aku mendapatkan tatapan itu dari pria, jadi aku tak mengerti kenapa kau melakukannya."
"Pfftt…begitu ternyata. Jadi aku pria pertamamu?"
Alih-alih menjawab, Toji menatap Jin dengan sebelah alis bertaut. "Kau terbiasa dengan pria? Bukankah kau bilang kau sudah menikah, bahkan sudah punya anak?"
"Ya, tapi itu sudah lama sekali. Isteriku adalah wanita terakhir yang kutiduri. Setelah kepergiannya…aku tidak bisa tidur dengan wanita lain. Aku merasa tak nyaman memeluk wanita lain, dan melihat orang lain mendesah di bawahku kalau bukan isteriku."
"Keh, dan kau malah mendesah di bawah tubuh pria lain?"
"...hey, jangan munafik. Bagi kita yang sudah menikah, sudah pernah merasakan seks, berhubungan badan menjadi hal primer bagi kita. Bukan masalah keinginan lagi, tapi masalah kebutuhan biologis. Dan pasti kita punya cara masing-masing untuk memenuhi itu."
Jin menelusuri dada Toji dengan jemarinya. "Kau sendiri bagaimana? Aku tak yakin kau tak pernah melakukan sex setelah kepergian isterimu."
Toji menarik sebelah bibirnya. "Sok tahu sekali istriku sudah pergi. Memangnya aku pernah cerita?"
Jin tertawa. "Mana ada jujutsushi yang punya isteri lalu pindah ke HQ. Yang ada justru jujutsushi menikah dan akan pindah dari HQ untuk hidup bersama istri nya."
"..." Toji hanya bisa tersenyum kecut. "...yeah, ada malam-malam di mana hasrat itu tak tertahankan," Toji meraih jaz healer Jin dan menurunkannya. "Biasanya aku pergi ke club terdekat dan menemukan pelacur untuk kubawa ke kamar. Setelah itu aku pergi di pagi hari tanpa meninggalkan nama. Hanya meninggalkan bayaran untuk tubuh mereka saja."
"Fufu, tak ingin terikat secara emosional dengan siapapun?"
"Ya. Aku ingin fokus emosionalku tertuju hanya pada putraku saja."
"Dan putra tercintamu itu sepertinya sudah mulai terbang meninggalkan sarangnya."
"..." Toji tak menjawab mendengar itu.
"Fufu," Jin tertawa kecil. "Ah, gelangnya sudah kosong," ucapnya melihat lampu indikator di gelang itu sudah merah sepenuhnya. Gelang itu lalu melonggar dan terlepas sendiri dari tangan Toji. Tak ada bekas tusukan atau apapun, sepertinya itu hanya sensasi saja saat energy itu memasuki tubuh Toji.
"Oke, kumulai ya. Ini pertama kali kau heal?" tanya Jin seraya menyentuh leher Toji. Toji mengangguk. "Begitu, kurasa lewat leher tak apa," Jin memejamkan mata, lalu mulai menyalurkan energy heal nya. Setelah yakin heal nya bekerja dengan baik, barulah ia membuka mata. "Bagaimana? Kau merasakannya?" tanya Jin setengah berbisik.
"…" Toji tak menjawab, nafasnya sedikit memburu. Ini pertama kalinya ia merasakan heal, ternyata rasanya senikmat itu. Seperti ada energy yang begitu halus dan menenangkan merayap masuk ke dalam tubuhnya, menyentuh energy nya.
"Damn, kau pasti begitu menikmatinya kalau sampai ini bereaksi," Jin tertawa kecil seraya meremas pelan selangkangan Toji yang menggunduk.
"..." Toji menatap Jin, lalu mengulurkan tangannya masuk ke balik kemeja Jin, menyentuh pinggangnya. "Bayaran yang kau maksud, hal-hal semacam ini kan?"
"Tentu saja. Bukankah dari awal aku sudah memberi hint mengarah ke situ," Jin mencondongkan wajahnya ke telinga Toji. "Aku ingin melakukan sex denganmu, itu lebih jelasnya," Jin menjulurkan lidahnya dan menjilat cuping telinga Toji, mengulumnya.
"..." Toji tak menjawab, tapi tangannya lalu bergerak ke atas, ke dada Jin, lalu meremas-remas nya. "Rata," ucapnya.
