BoBoiBoy (c) Monsta
No material profit is gained from this work of fiction.
Amigos Para Siempre / Friends for Life (c) Roux Marlet
.
.
.
.
.
Chapter 2: The Little Torch
.
.
.
.
.
"BoBoiBoy Kuasa Tujuh!"
Tujuh cahaya beragam warna, terbit dari sosok bertopi dino jingga dan menyilaukan mata semua orang. Ketika penglihatan aman kembali, tujuh sosok kembar telah berdiri di tempat BoBoiBoy tadi berada.
"Asyiik! Ayo, kita buat games yang menarik, Solar!" Duri si serbahijau adalah yang pertama kali berceletuk riang.
"Oh, pasti menarik," gumam Solar, tersenyum miring sambil membetulkan kacamatanya.
"Ais, ini kesempatan bagus untuk banyak bergerak!" Blaze merangkul si elemental berjaket parka biru.
"Hmm, oke …." Ais hanya mengedarkan pandangan dengan mata setengah mengantuk.
"Sepertinya kita satu tim," gumam Halilintar sambil mengangguk pada Gempa, kedua tangannya masuk di saku celana. "Mohon kerja samanya."
Mata keemasan Gempa berbinar penuh semangat. "Tentu! Mari kita segera bekerja—"
"Khukhukhu …."
Tiba-tiba, sebuah tawa dingin mengudara, membuat meremang bulu kuduk semua yang mendengar. Suara itu berasal dari si elemental angin yang berdiri dengan kepala tertunduk.
"Taufan …?" seloroh Duri keheranan.
"Bukan!" Gempa merentangkan tangannya mendadak, tepat ketika hembusan angin yang kuat melanda elemental yang lain. "Beliung!"
"Aaaaaaa!" Terdengar jeritan beberapa orang ketika angin itu makin kencang.
"Hahahahaaa!" Sosok berwarna biru-putih itu melesat ke udara. Tawanya yang dingin dan nyaring membahana. Dalam sekejap, setiap elemen sudah siaga dengan senjata masing-masing.
"Cakera Api—!"
"Tunggu, Blaze!" Halilintar berseru kencang dan senjata api itu tidak jadi terlontar. "Ada yang aneh."
"Hahahahahahaaaaa, ya, ampun." Taufan—bukan Beliung—meluncur turun dengan hoverboard-nya diiringi cengiran lebar dan angin ribut yang mendadak reda dalam sekejap. "Kalian nggak perlu sepanik itu, aku hanya bercanda, bercandaaa~ berchandyaaa—aduh!"
"Nggak lucu, woi!" gerutu Fang yang memukul kepala pecahan elemen angin itu dengan tangan bayang-nya.
"Huhuhuuu. Appa, Amma, aku takut beneran!" rengek Gopal.
"Haiyaa. Kirain tadi Beliung muncul lagi, ma!" tukas Ying dengan mata melotot.
"Taufan," keluh Gempa sambil berkacak pinggang. "Bercandamu keterlaluan."
"Iya, maaf, maaf, aduuuh!" Belum sempat Taufan berucap apa-apa lagi, daun telinganya sudah dipelintir oleh sang kakek.
"Atok hampir jantungan, tahu?!" Jarang-jarang Tok Aba marah, tapi kelakuan pecahan elemental cucunya yang satu ini memang kelewatan.
"Ampun, Tok … ampun …." Taufan meringis-ringis.
"Sudah, mari kita segera bertugas, teman-teman," pungkas Yaya.
.
.
.
.
.
"Kenapa pula harus kita yang ke Rimbara?" keluh Taufan sambil berjalan merambah hutan, berpakaian ala petualang dengan ransel di punggung.
"Apa kamu lebih senang ke Kadruax, BoBoiBoy?" balas Ochobot yang terbang rendah di sampingnya.
"Uhh, nggak, makasih." Mana mungkin Taufan lupa pada sosok besar Tumbosaurus-Tumbosaurus itu? "Senang saja aku ke Rimbara, nggak ada spesies aneh-aneh di sini."
"Tapi, kita tetap harus hati-hati," imbuh Yaya yang berjalan di sisi Ochobot satu lagi, juga dalam kostum petualangan yang familier. Dia terlihat agak cemas. "Ngomong-ngomong, apakah aman sebetulnya, Ying dan Qually yang pergi ke Kadruax?"