Jin tertawa kecil. "Pria bukan seleramu? Untungnya penis mu bisa ereksi karena heal."
"Ya. Akan kucoba, tapi katakan jika aku salah melakukan sesuatu. Aku terbiasa pada tubuh wanita."
"Ya, lagipu–..." ucapan Jin terhenti saat Toji mengubah posisi dan ganti membantingnya ke ranjang, membaringkannya ke sana. Jin tampak terbelalak. "...wow," ucapnya. "Pasti banyak sekali wanita yang menjerit mendapat perlakuan ini darimu."
Toji menyeringai. "Kau juga suka yang sedikit kasar? Kau akan mendapatkannya," Toji menaikkan kemeja Jin dengan paksa, membuat beberapa kancingnya lepas, dan ia menurunkan kepalanya untuk mengulum nipple Jin, satu tangan memilin nipple lainnya.
"Hmngh…ahhh," Jin menutup mulutnya dengan punggung tangan, tubuhnya sedikit terangkat menerima perlakuan Toji.
Toji mengulum nipple itu, menggigitnya, satu tangan menarik nipple lainnya kuat. Ia mendengar desahan keras Jin di setiap geraknya, jadi ia yakin Jin menikmati itu. Tangan Jin kembali menyentuh leher Toji untuk heal, dan kembali bisa Toji rasakan perasaan nikmat itu. Sial, bagaimana kalau ia ketagihan heal nantinya, pikir Toji.
Toji menegakkan tubuh supaya bisa melepas sabuk celana Jin, lalu menarik lepas celananya dengan sedikit kasar, menampakkan penis Jin yang sudah tegak.
"Ini bagaimana? Apa langsung masuk atau harus apa dulu?" tanya Toji sambil membuka resleting celananya sendiri.
"Ya, langsung masuk tak apa. Aku sudah terbiasa de–...oh shit," ucapan Jin terhenti begitu Toji mengeluarkan penisnya dari celana. "Aku belum pernah memasukkan benda sebesar itu ke tubuhku. Kurasa butuh persiapan tambahan," Jin pun bangkit dari ranjang, meraih sesuatu dari dalam nighstand samping ranjang.
"Memangnya ukuran penis orang yang tidur denganmu sekecil apa," ucap Toji.
"Hey, kau saja yang terlalu besar. Ukuran mereka normal," balas Jin. Ia kembali ke ranjang membawa lube, lalu melumurkan benda itu ke tangannya. Ia duduk membuka kakinya lebar, lalu mulai memasukkan jemarinya yang basah ke dalam lubangnya. "Hnn…sshh, tunggu sebentar oke. Harus lebih dilonggarkan supaya bisa masuk."
"..." Toji diam melihat pemandangan itu. Jemari licin Jin yang keluar masuk lubangnya, lalu wajah Jin yang erotis menikmati kegiatan itu. Toji mencondongkan tubuhnya ke depan lalu meraih lube tadi, ia sendiri melumuri tangannya dengan benda itu.
"Ngh…hey, kau tak perlu melakukannya. Anh…biar aku saja," ucap Jin.
"Aku bosan hanya menunggu, bisa-bisa aku lembek lagi," ucap Toji.
"Haha, kejamnya," balas Jin tapi lalu membiarkan saat Toji ganti menyentuh lubangnya. Ia langsung memasukkan dua jari ke dalam lubang Jin, mendorongnya dengan sentakan kuat.
"AHHH–..." Jin mengerang.
Toji menyeringai melihat reaksi Jin. "Aku belum lihai, Jin-Sensei. Sebaiknya kau beritahu aku di bagian mana yang enak," goda nya seraya bergerak liar dan cepat di dalam lubang Jin.
"Hngh…a-ahh…di…di situ…ahh, nn…" Jin mendongak nikmat dengan kaki terbuka lebar.
"Di sini?!" Toji kembali menghujam tempat di mana ia menyodok tadi.
"AAAHHH–..." lagi-lagi Jin menggelinjang. "Ngh…y-ya…ahhh, di…sana…"
Toji terus menyentuh tempat itu. Ia memasukkan jari selanjutnya ke lubang Jin, membuat Jin semakin mendesah heboh. Toji menelan ludah berat, jemarinya diremas oleh lubang Jin yang basah dan hangat, ia menatap ekspresi Jin yang seperti menikmati sekali perlakuannya. Darah berdesir kuat ke kemaluan Toji, ia tersenyum kecut. Ia tak menyangka ia bisa begitu terangsang melakukannya dengan seorang pria.
"Hngh…T-Toji-san…" panggil Jin. Ia menatap Toji, lalu ke arah penisnya. Benda itu sudah tegak dan tampak berdenyut, cairan precum menetes dari sana. "Nn…Toji-san, ahh, kau ingin masuk? Masukkan saja…ssshh, ku-kurasa sudah cukup…" ucap Jin. Matanya tak bisa lepas dari penis Toji yang tegak, ia sudah membayangkan jika benda itu memasukinya.
"Kau yakin?" Toji membuka jarinya untuk melebarkan lubang Jin.
"Aaahhh…" Jin kembali menjerit dan mendongak. "I-iya…ahh, cepat…"
"Baiklah," Toji pun menarik jemarinya dari sana, lalu menekan paha Jin supaya terbuka lebih lebar. Ia memajukan tubuhnya, menuntun penisnya ke lubang Jin. "Aku masuk," ucapnya lalu mendorong masuk. Pelan kepala penisnya terbenam di lubang Jin.
"Hngh…ahh…be–...sar…" racau Jin.
Toji menyeringai, lalu dengan satu dorongan kuat, ia memasukkan seluruh penisnya ke dalam lubang Jin.
"AAHHHHHH…!" Jin menjerit keras, dan sperma tiba-tiba muncrat dari ujung penisnya.
"Hey hey, kenapa sudah klimaks duluan padahal aku baru masuk," seringai Toji.
Jin tak menjawab, ia tampak tersengal dengan tatapan tak fokus. Dan ia hanya bisa kembali menjerit saat Toji tak memberinya kesempatan istirahat, langsung memasukinya dengan brutal. "Ooughh…ahhh, haaahh, aaaahh…" tubuh Jin terguncang keras karena pergerakan Toji.
Toji menyeringai, ia menurunkan badannya supaya bisa masuk lebih dalam, membuat tubuh Jin semakin menggelinjang.
"Aahhh…aahhh," Jin kembali klimaks.
Toji menyeringai, ia meraih kedua pergelangan tangan Jin dan menguncinya di atas kepala. "Hoy hoy, memangnya seenak itu? Kau sampai bocor begini," goda Toji.
Jin tak menjawab, nafasnya terengah. Ia menatap ke bagian bawah tubuhnya di mana penis Toji masih terhubung ke sana, perlahan ia kembali menyalurkan energy heal nya lewat hubungan badan itu.
"Khh…kau–..." Toji mengeratkan gigi-gigi nya saat merasakan itu. "Kau sengaja ya?" ucapnya seraya kembali bergerak, tubuhnya kembali menunduk hingga jarak wajah mereka cukup dekat.
"Berhenti bicara, lakukan saja. Kau juga enak kan?" ucap Jin.
"Bodoh, tentu saja," balas Toji. Bibir mereka kemudian bertaut, mata mereka terpejam. Detik berikutnya lidah mereka saling bertaut dan mengecap rasa masing-masing. Kaki Jin melingkar ke tubuh Toji saat kenikmatan semakin memuncak. Toji melepas ciuman. "Hey, aku mau klimaks. Lepaskan kakimu."
"Hngh…keluarkan saja di dalam, ini enak sekali."
"Nnh…bodoh, kau tahu apa yang kau bicarakan?"
"Ya, aku tahu," Jin malah berganti memeluk leher Toji. "Aku bukan pelacur wanita mu, aku tidak akan hamil karena kau ejakulasi di dalam meski kau tak pakai kondom. Jadi keluarkan saja, bukankah bagimu juga lebih enak begitu."
"Hnh…baiklah jika kau mau," balas Toji. Ia bergerak dengan sodokan yang lebih kuat.
"Aaaahhh…" Jin mendesah merasakan pergerakan itu, lubangnya mengapit lebih erat. "T-Toji-san…aahhh, aaahhhhh…" ia mendesah keras saat akhirnya klimaks, di dalam tubuhnya juga terasa sekali cairan panas mengisi lubangnya, dan pergerakan Toji yang masih saja menggesek sweetspot nya.