"Tenang saja, Yaya. Tumbosaurus takut dengan api dan Qually punya senjata sudip berapi. Lagipula, kecepatan Ying akan sangat bermanfaat di tempat itu," ucap Ochobot sambil menampakkan hologram. Di situ tampak bahwa kedua kawan mereka pun telah tiba di planet tandus yang rimbun tumbuhan hidupnya itu.
"Syukurlah," gumam Yaya riang. "Hmm, kalau tantangan untuk mereka adalah Tumbosaurus, kita juga punya tantangan sendiri."
"Haaaaaaahhh. Itulah mengapa aku bertanya kenapa tadi." Taufan menghela napas panjang. "Mana ada berburu bahan masakan pakai teka-teki segala? Tinggal bilang saja seperti 'Cari akar pohon beringin di Kadruax' begitu, 'kan, senang?"
"Hehehe. Komander Koko Ci tampaknya sedang iseng," kekeh Ochobot.
Yaya menunduk dan menatap petunjuk pada tablet di tangannya. "Komander hanya memberi satu kata: Facula … rasanya aku pernah dengar? Hmmm …."
Ochobot membantu memberi referensi dalam sekian milidetik. "Facula dalam bahasa Latin artinya 'bintik terang' atau 'lampu mungil'." Sang power sphera menyebutkan versi bahasa Inggrisnya: bright spot, little torch.
"Oooh! Pak Guru Papa Zola pernah menyebutnya dalam pelajaran astronomi!" Yaya berseru penuh semangat. "Facula itu bintik terang di permukaan matahari!"
"Huuuh. Ingat betul kamu, Yaya," keluh Taufan sekali lagi, lalu mendadak berhenti berjalan dan melotot. "Tapi, eh? Masa kita harus cari ke matahari?"
"Sepertinya bukan. Yang kita cari ada Rimbara," jawan Ochobot.
"Mungkin ini semacam dahulu, Apiru Biru yang ternyata sama sekali bukan api." Yaya mengucapkan itu sambil menatap biru di mata kawannya, yang segera melengos.
"Hmmm … bintik terang atau lampu mungil, ya. Kalian tahu apa yang terbayang di pikiranku sekarang?" gumam Taufan sambil mengalihkan pandangan.
"Apa itu?" tanya Yaya dan Ochobot.
"Itu, si Solar."
"Heh?" Jawaban Taufan yang dilontarkan dengan nada kesal itu membuat dua kawannya terkejut.
Taufan hanya merengut. "Iya, 'kan? Itu dia, si lampu mungil, the little torch. Bisa nyala sendiri, terang dan bersinar, harfiah maupun kiasan. Kalau dia yang ada di sini, sudah pasti teka-teki itu dipecahkannya dengan mudah."
"BoBoiBoy, itu bukan cara yang menyenangkan untuk menjuluki bagian dari dirimu sendiri," tegur Ochobot.
Yaya diam sejenak sebelum berkomentar, "Kamu nggak seperti biasanya, BoBoiBoy."
"Iya. Aku, 'kan, memang yang paling nggak biasa di antara elemen yang lain. Siapa yang belum pernah fusion? Aku. Siapa yang jebol tahap tiga sampai lepas kendali? Aku."
Yaya mengerjap. "Apa kamu tersinggung karena percakapan kita tadi?"
"Oh, nggak. Aku nggak apa-apa, kok." Nada bicara Taufan yang semakin meninggi malah menyiratkan sebaliknya.
"Errr, sudahlah. Kita harus segera mencari jawabannya, teman-teman," sela Ochobot yang juga bingung akan sikap Taufan. "Coba kita amati tumbuh-tumbuhan di sekitar sini!"
Ketiganya bergerak kembali, sesekali membungkuk mengamati daun, semak, dan bunga yang berwarna ganjil atau berbentuk unik, tapi tak kunjung ketemu yang dicari. Sampai akhirnya ….
"Ooh! Lihat ini! Sepertinya ini yang dimaksud?"
Suara Yaya agak menggema dari balik sebuah pohon besar. Taufan dan Ochobot bergegas terbang mendekat. Yaya tengah berlutut di bagian akar pohon yang menonjol sambil menunjuk sesuatu di tengah rongga batang bagian bawah. Di situ tampak sekumpulan wujud seperti jamur mini, tak lebih dari dua sentimeter tingginya.