"Ngh…ahhh…ahh…" Jin mendesah pelan saat Toji juga memelankan gerakan setelah melepas hasratnya di dalam. Kaki Jin terlepas dari tubuh Toji, lemas karena telah klimaks.
Toji mengeluarkan penisnya dari lubang Jin, membuat cairan putih meleleh dari sana.
Jin setengah duduk dan bisa melihat itu dari posisinya. "Hnh, banyak sekali. Sudah berapa lama kau tidak ejakulasi," goda Jin.
"Berisik," balas Toji. Ia merapikan celananya lalu berbaring ke bantal di sebelah Jin. "Biarkan aku istirahat sebentar di sini."
"Ya, santai saja," Jin juga berbaring di sebelah Toji, miring ke arahnya.
"Kau tidak kerja, Sensei?" goda Toji.
"Biar saja. Aku belum menyalakan status online juga. Lagipula sebagai kepala divisi, tugasku sebagai healer bukan full time, karena banyak dokumen yang harus kuurus."
"Keh, dan disinilah kau. Mengurus dokumen."
"Pfft…oh diamlah," balas Jin. Untuk beberapa lama keduanya terdiam. Toji menatap kosong ke langit-langit.
"Jadi…kau serius tak menemukan ada yang salah pada Megumi kan?" tanya Toji.
"Pfftt…jadi itu tujuan utamamu. Haha, aku terluka," canda Jin. "Tapi tenanglah, memang tidak ada. Tapi dia bilang dia merasakan sesuatu yang lain, dan aku menyarankannya menemui Ieiri-san."
"Sesuatu yang lain? Apa itu?"
"Tidak tahu. Dia bilang dia jadi sensitif pada energy kutukan, dia bisa merasakan keberadaan kutukan meski jarak jauh. Sebelum ini katanya tidak begitu," jelas Jin. "Mungkin insting baru nya bangkit karena bersinggungan langsung dengan kutukan selama misi, berbeda dengan selama ini di mana ia melakukan heal di dalam lingkungan yang aman."
"...begitu rupanya…" balas Toji, tatapannya menerawang.
Jin tertawa kecil. "Sudahlah, memangnya perlu sekhawatir itu? Putramu mengikuti misi resmi dari HQ, pasti HQ sudah memperhitungkan keselamatannya. Lagipula…sepertinya putramu itu dekat dengan Gojo Satoru? Kurasa mereka memiliki hubungan istimewa kalau melihat dari sikap mereka tadi. Harusnya kau tenang kalau yang memacari putramu itu jujutsushi special grade, dia bisa melindunginya."
"Tch!" yang ada Toji malah mendecih kesal. "Si brengsek itu."
"Hey hey apa-apaan itu, kau punya masalah pribadi dengannya?" tawa Jin.
"Dia pernah membuat Megumi koma saat heal. Bagaimana bisa aku malah mempercayakan Megumi pada dia."
"Koma? Hey, tapi yang kudengar Megumi-Sensei tampak antusias saat menceritakan proses heal nya dengan Gojo-san."
"Ya, tapi aku sendiri yang menjemputnya dari rumah sakit. Dia tidak bergerak sejak siang hari!"
"Aaa…" Jin menunjuk dengan jarinya. "Kalau dia betulan koma tidak mungkin kau malah 'menjemputnya' dari rumah sakit. Yang ada dia harus dirawat di rumah sakit, sampai dia sadar. Kalau kau menjemputnya, berarti dia baik-baik saja."
Toji merengut mendengar itu.
"Mungkin yang kau maksud kelelahan sampai energy nya sangat low," tambah Jin. "Baiklah, kuberitahu sesuatu, mungkin ini sedikit akan menenangkanmu," Jin beringsut duduk dan bersandar ke kepala ranjang, mengganjal punggungnya dengan bantal. "Aa–...aa…" ia sedikit meringis saat merasakan cairan Toji masih mengalir dari lubangnya.