"Jamur?" celetuk Ochobot, bersiap untuk memindai.
"Sebentar, Ochobot! Lihat ini!" Yaya menutupi kumpulan jamur itu dengan tangannya di sebelah atas. Dalam penerangan terbatas, terlihat bintik-bintik yang berpendar di bagian atas jamur-jamur itu.
"Oooh! Fluor … floro … apa itu namanya?" gumam Taufan sambil mengingat-ingat.
"Fluoresensi! Bersinar dalam gelap!" sahut Yaya, tersenyum senang.
"Hebat, Yaya! Sepertinya memang inilah yang dimaksud Komander Koko Ci!" Ochobot telah selesai memindai. "Namanya Payung Bintik Binar!"
"Eh, tapi, menurut data, ukurannya lebih besar, ya?" seloroh Yaya sambil mempelajari informasi dari Ochobot. Di situ tertulis, paling tidak tingginya lima belas sentimeter, bintik-bintiknya pun jauh lebih lebar dan terang.
"Mungkin yang ini masih bertumbuh, masih anak-anak?" usul Taufan sekenanya.
"Hmm, kalau begitu, kita cari lagi yang sudah lebih … matang? Atau bagaimana?" balas Yaya sambil menoleh pada kawannya. "Eh, BoBoiBoy, kamu kenapa?"
Ditanya begitu, Taufan menggerutu, "Ya, maaf, waktu pembagian porsi otak, Solar ambil yang terbanyak. Aku termasuk yang dapat sisanya. Harap maklum, pikiranku nggak nyampe."
"Eh? Solar lagi yang disebut," komentar Ochobot.
Yaya mengernyit. "BoBoiBoy—Taufan. Apakah belum pernah fusion sebegitunya mengganggumu?"
Taufan tidak menjawab dan hanya mendengus, membenarkan dugaan Yaya.
"Salah apa Solar sampai kamu begitu sengit padanya?" Ochobot melakukan pendekatan yang keliru. "Dia, 'kan, juga dirimu, BoBoiBoy!"
"Tanya saja sendiri sama si Paling Pintar dan si Kemaruk Fusion Dua Kali itu!" Taufan sudah balik badan, ngambek.
Yaya dan Ochobot bertukar pandangan. Padahal, yang ada fusion dua kali juga ada Ais, Halilintar, dan Gempa …. Namun, rasanya bukan waktunya untuk mengoreksi hal itu.
"Aku hampir membuat diriku terbunuh di Windara, memang benar. Tapi, itu di luar kendaliku, jadi bukan sepenuhnya salahku. Sedangkan Solar, dia dengan kesadaran penuh berbuat ceroboh dan membuat diriku hampir terbunuh oleh Vargoba. Dan dia sudah punya dua tipe fusion?!"
"Tenanglah, BoBoiBoy." Ochobot bersuara saat Taufan berhenti untuk menarik napas. "Maafkan kata-kataku tadi."
"Memangnya apa sebetulnya dasar dari elemental fusion, Ochobot?" Yaya bertanya.
"Entahlah." Ochobot sebagai wadah kuasa pun tak tahu.
"Tanya saja sama si Lampu Mungil satu itu, dia pasti tahu jawabannya," sahut Taufan lagi, masih memunggungi teman-temannya.
"Mungkin saja karena Taufan belum menemukan partner elemen yang cocok untuk diajak fusion," ucap Yaya sambil mendekat. "Aku ingat dahulu, waktu Angin berubah menjadi Taufan, itu juga lepas kendali karena manipulasi emosi oleh Adu Du."
Taufan bicara lagi, "Makanya kubilang—"
Yaya menyelanya, "Taufan ketika menjadi Beliung, juga lepas kendali, tapi bukankah memang itu ciri khas elemen angin? Kamu bergerak bebas, nggak ada yang tahu dari mana datangnya dan ke mana perginya."
Ochobot sempat merasa lega ketika Taufan berbalik menghadapi Yaya, tapi hanya seketika saja. Yaya juga terlambat menyadarinya dan terus berbicara,
"Kamu mungkin belum fusion karena sifat elemenmu yang sebebas itu, Taufan—"
"Kalau aku bisa fusion, aku nggak akan berkeliaran di planet antah-berantah ini."
Yaya terbelalak kaget mendengar kalimat dingin barusan, yang diucapkan dengan penuh kekesalan ke arahnya.
"Aku, 'kan, memang si Paling Nggak Penting."
"BoBoiBoy Taufan," tegas Yaya. "Siapa bilang kamu nggak penting?"
"Nggak ada yang bilang. Tapi, aku sadar diri, kok."
Yaya belum pernah menyaksikan ekspresi gusar dan cemberut semacam itu di wajah si elemen angin yang biasanya periang dan ceria. Benar-benar di luar kebiasaan dan lama-lama Yaya jadi ikut gusar juga.
"Jadi, kamu nggak senang pergi ke sini?" balas Yaya.
"Nggak."
"Kamu kurang bersyukur."
"Kamu nyebelin banget." Taufan melontarkannya tanpa berpikir panjang.
Ochobot bisa merasakan urat marah imajiner sekarang sedang berkembang di kepala Yaya. "Yaya—"
"Oh, gitu? Jadi, aku nyebelin, ya?" Yaya mengentakkan sebelah kaki dan tanah di bawah mereka bergetar.
Taufan segera melompat ke atas hoverboard. "Iya, nyebelin! Aku males diceramahin kamu, tahu?" Dan dalam sekejap mata, si elemen angin telah berlalu dari depan mereka.
"BoBoiBoy!" seru Ochobot, lalu memandang ke arah Yaya. "Bagaimana ini?"
Yaya mengambil foto Payung Bintik Binar dengan cepat. "Kamu susul saja BoBoiBoy. Bahaya kalau dia sampai pikun dan naik tahap tiga lagi."
"Lalu, kamu gimana, Yaya?" Ochobot agak ragu.
"Nggak apa-apa. Kalau ada apa-apa, ada kuasa gravitasi, atau aku akan panggil kalian. Maksudku, akan kupanggil kamu, Ochobot."
"Baiklah. Biasanya BoBoiBoy nggak mungkin bicara seperti itu tadi. Maafkan dia, Yaya." Ochobot terdengar menyesal.
"Sudahlah, Ochobot. Cepat susul dia."
.
.
.
.
.
"BoBoiBoy!"
Si power sphera merasa lega ketika menemukan sosok biru itu melayang rendah di jalur pepohonan yang tidak begitu rimbun.
"Ochobot?" Taufan menoleh. "Kenapa kamu nggak bersama Yaya?"
"Bahaya kalau kamu sampai pikun dan ada apa-apa!" sahut si power sphera.
"Lebih bahaya meninggalkan perempuan sendirian!" balas Taufan, nadanya kembali tinggi, tapi dia berhenti di atas hoverboard-nya.
"Kalau menurutmu begitu, kenapa nggak kita bergabung lagi saja bertiga?" desak Ochobot.
"Ogah! Dia cerewet!"
"Aduh, ini bukan saatnya merajuk kayak anak kecil!"
KRESAK. KRESAK.
Taufan dan Ochobot menoleh ke sumber suara.
"Apa barusan itu?" Ochobot segera masuk mode pindai.
"Jangan bilang ada yang sejenis Tumbosaurus di sini."
"Nggak mungkin, kata Tok Kasa, planet ini aman."
"Definisi amannya Tok Kasa dan kita itu berbeda, tahu?" sembur Taufan. "Barangkali itu King Kang Kong atau—"
GROAAAARRR!
Sosok berbulu cokelat tanpa bulu kepala itu mendadak muncul dan menerkam mereka.
"Waaaaaaaaahhh!"
.
.
.
.
.
Yaya yang berjalan sendiri telah menemukan rimbunan Payung Bintik Binar yang lebih besar di bagian hutan yang semakin lebat dan dia sudah akan memetik ketika sinyal darurat masuk ke jam tangannya.
"Ochobot?"
"Yaya, ada adiknya King Kang Kong! Yang ini beneran masih botak, belum punya rambut!"
"Hei, Ochobot? Ngapain kamu hubungi si Nona Cerewet itu?"
Lagi-lagi Yaya didorong keinginan untuk menjewer telinga temannya seperti dilakukan Tok Aba tadi.