"Jadi begini, sebagai healer, kami punya batas minimal di mana kami masih bisa melakukan heal. Sebagai contoh, batas minimalku 20%, di bawah persentase itu aku tidak bisa lagi melakukannya. Putramu juga pasti punya batas sendiri, dan kalau dia masih bisa melakukan heal berarti dia masih berada di atas batas minimalnya. Dia baik-baik saja, percayalah."
"Ya, tapi mana ada sampai pingsan begitu. Dia tidak bangun dari siang sampai malam, bahkan saat rekan kerja nya melakukan pemeriksaan medis padanya."
"Bisa saja, itu hanya karena kelelahan. Hal itu biasa terjadi saat peak season di HQ, di mana jumlah healer dan jujutsushi yang ditangani lebih besar jumlah jujutsushi. Healer bisa sampai mengalami itu, tapi itu bukan fase yang membahayakan. Aku sudah pernah menemui kasus di mana healer koma, yang betul-betul koma, itu saat mereka melakukan heal yang tidak kompatibel, dan energy mereka termakan energy jujutsushi. Itu bisa berakhir buruk, dan healer juga akan mendapat perawatan penuh oleh tim medis, bukan malah dibawa pulang."
"..." Toji tak merespon mendengar penjelasan itu.
Jin tersenyum melihatnya. "Sudahlah, lagipula Megumi-Sensei juga tampaknya menyukai Gojo-san, berarti dia memang tak keberatan melakukan heal dengannya, dan energy mereka memang cocok. Aku pribadi tidak akan mau heal pada orang yang energy nya tak cocok denganku."
Toji menghela nafas lelah. Ia juga beringsut duduk, bersandar ke kepala ranjang. "Tapi bagaimana kalau kau yang seorang healer energy tiba-tiba diturunkan ke medan pertempuran."
"Yah, kalau aku tidak mungkin bisa sih. Tapi putramu menjalani eksperimen ini pasti sudah ada safety measure dari HQ kan, ada step step nya. Tidak mungkin juga turun ke misi begitu saja."
Lagi, Toji menghela nafas panjang, menatap langit di luar jendela kamar. "Kalau putramu bagaimana? Kau bilang putramu healer fisik kan? Kau tidak pernah khawatir terjadi sesuatu padanya?"
"..." Jin terdiam lalu tersenyum kecil. "Tentu saja ada kekhawatiran. Tapi pada akhirnya…tak ada yang bisa kulakukan," ucapnya. Keheningan tercipta sesaat. "Aku berada di sana kau tahu, saat istriku meninggal," ucap Jin kemudian. "Aku ada di kursi kemudi, dia di sampingku. Dan aku tak bisa melakukan apa-apa meski aku berada di sana bersamanya."
Jin menghela nafas lelah dan lebih merilekskan tubuhnya ke bantal yang ia sandari. "Sama saja dengan putraku. Mau aku mengekang mereka di dalam rumah pun, kalau sudah waktunya ya mereka tetap akan pergi. Mungkin aku duluan, mungkin mereka duluan, aku tak tahu."
Toji mengerutkan sebelah alis. "Mereka?"
"Ah? Aku belum bilang? Aku punya dua putera. Kembar. Satu bekerja di HQ ini, menjadi healer fisik. Satu lagi di HQ Kyoto, jujutsushi semi-special grade."
Toji tampak terkejut mendengar itu, Jin tertawa kecil.
"Jadi saat kau tanya apa aku tak mengkhawatirkan mereka, jangan tanya lagi. Sudah makananku sehari-hari. Setiap saat aku bertanya-tanya, apa Yuuji selamat dari mengawal misi. Setiap tak dapat kabar dari Sukuna, aku selalu bertanya-tanya apa dia sedang menjalankan misi, apa dia kembali dalam keadaan hidup," tambah Jin. "Mungkin suatu hari nanti akan terjadi, aku di sini menjalani hariku seperti biasa, tiba-tiba datang kabar kalau salah satu dari mereka gugur dalam misi. Dan tak ada yang bisa kulakukan soal itu."
"Kau sama sekali tak ada niatan menyuruh mereka berhenti?" tanya Toji tanpa menatap Jin.
"Menyuruh berhenti juga bagaimana. Ini pekerjaan yang mereka pilih sesuai kemampuan dan kemauan mereka. Semisal saja mereka punya kemampuan acting, dan memilih untuk berada di dunia hiburan. Apa iya kita menyuruh mereka berhenti karena kita tak suka dengan paparazzi atau semacamnya?