"Ochobot, bagi lokasi!" Yaya tak sempat bicara apa pun lebih dari itu. Dia bergegas menuju ke arah yang dibagikan dan mendapati Taufan dan Ochobot sedang terbang melarikan diri dari … seekor makhluk raksasa yang tampaknya lebih besar daripada King Kang Kong waktu latihan dengan Tok Kasa dahulu.
"Ngapain kamu di sini?!" salak Taufan pada Yaya.
"Mau bantuin, lah!" balas Yaya, juga berteriak.
"Nggak perlu, lah!"
"Ish, nggak tahu terima kasih!"
"Iya, memang! Aku si Paling Nggak Tahu Terima Kasih!"
"Bisa nggak, sih, berhenti menjuluki diri sendiri pakai kalimat negatif begitu?!"
GROAAARRR! Adik Kang Kong meraung karena merasa tidak diperhatikan.
"BERISIK! KAMI LAGI BERDEBAT, LAH!" Taufan dan Yaya sama-sama berseru pada makhluk itu.
GROAAAARRRRRRRRRRRRRR!
"Teman-teman! Ini bukan waktunya berdebat! Dia semakin marah!" seru Ochobot.
"Waaaaaah!"
"Gyaaaaa!"
"Berdamai, ayo, segera!" seru Ochobot lagi.
"Maaf, Yaya!" pekik Taufan.
"Aku juga minta maaf, BoBoiBoy!" balas Yaya.
"Maaf diterima." Taufan nyengir dan mengumpulkan kuasanya. "Bersedia, Yaya? Taufan Pengabur!"
Daun-daun kering berpusar di sekitar si raksasa dan mengaburkan pandangannya. Makhluk itu berhenti bergerak dan kebingungan.
"Apungan Gravitasi!"
Si raksasa meraung dalam keterkejutan. Tubuhnya terangkat dari tanah, lalu terempas beberapa puluh meter jauhnya. Dia mendengking kesakitan.
"Aduh, maaf, Tuan Kang Kong!" seru Yaya cemas.
"Tak apa, Yaya! Dia tidak terluka parah, hanya terbentur sedikit!" ucap Ochobot yang memindai dari jauh. Makhluk besar itu kemudian bangkit dan berlari menjauhi mereka.
"Hufff, aman." Ochobot menghela napas lega.
"Aku sungguh minta maaf, Yaya." Taufan mengulangi kalimatnya. "Aku terlalu larut dalam emosi, aku sudah salah. Maafkan kata-kataku yang nggak pantas tadi."
"Aku juga minta maaf, tadi ikut terbawa emosi, BoBoiBoy." Yaya tersenyum sedih.
"Yeay, sudah damai!" seru Ochobot riang. "Jadi, di mana tadi kamu menemukan Payung Bintik Binar yang lebih besar, Yaya?"
"Ke arah sana, Ochobot." Yaya menunjuk.
"Ayo, tunjukkan jalannya." Taufan balas tersenyum sambil menyingsingkan lengan baju. "Aku tahu cara memetik jamur dengan benar, pernah diajari Tok Aba!"
.
.
.
.
.
bersambung.
.
.
.
.
.
Author's Note:
Lama betul nggak update :" rasanya jadi kaku sama bahasanya terutama pada dialog, maafkan kalau aneh.
Saat membuat bab ini, lagu "Persahabatan"-nya Sherina terngiang:
[Setiap manusia di dunia
Pasti punya kesalahan
Tapi hanya yang pemberani
Yang mau mengakui
Setiap manusia di dunia
Pasti pernah sakit hati
Hanya yang berjiwa satria
Yang mau memaafkan]
Sesuai request-nya Sylvia, bab ini penuh dinamika Taufan dan Yaya dalam konteks pertemanan (penuh drama, ada kombo kuasa, tapi mungkin agak kurang untuk petualangannya sendiri). Masih mencoba genre baru :D Dan, makasih untuk ide namanya! Payung Bintik Binar (karena dia bersinar). Sounds better daripada Jamur Galaksi, beneran XD
Aye! Tinggal satu bagian lagi untuk persiapan dan pestanya sendiri! Kalau terlalu panjang, Roux akan pecah menjadi dua bab, ya!
Terima kasih sudah membaca!
[23 Desember 2023]