Ini juga sama saja. Mereka punya kemampuan di bidang heal fisik, di bidang jujutsushi, dan mereka juga mau bekerja di bidang ini. Aku harus apa? Menyuruh mereka berhenti untuk menjadi apa?" Jin menggeretakkan lehernya yang kaku. "Yang bisa kulakukan hanyalah memberi dorongan. Paling sesekali mengingatkan untuk tidak ceroboh atau semacamnya. Selebihnya…mereka mau selamat atau tidak di medan pertempuran, itu di luar kuasaku."
Toji hanya melirik dalam diam ke arah Jin, Jin yang menyadari itu balas menatap.
"Hora, mereka memiliki profesi lain pun sama saja kan. Jadi polisi, pemadam kebakaran, atau pekerja kantoran sekalipun. Siapa yang tahu tiba-tiba ada kutukan menyerang dan mereka kena dampak dan meninggal. Masih mending pekerjaan ini, mereka punya basic memiliki energy kutukan, malah bisa melindungi diri kalau itu benar terjadi."
"Tch! Iya iya, aku paham ocehanmu," balas Toji seraya mengacak rambutnya. Ia lalu beralih ke samping dan mengurung tubuh Jin antara tubuhnya dan kepala ranjang. "Aku jadi kesal mendengar aku tak bisa melakukan apa-apa atas hal ini."
"Hey, itu–..." ucapan Jin terhenti saat melihat perban di perut Toji yang kini merembes warna merah. "Lukamu terbuka lagi," Jin menyentuh bagian itu. "Sebaiknya kau ke tim medis betulan setelah ini."
"Ya. Setelah ini, kan?" ucap Toji seraya kembali menyentuh lubang Jin yang masih basah dan licin.
"Kau–..." tapi Jin tak berbicara lagi karena yang keluar dari mulutnya setelah itu hanyalah desahan.
.
~OoooOoooO~
.
Ting tong…
"Ya, tunggu sebentar," terdengar langkah kaki mendekat lalu pintu pun terbuka. "Tou-san," ucap Megumi begitu melihat siapa yang datang. "Ah, kau sudah dari medis?" ia menatap Toji dari atas sampai bawah, lalu memeriksa sampai ke balik pakaiannya. Sudah ada perban baru di sana, juga beberapa kapas dan plester luka di tempat lain. "Sebaiknya kau tidak ambil misi dulu sampai ini sembuh, yang ini paling parah," ucap Megumi sambil menyentuh perban di perut Toji.
"Kau sudah makan? Masuklah. Aku sedang menyiapkan makanan," Megumi menggandeng tangan Toji dan membawanya masuk.
"Sensei, kumasukkan kentang dan wortel juga ya? Bagus untuk kese–..." Gojo muncul dari pintu dapur membawa kentang dan wortel, tapi lalu bungkam begitu melihat Toji dan Megumi.
"Ah, ya, masukkan saja. Aku tak terlalu pilih-pilih makanan," balas Megumi. Ia lalu beralih ke Toji. "Kau nonton TV saja dulu, sebentar lagi masakannya jadi. Oke."
"A-ah, biar aku saja Sensei. Kau–...menemani ayahmu saja. Ini tinggal menunggu mendidih saja kan," ucap Gojo.
"...begitu…?"
Gojo mengangguk yakin lalu kembali ke dapur. Megumi mendudukkan Toji di sofa ruang tengah. "Apa ada luka yang lain lagi? Mungkin harus ke healer fisik," Megumi kembali memeriksa tubuh Toji, tapi Toji tak terlalu memperhatikan ucapan Megumi. Ia justru memperhatikan balik tubuh Megumi, mengamatinya.
Rambut Megumi masih lembab, tanda ia belum lama keluar dari kamar mandi. Dari kaos longgarnya Toji bisa melihat bercak biru di leher dan dada Megumi, juga ada di paha nya karena Megumi memakai celana longgar selutut kini. Toji bisa menebak apa yang barusan Megumi lakukan, dan pastinya dengan Gojo, melihat pria itu ada di paviliun Megumi kini.
"...san…Tou-san," panggilan Megumi membawa Toji kembali ke dunia nyata.
"Ya…?"
"Kau sudah lapar? Mau snicker dulu? Sepertinya aku masih punya beberapa."
"Ah…itu…" Toji lalu mengangguk dan tersenyum kecil. "Ya, boleh saja."
"Baiklah, tunggu di sini, oke," Megumi pergi menuju kamarnya.
Sepeninggal Megumi, Toji bangkit dan menuju dapur, menemui Gojo. Gojo yang melihat kedatangan Toji memilih untuk mengecilkan kompor lalu memutar tubuh menghadap Toji.
"Dia baik-baik saja?" tanya Toji sembari mendekat, ia berdiri bersandar ke counter berhadapan dengan Gojo.
Gojo mengangguk. "Aku memasang kekkai selama dia berada di arena pertempuran, juga membasmi kutukan yang mendekatinya kurang dari 25 meter. Aku tidak tahu soal seberapa baik dia bisa mentolerir tekanan energy yang ada, tapi dia bilang baik-baik saja."
"Apa dia cerita sesuatu tentang menjadi lebih sensitif pada keberadaan kutukan?"
Gojo mengangguk. "Baru saja cerita. Kata Jin-Sensei dia harus konsultasi pada jujutsushi, healer fisik, dan healer yang bisa melakukan kedua heal fisik serta energy. Dan dia memilih konsultasi padaku sebagai jujutsushi," balas Gojo. Keheningan tercipta sesaat, dan Gojo merasa ia menyadari sesuatu. "Dia…tidak cerita padamu…?"
"..." Toji memilih tak menjawab. "Dan menurutmu bagaimana sebagai jujutsushi?"
"..." Gojo menggeleng. "Aku tidak melihat atau merasakan hal aneh apapun terjadi padanya. Mungkin hanya shock karena pertama kali turun ke misi kelas S."
Lagi, keheningan tercipta di antara mereka. Toji melangkah menghampiri Gojo, lalu mencengkram sebelah pundaknya dengan erat.
"Dengar, aku hanya tak ingin terjadi sesuatu pada putraku tanpa aku mengetahuinya. Dan sejak dulu dia selalu seperti ini, dia terlalu mengkhawatirkanku sehingga memilih tak mengatakan apa-apa."
"..." Gojo mengangguk. "Akan kupastikan kau mengetahuinya jika terjadi sesuatu."
Toji mengangguk, lalu menepuk pundak Gojo dua kali. "Dan jaga dia, mengerti. Aku sungguh-sungguh saat mengatakan ini."
Gojo mengangguk. "Pasti," balasnya.
.
Megumi melihat ke sofa ruang tengah yang sudah kosong, ia sudah membawa beberapa bungkus snicker di tangannya. "Tou-san?" panggilnya. Ia melongok ke arah pintu luar yang tertutup, apa masih di dalam paviliun? Megumi berjalan ke dapur dan melihat Gojo tengah menyajikan masakannya di meja makan.
"Ah, Sensei. Ini sudah matang," ucap Gojo.
"Tou-san mana?" tanya Megumi.
"Kembali ke paviliun, katanya dia mau tidur. Padahal sudah kutawari makan bersama."
Megumi merengut seraya mendekat. "Kalian tidak bertengkar lagi kan?"
"Sama sekali tidak. Kalau bertengkar setidaknya aku bakal lebam-lebam lah kalau tidak berdarah-darah," tawa Gojo meski sambil merasakan nyeri di pundaknya bekas cengkeraman Toji, ia yakin pasti lebam sih. "Mungkin ngantuk karena efek obat? Dia habis dari medis kan?" tambah Gojo.
"Hmm, ya mungkin saja," Megumi pun duduk di meja makan, meletakkan snicker nya di sana. Ia melirik Gojo yang sudah melayangkan mata pada benda itu. "Aa, nope. Makan dulu," Megumi segera menyembunyikan snicker snicker nya.
"Aaaah Senseeei," rengek Gojo.
"Nggak, masakannya sudah jadi kok. Ini tadi kupikir karena masakannya masih lama."
"Yaaaahh…"
Setelah itu mereka pun makan bersama.
.
.
.
~To be Continue~
.
Support me on Trakteer : Noisseggra
